Kode Site
fa796
Kode Pernyataan Privasi
70660
Ringkasan Pertanyaan
Apakah wanita dapat menjadi hakim?
Pertanyaan
Saya mendengar bahwa di Iran terdapat kurang lebih 400 wanita yang menjadi hakim. Apakah menurut Syiah, wanita dapat menjadi hakim?
Jawaban Global
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dan ahli agama terkait dengan apakah wanita dapat menjadi hakim dan beberapa posisi lainnya. Meski demikian, persoalan ini tidak termasuk hal-hal yang bersifat pasti dari agama.
Mereka yang berkata bahwa kaum wanita tidak dapat menjadi hakim bersandar pada dalil-dalil seperti riwayat dan ijma (konsensus) yang tentu saja bukan tempatnya di sini untuk membahasnya secara detil.
Mereka mengemukakan beberapa poin sehubungan dengan alasan mengapa kaum wanita tidak dapat menjadi hakim yang dapat digunakan untuk menyokong pendapat mereka.
Sebagian dari poin tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
Mereka yang berkata bahwa kaum wanita tidak dapat menjadi hakim bersandar pada dalil-dalil seperti riwayat dan ijma (konsensus) yang tentu saja bukan tempatnya di sini untuk membahasnya secara detil.
Mereka mengemukakan beberapa poin sehubungan dengan alasan mengapa kaum wanita tidak dapat menjadi hakim yang dapat digunakan untuk menyokong pendapat mereka.
Sebagian dari poin tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
- Antara pria dan wanita terdapat banyak perbedaan dari sisi kemampuan fisik dan mental. Atas dasar perbedaan ini, keunggulan penciptaan kaum pria atau kaum wanita, menyebabkan sebagian tanggung jawab dicabut dari pundak kaum wanita; karena pemmberian tanggung jawab dan penugasan dilakukan berdasarkan kemampuan-kemampuan yang dimiliki.
- Tipologi mental yang tidak dapat dilepaskan dari kaum wanita. Kaum wanita memiliki tipologi mental yang reaktif dalam urusan emosi dan perasaan. Mengingat bahwa urusan peradilan khususnya pada urusan eksekusi hukum dan implementasi masalah qisas terdapat seabrek tantangan yang harus dihadapi yang memerlukan ketegasan dan sikap siap menerima segala resiko dari keputusan yang diambil. Karena itu tanggung jawab ini dibebankan di atas pundak kaum pria.
Namun harap diperhatikan bahwa sebagian tidak menerima dalil-dalil dan poin-poin ini dan tetap memandang kaum wanita sah-sah saja menjadi hakim pengadilan.
Jawaban Detil
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama dan ahli agama terkait dengan apakah wanita dapat menjadi hakim dan beberapa posisi lainnya. Untuk diketahui bahwa mereka berpandangan bahwa wanita menjadi hakim tidak termasuk dari bagian yang bersifat pasti (dharuriyat) dari agama.
Hal yang dijadikan sebagai sandaran para pendukung pendapat wanita tidak dapat menjadi hakim adalah hadis dan riwayat.
Imam Shadiq As bersabda, “Perhatikanlah salah seorang dari kalian, seorang pria (rajul) yang mengetahui peradilan kami; yaitu mengetahui apa yang menjadi pendapat kami dan menguasai pandangan-pandangan kami, maka jadikanlah ia sebagai hakim (qadhi) bagi kalian dan saya mengangkat ia sebagai hakim di antara kalian.[1]
Dalam riwayat ini dinyatakan ungkapan “rajul” yaitu pria dan sesuai dengan kaidah primer, qaid yang nampak digunakan adalah qaid ihtirâzi[2] yang memiliki peran dalam masalah ini.[3]
Di samping riwayat di atas, kelompok yang menolak kaum wanita menjadi hakim bersandar pada ijma (konsensus);[4] yaitu klaim ijma yang menyebutkan bahwa salah satu syarat menjadi seorang hakim adalah berstatus dan berjenis kelamin pria.[5]
Demikian juga kelompok ini mencermati beberapa hal dan dengan menimbang beberapa hal tersebut sampai pada sebuah kesimpulan yang akan disebutkan sebagian darinya sebagaimana berkut ini:
1. Pendelegasian tanggung jawab berdasarkan kemampuan
Berdasarkan pandangan Islam, pria dan wanita dari sudut pandang esensi adalah satu. “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.” (Qs. Al-Nisa [4]:1)[6]
Karena itu meski dari sudut pandang genus (sebagai manusia) namun keduanya memiliki beberapa perbedaan dan keutamaan masing-masing.
