Al-Quran bukanlah sebuah kitab biasa melainkan kitab yang memiliki ragam dimensi. Al-Quran adalah firman Allah Swt dan firman ini diwahyukan oleh Allah Swt kepada Rasulullah Saw. Al-Quran mengandung ajaran-ajaran dan pengetahuan-pengetahuan yang tinggi. Al-Quran adalah kitab kehidupan dan penyempurna manusia. Al-Quran adalah kitab petunjuk dan seterusnya. Al-Quran memiliki kekudusan dann nilai khusus yang terkandung di dalamnya.
Atas dasar itu, memanfaatkan dan memberdayakan al-Quran juga memiliki tingkatan dan derajat yang berlapis-lapis. Untuk meraih sebagian tingkatan tersebut dapat diperoleh dengan memandang kepada al-Quran dan sebagian tingkatan lainnya diperoleh dengan tadabbur pada ayat-ayat dan sebagian tingkatan lainnya yang lebih tinggi di samping tadabbur juga memerlukan olah batin yang sesuai dengan tuntutan syariat dan ketentuan-ketentuan Ilahi. Dan tentu tidak ada pertentangan apabila sebagian tingkatannya berhasil diraih sementara sebagian tingkatan yang lebih tinggi lainya tidak berhasil dicapai.
Al-Quran bukanlah sebuah kitab biasa melainkan kitab yang memiliki ragam dimensi. Al-Quran adalah firman Allah Swt dan firman ini diwahyukan oleh Allah Swt kepada Rasulullah Saw. Al-Quran mengandung ajaran-ajaran dan pengetahuan-pengetahuan yang tinggi. Al-Quran adalah kitab kehidupan dan penyempurna manusia. Al-Quran adalah kitab petunjuk dan seterusnya. Al-Quran memiliki kekudusan dan nilai khusus yang terkandung di dalamnya. Atas dasar ini, pemanfaatannya juga memiliki tingkatan dan derajat yang berlapis di antaranya adalah tingkatan yang dapat diperoleh dengan memandang al-Quran.
Memandang al-Quran memiliki banyak manfaat yang akan disebutkan sebagian darinya sebagai berikut:
- Al-Quran merupakan sebuah hakikat yang berada di atas lafaz-lafaz; karena yang menuturkan ayat-ayatnya adalah Rabb al-Alamin dan pembawanya adalah sebaik-baik ciptaan-Nya yaitu Nabi Muhammad Saw dan penulisnya adalah Imam al-Muttaqin, Amirul Mukminin. Atas dasar itu, tatkala kaum Muslim membuka lembaran al-Quran dan memandangnya, ia memposisikan dirinya berada di hadapan Rabbul ‘Âlamin dan Rasulullah Saw, merasakan spiritualitas kehadiran (hudhur) berada di haribaan Allah Swt dan arwah suci para Imam Maksum. Kondisi seperti ini tidak memerlukan orang harus pandai membaca atau tidak.
- Hubungan dengan al-Quran, meski dengan sekedar memandang kalimat-kalimatnya didasari oleh keyakinan yang mengandung pengakuan terhadap tauhid, risalah dan barâ’at (berlepas diri) dari musuh-musuh al-Quran dan Islam; karena seseorang yang membuka al-Quran dan berpegang teguh kepadanya serta memandangnya sebagai orang yang beriman; di samping beriman kepada Allah Swt dan kepada Rasul-Nya, juga kepada kandungan-kandungan tingginnya dan hal ini merupakan pengakuan keilmuan terhadap kebenaran Allah Swt, Rasulullah Saw dan kitab samawi al-Quran tanpa harus membaca lafaz-lafaznya.
- Memandang kalimat-kalimat al-Quran dan menaruh signifikansi terhadapnya akan memberikan motivasi bagi orang-orang yang tidak tahu membaca untuk memulai belajar membaca dan memahami al-Quran. Dari sisi lain, dalam pelbagai kesempatan, akan menjadi sebab orang-orang yang tahu membaca yang kurang menaruh perhatian terhadap al-Quran, akan semakin menaruh perhatian lebih terhadap tugasnya dan hal ini adalah amar makruf secara praktis, yang dengan perbuatannya akan membimbing orang lain untuk berpegang teguh terhadap al-Quran.
- Hakikat-hakikat dan ajaran-ajaran al-Quran memiliki tingkat yang berlapis sehingga tidak satu pun strata masyarakat yang tidak mendapatkan manfaat dalam berhadapan dengan al-Quran dan setiap orang berdasarkan pemahamannya akan meraup manfaat dari al-Quran. Orang-orang yang tidak tahu membaca atau kurang pandai membaca dengan sendirinya akan memperoleh manfaat berupa emanasi kehadiran (faidh al-hudhur) di haribaan kitab samawi al-Quran. Benar bahwa orang yang tidak memiliki kemampuan membaca al-Quran tidak akan memeroleh manfaat sebagaiman orang-orang yang pandai membaca al-Quran demikian juga orang-orang yang tidak memiliki kemampuan memahami dan men-tadabbur ayat-ayat al-Quran dan berhadapan dengan al-Quran hanya pada level permukaan saja tidak akan sama manfaat yang diperoleh oleh orang-orang memiliki pengetahuan tentang kaidah-akidah bahasa Arab, memahami ayat-ayat muhkam dan mutasyabih-nya; ringkasnya setiap tingkatan dan strata masyarakat berdasarkan tingkatan kemampuan dan level pemahamannya serta jelajah analisanya dapat memperoleh manfaat dari al-Quran. Dan memperoleh manfaat yang sedikit tentu tidak akan menjadi penghalang karena tidak memperoleh manfaat yang banyak dan memperoleh manfaat yang banyak tidak akan menjadi penghalang memperoleh manfaat yang sedikit dan kesemua ini tergolong sebagai manfaat-manfaat hidayah dan hidayah tidak terbatas hanya pada lafaz-lafaz melainkan juga berlaku pada teks kehidupan manusia dan demikianlah tipologi al-Quran sehingga orang yang tidak mampu membaca juga dapat memperoleh manfaat darinya. Tipologi ini merupakan jenis adikodratinya (i’jâz) al-Quran.
