Apa yang disebutkan sebagai keburukan tersebut tidak terdapat di alam nonmateri, dan hal ini hanya terkait dengan alam materi. Makna kebaikan dan keburukan dianalisa sebagai berikut: kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan oleh setiap realitas berdasarkan tabiatnya (fitrah) sendiri dan dia mencintainya serta mengambil pilihan yang terbaik setiap kali dihadapkan dengan keraguan di antara beberapa pilihan yang ada. Sementara keburukan bertolak belakang dengan kebaikan.
Sesuatu itu terbagi lima bagian dari aspek kebaikan dan keburukan yang dua bagian itu memiliki realitas eksternal (eksis di alam eksternal), dua bagian itu sebagai berikut: kebaikan murni (mutlak) yakni Tuhan Yang Maha Tinggi dan kebaikan mayoritas. Apa-apa yang bersama dengan keburukan yang terkait dengan kalimat penciptaan iradah Ilahi dan qadha Ilahi juga mencakupnya secara esensial sebesar dan seluas keberadaan yang dimiliki olehnya, dengan ungkapan lain, dia harus memiliki kemampuan dan kapabilitas menerima keberadaan. Dengan kalimat yang lebih jelas, Tuhan menciptakannya, iradah Ilahi mewujudkannya, dan terpancar [terhempaskan] dari qadha Ilahi. Namun, ketiadaan-ketiadaan (keburukan-keburukan) senantiasa tidak disandarkan kepada Tuhan, melainkan lebih dinisbahkan kepada ketiadaan kapabilitasnya sendiri dan kelemahan potensinya.
Sebelum menjelaskan tema persoalan ini, perlu diingatkan bahwa kajian mengenai kebaikan dan keburukan merupakan suatu pembahasan yang penting dan teliti yang beragam perspektif mengenainya telah dilontarkan oleh begitu banyak filosof besar. Namun jawaban yang akan diberikan atas pertanyaan ini adalah hal-hal yang menjadi kesepakatan mayoritas filosof dan para teolog Islam.
Apa yang dikatakan sebagai keburukan tersebut tidak ada di alam nonmateri, kajian ini hanya terkait dengan alam materi.
Kebaikan dan keburukan dimaknakan sebagai berikut: kebaikan adalah sesuatu yang diinginkan oleh setiap realitas berdasarkan tabiatnya (fitrah) sendiri dan dia mencintainya serta dia mengambil pilihan yang terbaik setiap kali ragu di antara beberapa pilihan. Dan keburukan bertolak belakang dengan kebaikan.
Sesuatu terbagi lima menurut kebaikan dan keburukan:
- Kebaikan mutlak (murni);
- Keburukan mutlak (murni);
- Kebaikan mayoritas;
- Keburukan mayoritas;
- Kebaikan dan keburukannya sama.
Di antara lima bagian ini, hanya dua bagian yang memiliki eksistensi: pertama, kebaikan mutlak, yakni Tuhan yang wujud-Nya adalah niscaya, memiliki kesempurnaan mutlak dan setiap kesempurnaan eksistensial. Kedua, kebaikan mayoritas, yakni kebaikannya mengatasi keburukannya, karena meninggalkan kebaikan yang banyak tersimpan keburukan yang banyak. Dikarenakan inayah Ilahi, sesuatu yang memiliki kebaikan mayoritas ini mesti ada. Sementara bagian ketiga tidak eksis, karena keburukan mutlak tidak adalah ketiadaan mutlak maka mustahil mengada. Begitu pula dua bagian yang terakhir yakni keburukan mayoritas dan kebaikan dan keburukan yang sama. Karena inayah Ilahi, kedua bagian ini tidak harmonis. Inayah Ilahi menjadikan alam eksistensi ini sebaik-baiknya dan sekuat-kuatnya sistem yang mungkin dan jika dianalisa secara teliti setiap fenomena alam ini, akan menjadi jelas bahwa semua bagian alam hadir dan eksis dalam bentuk yang paling indah.[1]
Penjelasannya, apa yang kita gambarkan dalam pikiran kita tentang ketiadaan adalah ketiadaan mutlak yang merupakan negasi keberadaan mutlak, atau ketiadaan-terhubung dan dinisbahkan kepada kepemilikan yakni ketiadaan kesempurnaan eksistensial yang mungkin bagi sesuatu untuk memiliki kesempurnaan itu seperti buta yang bermakna tiada-penglihatan untuk manusia yang mungkin memiliki penglihatan [yakni secara eksistensial memungkinkan memiliki kesempurnaan penglihatan, karena ada manusia lain yang memiliki penglihatan], karena itu kita tidak bisa menyatakan bahwa tembok adalah buta.