Al-Quran menyatakan, “Kaum laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Qs. Al-Nisa [4]:34) Kemampuan pikiran, kemampuan fisikis[7] dan psikologis lebih banyak dimiliki kaum pria ketimbang kaum wanita dimana kaum pria lebih dominan dibandingkan dengan kaum wanita, dalam pelbagai urusan penting kehidupan keluarga dan sosial seperti pemerintahan.[8]
Ringkasnya bahwa kaum pria dan wanita dari sudut pandang fisikis dan kondisi fisiologis berbeda satu sama lain. Atas dasar itu, mereka diciptakan untuk mengerjakan tugas-tugas tipikal. Perbedaan ini, bukan diskriminasi, adalah sebuah kebijaksanaan dan dimaksudkan untuk melestarikan manusia. Hal ini tidak bermakna bahwa jalan kesempurnaan tertutup atau terbatas bagi kaum wanita melainkan disebabkan perbedaan ini, sebagian tanggung jawab seperti peradilan telah diangkat dari pundak wanita. Dengan kata lain, pelbagai kemampuan kaum pria ini bersifat takwini (penciptaan) dan fitrawi. Sejatinya dengan adanya tugas-tugas seperti ini tanggung jawab kaum pria semakin besar dan adanya pelbagai kemampuan ini tidak akan menyebabkan kedekatan dan pahala yang lebih besar di sisi Allah Swt bagi kaum pria.
2 Menjadi hakim atau qadhi dibutuhkan ketegasan
Tipologi mental yang tidak dapat dipisahkan yang dimiliki kaum wanita yaitu bermental reaktif dan emosional. Karena itu kaum wanita lebih cepat menunjukkan reaksi psikologis; misalnya senang, kuatir, menangis dan tertawa. Jelas bahwa bersikap realistis dalam menilai dan mengadili, pada tataran empiric, kaum Adam lebih dapat menguasai dan menjinakkan perasaannya.
Demikian juga, mengingat apa yang berlaku dalam proses peradilan pelbagai persoalan, khususnya dalam tahap implementasi hukum hudud (pidana) dan qisash terdapat selaksa persoalan atau akan melahirkan sikap anti agama pada manusia, karena itu diperlukan ketegasan dan sikap ksatria untuk dapat menerima pelbagai konsekuensi yang ditimbulkan dari vonis yang dikeluarkannya. Dengan kata lain, penciptaan dan firah wanita adalah tempat cinta dan kasih. Pada sebagian persoalan wanita tidak dapat bersikap dan mengambil keputusan tegas. Karena itu, ia dimaafkan dari posisi ini dan tugas berat ini dibebankan di pundak pria. Hal ini merupakan pandangan positif dan sarat nilai terkait dengan kedudukan wanita.
Namun demikian, sebagian ulama mengkritisi dalil yang dikemukakan di atas dan berpandangan bahwa kaum wanita boleh saja menjadi qadhi.[9] Mereka berkata, “Peradilan bukan taklif bagi wanita dan Syari’ (Allah Swt) membebaskan kaum wanita dari tugas berat ini. Allah Swt tidak menghendaki peradilan ini dari kaum wanita sebagai sebuah taklif. Apabila dalam hadis disebutkan bahwa, “Laisa ‘ala al-Nisa jumu’atun wa jama’atun…wala tawalla al-qadha…”[10] itu bermakna bahwa salat Jumat dan salat jamaah serta memikul jabatan peradilan tidak wajib bagi kaum wanita. Dalam hadis ini tidak disebutkan, “laisa lil mar’at jum’atun” sehingga dari hadis tersebut dapat digunakan untuk menghapuskan hak wanita dari hal-hal tersebut.[11]
Demikian juga sisi afeksi dan emosional wanita secara esensial tidak menjadi penghalang baginya untuk dapat menyeimbangkan fakultas rasional dan pikirannya. Wanita dapat sebagaimana pria mencapai keseimbangan akal teoritis. Dan sisi rasionisasi dan standar yang digunakan dalam peradilan tidak akan dikalahkan oleh afeksi dan emosinya.
