Sehubungan dengan penafsiran ayat 95 surah al-Anbiya, para ahli tafsir (mufassirun) menjelaskan beberapa kemungkinan yang akan disinggung sebagai berikut:
Kemungkinan pertama: Ayat ini berkaitan dengan orang-orang yang binasa dikarenakan oleh kekufurannya. Namun ayat-ayat 55-56 surah al-Baqarah menjelaskan tentang permohonan Nabi Musa As kepada Allah Swt untuk menghidupkan kembali sekelompok orang yang telah binasa bukan karena kekufuran melainkan karena hal yang lain mereka ditimpa azab Ilahi sehingga dengan demikian tidak terdapat kontradiksi dan pertentangan di antara ayat-ayat tersebut.
Kemungkinan kedua: Ayat ini berkaitan dengan raj’at pada akhir zaman dimana Allah Swt berfirman mereka yang tertimpa azab setelah binasa mereka kembali akan hidup dan hal ini tidak berseberangan bahwa umat-umat terdahulu yang tertimpa azab pada waktu itu juga kembali. Dengan demikian, di antara ayat tersebut tidak terdapat kontradiksi.
Ayat-ayat 55 dan 56 surah al-Baqarah: ayat pertama menyatakan, “Dan (ingatlah) ketika kamu berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.” Lalu karena itu halilintar menyambarmu sedang kamu menyaksikannya.” Ayat selanjutnya, " Setelah itu, Kami bangkitkan kamu sesudah kamu mati supaya kamu bersyukur.”
Permohonan Bani Israel ini boleh jadi disebabkan oleh dua dalil:
- Karena kebodohan mereka; mengingat bahwa pemahaman orang-orang bodoh tidak lebih dari apa yang mereka dapat indra sehingga mereka ingin melihat Tuhan dengan mata kepala sendiri.
- Karena sikap keras kepala dan mencari-cari dalih yang merupakan salah satu karakter kaum ini.[1]
Bagaimanapun, mereka dengan lugas berkata kepada Musa, “Selama Tuhan tidak kami saksikan dengan mata (indra penglihatan) ini sekali-kali kami tidak akan beriman!” Tidak ada jalan lain di sini, bahwa supaya mereka dapat dipahamkan mata lahir saja tidak mampu melihat kebanyakan makhluk Tuhan apatah lagi ingin melihat Zat Suci Allah Swt. Akibatnya, karena mencari-cari alasan, terjadi beberapa peristiwa hebat seperti angin taupan yang menghantam gunung, petir yang berkilatan dan bergelegar, gempa bumi yang menyertainya, sedemikian sehingga orang-orang dibuat ketakutan dan berguguran ke bumi.
Nabi Musa As sangat bersedih atas hal ini, karena kejadian tersebut membinasakan tujuh puluh dua orang dari pemimpin Bani Israel sehingga dapat menjadi dalih yang sangat penting bagi Bani Israel yang suka mencari masalah sehingga memunculkan seabrek persoalan baginya. Karena itu, Nabi Musa As memohon supaya mereka kembali hidup dan permohonan ini diterima sebagaimana hal ini disingung dalam al-Quran.[2]
Ayat ini merupakan ayat-ayat yang menyinggung tentang kemungkinan terjadinya raj’at dan kembalinya manusia yang telah meninggal dunia ke dunia ini; karena terjadinya peristiwa itu dalam satu hal menjadi dalil atas kemungkinan terjadinya pada hal-hal lainnya.[3]
Ayat 95 surah al-Anbiya: Allah Swt pada ayat ini berfirman, “Sungguh tidak mungkin (penduduk) suatu negeri yang telah Kami binasakan (lantaran dosa mereka kembali ke dunia ini); mereka tidak akan pernah kembali lagi.” Para ahli tafsir al-Quran, terkait dengan ayat ini, mengemukakan beberapa analisa, yang akan disinggung dalam dua hal sebagai berikut:
- Ayat ini menyinggung tentang orang-orang yang telah kafir kepada Tuhan dan berkukuh dalam kekufurannya. Ayat ini sejatinya menuntaskan hujjah (itmam al-hujjah) atas mereka; karena itu azab Ilahi menimpa mereka disebabkan oleh kekufurannya dan pada akhirnya membinasakan mereka. Karena sesuai dengan ketentuan pasti Ialhi (yang tidak dapat berubah), mereka tidak akan pernah kembali ke dunia ini.[4]
- Sehubungan dengan ayat ini, terdapat beberapa riwayat yang dinukil dari para maksum As yang menyebutkan bahwa ayat ini bertautan dengan masalah raj’at yang diyakini oleh orang-orang Syiah. Sebagai contoh, Imam Shadiq As bersabda, “Sebuah kaum yang layak menerima azab dan Allah Swt membinasakan mereka tidak akan kembali dalam raj’at. Mereka hanya akan hidup (kembali) pada hari Kiamat, namun pada waktu raj’at, orang-orang beriman murni dan orang-orang kafir murni serta orang-orang yang belum binasa dengan azab Ilahi akan kembali (ke dunia ini).”[5]
Karena itu, dengan perbandingan singkat di antara dua ayat yang mengemuka pada pertanyaan, maka kita akan memahami falsafah adanya perbedaan ini; karena pertama: sesuai dengan makna pertama ayat 95 surah al-Anbiya (21) kandungannya ini adalah (untuk) orang-orang yang kafir kepada Tuhan dan mereka berkukuh dalam kekufurannya sehingga ayat ini menuntaskan hujjah atas mereka; karena itu azab Ilahi menimpa mereka disebabkan oleh kekufurannya dan pada akhirnya membinasakan mereka.
