Termasuk hal yang diharamkan (dalam syariat Islam) bagi wanita yang sedang haid adalah melakukan jimak lewat vagina. Hukum keharaman tersebut baik bagi lelaki maupun bagi wanita[1], yaitu apabila alat vitalnya itu masuk seukuran tempat khitannya (kepala alat kelamin) dan walaupun tidak mengeluarkan sperma. Bahkan –secara ihtiyath wajib- tidak boleh memasukkannya walaupun kurang dari seukuran kepala alat vitalnya tersebut. Sementara melakukan jima lewat anus wanita yang sedang haid sangat dimakruhkan (makruh syadid) sekalipun pada hari-hari dimana haid wania masih belum dapat dipastikan. Dan –secara syar'I – harusmenghindari jimak dengan wanita yang sedang haid. Ketika hubungan suami isteri itu dilakukan dengan wanita yang sedang haid, maka hal itu mewajikan dikeluarkannya (membayar)kafarah, sebagaimana dijelaskan di dalam Risâlah Amaliyah.[2]
Jawaban Ayatullah Mahdi Hadawi Tehrani Hf sehubungan dengan pertanyaan diatas adalah sebagai berikut:
Tidak dibenarkan (hukumnya haram) melakukan jimak lewat vagina dengan wanita yang sedang haid. Adapun merasakan kelezatan-kelezatan lainnya selain jimak, seperti seorang suami yang memberikan kepuasan seks kepada isterinya tanpa dukhul (memasukkan alat kelaminnya) hukumnya boleh.
Dengan demikian bahwa suatu hal yang diharamkan bagi wanita yang sedang haid adalah melakukan jimak lewat jalan depan (vagina). Adapun memperoleh kepuasan seks selain jimak, tidak ada larangannya, seperti bercengkrama, mengelus-elus kepala, dan lain sebagainya. [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat:
Indeks: Kepuasan Seksual dan Batasan-batasannya, Pertanyaan No. 551(Site: 601).
Indeks: Tugas Wanita kepada Suaminya, Pertanyaan No. 850 (Site: 925).
Indeks: Melakukan Hubungan Seks dengan Menggunakan Kondom ketika Wanita sedang Haid, Pertanyaan No. 1304 (Site: 1288).
[1].Makarim, melakukan hubungan seks (dengan wanita yang sedang haid) hukumnya haram, baik bagi lelaki maupun wanita.
[2].Sistani, dan hukum keharaman ini tidak meliputi jimak lewat dubur. Zanjani, dan juga tidak boleh memasukkan alat kelamin sekalipun kurang dari tempat khitannya (bagian kepala penis). Lihat: Taudhih al-Masâil Marâji', jil. 1, Masalah 450, hal. 260 – 265.