Namun boleh jadi bahwa kaum wanita harus lebih banyak melatih untuk menyeimbangkan pelbagai afeksinya, namun apabila setelah berlatih dan ia mampu memperoleh keseimbangan dalam pemikiran maka kita tidak ada alasan bagi kita untuk menghalangi mereka untuk menduduki posisi ini.[12]
Di samping itu, apa yang dapat disimpulkan dari dalil-dalil adalah bahwa hukum umum Imam Maksum As dalam mengangkat qadhi khusus untuk qadhi pria dan dari dalil ini tidak dapat disimpulkan bahwa wali fakih juga harus menjalankan syarat maskulin (berjenis kelamin pria) dalam mengangkat qadhi; karena kita tidak memiliki dalil bahwa jenis kelamin pria adalah syarat syar’i.
Ayatullah Hadawi dalam mengelaborasi dalil ini berkata, “Dalam pembahasan di atas, kita menggunakan syarat ini dari lafaz “rajul” yang disebutkan sebagai syarat untuk menetapkan hakim (qadhi) sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat. Dengan deskripsi ini, hal itu akan menjadi bagian dari syarat standar dalam pengangkatan umum dari para Imam Maksum As atau syariat dan (wali) fakih tidak wajib memperhatikan ketentuan itu (harus pria).
Apabila riwayat nabawi yang menyebutkan “wanita” dengan redaksi kalimat seperti ini, “wala tawalla al-qadha” (dan juga tidak memilikul jabatan peradilan), dari sisi sanad dapat diterima atau kita simpulkan syarat jenis kelamin pria sebagai pendapat para ahli syariat yang bersumber dari pelbagai keterbatasan wanita pada sebagian wanita seperti imam jamaah maka “dzukuriyyah” (berjenis kelamin pria) termasuk sebagai syarat syar’i yang harus dijalankan oleh fakih dalam mengangkat seorang hakim.”[13]
Adapun dalil ijmai yang disampaikan, katakanlah, terdapat kesepakatan ril seluruh fakih atas masalah ini, ada kemungkinan mereka bersandar pada satu atau beberapa sisi yang mengemuka pada riwayat dan ijma seperti ini tidak memiliki syarat hujjiyah dan standar.[14]
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tidak ada masalah kaum wanita menjadi hakim dan menjabat posisi peradilan berdasarkan fatwa sebagian fakih syiah. [iQuest]
Hal yang dijadikan sebagai sandaran para pendukung pendapat wanita tidak dapat menjadi hakim adalah hadis dan riwayat.
Imam Shadiq As bersabda, “Perhatikanlah salah seorang dari kalian, seorang pria (rajul) yang mengetahui peradilan kami; yaitu mengetahui apa yang menjadi pendapat kami dan menguasai pandangan-pandangan kami, maka jadikanlah ia sebagai hakim (qadhi) bagi kalian dan saya mengangkat ia sebagai hakim di antara kalian.[1]
Dalam riwayat ini dinyatakan ungkapan “rajul” yaitu pria dan sesuai dengan kaidah primer, qaid yang nampak digunakan adalah qaid ihtirâzi[2] yang memiliki peran dalam masalah ini.[3]
Di samping riwayat di atas, kelompok yang menolak kaum wanita menjadi hakim bersandar pada ijma (konsensus);[4] yaitu klaim ijma yang menyebutkan bahwa salah satu syarat menjadi seorang hakim adalah berstatus dan berjenis kelamin pria.[5]
Demikian juga kelompok ini mencermati beberapa hal dan dengan menimbang beberapa hal tersebut sampai pada sebuah kesimpulan yang akan disebutkan sebagian darinya sebagaimana berkut ini:
1. Pendelegasian tanggung jawab berdasarkan kemampuan
Berdasarkan pandangan Islam, pria dan wanita dari sudut pandang esensi adalah satu. “Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu.” (Qs. Al-Nisa [4]:1)[6]
Karena itu meski dari sudut pandang genus (sebagai manusia) namun keduanya memiliki beberapa perbedaan dan keutamaan masing-masing.
