Kode Site
fa7001
Ringkasan Pertanyaan
Apabila sumpah syar’i itu dilanggar apakah inti sumpah akan tetap berlaku atau tidak?
Pertanyaan
Apabila sumpah yang dinyatakan mengikut ketentuan syariat dengan menyebut nama Allah itu dilanggar apakah sumpah lainnya harus dijelaskan atau sumpah itu akan tetap berlaku selamanya?
Jawaban Global
Menyatakan sumpah memiliki syarat-syarat dimana dengan adanya seluruh syarat tersebut maka seseorang memiliki tugas dan taklif untuk melaksanakannya. Apabila ia tidak melaksanakannya maka ia harus membayar kaffarahnya.
Apabila satu kali sumpah itu dilanggar maka sumpah tersebut telah batal dan berulangnya pelanggaran tidak akan menimbulkan kaffarah (denda yang harus dibayar untuk menutupinya) bagi perbuatan tersebut. Supaya sumpah itu menjadi sumpah syar’i maka ia harus mengulang menyatakan sumpah itu berdasarkan syarat-syarat yang ada. (menyatakan kembali sumpah syar’i itu).
Apabila satu kali sumpah itu dilanggar maka sumpah tersebut telah batal dan berulangnya pelanggaran tidak akan menimbulkan kaffarah (denda yang harus dibayar untuk menutupinya) bagi perbuatan tersebut. Supaya sumpah itu menjadi sumpah syar’i maka ia harus mengulang menyatakan sumpah itu berdasarkan syarat-syarat yang ada. (menyatakan kembali sumpah syar’i itu).
Jawaban Detil
Sumpah itu terdiri dari dua jenis: Pertama: Sumpah yang dinyatakan untuk mengerjakan atau meninggalkan sesuatu. Kedua: Sumpah untuk menetapkan atau menafikan sesuatu. Sesorang yang menyatakan sumpah untuk menetapkan atau menafikan sesuatu, sekiranya apa yang dikatakan itu benar adanya maka pernyataan sumpah yang dilakukannya itu hukumnya makruh. Dan apabila yang disampaikan itu adalah dusta maka perbuatan dusta ini adalah haram dan termasuk sebagai dosa besar namun tidak menanggung kaffarah sumpah. Namun tidak ada masalah berkata dusta dengan maksud supaya dia dapat menyelamatkan dirinya atau seorang Muslim lainnya dari kejahatan seorang zalim bahkan terkadang berkata dusta itu menjadi wajib. Kalau ia mampu melakukan tauriyyah yaitu tatkala ia menyatakan sumpah ia berniat tauriyyah supaya ia dapat menghindar untuk berkata dusta sesuai dengan prinsip ihtiyâth wâjib.
Apabila seseorang bersumpah untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu, misalnya bersumpah untuk berpuasa atau tidak merokok, apabila ia dengan sengaja menentangnya (mengabaikannya), maka ia harus menyerahkan kaffarah perbuatan tersebut. Artinya kaffarah yang harus ia serahkan adalah membebaskan seorang budak atau mengeyangkan sepuluh orang fakir atau memberikan pakaian kepada mereka. Apabila ia tidak mampu melakukan hal ini maka ia harus berpuasa selama tiga hari[1] dan hal ini terlaksana apabila sumpah tersebut memiliki syarat-syarat sebagaimana berikut ini:
Syarat-syarat Bersumpah:
Pertama: Seseorang yang bersumpah harus berusia dewasa (baligh) dan berakal (âqil). (Dan apabila ia ingin bersumpah demi hartanya maka ia harus telah berusia baligh dan bukan termasuk orang yang kurang waras. Di samping itu, hakim syar’i tidak melarangnya untuk menggunakan harta bendanya). Ia bersumpah dengan memiliki maksud tertentu dan berada dalam kondisi ikhtiar. Karena itu, sumpah yang dinyatakan seorang anak kecil, kurang waras, mabuk dan seseorang telah memaksanya tidak sah. Demikian juga apabila ia bersumpah dalam keadaan marah dan tanpa disertai maksud untuk bersumpah (niat).
