Kendati seluruh hukum berpijak di atas kemaslahatan dan mafsadah (keburukan); dan setiap hukum memiliki falsafah dan sebab; namun untuk menjelaskan dan menyingkap sebab seluruh partikular hukum merupakan pekerjaan yang sangat pelik; paling tidak yang dapat dilakukan adalah menjealskan pakem universal terkait hukum-hukum; dimana tentu saja yang dimaksud dengan universal adalah yang bermakna yang kebanyakan digunakan.
Dengan memperhatikan perkara ini terkait falsafat dihalalkannya poligami bagi pria dan dilarangnya poliandri bagi wanita dapat dikatakan sebagai berikut:
Poligami sebelum Islam merupakan sebuah perkara yang dipandang biasa dan wajar serta tidak memiliki pakem khusus. Islam meletakkanya dalam frame kebutuhan kehidupan manusia yang terbatas lalu menetapkan kait (stipulasi) dan syarat berat baginya. Aturan-aturan Islam ditetapkan berdasarkan pelbagai kebutuhan real dan kemaslahatan seluruh masyarakat. Dalam kehidupan komunitas manusia realitas-realitas di bawah ini tidak dapat diingkari:
1. Kedudukan pria melebihi wanita dalam pelbagai peristiwa kehidupan berada di bawah ancaman kematian dan pada pelbagai peperangan serta peristiwa lainnya kaum pria senantiasa menjadi korban utama.
2. Libido pria lebih panjang dan lama bertahannya ketimbang libido wanita.
3.
4. Banyak wanita yang kehilangan suami mereka karena alasan yang berbeda-beda dan apabila tidak ada poligami maka mereka selamanya akan menjanda.
Faktor-faktor ini telah menyebabkan terganggunya stabilitas antara pria dan wanita, antara laki-laki dan perempuan. Lalu untuk menjaga keselamatan masyarakat dan anggotanya maka mau-tak-mau kita harus memilih salah satu dari tiga jalan berikut ini:
1. Kaum pria harus mencukupkan diri mereka dengan satu istri dalam pelbagai kondisi dan kaum wanita yang menjanda akan tetap menjanda hingga akhir hayatnya. Dengan kondisi sedemikian, maka seluruh kebutuhan fitri, afeksi dan biologisnya harus diberangus.
2. Kaum pria hanya boleh memiliki satu istri secara sah, namun hubungan bebas dan pergaulan ilegal seks dengan wanita yang tidak bersuami dibiarkan begitu saja terjalin.
3. Orang-orang yang mampu mengelola hidupnya lebih dari satu istri dan dari sudut pandang jasmani, harta dan moralitas tidak bermasalah bagi istri-istrinya, juga memiliki kemampuan untuk menjalankan secara utuh keadilan di antara para istri dan anak-anaknya, agar diberikan izin kepada mereka untuk memilih lebih dari satu istri.
Dari ketiga jalan ini, Islam memilih jalan ketiga. Apabila poliandri tidak dibenarkan bagi wanita hal itu dikarenakan pertama, poliandri (beberapa suami) berseberangan dengan tabiat dan mental wanita. Kedua, melalui cara seperti ini, keselamatan dan kesehatan generasi berada dalam ancaman. Ketiga, kesulitan untuk mengenal manusia dan sebagainya.
Untuk menjelaskan masalah ini beberapa masalah harus disebutkan sebagai berikut:
1. Berdasarkan pandangan yang benar dan lurus bahwa para juris dan ulama Syiah meyakininya bahwa hukum Tuhan berpijak di atas maslahat (kemaslahatan) dan mafsadah (keburukan); artinya apabila mengerjakan sebuah tugas memiliki manfaat yang penting dan sifatnya hayati maka perbuatan tersebut akan menjadi wajib. Atau apabila tidak memiliki manfaat hayati maka hukumnya mustahab (dianjurkan); dan apabila mengerjakan sebuah perbuatan memiliki kerugiaan yang membahayakan dan mematikan maka pelaksanaan perbuatan itu diharamkan; dan apabilia kerugian tidak berujung pada kerugian dan tidak mematikan maka hukumnya makruh (dibenci); dan apabila antara kerugian dan keuntungan kedudukannya setara maka hukumnya adalah mubah (dibolehkan); akan tetapi yang dimaksud dengan keuntungan dan kerugiaan bukanlah keuntungan dan kerugian material melainkan bermakna secara umum dan menjuntai yang berkaitan dengan luasnya dan menyeluruhnya dimensi wujud manusia.
