Pemikiran politik Imam Khomeini Ra (andisyeh siyâsi Imam Khomeini) adalah salah satu bagian dari pemikiran makro beliau dan terpengaruh dari pelbagai dimensi pemikirannya. Mengingat bahwa Imam Khomeini merupakan pribadi multi dimensional yang meninggalkan banyak karya dalam ranah pembahasan irfan, filsafat, teologi dan politik, dan mengingat bahwa beliau merupakan bapak pendiri (founding father) dan pemimpin sebuah negara yang berasaskan pemikiran-pemikiran Islam, maka jelas bahwa pemikiran politik beliau mencakup seluruh konsep yang berlaku pada domain pemerintahan dan masyarakat.
Konsep pemikiran politik Imam Khomeini Ra yang paling sentral dapat disimpulkan antara lain, hubungan antara agama dan politik, keadilan, kebebasan, kemerdekaan, demokrasi, sentralisasi hukum dan aturan, kebudayaan, kesatuan dan persatuan kaum Muslimin, kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin, seruan kepada warga dunia kepada Islam dan penyebaran Islam, menghidupkan identitas nasional-Islam, politik luar negeri berdasarkan nilai-nilai ideal Islam, dan pembelaan terhadap orang-orang tertindas dan tertinggal di seantero dunia.
Andisheh (Persia) secara leksikal bermakna pemikiran, berpikir dan bertafakkur.[1] dan pemikiran politik adalah sekumpulan pandangan dan keyakinan dalam bentuk rasional, logis dan berdalil tentang proses organizing pada kehidupan politik yang dapat bersifat deskriptif atau elaborative. Pemikir politik adalah seseorang yang dapat menyampaikan pandangan dan keyakinannya secara rasional dan logis sedemikian sehingga pemikiran-pemikirannya tidak lagi berupa pandangan dan preferensi-preferensi pribadi.[2]
Pemikiran politik Imam Khomeini Ra adalah salah satu bagian dari pemikiran makro beliau dan terpengaruh dari pelbagai dimensi pemikirannya. Mengingat bahwa Imam Khomeini merupakan pribadi multi dimensional yang meninggalkan banyak karya dalam ranah pembahasan irfan, filsafat, teologi dan politik, dan mengingat bahwa beliau merupakan bapak pendiri (founding father) dan pemimpin sebuah negara yang berasaskan pemikiran-pemikiran Islam, maka jelas bahwa pemikiran politik beliau mencakup seluruh konsep yang berlaku pada domain pemerintahan dan masyarakat.
Imam Khomeini merupakan salah satu pemikir Muslim terbesar pada masa kontemporer dan orang yang mencetak sejarah dalam dunia Islam. Beliau adalah seorang pemikir besar yang menguasai pelbagai bidang ilmu dan dari pelbagai tipologi ini yang membentuk kepribadian multi dimensional Imam Khomeini.
Terdapat banyak karya yang ditulis sehubungan dengan pemikiran politik Imam Khoemini. Karya-karya tersebut membahas pemikiran politik Imam Khomeini dalam ranah politik dan masalah-masalah politik. Jelas bukan di sini tempatnya untuk mengulas secara tuntas pelbagai dimensi pemikiran politik beliau. Karena itu, secara ringkas dan selintasan kita akan meninjau beberapa ranah pemikiran tersebut dan mengarahkan Anda untuk merujuk pada literatur-literatur yang membahas pemikiran-pemikiran tersebut secara rinci.
