Rasulullah Saw sesuai dengan kehendak Allah Swt dan ketetapan-Nya tidak belajar dan tidak pernah mengenyam pendidikan dari seorang guru serta tidak pernah menulis sebuah kitab pun. Sebab ketetapan Ilahi ini juga sangat jelas.
Mukjizat abadi Rasulullah adalah sebuah kitab yang bernama al-Quran. Menulis kitab bagi seseorang yang pernah mengenyam pendidikan biasanya bukanlah sebuah pekerjaan mustahil atau minimal syubha (kesamaran) ini tercipta bagi sebagian orang bahwa boleh jadi kitab ini (al-Quran) adalah hasil dari percikan-percikan pemikiran dan ajaran para guru Muhammad Saw.
Dari para Imam Maksum As kecuali Imam Ali As dan Imam Sajjad As itu pun disebabkan oleh beragam sebab misalnya tugas imamah dan kepemimpinan sosial masyarakat, adanya situasi masa khusus, karena sudah memiliki murid-murid dan penulis hadis, sehingga tidak ada sebuah kitab pun dari mereka yang sampai ke tangan kita.
Pertanyaan Anda dapat ditinjau dari beberapa pandangan.
- Terkait dengan diri Rasulullah Saw: Rasulullah Saw hidup dalam kondisi yang sangat khusus. Sesuai dengan kehendak Allah dan ketetapan-Nya, Rasulullah Saw sama sekali tidak pernah mengeyam pendidikan di hadapan seorang guru dan tidak pernah menulis sebuah buku. Sebab takdir Ilahi ini juga sangat jelas. Mukjizat abadi Rasulullah Saw adalah sebuah kitab yang bernama al-Quran. Menulis kitab bagi seseorang yang pernah mengenyam pendidikan biasanya bukanlah sebuah pekerjaan mustahil atau minimal syubha (kesamaran) ini tercipta bagi sebagian orang bahwa boleh jadi kitab ini (al-Quran) adalah hasil dari percikan-percikan pemikiran dan ajaran para guru Muhammad Saw. Karena itu, al-Quran menyatakan, “Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Qur’an ini) suatu kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu kitab dengan tanganmu; andai kata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang-orang yang ingin mengingkari(mu).” (Qs. Al-Ankabut [29]:48)
Dengan demikian, benar bahwa membaca dan menulis termasuk sebagai kesempurnaan bagi setiap orang namun terkadang kondisi menuntut sehingga tidak pandai membaca dan tidak pandai menulis merupakan sebuah kesempurnaan. Dan hal ini boleh jadi sesuai dengan kondisi yang dialami oleh para nabi khususnya Nabi Muhammad Saw, karena apabila seorang alim yang telah menuntut ilmu, filosof yang tahu dan banyak telaah, mengklaim diri sebagai seorang nabi dan menyodorkan sebuah kitab sebagai kitab samawi, dalam kondisi seperti ini boleh jadi was-was dan keraguan muncul bahwa apakah kitab dan alirannya merupakan produk pemikirannya sendiri? “Boleh jadi hal ini ada supaya tidak ada dalih bagi para penentang Islam, Rasulullah Saw bahkan setelah kenabiannya juga tidak menulis sesuatu,[1] namun mempelajari seluruh ilmu dari wahyu Ilahi.”[2]
- Mengapa Para Imam Maksum As tidak menulis sebuah kitab?
Apa yang disampaikan dalam bentuk pertanyaan ini secara mutlak tidak dapat dibenarkan; mengingat Imam Ali As yang merupakan ayah para Imam Maksum As menulis sebuah kitab yang terkenal yang dikenal oleh anak-anaknya yang maksum sebagai Kitab Ali As.[3] Dari Imam Sajjad As juga kita mewarisi kitab Shahifah Sajjâdiyah. Benar! Dewasa ini kitab yang bernama Kitab Ali tidak berada di tangan kita.
Terkait dengan tafsir al-Quran juga orang pertama yang mengumpulkan al-Quran adalah Ali As yang menyebutkan sebab dan kondisi pewahyuan (sya’n al-nuzul) dan sebagian tafsir di dalamnya. Namun disebabkan oleh sebagian peristiwa yang terjadi pada masa awal-awal kedatangan Islam yang dilakukan oleh para khalifah dan umat yang mengikut mereka, al-Quran yang dikumpulkan oleh Imam Ali As tidak diterima.[4]
Namun selain tulisan-tulisan ini yang ditulis oleh para Imam Maksum, tidak ada laporan yang menyatakan bahwa ada tulisan lain yang mereka tulis. Sebabnya dapat diringkas menjadi beberapa dalil sebagai berikut:
- Tugas-tugas Imamah dan Kepemimpinan Sosial Umat
Tugas-tugas yang diemban di pundak imam pada setiap masa sedemikian luas dan menjuntai sehingga menulis kitab sangat kecil bandingannya dengan tugas-tugas tersebut. Imam bukan seorang penulis dan penyusun kitab. Dia adalah seorang pemimpin yang menjabat kepemimpinan lahir dan batin umat. Tugasnya adalah membina dan menggembleng manusia-manusia suci serta mujahid yang dapat berkorban jiwa dan raga demi Islam. Tugas imam adalah mengurus seluruh urusan duniawi dan ukhrawi umat manusia. Meski urusan ini mungkin saja menjadi urusan penting namun mengingat imam As senantiasa sibuk mengurus hal-hal yang lebih penting sehingga imam tidak meluangkan waktunya untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti ini kecuali yang sangat dibutuhkan masyarakat. Kebutuhan dan keluasan waktu nampaknya hanya dimiliki pada masa Imam Ali As dan Imam Sajjad As.