Dengan kata lain; pada banyak riwayat disebutkan bahwa, “Al-Quran memiliki batin-batin yang berbeda-beda dan setiap batin memiliki batin yang lain dan seterusnya..”[1] Keberadaan batin-batin yang berbeda-beda ini bermakna bahwa hakikat-hakikat dan ajaran-ajaran al-Quran memiliki tingkatan yang berbeda-beda. Dengan tipologi seperti ini telah menjadi sebab sehingga tiada satu pun strata dan tingkatan pada masyarakat yang tidak memperoleh manfaat dari al-Quran. setiap orang sesuai dengan pemahamannya dan pencerapannya akan meraup manfaat dari al-Quran; Orang-orang yang tidak tahu membaca atau kurang pandai membaca dengan sendirinya akan memperoleh manfaat berupa emanasi kehadiran (faidh al-hudhur) di haribaan kitab samawi al-Quran; karena manfaat-manfaat yang disebutkan ini merupakan salah satu tingkatan dari tingkatan-tingkatan emanasi al-Quran yang dapat diperoleh oleh setiap orang, bahkan oleh orang-orang yang tidak tahu membaca al-Quran.
- Dalam banyak riwayat disebutkan bahwa memandang al-Quran bahkan tanpa membacanya sekalipun adalah ibadah dan tipologi ini bukan hanya untuk al-Quran semata. Dalam banyak hal kita memiliki pelbagai urusan yang hanya dengan memandangnya tergolong sebagai ibadah seperti memandang wajah seorang alim, Ka’bah, Amirul Mukiminin dan pandangan penuh cinta kepada kedua orang tua. Hukum ini tidak bermakna bahwa menggunakan hal-hal ini terbatas dengan memandang misalnya memandang pohon dan pohon mendatangkan ketenangan bagi jiwa meski hal ini tidak berarti bahwa pohon dan air tidak memiliki tipologi lainnya. Demikian juga al-Quran yang di samping memandangnya memberikan emanasi juga merupakan kitab petunjuk dan dua manfaat ini tidak berseberangan satu sama lain.
Dewasa ini dalam pelbagai penelitian keilmuan kita banyak menjumpai bahwa pandangan seseorang kepada sesuatu tidak baik atau berguna bagi kesehatannya; misalnya memandang televisi tidak baik untuknya. Memandang warna biru dan air dapat mendatangkan ketenangan dan semisalnya yang tidak jarang kita jumpai dalam dunia sains. Mengapa kita harus berpikir terkait dengan memandang al-Quran sebagai menipu orang-orang awam sementara banyak kegunaan di balik dari perbuatan memandang ini. Dalam banyak riwayat standar dianjurkan untuk memandang al-Quran dan pada kesempatan ini kami akan menyebutkan dua contoh sebagai berikut:
- Orang-orang tengah mengerjakan salat dan Abu Dzar memandang Imam Ali As dan ia ditanya mengapa ia melakukan hal itu? Abu Dzar menjawab, “Saya mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Memandang Ali bin Abi Thalib As adalah ibadah. Memandang kedua orang tua dengan cinta kasih adalah ibadah. Memandang al-Quran adalah ibadah dan memandang Ka’bah adalah ibadah.”[2]
- Periwayat berkata, “Saya berkata kepada Imam Shadiq As: “Semoga saya menjadi tebusan Anda. Saya menghafal al-Quran dan aku membacanya dengan hafalan; apakah hal itu lebih utama atau aku harus memandang al-Quran? Imam Shadiq As bersabda, “Lebih utama engkau memandangnya. Bukankah engkau telah mendengar bahwa memandang al-Quran adalah ibadah.”[3]
Karena itu kita dapat mengambil kesimpulan bahwa memandang al-Quran dari sudut pandang keilmuan boleh jadi memiliki tipologi dan dengan merujuk pada riwayat-riwayat maka menjadi jelas bahwa sesuai dengan instruksi para Imam Maksum As merupakan bagian dari hal-hal yang dianjurkan (mustahab) dan bukan untuk mengelabui orang-orang awam dan kita (sebaiknya) mengikut pada para pemipin agama dalam urusan-urusan ibadah. [iQuest]
[1]. Sultan Muhammad Gunabadi, Tafsir Bayân al-Sa’âdat fi Maqâmat al-‘Ibâdat, jil. 3, hal. 264, Cetakan Kedua, Muassasah al-‘Alami lil Mathbu’at, Beirut, 1408 H.
[2]. Muhaddits Nuri, Mustradrak al-Wasail, jil. 4, hal. 268, Muassasah Alu al-Bait As, Qum, 1408 H.
[3]. Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 2, hal. 613, Cetakan Keempat, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S; Ibnu Syahr Asyub, Manâqib Alu Abi Thalib As, Muassasah Intisyarat Allamah, Qum, 1379 S. Syaikh Hurr ‘Amili, Wasâil al-Syiah, Muassasah Alu al-Bait As, Qum, 1409; Ali bin Isa Arbali, Kasyf al-Ghummah, Maktabat Bani Hasyim Tabriz, 1381 S; Syaikh Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, Intisyarat Jamiah Mudarrisin, Qum, 1413 H.