Tipologi pemikiran politik Imam Khomeini yang paling menonjol dapat disimpulkan sebagaimana berikut:
- Hubungan agama dan politik: Salah satu konsep sentral dalam pemikiran Imam Khomeini adalah hubungan antara agama dan politik. Hubungan antara agama dan politik dalam pemikiran Imam Khomeini sedemikian menonjol dan tipikal sehingga dengannya kita dapat menelusuri batu fondasi pemikiran politik beliau. Keyakinan terhadap kemestian pemerintahan dan pembelaan terhadap keharusan adanya sistem politik (baca: negara) yang berlaku di tengah masyarakat merupakan salah satu pembahasan fundamental dan prinsipil dalam pemikiran politik Imam Khomeini. Imam Khomeini adalah salah seorang ulama yang meyakini keharusan membentuk sistem politik (negara) pada masa okultasi (ghaibat). Dengan menunjukkan dalil-dalil rasional (aqli) dan referensial (naqli), Imam Khomeini menetapkan bahwa pertama inti adanya pemerintahan bagi umat manusia adalah bersifat harus dan mesti. Kedua, pada setiap masa termasuk masa okultasi Imam Maksum As masyarakat memerlukan pemerintahan ideal yang harus diupayakan pendiriannya.[3]
- Keadilan: Keadilan merupakan salah satu konsep kunci yang senantiasa ditegaskan oleh Imam Khomeini Ra. Keadilan termasuk salah satu asas politik sosial sistem politik dalam pandangannya. Imam Khomeini dalam ranah teoritis dan sikap praktisnya memandang bahwa salah satu tujuan terpenting sistem politik adalah menegakkan keadilan. Ia menjelaskan, “Allah Swt berfirman, “Kami mengutus para nabi, Kami memberikan bayyinah kepada mereka, menyampaikan ayat-ayat, memberikan mizan kepada mereka supaya masyarakat menegakkan keadilan sosial di tengah masyarakat.[4] Salah satu pemikiran politik Imam Khomeini adalah menjadikan pemerintahan sebagai media untuk menegakkan keadilan dan nilai-nilai moril di tengah masyarakat. Karena apabila keadilan yang berkuasa pada masyarakat manusia akan bergerak pada jalur kesempurnaan dan kebahagiaan. Namun apabila tidak terdapat tanda-tanda keadilan maka otomatis juga tidak akan terdapat tanda kebahagiaan, kemenangan dan kejayaan.
- Kebebasan: Kebebasan adalah salah satu slogan utama revolusi Islam dan salah satu konsep yang dibela secara fundamental oleh Imam Khomeini. Ia meyakini kebebasan bukan sebagai sebuah slogan (an sich) dan media politik, melainkan menyebutnya sebagai hak-hak pertama manusia. Imam Khomeini menandaskan bahwa merupakan hak pertama manusia adalah bahwa ia harus bebas.[5] Kebebasan berkaitan erat dengan nasib setiap orang yang hidup dalam masyarakat berupa pelbagai kebebasan sipil, sosial, atau kebebasan-kebebasan personal dan individual yang mencakup bidang-bidang keyakinan, pikiran, partai-partai, dan media cetak. Namun tentu saja pelbagai kebebasan ini bukan tanpa tapal batas dan demarkasi. Dalam pandangan Imam Khomeini batasan kebebasan ini adalah sepanjang kebebasan ini tidak menjerumuskan kemaslahatan bangsa dalam bahaya. Imam Khomeini memandang bahwa batas-batas kebebasan adalah aturan-aturan agama dan hukum-hukum negara yang diadopsi dari Islam. Ia menegaskan bahwa di seluruh dunia tidak terdapat batasan antara kebebasan dan konspirasi.[6]
