Apabila seseorang merujuk pada buku al-Khomeini wa al-Daulah al-Islâmiyah (Khomeini dan Pemerintahan Islam) maka akan ia jumpai bahwa penyandaran kepada Syaikh Jawad Mughniyah ini semata-mata adalah dusta. Ia dalam buku tersebut secara asasi tidak berada pada tataran perbandingan dan komparasi antara dua orang tersebut, melainkan menegaskan bahwa mustahil membandingkan antara seorang alim dan marja taklid dengan seorang maksum bahkan pada tataran perbuatan yaitu tataran aktifitas-aktifitas keagamaan, karya dan keberkahannya pada masyarakat, apatah lagi pada maqam dan derajat maknawinya.
Syaikh Mughniyah di sini berada pada tataran menjelaskan dua jenis marah yang keluar dari manusia-manusia saleh tatkala melakukan amar makruf dan nahi mungkar. Karena itu, tatkala ia ingin menjelaskan sifat amar makruf Imam Khomeini di hadapan Ridha Syah, ia berkata, “Sifat dan tipologi ini tidak berasal dari jenis amarah yang lekas hilang melainkan jenis amarah yang kuat yang tidak akan sirna, kecuali denngan tumbangnya thagut pada zamannya yaitu Syah Iran, seperti apa yang dilakukan oleh Hadhrat Musa di hadapan Fir’aun.
Jawaban dari model pertanyaan seperti ini dapat ditelusuri dalam beberapa fokus bahasan:
1. Penyadaran dusta kepada ulama Syiah dan penyelewangan ucapan-ucapan mereka.
2. Isyarat kepada pandangan Syaikh Jawad Mughniyah sekaitan dengan para nabi Ilahi khususnya Nabi Musa As.
3. Menyoroti pandangan Syaikh Jawad Mughniyah sehubungan dengan beberapa perbedaan antara maksum dan non-maksum.
4. Menjelaskan maksud Syaikh Jawad Mughniyah dalam sebuah subyek yang sebagian orang menyimpulkan sebagai keunggulan Imam Khomeini atas Nabi Musa As.
Sesuai dengan urutan pertanyaan di atas kami akan menganalisa dan mengkaji subyek-subyek bahasan di atas sebagai berikut:
Pertama, jelas bahwa tatkala kaum Wahabi tidak kuasa menghadapi pemikiran dan dalil-dalil ilmiah Syiah, mereka menyelewengkan dengan menyampaikan tuduhan dan pelbagai jenis dusta kepada Syiah. Dalam masalah ini, cukup Anda merujuk pada satu buku dari buku-buku mereka atau situs internet mereka Anda dapat dengan mudah melihat realitas ini.
Jenis-jenis dusta dan tudingan tidak berdasar ini juga disandarkan kepada seorang alim Syiah, Syaikh Muhammad Jawad Mughniyah. Tudingan itu menyasar pada keunggulan dan keutamaan Imam Khomeini Ra atas Nabi Musa As yang akan dijelaskan nantinya dari jawaban ini.
Kedua, pandangan Syaikh Jawad Mughniyah dalam masalah para nabi khususnya Nabi Musa.
Syaikh Jawad Mughniyah berkata tentang kemaksuman para nabi, “Kaum Muslimin meyakini bahwa semenjak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad Saw demikian juga para nabi adalah orang-orang yang terjaga dari dosa dan maksiat. Yang dimaksud dengan kemaksuman (ishmah) adalah bahwa sesuai dengan hukum akal nabi harus terjaga dari kesalahan dan kekeliruan segala yang berkaitan dengan agama dan hukum-hukum Ilahi.[1] Nabi harus berada pada tataran tertinggi kesucian, kekudusan, pengenalan kepada Tuhan dan taklif-taklif Ilahi dan mustahil mereka menentangnya dengan sengaja atau tidak sengaja.[2] Pandangan Mughniyah ini terkait dengan para nabi berlaku secara umum. Namun terkait dengan Nabi Musa As, Syaikh Mughinyah banyak membahasnya yang menunjukkan sikap berani dan prawira. Di sini kami akan mencukupkan dengan menyebut satu contoh dari sikap prawira yang didemonstrasikan secara atraktif oleh Nabi Musa As di hadapan Fir’aun.