Al-Quran menyatakan, “Kaum laki-laki itu adalah pengayom bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” (Qs. Al-Nisa [4]:34) Kemampuan pikiran, kemampuan fisikis[7] dan psikologis lebih banyak dimiliki kaum pria ketimbang kaum wanita dimana kaum pria lebih dominan dibandingkan dengan kaum wanita, dalam pelbagai urusan penting kehidupan keluarga dan sosial seperti pemerintahan.[8]
Ringkasnya bahwa kaum pria dan wanita dari sudut pandang fisikis dan kondisi fisiologis berbeda satu sama lain. Atas dasar itu, mereka diciptakan untuk mengerjakan tugas-tugas tipikal. Perbedaan ini, bukan diskriminasi, adalah sebuah kebijaksanaan dan dimaksudkan untuk melestarikan manusia. Hal ini tidak bermakna bahwa jalan kesempurnaan tertutup atau terbatas bagi kaum wanita melainkan disebabkan perbedaan ini, sebagian tanggung jawab seperti peradilan telah diangkat dari pundak wanita. Dengan kata lain, pelbagai kemampuan kaum pria ini bersifat takwini (penciptaan) dan fitrawi. Sejatinya dengan adanya tugas-tugas seperti ini tanggung jawab kaum pria semakin besar dan adanya pelbagai kemampuan ini tidak akan menyebabkan kedekatan dan pahala yang lebih besar di sisi Allah Swt bagi kaum pria.
2 Menjadi hakim atau qadhi dibutuhkan ketegasan
Tipologi mental yang tidak dapat dipisahkan yang dimiliki kaum wanita yaitu bermental reaktif dan emosional. Karena itu kaum wanita lebih cepat menunjukkan reaksi psikologis; misalnya senang, kuatir, menangis dan tertawa. Jelas bahwa bersikap realistis dalam menilai dan mengadili, pada tataran empiric, kaum Adam lebih dapat menguasai dan menjinakkan perasaannya.
Demikian juga, mengingat apa yang berlaku dalam proses peradilan pelbagai persoalan, khususnya dalam tahap implementasi hukum hudud (pidana) dan qisash terdapat selaksa persoalan atau akan melahirkan sikap anti agama pada manusia, karena itu diperlukan ketegasan dan sikap ksatria untuk dapat menerima pelbagai konsekuensi yang ditimbulkan dari vonis yang dikeluarkannya. Dengan kata lain, penciptaan dan firah wanita adalah tempat cinta dan kasih. Pada sebagian persoalan wanita tidak dapat bersikap dan mengambil keputusan tegas. Karena itu, ia dimaafkan dari posisi ini dan tugas berat ini dibebankan di pundak pria. Hal ini merupakan pandangan positif dan sarat nilai terkait dengan kedudukan wanita.
Namun demikian, sebagian ulama mengkritisi dalil yang dikemukakan di atas dan berpandangan bahwa kaum wanita boleh saja menjadi qadhi.[9] Mereka berkata, “Peradilan bukan taklif bagi wanita dan Syari’ (Allah Swt) membebaskan kaum wanita dari tugas berat ini. Allah Swt tidak menghendaki peradilan ini dari kaum wanita sebagai sebuah taklif. Apabila dalam hadis disebutkan bahwa, “Laisa ‘ala al-Nisa jumu’atun wa jama’atun…wala tawalla al-qadha…”[10] itu bermakna bahwa salat Jumat dan salat jamaah serta memikul jabatan peradilan tidak wajib bagi kaum wanita. Dalam hadis ini tidak disebutkan, “laisa lil mar’at jum’atun” sehingga dari hadis tersebut dapat digunakan untuk menghapuskan hak wanita dari hal-hal tersebut.[11]
Demikian juga sisi afeksi dan emosional wanita secara esensial tidak menjadi penghalang baginya untuk dapat menyeimbangkan fakultas rasional dan pikirannya. Wanita dapat sebagaimana pria mencapai keseimbangan akal teoritis. Dan sisi rasionisasi dan standar yang digunakan dalam peradilan tidak akan dikalahkan oleh afeksi dan emosinya.
Namun boleh jadi bahwa kaum wanita harus lebih banyak melatih untuk menyeimbangkan pelbagai afeksinya, namun apabila setelah berlatih dan ia mampu memperoleh keseimbangan dalam pemikiran maka kita tidak ada alasan bagi kita untuk menghalangi mereka untuk menduduki posisi ini.[12]
Di samping itu, apa yang dapat disimpulkan dari dalil-dalil adalah bahwa hukum umum Imam Maksum As dalam mengangkat qadhi khusus untuk qadhi pria dan dari dalil ini tidak dapat disimpulkan bahwa wali fakih juga harus menjalankan syarat maskulin (berjenis kelamin pria) dalam mengangkat qadhi; karena kita tidak memiliki dalil bahwa jenis kelamin pria adalah syarat syar’i.
