Manusia dengan melintasi beberapa tingkatan yang diperlukan baik di dunia atau di akhirat dapat mencapai pelbagai level kesempurnaan. Kesempurnaan-kesempurnaan manusia di dunia adalah pendahuluan untuk sampai pada kesempurnaan-kesempurnaan di akhirat (puncak kesempurnaan).
Kesempurnaan manusia di dunia ini adalah terbatas dan bersifat material. Sampai pada derajat qurb Ilahi (dekat di sisi Tuhan) melalui perantara ibadah yang dalam artian umum dan tingkatan tertinggi dari nilai tersebut adalah manusia dalam tingkatan ini menjadi jelmaan sifat-sifat perbuatan Tuhan. Puncak kesempurnaan manusia di akhirat adalah perjumpaan dengan Tuhan (liqâuLlâh). Supaya manusia dapat sampai pada kesempurnaan insaniah ia harus menjalankan hukum-hukum dan instruksi-instruksi Ilahi baik pada bidang personal, sosial atau pun politik dan menjauhi perbuatan-perbuatan haram dalam bidang personal dan sosial.
Yang dimaksud dengan kesempurnaan adalah murni aktual (segalanya ada secara aktual), ketiadaan potensi atau keberadaan sifat-sifat yang mesti dimiliki oleh sesuatu. Kesempurnaan adalah kepemilikan segala hal yang mungkin dan layak untuk dimiliki oleh sesuatu. Dengan ungkapan lain, kesempurnaan adalah titik puncak dan tingkatan akhir segala, atau keberadaan sifat-sifat yang niscaya dimiliki oleh sesuatu, dan persoalan-persoalan lain dalam batasan yang penting dan bermanfaat untuk sampai pada kesempurnaan hakikinya akan menjadi "kesempurnaan awal" dan "pengantar kesempurnaan" baginya.[1] Pada setiap manusia terdapat insting untuk mencari kesempurnaan; segala duka dan nestapa dapat diatasi untuk dapat meraih harapan-harapan yang lebih terang dan benderang.[2]
Manusia dengan melintasi beberapa tingkatan yang diperlukan baik di dunia atau di akhirat dapat mencapai pelbagai kesempurnaan. Kesempurnaan-kesempurnaan manusia di dunia adalah pendahuluan untuk sampai pada kesempurnaan-kesempurnaan di akhirat (puncak kesempurnaan).[3]
Sehubungan dengan penciptaan manusia dijelaskan secara variatif dalam ayat-ayat al-Quran yang masing-masing pada hakikatnya menyinggung salah satu dimensi dari tujuan ini. Di antaranya adalah ibadah, ujian dan lain sebagainya. Allah Swt berfirman pada salah satu ayat al-Quran, “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (Qs. Al-Dzariyat [51]:56) dan pada ayat lainnya, “Yang menciptakan mati dan hidup supaya Dia mengujimu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Qs. Al-Mulk [67]:2) artinya ujian disertai dengan pembinan dan sebagai hasilnya adalah kesempurnaan. Pada ayat lainnya disebutkan, “Jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk (menerima rahmat) itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat (keputusan) Tuhanmu telah ditetapkan: sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahanam dengan semua jin dan manusia (yang durhaka).” (Qs. Hud [11]:118-119) seluruh garis ini berujung pada satu garis dan garis tersebut adalah pembinaan, petunjuk dan kesempurnaan seluruh manusia. Berangkat dari sini, menjadi jelas bahwa tujuan pamungkas penciptaan manusia adalah untuk sampai pada kesempurnaan, kebahagiaan dan meraih pelbagai kemuliaan dan nilai-nilai kemanusiaan yang dapat dicapai dengan pengenalan, ibadah dan penghambaan kepada Zat ahadiyat.[4]
Kesempurnaan dan kebahagiaan ini yang disebut sebagai qurb Ilahi adalah bahwa manusia berdasarkan kesempurnaan-kesempurnaan ril eksistensial yang ia raih akan semakin mendekat pada sentral keberdaan dan seluruh hijab kegelapan akan menjauh darinya dan mencapai makam fana. Dengan kata lain, karena Wajib al-Wujud memiliki segala kesempurnaan dari seluruh dimensi dan mumkin al-wujud memiliki kekurangan dari seluruh dimensi, tatkala seorang hamba berusaha dalam menghilangkan kekurangan-kekurangan, dari sudut pandang nilai dan spiritualitas, semakin mendekat kepada Allah Swt.[5]