Adapun kandungan ayat 55 dan 56 surah al-Baqarah adalah orang-orang beriman yang melakukan dosa dan kesalahan berkata, “Hai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.” Namun mereka tidak layak menerima azab sebagaimana bagian pertama. Dengan demikian, hukum dan aturan berkaitan dengan bagian pertama (tidak kembalinya ke dunia) tidak mencakup kelompok kedua dan hidupnya mereka kembali tidak berseberangan dengan ayat 95 surah al-Anbiya.
Kedua, meski raj’at merupakan sebuah aturan umum namun harap diperhatikan bahwa aturan umum ini dapat dispesifikasi dan berdasarkan makna kedua yang telah dijelaskan dari ayat 95 surah al-Anbiya dan sebagian hadis, orang-orang yang telah binasa dengan azab Ilahi, dan termasuk di antara orang-orang zalim, tidak akan mengalami raj’at terminologis sebagaimana yang diyakini oleh Syiah.[6] Meski sesuai dengan penegasan al-Quran, kembali ke dunia terjadi pada sebagian umat terdahulu; misalnya hidupnya kembali Nabi Uzair setelah seratus tahun meninggalnya[7] dan hidupnya orang-orang mati sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Isa As[8] dan hidupnya kembali sebagian orang dari Bani Israel yang tertimpa azab, yang disinggung pada ayat 55 dan 56 surah al-Baqarah. [iQuest]
[1]. Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 257.
[2]. Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 257 & 258.
[3]. Tafsir Nemune, jil. 1, hal. 258; Sayid Abdulhusain Thayyib, Athyâb al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 2, hal. 37, Intisyarat-e Islam, Teheran, Cetakan Kedua, 1378 S; Tafsir al-Shâfi, Mulla Muhsin Faidh Kasyani, jil. 1, hal. 133 dan 134, Intisyarat-e Shadra, Teheran, Cetakan Kedua, 1415 H; dan kitab-kitab tafsir lainnya.
[4]. Fadhl bin Hasan Thabarsi, terjemahan Persia Majma’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an, Mutarjiman, jil. 16, hal. 162, Intisyarat-e Farahani, Teheran, Cetakan Pertama, 1360; Muhammad Jawad Mughniyah, Tafsir al-Kâsyif, jil. 5, hal. 298, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1424 H; Tafsir Jâmi’, jil. 4, hal. 369, Intisyarat-e Shadr, Teheran, Cetakan Keenam, 1366 S.
[5]. Sayid Muhammad Ibrahim Burujerdi, Tafsir Jâmi’, jil. 1, hal. 77; Muhsin Qira’ati, Tafsir Nur, jil. 9, hal. 496, Markaz Farhanggi Dars-ha-ye az Qur’an, Teheran, Cetakan Kesebelas, 1383 S; Mulla Fathullah Kasyani, Tafsir Minhâj al-Shâdiqin fi Ilzâm al-Mukhâlifin, jil. 6, hal. 106 & 107, Kitabpurusyi Muhammad Hasan ‘Ilmi, Teheran, 1336 S; Ali Ibrahim Qummi, Tafsir al-Qummi, jil. 1, hal. 25, Dar al-Kitab, Qum, Cetakan Keempat, 1367 S; Muhammad Tsaqafi Tehrani, Tafsir Rawân Jâwid, jil. 3, hal. 578, Intisyarat-e Burhan, Teheran, Cetakan Ketiga, 1398 S; Sayid Hasyim Bahrani, al-Burhân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 1, hal. 91, Bunyad-e Bi’tsat, Teheran, Cetakan Pertama, 1416 H.
[6]. Silahkan lihat, Ja’far Subhani, Muhadhârat fi al-Ilahiyyât, dengan sedikit ringkasan: Rabbani Gulpaigani, hal. 429, Nasyr Muassasah Imam Shadiq As, Cetakan Ketujuh, 1425 H.
[7]. “(Ataukah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya? Ia berkata, “Bagaimana mungkin Allah akan menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” Maka Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya, “Berapa lama kamu tinggal di sini?” Ia menjawab, “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman, “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini selama seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah (dengan berlalunya masa itu). Dan lihatlah keledaimu (yang telah hancur menjadi tulang-belulang). Kami akan menjadikanmu sebagai tanda kekuasaan Kami bagi manusia. Dan lihatlah kepada tulang-belulang keledai itu bagimana Kami menyusunnya kembali, lalu Kami membalutnya dengan daging.” Maka, tatkala telah nyata baginya (bagaimana Allah menghidupkan segala yang telah mati), ia pun berkata, “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Qs. Al-Baqarah [2]:259)
[8]. “Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Isra’il (yang berkata kepada mereka), “Sesungguhnya aku telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhan-mu, yaitu aku membuat untukmu dari tanah seperti bentuk burung; kemudian aku meniupnya, maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan aku memberitahukan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman.” (Qs. Ali Imran [3]:49)