Pertama-tama harus kita perhatikan bahwa akal, hati, perasaan, syuhud dan lain sebagainya dalam sebuah tatanan budaya yang baik masing-masing memiliki definisi dan kedudukan khusus. Kesemuanya tidak saling bertentangan satu sama lain namun poin utama di sini yang tidak boleh diabaikan adalah penggunaan ungkapan-ungkapan ini yang acapkali dimanfaatkan untuk mendeskripsikan dan menjustifikasi perbuatan kita.
Tanpa ragu bahwa perasaan-perasaan buta dan sedetik pun tanpa cahaya akal tidak akan memiliki keuntungan bagi kesempurnaan manusia. Karena itu akal fitri manusia yang dapat digunakan untuk kesempurnaan dan berseminya tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk agama, yang berfungsi sebagai rasul dan pemimpin batin, dapat memberikan petunjuk kepada manusia.
Perasaan, cinta, penyaksian (syuhud), emanasi (isyrâq) dan lain sebagainya secara esensial merupakan hal-hal kudus namun tidak memiliki landasan pengetahuan yang nyata terkait dengan awal dan akhirnya. Tanpa petunjuk akal dan agama sebagai pemandu dan pemberi arah kondisi-kondisi batin dan mental ini hanya akan menyibukkan manusia dan boleh jadi perasaan-perasaan batin ini berubah menjadi kondisi dan sifat yang menentang dan esok hari tidak akan dapat mengantarkan manusia ke dermaga keselamatan dan kebahagiaan.
Terdapat beberapa jenis pengambilan keputusan dalam pembahasan “akal atau hati” yang menjadi obyek pertanyaan sehingga kita tidak dapat memandang seluruhnya dengan satu pandangan tunggal mengingat posisi pembahasan sangat berbeda dan setiap ucapan memiliki tempat tersendiri-sendiri.
Pertanyaan yang mengemuka adalah tentang apakah kita harus memilih akal atau perasaan dalam mengambil keputusan? Logika atau cinta? Rasio atau emanasi? Hati atau pikiran? Dan pertanyaan-pertanyaan serupa lainya. Seluruh pertanyaan ini dapat ditempatkan pada satu kategori universal dan dari sudut pandang ini kita akan lihat betapa luas pengetahuan yang berkaitan dengan pembahasan ini atau berpengaruh di dalamnya. Salah satu persoalan asasi dalam kehidupan setiap orang adalah pengalaman beragam berangkat dari pertanyaan ini.
Mengambil keputusan berdasarkan akal dan logika acapkali bermakna pengambilan keputusan berdasarkan akal kalkulatif (‘aql ma’âsy) dalam menghadapi pelbagai pilihan penting. Apabila kita meninjau masalah dengan pandangan ini boleh jadi dapat dikatakan bahwa perasaan jujur hati lebih dekat terhadap akal agama dan akhlak praktis daripada logika seperti ini yang tujuan dan harapannya berkaitan dengan hal-hal materi.
Dari sisi lain, terkadang yang dimaksud perasaan dalam pengambilan keputusan adalah kecendrungan nafs ammarah yaitu keterpenjaraan dalam tawanan pelbagai kecendrungan, harapan dan insting-insting material yang tidak berbeda dengan istilah apa pun yang ingin digunakan untuknya apakah itu akal atau perasaan dan lebih buruk dari semuanya adalah bahwa manusia dalam sebuah pengambilan keputusan menipu dirinya sendiri dengan istilah-istilah mengecoh ini lantaran cinta dan akal, perasaan dan logika, dan lain sebagainya seringkali tidak digunakan dalam artian yang sebenarnya. Misalnya akal dimaknai sebagai logika materi dan ego sentris. Sementara cinta diartikan sebagai penggunaan orang lain atau menyembah insting tanpa batas, dan perasaan dimaknai tiadanya kehendak dan kelesuan.
