Salah satu dalil strandar Islam, sunnah Rasulullah Saw dan para maksum lainnya sebagaimana ayat-ayat al-Quran adalah hujjah bagi kaum Muslimin. Sunnah tersebut berbentuk ucapan, perbuatan dan penetapan maksum yang dapat diakses oleh setiap Muslim.
Ucapan-ucapan dan sabda-sabda para maksum yang disebutkan dalam hadis-hadis dan riwayat-riwayat adalah “qaul al-ma’shum” (ucapan maksum), amalan-amalan dan perbuatan-perbuatan yang mereka lakukan disebut “fi’l al-ma’shum” (perbuatan maksum) dan ketetapan atas ucapan atau perbuatan orang lain disebut sebagai “taqrir al-ma’shum” (ketetapan maksum).
Apabila seorang maksum As melakukan sebuah perbuatan maka hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh (mubah) dilakukan. Dan apabila ia tidak melakukan sebuah perbuatan maka hal itu menunjukkan tidak wajibnya perbuatan tersebut.
Adapun amalan mustahab (anjuran), haram atau makruh sebuah perbuatan tidak dapat dikenali kecuali terdapat dalil atau tanda atau alamat lainnya yang dapat kita gunakan untuk mengenali jenis perbuatan tersebut.
Apabila kita tahu bahwa sebuah perbuatan dilakukan oleh seorang maksum dalam kapasitasnya secara khusus sebagai seorang nabi atau imam maka kita tidak memiliki kewajiban untuk menaatinya dan menjadikannya sebagai teladan.
Namun tatkala kita sangsi bahwa sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang maksum merupakan amalan khususnya atau amalan-amalan yang tidak khusus, prinsip umum dalam taklif menyatakan, “Seluruh taklif yang kita miliki mereka juga miliki kecuali dalam masalah khusus yang terdapat dalilnya, mereka juga memiliki tugas terhadap taklif lainnya.
Petunjuk ucapan imam lebih jelas dari petunjuk perbuatan dan amalannya karena dalam ucapan dan sabda terdapat kemungkinan menggunakan lafaz-lafaz, kalimat-kalimat dan formula-formula khusus yang secara khusus menunjukkan maksud dan menjelaskan hukum secara lebih jelas dan terang.
Adapun bahwa para maksum meninggalkan sebuah kewajiban harus dikatakan bahwa meski mereka dalam banyak hal melakukan taqiyyah dan menginstruksikan sahabat-sahabat mereka melakukan taqiyyah namun tidak terdapat laporan bahwa mereka sendiri meninggalkan sebuah kewajiban seperti salat.
Salah satu dalil standar Islam dalam mengenal tugas-tugas, kewajiban-kewajiban, hak-hak dan lain sebagainya adalah sunnah.
Dalam pandangan Ahlusunnah (Sunni), ucapan, perbuatan dan ketetapan Rasulullah Saw disebut sebagai sunnah. Sementara menurut Syiah, ucapan, perbuatan dan ketetapan seluruh maksum disebut sebagai sunnah. Para Imam Maksum As memiliki kedudukan sebagaimana Rasulullah Saw karena merea diangkat oleh Allah Swt melalui Rasulullah Saw untuk menduduki pos imamah dan mengetahui hukum-hukum Ilahi. Apa yang mereka katakan atau lakukan adalah hukum Tuhan yang berada di sisi mereka dan melalui perantara Rasulullah Saw atau langsung sampai pada mereka.
Imam Ali As bersabda, “Rasulullah Saw mengajariku seribu bab ilmu dari bab-bab ilmu yang masing-masing bab terbuka seribu bab lainnya.”[1] Karena itu, para Imam Maksum As merupakan salah satu sumber dan referensi pensyariatan hukum-hukum dan instruksi-instruksi Ilahi. Ucapan, perbuatan dan ketetapan mereka adalah hujjah bagi kita dan kita memiliki tugas untuk mengamalkannya.
