Menurut mayoritas ulama Syiah, para Imam Maksum menerima informasi dan pengetahuan dari alam ghaib terkait dengan urusan penting tertentu. Dan apa yang mereka ingin ketahui dari segala yang ghaib akan mereka ketahui.
Mengingat bahwa manusia sempurna (insan kamil) merupakan pancaran dan cerminan nama dan sifat Ilahi, maka seluruh perbuatan, emanasi, rahmat, kenikmatan yang ditakdirkan dari sisi Tuhan di alam dunia ini, terlaksana melalui manusia-manusia sempurna ini. Baginda Ali As dan para Imam Maksum lainnya merupakan media dan perantara Tuhan dengan seluruh makhluk dalam memperoleh pelbagai emanasi Ilahi dari sumber emanasi dan seluruh penciptan semesta terjadi melalui perantara mereka dalam bentuk vertikal, ikutan dan aksidental.
Ilmu ghaib para Imam Maksum As:
“Gaib” memiliki makna “tertutupnya sesuatu dari indera dan pemahaman”, sedangkan penyaksian (syahâdah) bermakna ketertampakannya. Sebuah sesuatu mungkin saja gaib bagi seseorang namun terlihat bagi yang lainnya. Masalah ini bergantung pada batasan wujud orang tersebut dan penguasaannya terhadap alam wujud. Sesuai dengan ajaran-ajaran al-Qur’an, ilmu ghaib secara mutlak dan sempurna hanya berada dalam domain eksklusif Tuhan. Lantaran Dia meliputi segala sesuatu atas seluruh alam semesta. Hal ini dapat disimpulkan dari ayat-ayat al-Qur’an seperti “Maka katakanlah, “Sesungguhnya yang gaib (dan mukjizat) itu hanyalah kepunyaan Allah …” (Qs. Yunus [10]:20) Akan tetapi, dengan memperhatikan keterbatasan penguasaan yang dimiliki oleh selain Tuhan dan penguasaan sempurna Tuhan terhadap segala sesuatu, akan didapatkan kesimpulan bahwa ilmu gaib khusus untuk Tuhan dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya, karena hanya Dialah yang memiliki penguasaan sempurna terhadap alam wujud, dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari batasan wujud-Nya, dan sesuatu atau seseorang tidak akan mampu bersembunyi dari Tuhan dalam keterbatasan yang dimilikinya.
Karena itu. Dia mengetahui alam gaib dan alam penyaksian, dan pada hakikatnya segala sesuatu bagi-Nya berada dalam alam penyaksian, dan tidak ada orang maupun sesuatu yang akan mampu sampai pada tingkatan ini. Melainkan selain-Nya, bergantung pada kelayakan wujud dan pemahaman yang mereka miliki, bagi mereka, sebagian masalah bisa disaksikan dan terlihat, dan sebagian lainnya tertutup dari pandangan dan seluruh daya pemahaman yaitu mereka sama sekali tidak memiliki pengetahuan terhadap persoalan-persoalan ini atau pengetahuan mereka dalam masalah ini berada dalam tingkatan yang sangat rendah.
Tentu saja pengkhususan ilmu gaib untuk Tuhan tidak mencegah sebagian orang untuk memperoleh pengetahuan terhadap rahasia, ilmu dan persoalan-persoalan gaib, melihat hal-hal yang tak bisa dilihat, atau mendengar suara-suara yang tak bisa didengar, yang diperolehnya melalui ajaran-Nya dan karena kelayakan-kelayakan jiwa yang dimilikinya. Hal ini merupakan karunia yang diberikan oleh Tuhan kepada orang-orang pilihan, seperti para nabi dan para wali. Oleh karena itu kita saksikan para nabi menyampaikan berita dari wahyu yang hal tersebut merupakan persoalan gaib, atau menyampaikan suatu persoalan gaib atau memprediksikan peristiwa mendatang yang kemudian betul-betul terjadi sebagaimana perkataan-perkataan sebelumnya.