Kesempurnaan ini merupakan pendahuluan untuk kesempurnaan puncak (perjumpaan dengan Allah Swt). Artinya manusia pada ujung jalan perjalanan kesempurnaannya akan sampai pada sebuah tempat, di dekat dan di haribaan rahmat Ilahi.[6] Sebagaimana al-Quran terkait dengan nasib puncak orang-orang bertakwa menyatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman dan sungai-sungai. Di tempat yang disenangi di sisi Tuhan Yang Berkuasa.” (Qs. Al-Qamar [54]:54-55) atau pada ayat lainnya, “Hai manusia, sesungguhnya kamu menuju kepada Tuhan-mu dengan kerja dan usaha yang sungguh-sungguh, maka kamu pasti akan menjumpai-Nya. (Qs. Al-Insyiqaq [84]:6)
Dengan demikian, kesempurnaan manusia di dunia dan akhirat adalah sampai pada makam qurb Ilahi di dunia sebagaimana makna yang telah disebutkan dan di akhirat bermakna kehadiran di haribaan rahmat Ilahi (kesempurnaan puncak). Jalan untuk sampai pada tingkatan-tingkatan kesempurnaan ini di dunia dan akhirat, adalah ibadah dan penghambaan kepada Allah Swt yang dinyatakan dengan penghambaan dan puncak ketundukan dan kepasrahan total di hadapan perintah-perintah Ilahi. Dan setiap perbuatan dilakukan dengan niat ibadah, memperoleh pahala dan taqarrub harus dilakukan semata-mata demi Allah Swt.[7]
Peran Pelbagai Aktivitas Sosial dan Politik untuk sampai Pada Kesempurnaan Puncak
Dalam Islam, di samping hukum-hukum dan instruksi-instruksi personal, terdapat juga hukum-hukum dan instruksi-instruksi sosial seperti berbuat baik kepada orang lain, jihad, salat berjamaah dan lain sebagianya yang hanya dapat terealisir dalam masyarakat sosial. Supaya manusia sampai pada kesempurnaan dan kebahagiaan, maka manusia harus menjalankan dua bagian hukum ini dan dalam merealisir kesempurnaan ril insaniah keduanya diperlukan; artinya tanpa ada salah satunya maka manusia tidak akan dapat meraih kesempurnaan dan kebahagiaan.
Anggota masyarakat apabila mereka mengenal tugas dengan baik, menunaikan hak-hak orang lain, bersikap pengasih terhadap yang lain dan meninginkan kebaikan terhadap orang lain, saling bekerja sama dalam kebaikan, mencoba mencarikan solusi atas setiap masalah yang dihadapi orang lain, pendeknya kebahagiaan dan keceriannya terletak pada kebahagiaan dan keceriaan masyarakat, maka manusia akan menjalani kehidupan yang sehat dan bahagia serta hubungan sosial-kemasyarakatan akan semakin harmonis yang sangat berperan dalam mengantarkan manusia meraih kesempurnaan dan kedekatan Ilahi; atas dasar itu, apabila seluruh instruksi Ilahi dikerjakan dengan motivasi Ilahiah maka seluruh perbuatan akan dihitung sebagai ibadah dan akan menyebabkan manusia semakin mendekat kepada Allah Swt serta menyediakan ruang bagi kebahagiaan dan kesempurnaan manusia.[8] Disebutkan dalam beberapa riwayat tentang ganjaran dan pahala yang melimpah bagi orang-orang yang memenuhi hajat orang-orang beriman. Imam Shadiq As bersabda, “Langkah kaki seorang Muslim yang diayunkan untuk memenuhi hajat Muslim lainnya, lebih baik dari tujuh puluh kali tawaf di Kabah.”[9]
Imam Ali As bersabda, “Tiada seorang Muslim pun yang memenuhi hajat seorang Muslim lainnya kecuali Allah berseru kepadanya bahwa pahalamu sudah menjadi tanggungan-Ku dan Aku tidak akan rela yang kurang dari surga.”[10]
Imam Shadiq As bersabda, “Tiada ibadah yang menandingi ibadah memenuhi hak-hak orang beriman.”[11] Apakah ibadah seperti ini yang dilakujkan dengan motivasi taqarrub ila Llah tidak akan menyampaikan manusia kepada kesempurnaan puncak?