Ayatullah Hadawi dalam mengelaborasi dalil ini berkata, “Dalam pembahasan di atas, kita menggunakan syarat ini dari lafaz “rajul” yang disebutkan sebagai syarat untuk menetapkan hakim (qadhi) sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat. Dengan deskripsi ini, hal itu akan menjadi bagian dari syarat standar dalam pengangkatan umum dari para Imam Maksum As atau syariat dan (wali) fakih tidak wajib memperhatikan ketentuan itu (harus pria).
Apabila riwayat nabawi yang menyebutkan “wanita” dengan redaksi kalimat seperti ini, “wala tawalla al-qadha” (dan juga tidak memilikul jabatan peradilan), dari sisi sanad dapat diterima atau kita simpulkan syarat jenis kelamin pria sebagai pendapat para ahli syariat yang bersumber dari pelbagai keterbatasan wanita pada sebagian wanita seperti imam jamaah maka “dzukuriyyah” (berjenis kelamin pria) termasuk sebagai syarat syar’i yang harus dijalankan oleh fakih dalam mengangkat seorang hakim.”[13]
Adapun dalil ijmai yang disampaikan, katakanlah, terdapat kesepakatan ril seluruh fakih atas masalah ini, ada kemungkinan mereka bersandar pada satu atau beberapa sisi yang mengemuka pada riwayat dan ijma seperti ini tidak memiliki syarat hujjiyah dan standar.[14]
Kesimpulan dari pembahasan ini adalah bahwa tidak ada masalah kaum wanita menjadi hakim dan menjabat posisi peradilan berdasarkan fatwa sebagian fakih syiah. [iQuest]
[1]. Al-Kâfi, jil. 1, hal. 67.
[2]. Secara teknis qaid ihtirâzi adalah qaid yang digunakan untuk membatasi cakupan dari apa yang dapat dipahami dari sebuah ucapan. Qaid ihtirâzi lawannya adalah qaid non-ihtrazi. Qaid ihtirâzi adalah qaid yang digunakan untuk mempersempit cakupan subyek hukum dan mengeluarkan selain subyek, dari cakupan sebuah hukum, dalam ucapan seperti seorang tuan yang berkata, “Bebaskanlah budak Mukminah” (a’tiq raqabat mu’minah). Di sini qaid “iman” (mukminah) digunakan untuk mengeluarkan budak kafir; artinya budak kafir tidak termasuk dalam hukum ini.
[3]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Mahdi Hadawi Tehrani, Qadhâwat wa Qâdhi, hal. 91-92.
[4]. Ijma (konsensus) merupakan salah satu argumen yang diterima oleh seluruh fakih.
[5]. Jawâhir al-Kalâm, jil. 40, hal. 14; Miftah al-Karamah, jil. 10, hal. 9; Jami’ al-Syattat, jil. 2, hal. 680.
[6]. Silahkan lihat Huqûq Zan dar Islâm, Muhammat Taqi Misbah Yazdi, Ma’arif Qur’an.
[7]. Jenis wanita memiliki badan yang lebih lembut dan lebih halus daripada pria dan pada umumnya badan pria lebih kasar dan perkasa ketimbang badan wanita. Sebagaimana rata-rata kekuatan badan wanita lebih kurang daripada rata-rata kekuatan badan pria dan kaum wanita setiap bulannya selain masa kehamilan (dan persalinan) hingga kira-kira lima puluh tahun, selama beberapa hari mengalami haidh yang disebabkan oleh kondisi seperti ini badannya akan lemah dan mengalami kondisi mental yang tidak biasa. Selain itu, kontur dada sedemikian dibentuk sehingga ia memikul tanggung jawab memberikan ASI kepada bayinya dimana hal ini juga menyebabkan berkurangnya kemampuan wanita.
[8]. Al-Mizan, jil. 14, hal. 343.
[9]. Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Jawadi Amuli, Zan dar Âyine Jalâl wa Jamâl, hal. 348-354.
[10]. Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 4, hal. 362.
[11]. Jawadi Amuli, Zan dar Ayine Jalal wa Jamal, hal. 350.
[12]. Ibid, hal. 353.
[13]. Qadhâwat wa Qâdhi, hal. 151.
[14]. Jawadi Amuli, Zan dar Âyine Jalâl wa Jamâl, hal. 349 & 353.