Terkait dengan masalah apakah para Imam Maksum memiliki ilmu ghaib secara mutlak dan sempurna; artinya ilmu ghaib terhadap seluruh peristiwa dan kejadian yang telah terjadi (masa lalu), sedang terjadi (masa kini) dan akan terjadi (masa datang), di antaranya tentang waktu dan tempat syahâdah mereka, merupakan obyek pembahasan dan ikhtilaf. Sebagian mengingkari ilmu secara luas dan menyeluruh yang dimiliki para imam; termasuk ilmu terhadap waktu dan tempat syahâdah (kematian) mereka. Akan tetapi mayoritas ulama Syiah, dengan bersandar pada sebagian ayat al-Qur’an yang menandaskan bahwa: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepadamu hal-hal yang gaib, akan tetapi Allah memilih siapa yang dikehendaki-Nya di antara rasul-rasul-Nya. Karena itu berimanlah kepada Allah dan rasul-rasul-Nya; dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagimu pahala yang besar.” (Qs. Ali Imran [3]:179) Dan pada ayat, “(Dia adalah Tuhan) yang mengetahui yang gaib dan Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka Dia menetapkan para penjaga (malaikat) di hadapan dan di belakangnya.” (Qs. Al-Jin [72]:26-27) berpandangan bahwa para wali Allah juga secara global memiliki ilmu ghaib ini. Hal ini juga dapat disimpulkan dari sebagian riwayat para Imam Maksum As. Imam Shadiq As bersabda terkait dengan masalah ini: “Tatkala imam ingin mengetahui sesuatu, maka Allah Swt akan mengajarkan kepadanya.”[1] Karena itu, dengan memperhatikan sebagian ayat dan riwayat ini, dan juga bahwa para nabi Allah Swt bertugas untuk memberikan petunjuk kepada manusia pada seluruh dimensi dan strata kehidupan, material dan spiritual, maka mereka harus memiliki saham besar terhadap ilmu dan pengetahuan, sehingga mereka mampu menunaikan tugas penting ini dengan baik. Dengan demikian, para Imam Maksum As yang merupakan khalifah-khalifah rasul khususnya Imam Ali As yang merupakan gerbang ilmu kota Rasulullah Saw (Ana madinat al-‘ilm wa ‘aliyun babuha)… juga memiliki hukum yang sama dan memiliki akses untuk memanfaatkan ilmu ghaib ini. Karena itu, mereka juga memiliki ilmu ghaib secara luas dan menyeluruh. Hal ini tentu saja tidak berseberangan dengan ayat-ayat Ilahi dan riwayat-riwayat yang terkait dengan masalah ini.
Kajian Riwayat
Dua frase yang disebutkan dalam pertanyaan disebutkan secara valid pada satu riwayat; akan tetapi terdapat juga kandungan yang sama pada sebagian riwayat lainnya. Dalam dua riwayat, tidak disebutkan redaksi “Tuhan” (Ilah). Dan penyebutan Tuhan dan Ilah tidak benar sebagaimana yang dikemukakan dalam pertanyaan di atas. Untuk menjelaskan frase dalam riwayat tersebut kami akan menyebutkan bagian terkait dari dua riwayat ini dalam bahasa Arab dan terjemahan Indonesianya,
«... أَنَا دَحَوْتُ أَرْضَهَا وَ أَنْشَأْتُ جِبَالَهَا وَ فَجَّرْتُ عُیُونَهَا وَ شَقَقْتُ أَنْهَارَهَا...»
Aku meluaskan dan melebarkan tanah. Menciptakan pegunungan dan menggelorakan mata airnya serta menyingkap sungai-sungainya.[2]
Dan sebagai kelanjutannya, Imam Ali As bersabda,
«... وَ أَنْشَأْتُ سَحَابَهَا وَ أَسْمَعْتُ رَعْدَهَا وَ نَوَّرْتُ بَرْقَهَا...»