2. Kendati keuniversalan kaidah ini bahwa hukum Ilahi berpijak pada masalih dan mafasid merupakan sebuah kaidah yang pasti dan niscaya namun untuk menyingkap kemaslahatan dan keburukan pada pelbagai obyek dan contohnya merupakan sebuah pekerjaan yang rumit. Karena pertama, diperlukan fasilitas yang sangat luas dalam pelbagai dimensi keilmuan. Kedua, meski kemajuan ilmu dan kecanggihan industri yang diperoleh manusia, namun apa yang tidak diketahui manusia lebih banyak ketimbang apa yang diketahuinya. “Tidaklah kamu dianugerahi ilmu kecuali sedikit.” (Qs. Al-Isra [17]:85)
Dan boleh jadi alasan tiadanya penjelasan sebab dan falsafah seluruh hukum dikarenakan penjelasan seluruh rahasia hukum bagi manusia yang banyak memendam rahasiah ilmu belum lagi tersingkap bagi manusia. seperti mengungkapkan enigma dan teka-teki, dimana boleh jadi akan menyebabkabn kebencian orang yang mendengarnya. Imam Ali As bersabda: “Manusia membenci apa yang tidak diketahuinya.”[1]
Karena itu, para wali Allah menyebutkan sebagian sebab dan falsafah hukum sebatas yang dapat dipahami manusia. Di samping itu, tujuan agama dan syariat adalah menghiasi kehidupan manusia dengan pelbagai kebaikan secara praktis dan teoritis, dan menghindar dari segala pikiran buruk dan tercela baik secara praktis dan teoritis. Dan tujuan ini dapat diperoleh dengan mengamalkan syariat meski orang-orang tidak mengetahui falsafah dan sebab hukum. Misalnya, seorang pasien yang melakukan pelbagai aturan dokter memperoleh kesembuhan meski ia tidak mengetahui faidah, falsafah obat dan resep dokter tersebut.
Di samping itu, orang beriman, karena memiliki keyakinan dan kemantapan hati terhadap segala perintah agama yang disampaikan oleh orang-orang yang pengetahuannya tidak mungkin salah, karena itu mereka yakin terhadap pengaruh dan manfaat perintah-perintah ini.
3. Kendati pemahaman terhadap sebab dan falsafah hukum merupakan perbuatan yang sulit, namun untuk menemukan pakem dan kaidah universal merupakan sesuatu yang mungkin. Akan tetapi, universalitas terhadap masalah-masalah hukum, bukan seperti universalitas dalam masalah-masalah filsafat yang tidak ada pengecualian di dalamnya. Melainkan sebuah universalitas pada masalah-masalah hukum, sosial yang berlaku secara mayoritas dan karena itu dapat dikecualikan.[2]
Dengan memperhatikan beberapa perkara dalam falsafah kehalalalan poligami bagi kaum pria dan keharaman bagi kaum wanita (untuk melakukan poliandri) dapat dikatakan bahwa:
Dengan menelaah kondisi pelbagai lingkungan yang berbeda pra Islam kita sampai pada kesimpulan bahwa masalah poligami adalah perkara normal yang tidak memerlukan pakem dan batasan serta bukan merupakan kreasi Islam, melainkan Islam meletakkannya pada frame dan kebutuhan kehidupan manusia. Dalam hal ini, Islam menetapkan aturan dan pra-syarat yang ketat terkait poligami.
Aturan-aturan Islam diadakan berdasarkan kebutuhan-kebutuhan ril manusia. Tatkala melirik kemaslahatan seluruh masyarakat dan menepikan seluruh emosi dan perasaan maka falsafah poligami akan menjadi terang. Tiada seorang pun yang dapat mengingkari bahwa kaum pria dalam pelbagai peristiwa kehidupan berada pada kondisi yang penuh risiko melibihi posisi wanita. Dan kaum prialah yang lebih banyak menjadi korban dalam pelbagai peperangan dan peristiwa lainnya. Juga tidak dapat diingkari bahwa libido pria lebih lama bertahannya ketimbang libido perempuan; karena kebanyakan wanita pada tingkatan usia tertentu kehilangah nafsu seksualnya sementara pada pria tidak berlaku demikian.
Demikian juga, kaum wanita tatkala kedatangan bulan dan pasca persalinan, secara praktis tidak dapat didekati. Sementara tidak terdapat larangan sedemikian dalam Islam.
Terlepas dari semua ini, kaum wanita lantaran sebab yang beragam kehilangan suami mereka dan apabila tidak ada poligami, mereka akan hidup tanpa suami.
Dengan memperhatikan pelbagai realitas ini, dalam pelbagai masalah ini (yang mengganggu stabilitas antara pria dan wanita) maka mau-tak-mau kita harus memilih salah satu jalan dari beberapa jalan berikut ini:
1. Pria harus puas dengan satu istri dalam segala hal dan para janda harus tetap sendiri hingga akhir hayatnya dan memberangus seluruh kebutuhan fitri, biologis dan afeksinya.