- Kondisi-kondisi Zaman yang Khusus
Dalil ini dapat ditinjau dari dua sisi: Pertama: Tiadanya sambutan dan perhatian masyarakat. Disebabkan kondisi yang diciptakan oleh pelbagai pemerintahan korup sehingga pada masa itu masyarakat tidak menaruh perhatian terhadap kelayakan Ahlulbait As dan sebab utama mengapa para Imam Ahlulbait As lebih memilih berdiam diri di rumah adalah karena tiadanya sambutan dan perhatian masyarakat.
Meski tiadanya sambutan masyarakat ini sama sekali tidak mengurangi kedudukan dan derajat Ahlulbait As. Sebenarnya yang merugi atas hal ini adalah masyarakat sendiri. Namun bagaimanapun untuk menunjukkan sebuah pendapat, pikiran atau tulisan yang mengandung tipologi seperti ini, kesiapan sosial amat sangat dibutuhkan. Kedua, adanya atmosfer taqiyyah pada masa tersebut. Atmosfer yang mencekik ini tidak hanya berhubungan dengan setiap hal yang disampaikan oleh para Imam Maksum atau sebuah surat yang ditulis bahkan juga terkait dengan kitab-kitab para sahabat imam. Salah seorang sahabat Imam Jawad berkata kepada Imam Jawad As: “Para guru kami menukil dan menulis riwayat-riwayat dari Imam Baqir As dan Imam Shadiq As. Namun karena kuatnya intensitas taqiyyah mereka menyembunyikan kitab-kitab mereka dan tidak disebarkan di tengah masyarakat. Dalam kondisi seperti ini apa yang harus kami lakukan? Imam Jawad As bersabda, “Tidak ada masalah dalam kitab-kitab tersebut. Sebarkanlah.”[5] Dengan demikian di antara dalil terpenting mengapa para Imam Maksum As enggan menulis bahkan sebuah surat (apatah lagi menulis sebuah kitab) adalah karena atmosfer taqiyyah yang sedemikian mencekik. Aparat penguasa Bani Umayah dan Bani Abbasiyah sepanjang masa imamah para Imam Maksum secara ketat mengawasi mereka. Kondisi seperti ini terkadang melemah dan terkadang menguat. Namun kesemuanya hidup dalam kondisi taqiyyah sedemikian sehingga Imam Baqir As bersabda, “Taqiyah adalah agamaku dan agama para datukku.”[6]
- Murid-murid dan Penulis-penulis Hadis
Tugas menulis hadis-hadis dan sabda-sabda para Imam Maksum As dipikul oleh sebagian sahabat dan murid imam yang terkenal sebagai muhadits (ahli hadis). Karena itu, hadis-hadis para Imam Maksum As dapat kita warisi buah usaha dan upaya para sahabat imam. Karena para imam tidak menulis hadis-hadis ini yang membuatnya tetap utuh dan tidak sirna. Benar! Boleh jadi disebutkan bahwa apabila para Imam Maksum As sendiri menulis sebuah kitab apakah tidak akan memunculkan perbedaan pendapat?” Tentu saja tidak demikian; karena apabila para Imam Maksum As menulis kitab maka kitab mereka sebagaimana kitab-kitab para sahabatnya tidak akan aman dan selamat dari tangan-tangan usil penyimpang, bahkan dengan usaha keras, mereka akan menyelewengkan kitab-kitab lebih dari kitab-kitab para sahabat. Dan tentu saja intensitas kesesatan masyarakat dengan kitab-kitab yang telah mengalami penyelewengan dan disandarkan kepada para Imam Maksum As lebih besar. Mengingat masyarakat dan bahkan para ahli hadis akan menilai bahwa karena kitab-kitab ini disandarkan kepada para Imam Maksum As maka tidak terdapat kesalahan pada kitab-kitab tersebut sehingga harus dikoreksi dan diedit. Karena itu, tidak terdapat kegunaan bagi para Imam Maksum As untuk menulis kitab.
Akhir kata kami ingatkan bahwa apa yang Anda sebut sebagai “Banyak kontradiksi dalam kitab-kitab hadis” adalah hal yang keliru. Benar bahwa terdapat sebagian kontradiksi secara lahir pada hadis-hadis namun kontradiksi itu dapat diselesaikan dan dicarikan jalan keluarnya oleh ulama. Hadis-hadis kita sepanjang sejarah berulang kali telah mengalami koreksi dan perbaikan serta dalam ucapan para juris pelbagai kontradiksi-kontradiksi secara lahir ini dapat diselesaikan dan dipecahkan dengan baik. [iQuest]
Untuk telaah lebih jauh tentang masalah ini kami persilahkan Anda untuk merujuk pada Pertanyaan 1937 (Site: 2185) Mengidentifikasi dan Membedakan Hadis-hadis Shahih.
[1]. Murtadha Muthahhari, Payâmbar-e Ummi, hal. 6, Intisyarat-e Shadra, Teheran, 1378 S.
[2]. Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 16, hal. 308, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1374 S.
[3]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 41, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[4]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat Pertanyaan 4678 (Site: 4954)
[5]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 53.
[6]. Al-Kâfi, jil. 2, hal. 219.