Syaikh Jawad Mughniyah dalam menafsirkan ayat, “Kemudian Kami utus Musa sesudah sebagian rasul itu dengan membawa ayat-ayat Kami kepada Fir’aun dan para pemuka kaumnya, lalu mereka menzalimi ayat-ayat itu. Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang membuat kerusakan,” (Qs. Al-A’raf [7]:103) katanya, “Pronomina (dhamir) “sebagian rasul” (ba’dihim) kembali pada lima nabi yaitu Nuh, Hud, Shaleh, Luth, dan Syu’aib As atau pada kaum mereka dan ayat-ayat yang dengannya Musa diutus, mukjizat Nabi Musa As dan para pengikut Fir’aun. Orang-orang yang nasib masyarakat berada di tangan para pengikut Fir’aun dan selain mereka tidak ada jalan lain kecuali menyerah dan tunduk patuh di hadapan mereka. Adapun makna “zhalamu bihâ” (menzalimi ayat-ayat itu) pada ayat di atas adalah pengingkaran dan sikap kufur (menutupi) ayat-ayat tersebut di hadapan ayat-ayat dan mukjizat Ilahi. “Fanzhur kaifa kana ‘aqibat al-mufsidin.” “Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang membuat kerusakan,” (Qs. Al-A’raf [7]:103)
Yang dimaksud dengan orang-orang yang membuat kerusakan pada ayat di atas adalah Fir’aun dan para pengikutnya yang menjadikan manusia sebagai budak dan belian mereka. Dan Musa berkata, “Hai Fira’un, sesungguhnya aku ini adalah seorang utusan dari Tuhan semesta alam.” (Qs. Al-A’raf [7]:104)
Nabi Musa As dengan seruannya (wahai Fir’aun) yang memanggil Fir’aun sebagai thagut dan tiran pada zamannya. Sama sekali tanpa penghormatan dan pengagungan. Karena Nabi Musa As berkata-kata dengan lisan Tuhan dan sedang menjalankan risalah Ilahi. Beliau menyampaikan firman-firman Tuhan bahwa setiap orang yang besar seberapapun besarnya kerdil di hadapan-Nya. Fir’aun yang menjadikan Bani Israel sebagai budak dan mempekerjakan mereka dengan pekerjaan-pekerjaan sukar dan berat, Nabi Musa As memintanya untuk membebaskan mereka dan mempekerjakan mereka dengan pantas. Atau membiarkan mereka kemana mereka suka. Sebagai jawaban atas permintaan Nabi Musa ini, Fir’aun berkata kepadanya, “Siapakah engkau (berani-beraninya) memberikan perintah sedemikian kepadaku?” Nabi Musa As bersabda, “Sesungguhnya Aku ini adalah utusan Tuhan.” Fir’aun berkata, “Apakah engkau memiliki dalil dan bukti atas klaimmu itu?”[3]
Dari ucapan (Fir’aun) ini dapat disimpulkan bahwa Fir’aun beranggapan bahwa Musa tidak benar dalam klaim risalahnya. Ia ingin memojokkan Musa di hadapan masyarakat. Namun Musa As menunjukkan dalil kuat dan mukjizat yang meyakinkan di hadapannya, “Musa melemparkan tongkatnya lalu seketika itu juga menjadi ular yang sebenarnya.”[4] Artinya tongkat seketika berubah menjadi ular yang sebenarnya dan Nabi Musa sedang tidak mempraktikan sihir. Melihat hal ini, Fir’aun ketakutan di hadapan Musa, namun segera menenangkan dirinya. Artinya berupaya menunjukkan dirinya belum kalah. Lantaran ia telah mengklaim dirinya sebagai Tuhan, “Ana Rabbukum al-‘ala.” Musa mendemonstrasikan mukjizat lainnya, “Dan ia mengeluarkan tangannya, maka ketika itu juga tangan itu menjadi putih bercahaya (kelihatan) oleh orang-orang yang melihatnya.” (Qs. Al-A’raf [7]:108)[5]
Di sinilah Fir’aun tertunduk hina, terpencundagi dan kehebatan buatannya dikalahkan. Orang-orang yang hadir di sekelilingnya menyaksikan kekalahan Fir’aun ini. Mereka melihat bagaimana Nabi Musa membuat Fir’aun terpuruk dan menyeretnya turun dari kedudukannya. Para pengikut Fir’aun berupaya menolong Fir’aun, “Para pemuka kaum Fira’un berkata, “Sesungguhnya Musa ini adalah ahli sihir yang pandai.” (Qs. Al-A’raf [7]:109) Perkataan para pemuka Fir’aun ini adalah tuduhan yang disandarkan kepada orang-orang suci….”[6]
Dengan demikian, Musa menyeret tiran dan penjahat terbesar yaitu Fir’aun ke lembah kehinaan. Kemarahan Musa As adalah kemarahan Ilahi. Perbuatannya untuk Tuhan dan menjalankan tugas dari sisi-Nya.
Demikianlah sikap Nabi Musa As di hadapan Fir’aun. Namun sikapnya di hadapan saudaranya, Harun, terjadi ketika masyarakat (Bani Israel) menjadi penyembah sapi… Lima’ubudu al-ijla min ba’dihi..