2. Pria memiliki satu istri sah secara hukum, namun dapat melakukan hubungan bebas dan seksual dengan para wanita yang tidak bersuami.
3. Orang-orang yang mampu mengelola hidupnya lebih dari satu istri dan dari sudut pandang jasmani, harta dan moralitas tidak bermasalah bagi istri-istrinya, juga memiliki kemampuan untuk menjalankan secara utuh keadilan di antara para istri dan anak-anaknya, agar diberikan izin kepada mereka untuk memilih lebih dari satu istri.
Sekarang apabila kita ingin memilih jalan pertama, maka kita harus berhadapa ndengan fitrah, insting, pelbagai kebutuhan mental dan jasmani manusia, terlepas dari pelbagai problematika sosial yang ditimbulkannya. Demikian juga, harus mengeliminir pelbagai afeksi dan emosi kaum wanita. Akan tetapi pertentangan ini tidak akan memberikan hasil. Anggaplah, jalan ini yang dipilih, maka sisi non-manusiawinya tidak akan tertutupi oleh siapapun.
Jumlah bilangan istri dalam pelbagai kondisi darurat tidak boleh ditelaah menurut sudut pandang istri pertama, namun juga dari sudut pandang istri kedua, dan kemasalahatan yang menjadi tuntutan masyarakat. Mereka yang memandang kesulitan yang diderita istri pertama apabila terjadi poligami, adalah orang-orang yang hanya memandang satu sisi sebuah persoalan; karena poligami juga harus dipandang dari sudut pandang pria dan juga dari sudut pandang wanita, juga dari sudut pandang istri kedua. Kemudian setelah meninjau seluruh kemaslahatan ini baru memberikan penilaian.
Apabila kita memilih jalan kedua, maka kita harus menerima pelbagai kemungkaran. Terlebih para wanita yang menjadi obyek pelampiasan seksual, tidak memiliki keamanan (kesejahteraan social) dan juga tidak memiliki masa depan; karena kepribadian mereka telah terinjak-injak. Perkara ini bukan merupakan perkara yang dibolehkan oleh manusia pandai dan cendekia.
Karena itu, yang tersisa adalah jalan ketiga yang menjawab positif segala kebutuhan fitri dan kebutuhan biologis manusia. dan mencegah segala konsekuensi buruk sebagian wanita ini dan mengeluarkan manusia dari segala noda dan debu perbuatan dosa.[3]
Rahasia berkurangnya afeksi dan emosi pada masyarakat Barat dan berlindungnya mereka kepada hewan-hewan dengan mengekspresikan kecintaan mereka kepadanya, bukan perasaan kuat afeksi manusia. mereka yang menyisakan belati pada raga manusia dan menyeret manusia kepada kubangan yang mengerikan sehingga kekayaan dan modal manusia yang raib, tidak menyisakan afeksi pada manusia!
Akan tetapi mengapa poliandri atau beberapa suami dilarang? Jawabannya adalah:
1. Hal ini bertentangan dengan tabiat dan mental wanita; karena dari sudut pandang psikologi terdapat perbedaan asasi antara struktur kejiwaan dan perasaan pria dan wanita.
2. Melalui jalan ini keselamatan dan kesehatan generasi manusia berada dalam bahaya.
3. Kesulitan untuk mengenal manusia dan membedakannya. Dan salah satu akibat dari hilangnya afeksi keluarga dan menjadi penyebab hilangnya keinginan pada reproduksi generasi. Karena sesuai dengan perhitungan natural, bahwa setiap orang mencintai anaknya sendiri-sendiri dan menyiapkan modal untuk buah hatinya. Akan tetapi dalam menghadapi orang yang tidak jelas nasabnya (garis keturunan), bahkan tidak diketahui sama sekali asal-usulnya?
Kesemua ini merupakan sebagian kemaslahatan dan kebijaksanaan sehingga Islam menghalalkan poligami bagi pria dan mengharamkan poliandri bagi wanita.[6][]
[1]. Guzide-ye Mizân al-Hikmah, jil. 1, hal. 214.
[2]. Diadaptasi dari pertanyaan 1967 (Site: 2070)
[3]. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 3, hal. 256-260; Muthahhari, Majmu’e Âtsar, jil. 19, hal. 357-361; Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizan, jil. 4, hal. 319.
[4]. Murtadha Muthahhari, Majmu’e Âtsar, jil. 19, hal. 302.
[5]. Untuk telaah lebih jauh, Muthahhari, Nizhâm Huquq Zan dar Islâm; Abdullah Jawadi Amuli, Zan dar Aini Jalâl wa Jamâl; Sayid Muhammad Husain Thabathabai, Tafsir al-Mizan, jil. 4.
[6]. Diadaptasi dari pertanyaan 633 (Site: 692)