- Kemerdekaan: Kemerdekaan pada seluruh bidang, tiadanya ketergantungan, menafikan intervensi asing, memotong infiltrasi orang-orang asing, tidak berada di bawah pengaruh orang lain dan adanya kehendak mandiri negara merupakan definisi yang dibeberkan Imam Khomeini terkait dengan kemerdekaan.[7]
- Demokrasi: Demokrasi dan peran khusus rakyat dalam menentukan nasib serta peran aktif dalam pelbagai bidang politik dan sosial adalah di antara tema utama pemikiran politik Imam Khomeini. Dalam kaitannya dengan penentuan nasib setiap masyarakat dan bangsa berada di tangan mereka sendiri, Imam Khomeini menyatakan, “Kita tidak boleh memaksakan rakyat kita dan Islam tidak mengizinkan kita memberlakukan kediktatoran. Kita mengikut suara rakyat…”[8]
- Berdasarkan hukum: Menjadikan hukum sebagai panglima merupakan prinsip asasi pemikiran politik Imam Khomeini. Imam memandang wajib bagi setiap orang semenjak pejabat-pejabat rendahan hingga pejabat-pejabat tinggi negara menjalankan hukum yang berlaku. Pemerintahan yang diintroduksi Imam Khomeini tidak menonjolkan pribadi yang menjadi ukuran dan yang menjadi panglima adalah hukum Ilahi. Setiap orang harus menaati dan mengikuti hukum yang berlaku dan tidak terdapat perbedaan di antara setiap orang.[9] Imam Khomeini meyakini bahwa dalam Islam hukum yang memerintah, sedemikian sehingga bahkan Rasulullah Saw pun mengikut dan taat pada hukum.[10]
- Kebudayaan: Imam Khomeini merupakan salah seorang pemikir yang paling berpengaruh pada masa kontemporer Iran. Ia memandang kebudayaan asas dan pijakan bagi masalah-masalah politik dan perekonomian. Ia meyakini apabila kebudayaan dapat berjalan dengan baik dan manusia dibina dengan benar, seluruh problematika yang terjadi di tengah masyarakat akan terpecahkan. Imam Khomeini menegaskan, “Karena itu, kebudayaan adalah sebuah pabrik pencetak manusia, sebagaimana para nabi datang untuk mencetak manusia…”[11] Dalam pandangan Imam Khomeini, kebudayaan sempurna dan pencetak manusia hanya terdapat dalam Islam. Pembinaan masyarakat dan manusia hanya dapat dilakukan melalui kebudayaan Islam. Imam Khomeini menyatakan, “Masalah pembinaan satu umat bermakna kebudayaan umat tersebut harus benar. Kalian harus berusaha membuat kebudayaan mandiri yang bercorak Islam.”[12]
- Kesatuan: Persatuan dan kesatuan antara pelbagai strata masyarakat adalah salah satu pikiran pokok dari pemikiran Imam Khomeini dalam ranah politik. Ia memandang bahwa rahasia kemenangan Revolusi Islam berdasarkan adanya persatuan dan kesatuan. Ia meyakini bahwa salah satu keberkahan Revolusi Islam yang mendatangkan kemuliaan bangsa Iran dan umat Islam adalah masalah persatuan.[13]
- Kemaslahatan: Imam Khomeini meyakini bahwa dari sudut pandang Islam aparat pemerintahan tidak boleh bertindak sesuai dengan pendapat dan pikirannya sendiri serta berkukuh atasnya, melainkan segala sesuatu yang berlaku pada pemerintahan harus berdasarkan hukum-hukum Ilahi, namun penguasa Islam dapat bertindak atas subyek-subyek yang sesuai dengan kemaslahatan kaum Muslimin atau kemaslahatan dalam bidang pemerintahannya.[14] Imam sendiri berulang kali menegaskan, apabila menyangkut kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin maka ia dapat beramal pada perbuatan khusus.[15] Dalil-dalil penerimaan Resolusi 598 juga dapat dinilai sebagai sejajar dengan prinsip ini.