Maksud mengapa kita membeberkan penjelasan Mughniyah dalam bahasan ini adalah untuk menolak tuduhan yang dilontarkan kepadanya terkait dengan perbandingan antara Imam Khomeini dan keunggulannya atas Nabi Musa As dan kebetulan mereka memanfaatkan kisah ini dan kemudian menyimpangkannya. Karena itu, mari kita perhatikan ucapan-ucapan Mughniyah hingga kita lihat bagaimana ia mencirikan Nabi Musa As: “Sesungguhnya Musa adalah pemilik tekad kuat, kehendak kokoh, kepercayaan diri yang tinggi, dan Harun seluruh keutamaannya setingkat di bawah Musa. “Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati, ia berkata, “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu (dan protes atas perpanjangan waktu perjanjian itu)?” Dan Musa pun melemparkan alwâh itu dan memegang (rambut) kepala saudaranya, (Harun) sambil menariknya ke arah dirinya. Harun berkata, “Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku. Sebab itu, janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim.” (Qs. Al-A’raf [7]:150) Kemudian setelah itu, Musa menjadi lembut dan menyampaikan sikap pengasihnya kepada saudaranya, “Musa berdoa, “Ya Tuhanku, ampunilah aku dan saudaraku dan masukkanlah kami ke dalam rahmat-Mu, dan Engkau Mahakasih di antara para pengasih.” (Qs. Al-A’raf [7]:151) Nabi Musa memohon ampunan atas sikap keras yang dilakukan kepada saudaranya dan atas ketakutan saudaranya dalam memberikan petunjuk dan mengembalikan (Bani Israel) kepada syirik dan kemurtadan…
Pastilah Tuhan menerima doa Nabi Musa As, karena Dia adalah Mahakasih di antara para pengasih dan mengetahui iman dan keikhlasan Musa dan Harun As. [7]
Dengan penjelasan dua paragraf dari ucapan-ucapan Mughniyah kita saksikan bahwa dalam pandangannya, Musa memiliki dua jenis kemarahan. Pertama kemarahan tetap dan kuat yang tidak akan hilang kecuali dengan kemusnahan Fir’aun dan keselamatan Bani Isari serta terealisirnya janji Ilahi. Kedua, kemarahan yang segera sirna setelah beberapa saat dan kemarahannya itu ditujukan kepada saudaranya Harun. Jelas bahwa kita tidak boleh menyamaratakan kemarahan Musa kepada tiran pada masanya dan kemarahannnya kepada Harun. Dan pasti kedua jenis kemarahan bertitik tolak dari masalah amar makruf dan nahi mungkar.
Ketiga, menyimak pandangan Mughniyah terkait dengan maksum dan non-maksum.
Mughniyah dalam bukunya, “al-Khomeini wa al-Daulah al-Islamiyah” menyebutkan perbedaan antara seorang juris dan maksum. Ia meyakini bahwa kita tidak boleh mensejajarkan kedudukan dan derajat seorang juris dan seorang maksum. Meski juris tersebut berada pada tingkatan dan derajat yang tinggi. Jawad Mughniyah dalam hal ini berkata, “Perbedaan derajat dan kedudukan – antara maksum dan juris – pada akhirnya berujung pada perbedaan pengaruh keduanya. Maksum memiliki wilayah atas orang kecil dan orang besar bahkan mujtahid adil, sementara juris dan mujtahid hanya memiliki wilayah atas manusia baligh (dewasa). Alasannya karena hubungan antara maksum dan juris persis sama hubungannya antara seorang awam dan juris adil.[8]
Keempat, maksud Mughniyah dalam masalah yang sebagian orang menyimpulkannya sebagai keunggulan Imam Khomeini atas Nabi Musa.
Dari penjelasan sebelumnya, menjadi terang bahwa Syaikh Mughniyah tidak berada pada tataran komparasi antara kedudukan Nabi Musa As dan Imam Khomeini, melainkan ia tengah menjelaskan dua jenis kemarahan para wali Allah tatkala menunaikan kewajiban amar makruf dan nahi mungkar. Tatkala ingin menjelaskan tipologi amar makruf dan nahi mungkar Imam Khomeini, Syaikh Jawad Mughniyah berkata, “Sifat (marah) dalam diri Imam Khomeini ini tidak akan cepat sirna,”[9] melainkan termasuk jenis sifat yang tidak akan sirna kecuali sirna dan musnahnya thagut dan tiran masanya yaitu Muhammad Ridha Syah (sebagaimana hal ini berlaku pada masa Nabi Musa As di hadapan Fir’aun).