Tanggung jawab-tanggung jawab sosial dan politik para nabi dan para pemimpin Ilahi untuk menegakkan keadilan dapat ditinjau dari sudut pandang ini. Al-Quran dalam hal ini menyatakan, “Sesungguhnya Kami telah mengutus para rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka kitab samawi dan neraca (pemisah yang hak dan yang batil dan hukum yang adil) supaya manusia bertindak adil. Dan Kami menciptakan besi. Pada besi ini terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka memanfaatkannya) dan (juga) supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama) dan para rasul-Nya padahal ia tidak melihat-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Qs. Al-Hadid [57]:25)
Seluruh nabi dan imam memandang bahwa kunci kesuksesan manusia adalah dengan membentuk pemerintahan Islam dan seluruh upaya dan usaha digunakan untuk menegakkan keadilan dalam sebuah pemerintahan Islam sehingga tujuan final pemerintahan, yaitu melambungkan manusia ke tingkatan tertinggi kemanusiaan dan tercahayai dengan cahaya rabbani.[12] Allah Swt juga memerintahkan mereka untuk menegakkan keadilan, “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan kezaliman. Dia memberi nasihat kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Qs. Al-Nahl [16]:90)
Singkatnya dalam pandangan Islam, tujuan penciptan manusia adalah untuk mencapai kesempurnaan dan kebahagian di dunia dan akhirat. Kesempurnaan dan kebahagiaan itu adalah untuk sampai kepada kedekatan dan perjumpaan dengan Allah Swt. Tentu saja hal ini hanya dapat tercapai dengan ketaatan kepada perintah Allah pada seluruh bidang, personal, sosial, politik dan perekonomian – dan ketaatan ini apabila dilakukan dengan motivasi Ilahi dan niat qurbatan ilaLlah maka hal itu tergolong sebagai ibadah dan berperan asli dalam mengantarkan manusia sampai pada kesempurnaan. [iQuest]
[1]. Diadaptasi dari Pertanyaan 6112 (Site: id6319), Jawaban Detil.
[2]. Muhammad Taqi Misbah Yazdi, Akhlâq dar Qur’ân, jil. 2, hal. 42, Transkripsi dan Riset oleh Muhammad Husain Iskandari, Markaz Intisyarat-e Muassasah Amuzesyi wa Pazyuhesy Imam Khomeini, Armagan Basyir Qum, Cetakan Pertama, 1384; Sayid Mujtaba Musawi Lari, Risâlat Akhlâq dar Takâmuli Insân, hal. 21, Markaz Cap wa Nasyr Daftar Tablighat Islami Hauzah Ilmiyah Qum, Cetakan Kelima, 1386.
[3]. Akhlâq Islâmi, hal. 28.
[4]. Diadaptasi dari Indeks No. 224 (Site: 1767), Jawaban Detil.
[5]. Syahid Murtadha Muthahhari, Âzâdi Ma’nawi, hal. 103-108, dengan ringkasan, Shadra, Cetakan Keduapuluh Tiga, 1381; Abdullah Jawadi Amuli, ‘Ali Mazhhar Asmâ Husna Ilahi, hal. 13-16, dengan ringkasan, Markaz Nasyr Isra, Capkhane Uswah, Cetakan Pertama, 1380 dan Syamim Wilâyat, hal. 422 dan 423, Cetakan Pertama, Isra, 1382 S; Muhammad Syujai, Insân wa Khilâfah Ilahi, hal. 25-38, dengan ringkasan, Cetakan Pertama, Muassasah Farhanggi Khidmat Rasa, Teheran, 1362 S; Sayid Abdullah Syubbar, Akhlâq, Terjemahan Persia oleh Muhammad Ridha Jabbaran, hal. 45, Muassasah Intisyarat-e Hijrat, Cetakan Keduabelas, 1386 S.
[6]. Akhlâq Islâmi, hal. 30-31.
[7]. Ibrahim Amini, Âsynâi bâ Islâm, hal. 71 dan 72, Markaz Cap wa Nasyr Daftar Tablighat Islami Hauzah Ilmiyah Qum, Cetakan Kedua, 1386 S.
[8]. Muhammad Muhsin Faidh Kasyani, al-Mahajjat al-Baidhâ, jil. 5, hal. 89, Capkhaneh Shaduq, Teheran; Syaikh Abduali bin Jum’ah, Tafsir Nur al-Tsaqalain, jil. 5, hal. 392, Capkhaneh ‘Ilmiyah, Qum.
[9]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 74, hal. 311, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran.
[10]. Bihâr al-Anwâr, jil. 74, hal. 312
[11]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 2, hal. 170.
[12]. Abdullah Jawadi Amuli, Nisbat Din wa Dunyâ, hal. 25 dan 26, dengan ringkasan, Markaz Nasyr Isra, Cetakan Pertama, 1381 S.