Padahal masing-masing dari istilah ini dalam tata-budaya yang orisinil dan menjulang memiliki definisi dan kedudukan khusus yang tentu tidak boleh begitu saja digunakan tanpa cermat dan perhatian atau digunakan untuk menjustifikasi sebuah perbuatan salah dengan menyimpangkan makna aslinya.
Akal dan Hati
Untuk menjelaskan pelbagai sisi pembahasan ini kiranya kita perlu membagi pembahasan ini dalam dua bagian:
- Akal dan hati dalam Pemikiran Islam
Telah banyak disampaikan deskripsi tentang kedudukan akal dalam sejarah Filsafat Islam dan kisah penentangan para arif dengan jalan filosof rasionalis juga dalam sastra Irfan Persia juga lebih dikenal orang sehingga kita tidak harus mengulanginya di sini. Sebagian filosof juga berusaha mengemukakan sebuah rekonsiliasi dari keduanya (filafat dan irfan).
Meski disebutkan bahwa para pemikiran dan ulama Islam yaitu ulama syariat, filosof dan para arif masing-masing menggunakan media-media khusus dalam menghadapi hakikat (kelompok pertama melalui jalan naql, kelompok kedua melalui jalur akal dan kelompok ketiga melalui media hati). Namun hakikatnya adalah bahwa dalam pemikiran al-Quran dan makrifat orisinil Islam, akal dan hati telah sampai pada kesatuan sempurna[1] dan bahkan dalam al-Quran urusan pemahaman disandarkan kepada hati dan seseorang yang tidak memiliki pemahaman hati disebut sebagai “la yafqahun.”[2]
Oleh itu, akal yang tidak memberikan fatwa bersadarkan cinta (isyq) adalah akal kalkulatif (‘aql ma’âsy) dan cinta yang tidak berada pada puncak akal dan makrifat tidak lain kecuali tipuan dan dusta. Adanya pelbagai perbedaan dan dialektika yang terjadi di antara para pengklaim akal dan hati sejatinya tengah memberikan sebuah berita tanpa berita (baca: kebohongan).
Filosof Ilahi dan para arif sempurna dengan baik menyetujui hakikat ini dan karena itu pandangan mereka adalah bahwa cinta merupakan puncak akal dan akal adalah hati pemandu dan pembimbing cinta sehingga keduanya tidak dapat dipertentangkan.
Namun apa yang pasti adalah bahwa akal kalkulatif dan cinta duniawi keduanya berada di luar kategori ini. Akal kalkulatif tidak dapat mencapai makrifat hakikat segala sesuatu dan juga cinta palsu juga tidak memiliki kemampuan seperti ini.
Kebanyakan ucapan para arif dalam penentangannya terhadap akal pada dasarnya tengah menyoroti makna akal kalkulatif ini yang pada umumnya digunakan oleh manusia untuk menjaga kemaslahatan pribadinya. Namun cinta merupakan redaksi suci yang merupakan pencari kefanaan dirinya di hadapan Tuhan dan pada dasarnya penggunaan kata cinta harus dihindari dalam kaitannya dengan pelbagai ketergantungan hawa nafsu.
- Akal dan Hati dalam Psikologi Personal dan Sosial
Adapun dalam level perasaan dan emosi yang secara umum dimiliki oleh setiap orang harus dikatakan bahwa alangkah sedikitnya orang-orang yang, dari kondisi-kondisi dan perasaan-perasaan seperti ini, mampu meraih makrifat sempurna sehingga berdasarkan makrifat sempurna tersebut ia berhasil menguasai perasaan-perasaannya sedemikian sehingga ia tidak berperang dengan hatinya juga tidak linglung dalam kegelapan perasaan-perasaan dan pelbagai kecendrungan butanya.
Tidak diragukan bahwa mengikut perasaan-perasaan buta dan sedetik pun tanpa penerangan akal dan makrifat suci serta petunjuk Ilahi akan menyebabkan kejatuhan dalam lembah kebodohan dan kesesatan. Dan perasaan-perasaan hati tanpa pelita akal dan makrifat tidak akan berguna bagi kesempurnaan manusia.