Kedua: Pekerjaan yang menjadi obyek sumpah yang ingin dilakukan bukan merupakan pekerjaan haram dan makruh. Demikian juga, pekerjaan yang menjadi obyek sumpah yang ingin ditinggalkan bukan merupakan pekerjaan wajib dan mustahab. Apabila ia bersumpah untuk melaksanakan pekerjaan mubah, maka meninggalkannya tidak boleh lebih baik ketimbang mengerjakannya dalam pandangan masyarakat (urf). Demikian juga, apabila ia bersumpah untuk meninggalkan pekerjaan mubah maka mengerjakannya tidak boleh lebih baik ketimbang meninggalkannya dalam pandangan masyarakat (urf).
Ketiga: Bersumpah dengan salah satu nama Tuhan Semesta Alam yang tidak disebut sebagai nama non-Zat-Nya seperti “Tuhan” dan “Allah” dan juga ia bersumpah dengan nama selain Tuhan, namun sedemikian menyebut nama tersebut sehingga tatkala orang-orang mendengar nama tersebut maka orang-orang memahaminya sebagai Zat Suci Allah Swt, misalnya bersumpah demi Pencipta (Khâliq) dan Maha Pemberi Rezeki (Razzâq) maka sumpahnya sah. Bahkan apabila bersumpah dengan sebuah lafaz tanpa indikasi (qarinah), tampak secara lahir bukan Tuhan, namun ia maksudkan adalah Tuhan maka sesuai dengan ihtiyâth wâjib ia harus melaksanakan sumpah tersebut.
Keempat: Ia harus menyatakan sumpah dengan lisannya. Dan apabila ia menulis atau menyatakan sumpah dalam hatinya maka sumpah tersebut tidak sah. Namun apabila seorang bisu menyatakan sumpah dengan isyarat maka sumpah tersebut sah.
Kelima: Memungkinkan baginya untuk melaksanakan sumpah dan apabila suatu waktu memungkinkan baginya untuk menyatakan sumpah dan setelah itu hingga akhir ia tidak mampu melaksanakan sumpah yang telah ia nyatakan atau ia kesusahan melaksanakannya maka sumpah tersebut harus ia batalkan tatkala ia memang tidak mampu melaksanakannya.[2]
Namun tidak ada masalah berkata dusta dengan maksud supaya dia dapat menyelamatkan dirinya atau seorang Muslim lainnya dari kejahatan seorang zalim bahkan terkadang berkata dusta itu menjadi wajib dan sumpah seperti ini berbeda dengan sumpah yang telah diuraikan di atas.[3]
Karena itu apabila seseorang menyatkan sumpah dengan salah satu nama Allah Swt dan terdapat syarat-syarat yang telah disebutkan kemudian ia melanggar sumpah itu maka kesalahan berpulang pada dirinya sendiri dan ia harus beramal sesuai dengan apa yang telah disebutkkan dalam masalah kaffârah melanggar sumpah.[4] Apabila satu kali sumpah itu dilanggar maka sumpah tersebut telah batal dan berulangnya pelanggaran tidak ada kaffarahnya. Supaya sumpah itu menjadi sumpah syar’i maka ia harus mengulang menyatakan sumpah itu berdasarkan syarat-syarat yang ada. (menyatakan kembali sumpah syar’i itu).[5]
Apabila seseorang bersumpah untuk mengerjakan sesuatu atau meninggalkan sesuatu, misalnya bersumpah untuk berpuasa atau tidak merokok, apabila ia dengan sengaja menentangnya (mengabaikannya), maka ia harus menyerahkan kaffarah perbuatan tersebut. Artinya kaffarah yang harus ia serahkan adalah membebaskan seorang budak atau mengeyangkan sepuluh orang fakir atau memberikan pakaian kepada mereka. Apabila ia tidak mampu melakukan hal ini maka ia harus berpuasa selama tiga hari[1] dan hal ini terlaksana apabila sumpah tersebut memiliki syarat-syarat sebagaimana berikut ini:
Syarat-syarat Bersumpah:
Pertama: Seseorang yang bersumpah harus berusia dewasa (baligh) dan berakal (âqil). (Dan apabila ia ingin bersumpah demi hartanya maka ia harus telah berusia baligh dan bukan termasuk orang yang kurang waras. Di samping itu, hakim syar’i tidak melarangnya untuk menggunakan harta bendanya). Ia bersumpah dengan memiliki maksud tertentu dan berada dalam kondisi ikhtiar. Karena itu, sumpah yang dinyatakan seorang anak kecil, kurang waras, mabuk dan seseorang telah memaksanya tidak sah. Demikian juga apabila ia bersumpah dalam keadaan marah dan tanpa disertai maksud untuk bersumpah (niat).