Allah Swt menjadikan kedudukan mereka sedemikian tinggi sehingga kita harus mengambil (mempelajari) apa yang menjadi tugas-tugas dan taklif-taklif dari ereka. Al-Quran menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Qs. Al-Nisa [4]:59) Rasulullah Saw dalam hal ini menyatakan, “Aku tinggalkan dua pusaka berharga di tengah-tengah kalian: Kitab Allah (al-Quran) dan itrah keluargaku (Ahlulbait). Sepanjang kalian berpegang teguh kepada keduanya maka kalian tidak akan pernah sesat selamanya. Keduanya tidak akan berpisah dari satu sama lain hingga menjumpaiku kelak di samping telaga.”[2]
Karena itu mengingat bahwa para maksum diangkat dari sisi Allah Swt maka sunnah mereka juga adalah hujjah dan semua orang wajib menaati mereka.
- Ucapan Maksum
Ucapan-ucapan dan tuturan-tuturan para maksum yang disebutkan dalam hadis-hadis dan riwayat-riwayat disebut sebagai qaul ma’shum. Hukum-hukum Ilahi yang dijelaskan dalam ucapan-ucapan para maksum telah memadai bagi seorang fakih dan mujtahid, sesuai dengan syarat-syaraatnya, untuk bersandar pada ucapan-ucapan tersebut.
Petunjuk ucapan imam lebih jelas dari petunjuk perbuatan dan amalannya karena dalam ucapan dan sabda terdapat kemungkinan menggunakan lafaz-lafaz, kalimat-kalimat dan formula-formula khusus yang secara khusus menunjukkan maksud dan menjelaskan hukum secara lebih jelas dan terang.
- Perbuatan Maksum
Perbuatan-perbuatan dan amalan-amalan yang dilakukan oleh para maksum dinamakan sebagai “fi’il al-ma’shum” (perbuatan maksum).
Ukuran petunjuk perbuatan maksum As adalah bahwa apabila seorang maksum melakukan sebuah perbuatan maka hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut adalah mubah (boleh dan tidak ada masalah mengerjakannya). Namun tidak menunjukkan wajib atau mustahabnya perbuatan tersebut.
Apabila seorang maksum tidak melakukan sebuah perbuatan maka hal itu menunjukkan bahwa perbuatan tersebut minimal tidak wajib. Namun tidak menunjukkan keharaman atau makruhnya perbuatan tersebut kecuali terdapat dalil, tanda atau alamat lainnya sehingga kita memahami perbuatan tersebut adalah perbuatan haram, mustahab, haram atau makruh.[3] Apabila perbuatan tersebut bukan termasuk sebagai perbuatan yang terkhusus pada posisi kenabian atau imamah maka kita memiliki tugas untuk mengikutinya. Akan tetapi apabila kita mengetahui sebuah perbuatan yang dilakukan oleh seorang maksum yang merupakan perbuatan yang terkhusus baginya maka kita tidak memiliki tugas untuk menaati dan menjadikannya sebagai teladan. Seperti kewajiban salat malam atau menikah lebih dari empat istri secara permanen bagi Rasulullah Saw.
Demikian juga tatkala kita ragu bahwa apakah seorang maksum melakukan sebuah perbuatan yang terkhusus baginya atau perbuatan yang tidak terkhusus, maka kita harus menganggapnya tidak sebagai perbuatan yang terkhusus baginya karena Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As pada tingkatan pertama adalah manusia-manusia seperti kita. Dalam hal ini prinsip umum dalam masalah taklif menghukumi bahwa seluruh taklif yang kita miliki juga mereka miliki kecuali dalam hal-hal khusus kita memiliki dalil bahwa mereka memiliki tugas untuk mengerjakan taklif lainnya.
Karena itu dalam hal-hal dimana hukum-hukum dan instruksi-instruksi Ilahi termanifestasi dalam perbuatan dan tindakan maksum, para juris, mujtahid dan kaum Muslimin lainnya dapat bersandar padanya, sesuai dengan syarat-syaratnya dan mengeluarkan fatwa atau beramal berdasarkan perbuatan tersebut. Dengan demikian perbuatan dan amalan maksum ini adalah penjelas hukum syariat namun petunjuknya tidak seukuran dengan ucapan dan perkataan maksum.
- Ketetapan Maksum
Penegasan, persetujuan dan ketetapan para maksum atas ucapan atau perbuatan orang lain disebut sebagai taqrir al-ma’shum.