- Dakwah orang sedunia kepada Islam dan penyebaran Islam: Dakwah atau seruan orang sedunia kepada Islam dan penyebaran ajaran-ajaran Islam di antara bangsa-bangsa merupakan salah satu konsep penting pemikiran politik Imam Khomeini. Dakwah kepada Gorbachev pemimpin partai komunis Uni Soviet dapat ditinjau dari sisi ini. Imam menyatakan, “Ajaklah kelompok-kelompok non-Muslim kepada ajaran maju dan pembina keadilan agama Islam.[16]
- Menghidupkan identitas Islam: Menghidupkan identitas Islam merupakan salah satu poros penting pemikiran politik dan perjuangan Imam Khomeini. Imam Khomeini Ra memandang bahwa menghidupkan identitas bangsa-Islam adalah kunci sukses kemerdekaan dan kekuasaan negara serta penghalang ekspansi dan dominasi negara-negara dunia. Ia senantiasa menegaskan bahwa, “Tidak satu pun kemerdekaan yang akan dapat diperoleh kecuali kita mengenal dan meyakini diri sendiri.”[17]
- Politik luar negeri: Politik luar negeri, bagaimana hubungan dengan negara-negara asing dan pola hubungan antara negara-negara Muslim dalam kancah internasional, membela orang-orang tertindas dan tertinggal di seluruh dunia merupakan pembahasan penting dalam pemikiran politik Imam Khomeini. Menolak dominasi bangsa asing (ashl nafi sabil)[18] merupakan salah satu prinsip penting fikih Islam yang berdasarkan prinsip fikih ini Imam Khomeini menentang segala jenis dominasi dan intervensi asing atas urusan kaum Muslimin. Penetangan Imam Khomeini dengan negara-negara tiran, memotong kekuasaan asing dan menolak ketergantungan terhadap kekuasan-kekuasaan asing dalam masalah ini adalah hal-hal yang dapat dijadikan acuan sikap politik luar negeri Imam Khomeini Ra.[19] [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh terkait dengan pemikiran-pemikiran politik Imam Khomeini Ra Anda dapat merujuk pada beberapa literature berikut ini:
- Andisyeh Siyâsi Imam Khomeini, Muhammad Husain Jamsyidi.
- Andisyeh Siyâsi Imâm Khomeini, Yahya Fauzi.
- Darâmadi bar Nazhariyah Siyâsi Imâm Khomeini, Muhammad Ridha Dahsyairi.
- Arkân Andisyeh Siyâsi Imâm Khomeini, Azhim Rafi’ Zadeh.
[1]. Farhangg-e Moein, klausul andisyeh.
[2]. Husain Basyiriyah, Târikh Andisyeh Siyâsi dar Qarn Bistum, hal. 17, Nasyr Nei, Teheran, 1376 S.
[3]. Imam Khomeini, Kitâb al-Ba’i, jil. 2, hal. 619; Imam Khomeini, Syu’un wa Ikhtiyârât Wali Faqih, hal. 23; Shahifah Imâm, jil. 2, hal. 31, Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, Teheran, 1378 S.
[4]. Shahifah Imâm, jil. 15, hal. 213.
[5]. Ibid, jil 5, hal. 387.
[6]. Shahifah Nur, jil. 6, hal. 271; jil. 4, hal. 259; jil. 9, hal. 90, Markaz Madarik Farhanggi Inqilab Islami, Bahman 1362 S.
[7]. Ibid, hal. 16, 490, 236; jil. 4, hal. 277.
[8]. Ibid, jil. 10, hal. 181.
[9]. Ibid, jil. 9, hal. 42.
[10]. Ibid, jil. 10, hal. 29.
[11]. Ta’lim wa Tarbiyat az Didgâh-e Imâm Khomeini, Tibyân (Daftar Hijdahum), hal. 270.
[12]. Shahifah Imâm, jil. 8, hal. 96.
[13]. Shahifah Nur, jil. 5, hal. 141 dan 173.
[14]. Ibid, hal. 461.
[15]. Ibid, jil. 1, hal. 293.
[16]. Ibid, jil. 3, hal. 322.
[17]. Ibid, jil. 9, hal. 258.
[18]. Walan yaj’alaLlah lil kafirin ‘ala Mu’minin sabila.” (Qs. Al-Nisa [4]:141)
[19]. Shahifah Imâm, jil. 4, hal. 317.