Kedua: Pekerjaan yang menjadi obyek sumpah yang ingin dilakukan bukan merupakan pekerjaan haram dan makruh. Demikian juga, pekerjaan yang menjadi obyek sumpah yang ingin ditinggalkan bukan merupakan pekerjaan wajib dan mustahab. Apabila ia bersumpah untuk melaksanakan pekerjaan mubah, maka meninggalkannya tidak boleh lebih baik ketimbang mengerjakannya dalam pandangan masyarakat (urf). Demikian juga, apabila ia bersumpah untuk meninggalkan pekerjaan mubah maka mengerjakannya tidak boleh lebih baik ketimbang meninggalkannya dalam pandangan masyarakat (urf).
Ketiga: Bersumpah dengan salah satu nama Tuhan Semesta Alam yang tidak disebut sebagai nama non-Zat-Nya seperti “Tuhan” dan “Allah” dan juga ia bersumpah dengan nama selain Tuhan, namun sedemikian menyebut nama tersebut sehingga tatkala orang-orang mendengar nama tersebut maka orang-orang memahaminya sebagai Zat Suci Allah Swt, misalnya bersumpah demi Pencipta (Khâliq) dan Maha Pemberi Rezeki (Razzâq) maka sumpahnya sah. Bahkan apabila bersumpah dengan sebuah lafaz tanpa indikasi (qarinah), tampak secara lahir bukan Tuhan, namun ia maksudkan adalah Tuhan maka sesuai dengan ihtiyâth wâjib ia harus melaksanakan sumpah tersebut.
Keempat: Ia harus menyatakan sumpah dengan lisannya. Dan apabila ia menulis atau menyatakan sumpah dalam hatinya maka sumpah tersebut tidak sah. Namun apabila seorang bisu menyatakan sumpah dengan isyarat maka sumpah tersebut sah.
Kelima: Memungkinkan baginya untuk melaksanakan sumpah dan apabila suatu waktu memungkinkan baginya untuk menyatakan sumpah dan setelah itu hingga akhir ia tidak mampu melaksanakan sumpah yang telah ia nyatakan atau ia kesusahan melaksanakannya maka sumpah tersebut harus ia batalkan tatkala ia memang tidak mampu melaksanakannya.[2]
Namun tidak ada masalah berkata dusta dengan maksud supaya dia dapat menyelamatkan dirinya atau seorang Muslim lainnya dari kejahatan seorang zalim bahkan terkadang berkata dusta itu menjadi wajib dan sumpah seperti ini berbeda dengan sumpah yang telah diuraikan di atas.[3]
Karena itu apabila seseorang menyatkan sumpah dengan salah satu nama Allah Swt dan terdapat syarat-syarat yang telah disebutkan kemudian ia melanggar sumpah itu maka kesalahan berpulang pada dirinya sendiri dan ia harus beramal sesuai dengan apa yang telah disebutkkan dalam masalah kaffârah melanggar sumpah.[4] Apabila satu kali sumpah itu dilanggar maka sumpah tersebut telah batal dan berulangnya pelanggaran tidak ada kaffarahnya. Supaya sumpah itu menjadi sumpah syar’i maka ia harus mengulang menyatakan sumpah itu berdasarkan syarat-syarat yang ada. (menyatakan kembali sumpah syar’i itu).[5]
[1]. Taudhih al-Masâil (al-Muhassyâ li al-Imâm al-Khomeini), jil. 2, hal. 623.
[2]. Ibid, hal. 624.
[3]. Ibid, hal. 628.
[4]. Diadaptasi dari Pertanyaan 3495 (Site: 3721); Indeks Bersumpah dengan al-Quran dan Tidak Beramal dengan Sumpah itu.
[5]. Imam Khomeini, Istiftâ’ât, jil. 2, hal. 456, bagian Qasam, ‘Ahd dan Nazar, Pertanyaan 1.