Untuk bagian pertama [ketiadaan mutlak] terdapat beberapa bentuk yang bisa dibayangkan; salah satunya adalah ketiadaan yang dinisbahkan kepada kuiditas (keapaan atau mahiyah) sesuatu, bukan pada wujudnya, seperti kita membayangkan ketiadaaan Zaid lalu mengasumsikannya tiada, (yang diasumsikan tiada di sini) bukan Zaid yang setelah mengada (di alam eksternal). Bagian ini merupakan semata-mata gambaran rasional yang sama sekali tidak terbayangkan keburukan di dalamnya; karena kita tidak membayangkan tema tersebut (berada pada tataran) yang sama antara ‘ada’ dan ‘tiada’ sehingga ketiadaannya adalah keburukan, melainkan sangat mungkin manusia mensyaratkan ketiadaan sesuatu kepada sesuatu itu, seperti ketiadaan Zaid yang dibayangkan sebagai sesuatu yang ada (di alam pikiran), dan Zaid yang setelah mengada (di alam pikiran) itu kemudian diasumsikan tiada. Ketiadaan seperti ini [pertama dibayangkan ada kemudian diasumsikan tiada] adalah keburukan, namun bagian dari ketiadaan ini tidak lain adalah ketiadaan-kepemilikan yang nanti akan dijelaskan. Gambaran kedua (untuk ketiadaan mutlak) adalah membayangkan ketiadaan sesuatu yang dibandingkan dengan sesuatu yang lain, seperti ketiadaan Wujud-Wajib (Tuhan) bagi segenap wujud-mungkin (makhluk), atau ketiadaan wujud manusia misalnya untuk kuiditas lain seperti kuda dan ketiadaan wujud binatang untuk tumbuhan yang ini adalah bagian ketiadaan dari kemestian kuiditas yang merupakan (semata-mata) perkara rasional (hanya ada dan tergambar di alam pikiran) yang tidak eksis di alam eksternal.
Bagian kedua dari ketiadaan (yang digambarkan dalam pikiran kita) adalah ketiadaan-terhubung yang tidak lain adalah ketiadaan-kepemilikan yang diartikan sebagai ketiadaan kesempurnaan bagi sesuatu yang memiliki kelayakan dan kapabilitas untuk menerima kesempurnaan itu; seperti jenis-jenis keburukan, kekurangan, aib, cacat, penyakit, dan penderitaan yang menimpa sesuatu yang kedudukan hakikinya adalah tidak semestinya memiliki kekurangan ini dan selayaknya memiliki kesempurnaan yang bertolak belakang dengan kekurangan itu.
Bagian dari ketiadaan ini adalah keburukan yang hadir dalam perkara-perkara di alam materi. Sumbernya adalah kekurangan dan kelemahan dalam potensi-potensi makhluk-materi, namun kelemahan potensi ini tidak sama untuk setiap makhluk-materi, melainkan memiliki tingkatan-tingkatan dan bergradasi. Yang dimaksud di sini, sumber dari bentuk ketiadaan-ketiadaan ini yang adalah keburukan, bukanlah dari Wujud Suci Ilahi dan mustahil dinisbahkan kepada Realitas-Nya; karena sebab ketiadaan adalah sesuatu yang sama dengan ketiadaan itu sendiri (sebab ketiadaan adalah ketiadaan itu sendiri), sebagaimana sebab keberadaan (sebab wujud makhluk) adalah keberadaan lain (wujud Tuhan), bukan ketiadaan.
Dengan demikian, sesuatu yang berada dalam perkara-perkara seperti ini (ketiadaan-kepemilikan atau ketiadaan-terhubung) adalah bersama dengan keburukan (ketiadaan kesempurnaan) yang menjadi obyek kalimat penciptaan iradah Ilahi (kalimat kun fa yakun) dan qadha (ketentuan) Ilahi juga secara esensial mencakupinya sebesar keluasan wujudnya. Dengan ungkapan lain, dia memiliki potensi dan kapabilitas pengambilan-wujud (yakni potensi dalam menerima kesempurnaan yang layak dimilikinya), yang ini sebagaimana yang dikatakan: Tuhan menciptakan (dalam zat dan ilmu-Nya), iradah Ilahi mewujudkannya (dalam perbuatan dan kehendak-Nya), dan terpancar (terhempaskan) dari qadha Ilahi. Namun, ketiadaan-ketiadaan (keburukan-keburukan) yang bersama dengannya tidak ternisbahkan kepada Tuhan, melainkan lebih tersandarkan kepada ketiadaan potensi dan kapabilitasnya dan kelemahan bakatnya. Tapi mengapa ketiadaan-ketiaadan (keburukan-keburukan) itu kita pandang sebagai sesuatu-yang-tercipta (makhluk) secara langsung dan meletakkannya sebagai obyek penciptaan dan perwujudan Tuhan? Dikarenakan bahwa ketiadaan-ketiadaan (keburukan-keburukan) ini bercampur dan bersatu dengan besarnya keberadaan-keberadaan (keburukan itu “bercampur” dan “bersatu” secara potensial dengan keluasan wujud-wujud makhluk yang beragam dan bergradasi).[2][3] [iQuest]
Indeks Terkait:
Pertanyaan nomor 8541 (Site: id8543).
[1] .Muhammad Husain Thabathabai, Nihâyat al-Hikmah, Ali Syirwani, jil. 3, hal. 352, Bustan-e Kitab, Cetakan Keenam, Qum, 1384 S.
[2] . Muhammad Husain Thabathabai`, Tafsir al-Mizân, Penerjemah Persia, Musawi Hamadani, jil. 13, hal. 259, Jami’ah Mudarrisin, Cetakan Kelima, Qum, 1374 S.
[3] . Yang dapat disandarkan kepada Tuhan adalah wujud makhluk yang ada secara aktual, sementara keburukan yang ada pada setiap makhluk masih bersifat potensi, dan sesuatu yang potensi disamakan dengan tiada, karena itu, sesuatu yang tiada mustahil bisa dinisbahkan kepada sesuatu yang berwujud.