Setelah inti persoalan dan hakikat masalah menjadi jelas, sebagai akhir kami akan menukil persis ucapan Mughniyah dalam buku al-Khomeini wa al-Daulah al-Islamiyah untuk menunjukkan bagaimana satu kelompok (Wahabi) yang memutarbalikkan kenyataan dan kebenaran dengan menggunakan segala cara serta siap (kapan saja diperlukan) untuk menyimpangkan kebenaran.
Amar Makruf
Para juris berkata, “Salah satu syarat kewajiban amar makruf adalah tiadanya rasa takut atas kerugian yang ditimbulkan.” Sementara Imam Khomeini menandaskan, mengapa rasa takut menjadi penghalang amar makruf dan nahi mungkar. Amar makruf itu wajib hukumnya walau pun akibatnya harus dipenjara, diasingkan dan dibunuh. Karena para wali Allah berada di jalan ini dan untuk menggapai keridhaan Tuhan mereka rela mengorbakan jiwa.
Tuturan-tuturan ini bukan hanya kemarahan dan kegusaran yang cepat berlalu yang segera surut secara teratur dengan sedikit tindakan keras sebagaimana Nabi Musa As dengan saudaranya Harun, melainkan kemarahan dan kegusaran yang berasas pada ilmu dan logika yang kokoh dan kuat. Maksud Imam Khomeini adalah bahwa para pemilik jiwa-jiwa suci dan para wali Allah serta mukmin sejati tidak akan pernah ragu menjelaskan kebenaran. Dan lantaran keyakinan dan iman yang kokoh mereka akan bersabar di hadapan pelbagai cobaan dan penderitaan. Al-Qur’an menyatakan, “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu; dan agar Kami menguji hal ihwalmu. (Qs. Muhammad [47]:31) Imam Khomeini berkata, apabila para alim (ulama) berdiri satu barisan di hadapan tirani dan kezaliman lalu menyampaikan pesan-pesan mereka ke seantero dunia Islam dan berlepas diri dari tindakan zalim dan tiran mereka maka tiada satu pun kerugian yang akan menimpa mereka.” Sebagaimana kita tahu bahwa seluruh tiran itu adalah penakut. Namun tatkala mereka melihat kelemahan dan ketidakberdayaan kita maka mereka akan melanjutkan kezaliman dan tiraninya. Mereka bersikap tamak terhadap takut dan reaksi orang-orang takut. Apabila para tiran dan thagut mengetahui bahwa di antara para penentangnya terdapat orang-orang yang tidak takut mati maka mereka akan mundur teratur dan menghentikan tindakan zalim dan tiraninya. Iya, masyarakat yang takut kepada para tiran dan penjahat bukanlah masyarakat yang hidup. Ketakutan dan kelemahan di hadapan kezaliman tidak menyisakan apa pun kecuali kehinaan dan penderitaan. Celakalah masyarakat yang orang-orangnya memilih hidup nyaman namun kehilangan kebebasan dan kemuliaan insaniahnya.[10]
Dengan ucapan-ucapan Syaikh Mughiniyah yang kami sebutkan ini, apakah masih ada orang jujur yang ingin membanding-bandingkan dan mengunggulkan Imam Khomeini atas Nabi Musa As?? [IQuest]
[1]. Terkait dengan batasan kemaksuman para nabi terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Tentu di sini bukan tempatnya untuk membahas masalah tersebut.”
[2]. Muhammad Jawad Mughniyah, Tafsir al-Kâsyif, hal. 86.
[3]. “Fira’un menjawab, “Jika benar kamu membawa sesuatu bukti, maka datangkanlah bukti itu jika (betul) kamu termasuk orang-orang yang benar.” (Qs. Al-A’raf [7]:106)
[4]. “Maka Musa melemparkan tongkatnya, lalu seketika itu juga tongkat itu menjadi ular yang sebenarnya.” (Qs. Al-A’raf [7]:107); “Maka Musa melemparkan tongkatnya, dan tiba-tiba tongkat itu (menjadi) ular besar yang nyata.” (Qs. Al-Syu’ara [26]:32)
[5]. “Dan ia menarik tangannya (dari dalam bajunya), maka tiba-tiba tangan itu menjadi putih (bersinar) bagi orang-orang yang melihatnya.” (Qs. Al-Syu’ara [26]:33)
[6]. Tafsir al-Kâsyif, jil. 3, hal. 375-378.
[7]. Tafsir al-Kâsyif, jil. 3, hal. 397-398.
[8]. Muhammad Jawad Mughniyah, al-Khomeini wa al-Daulah al-Islamiyah, hal. 61-62, Dar al-‘Ilm li al-Malayiin, Cetakan Pertama, Beirut.
[9]. Permisalan murka Nabi Musa kepada Fir’aun.
[10]. Al-Khomeini wa al-Daulah al-Islamiyah, hal. 107-108.