Tidak ada jalan lain untuk menguasai dan mendominasi diri serta tidak terpenjara oleh perasaan dalam pelbagai cengkeraman batin, kecuali dengan makrifat dan pengetahuan. Jalan paling mudah dan paling permukaan untuk menolak dominasi perasaan adalah berusaha mengingkarinya.
Di sini kita tidak boleh melakukan kesalahan dengan menamakan insting-insting buta dan emosi-emosi juga yang masih kosong dari segaja jenis makrifat.
Pelbagai kecendrungan, kondisi, perasaan hati ini adalah kekuatan-kekuatan yang terkadang bertindak secara buta dan apabila manusia berhasil menguasainya maka pada posisinya masing-masing dapat melesakkan kita naik ke tempat-tempat yang menjulang. Namun apabila perasaan-perasaan yang hampa makrifat dan pemahaman serta akal suci yang berkuasa atas seluruh eksistensi seseorang maka ia tidak akan menjadi pemimpin dan penguasa yang baik bahkan dalam bentuk yang terbaik sekalipun, meski itu merupakan perasaan-perasaan positif.
Karena itu akal fitrah manusia dapat digunakan untuk mendaki tangga-tangga kesempurnaan dengan bersandar pada pelbagai tanda-tanda dan petunjuk-petunjuk agama. Di sini akal fitrah manusia berfungsi sebagai rasul dan pemimpin batin yang dapat membimbing manusia.
Dengan demikian akal akan meraih ketinggian dan makrifat agama sebagai unsur Ilahi di samping akan memberikan cahaya dan pengetahuan kepada perasaan-perasaan manusia juga akan melambungkannya ke tempat yang tinggi.
Sebagai contoh terkait dengan cinta terhadap seorang manusia yang merupakan sebuah fenomena yang berhubungan dengan hati, bergantung pada seseorang berada pada level makrifat mana dalam menghadapi kenyataan ini. Perbuatannya akan mengikut makrifat dan pengetahuan yang dimilikinya.
Boleh jadi seseorang disebabkan oleh istilah cinta ini rela melakukan kejahatan atau pada saat yang sama merubahnya menjadi benci atau berujung pada perbudakan dan syirik. Boleh jadi juga dalam pancaran makrifat tinggi tanpa adanya ketergantungan, beranjak dari kenyataan hati menuju nilai-nilai spiritual yang tinggi dan dengan gerakan makrifat berpindah menjadi cinta Ilahi. Mungkin juga perasaan itu diberangus dan menjauhkannya disebabkan oleh pelbagai kecendrungan materi dan duniawi dan pada akhirnya alih-alih menukar hatinya dengan Tuhan malah menjualnya untuk dunia.
Dari apa yang telah diuraikan di atas menjadi jelas bahwa perasaan, cinta, syuhud (penyaksian), isyraq (emanasi) dan lain sebagainya, secara esensial merupakan hal-hal suci dan tidak mengenal dengan baik masalah awal-akhir dan tujuan masalah ini yang menyebabkan tergelincirnya manusia dalam kegelapan yang secara tidak sadar merubah cinta menjadi benci, harapan menjadi putus asa, kegembiraan menjadi kesedihan dan nestapa.
Adapun tentang ruang lingkup pekerjaan akal dan bahwa akal merupakan sesuatu yang sempurna atau tidak?Demikian juga hubungannya dengan agama kami sarankan Anda untuk merujuk pada beberapa indeks terlampir dengan penjelasan bahwa adanya kekurangan pada akal pada sebagian urusan tidak bermakna sempurnanya perasaan melainkan adaya kebutuhan akal terhadpa wahyu dan kenabian: Pertanyaan 6057 (Site: id6232); Pertanyaan 4910 (Site: 5284); Pertanyaan 10466 (Site: id13248).
[1]. Gunung dan sahara akal menggilakanku
Aku takjub karena keduanya memberikan identitas kepadaku. Diwân Faidh Kasyâni, hal. 133.
[2]. (Qs. Al-A’raf [7]:279)