Proses ketetapan ini dapat dijelaskan sebagai berikut bahwa apabila sebuah ucapan disampaikan di hadapan seorang maksum atau sebuah perbuatan dilakukan di hadapan seorang maksum yang mendapatkan persetujuan dan kerelaan mereka, sedemikian sehingga kerelaan dan persetujuannya dinyatakan atas perbuatan tersebut. Misalnya apabila di hadapan seorang maksum orang-orang mengerjakan wudhu atau salat dalam bentuk tertentu, atau orang-orang menyatakan sesuatu atau menyandarkannya pada maksum dan mereka diam atas perbuatan atau ucapan tersebut, diam ini merupakan pertanda persetujuan dan kerelaan maksum atas perbuatan dan ucapan tersebut yang disebut sebagai ketetapan (taqrir).
Karena apabila ucapan atau perbuatan, menurut syariat merupakan ucapan dan perbuatan salah maka wajib bagi maksum untuk mencegah kesalahan tersebut demi tegaknya amar makruf dan nahi mungkar. Namun ketetapan (taqrir) ini dapat dijadikan sebagai hujjah tatkala memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- Ucapan atau perbuatan tersebut disampaikan dan dilakukan di hadapan maksum dan apabila tidak di hadapan maksum maka beritanya harus sampai kepada maksum dan beliau menyetujui ucapan atau perbuatan tersebut.
- Maksum memperhatikan dan mengetahui ucapan atau perbuatan tersebut.
- Maksum memiliki kemampuan untuk mengabarkan dan mencegah seseorang apabila ia melakukan kesalahan misalnya tidak melakukan taqiyyah.
Karena itu, taqrir (ketetapan) maksum adalah persetujuan atas ucapan atau perbuatan orang lain. Ketetapan seperti ini juga merupakan hujjah bagi mujtahid dan ia dapat bersandar pada ketetapan tersebut berdasarkan syarat-syaratnya.
Dari apa yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa petunjuk ucapan lebih jelas dari petunjuk perbuatan dan amalannya karena dalam ucapan dan sabda terdapat kemungkinan menggunakan lafaz-lafaz, kalimat-kalimat dan formula-formula khusus yang secara khusus menunjukkan maksud dan menjelaskan hukum secara lebih terang. Sementara ukuran petunjuk perbuatan sangat terbatas dan dalam beberapa kondisi tertentu hanya menunjukkan kebolehan atau tidak wajibnya perbuatan.
Dalam menjawab bagian terakhir dari pertanyaan Anda harus kami katakan bahwa meski mereka dalam banyak hal melakukan taqiyyah dan menginstruksikan sahabat-sahabat mereka melakukan taqiyyah namun tidak terdapat laporan bahwa mereka sendiri meninggalkan sebuah kewajiban seperti salat. [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat beberapa indeks terkait berikut:
- Indeks: Lingkup Standar dan Hujjiyah Sunnah, Ringkasan Pertanyaan: Hujjiyah sunnah dalam urusan duniawi atau ukhrawi? Pertanyaan 5831 (Site: 6504)
- Indeks: Ucapan-ucapan Rasulullah Saw dan Wahyu, Ringkasan Pertanyaan “Apakah seluruh ucapan Rasulullah Saw itu wahyu atau tidak? Pertanyaan 4939 (Site: id5215)
[1]. Allamah Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 31, hal. 433.
فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَ آلِهِ عَلَّمَنِي أَلْفَ بَابٍ مِنَ الْعِلْمِ يَفْتَحُ كُلُّ بَابٍ أَلْفَ بَاب.
[2]. Syaikh Hurr al-Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 34.
أَنَّه (ص) قَالَ إِنِّي تَارِكٌ فِيكُمُ الثَّقَلَيْنِ مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا لَنْ تَضِلُّوا كِتَابَ اللَّهِ وَ عِتْرَتِي أَهْلَ بَيْتِي وَ إِنَّهُمَا لَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.
[3]. Muhammad Ridha Muzhaffar, Ushûl al-Fiqh, jil. 2, hal. 57-62, Intisyarat-e Dar al-Ta’aruf, Beirut, Cetakan Keempat, 1403 – 1983