“Aku menciptakan awan-awannya dan menyebabkan munculnya gemuruh guntur dan halilintar dan membuat sinaran atas kilat; (maksudnya aku yang menciptakan Guntur, kilat dan halilintar.[3]
Dua redaksi yang telah dinyatakan pada riwayat ini disebutkan dengan redaksi-redaksi misalnya, “Ana al-awwal wa al-Akhir” (Aku yang pertama dan yang terakhir) atau “al-Zhâhir wa al-Batin” (Aku adalah yang lahir dan yang batin)
Meski pada sebagian riwayat juga terdapat redaksi ini, namun pertanyaan yang diajukan terkait dengan dua redaksi di atas dan apabila dua redaksi ini jelas maka frase lainnya akan menjadi jelas. Untuk menjelaskan beberapa redaksi ini, pertama-tama kiranya kita harus berbicara tentang insan kamil (manusia sempurna) yang merupakan cermin dan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Ilahi. Manifestasi hakiki dan paling sempurna nama-nama dan sifat-sifat Ilahi adalah Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As. Dengan membahas masalah ini terlebih dahulu maka akan menjadi jelas bagi kita seberapa besar kekuasaan dan kekuataan manusia sempurna seperti ini:
Manusia sempurna merupakan cermin seluruh sifat-sifat Tuhan dan intisari alam semesta. Amirul Mukminin As yang merupakan sosok yang paling sempurna di antara manusia-manusia sempurna dan merupakan pribadi unggul sebelum penciptaan semesta, cahayanya berasal dari cahaya Rasulullah Saw dalam satu bentuk himpunan penciptaan;[4] Kemudian cahaya tunggal ini melintasi alam-alam dan sampai pada alam semesta ini sehingga di dunia memanifestasi satu dalam busana kenabian dan yang lainnya dalam busana imamah.[5] Manusia sempurna merupakan media antara Tuhan dan seluruh makhluk-Nya di alam materi ini. Dan apa pun yang dilakukannya berada pada lintasan vertikal kehendak dan kekuasaan Ilahi.
Ali yang merupakan kaun jame’ (himpunan seluruh keberadaan) dan memiliki seluruh sumber eksistensi, dalam tingkatan nurani dan wilayah universal yang merupakan hakikat imamahnya. Dan sesuai dengan inâyah Ilahi, Baginda Ali menguasai seluruh alam eksistensi dan tiada yang tersembunyi dalam penguasaan ilmunya. Dengan kata lain, seluruh peristiwa besar dan kecil yang terjadi di alam semesta, bahkan kedipan mata manusia, berdiri dan duduknya, jatuhnya dedaunan dari pepohonan…dalam pandangannya, tidak berlaku baginya masa lalu, kini dan akan datang. Akan tetapi tatkala sampai pada tingkatan materi dan alam tabiat yaitu alam nâqish (serba kurang) maka Baginda Ali As akan berlaku sebagaimana manusia lainnya;[6] Artinya boleh jadi beliau tidak ingin mengetahui sesuatu dan keluar dari penguasaan ilmu aktual. Akan tetapi perbedaannya dengan yang lain adalah bahwa manusia lainnya tidak memiliki akses untuk menembus khazanah tak-terbatas Ilahi. Karena itu, boleh jadi mereka ingin mengetahui sesuatu; namun tidak mampu; akan tetapi pemilik wilayah universal yang merupakan kunci dan penjaga khazanah ilmu tak-terbatas Ilahi, maka apa pun yang ingin mereka ketahui maka mereka mampu mengetahuinya.[7]
Dengan demikian, Baginda Ali As merupakan cermin pengetahuan tak-terbatas Ilahi akan tetapi harus diperhatikan bahwa ilmu beliau bukanlah ilmu mandiri melainkan sifatnya ikutan dan aksidental dan berhubungan dengan sumber abadi ilmu Ilahi.[8]
Namun apa yang telah disampaikan hanya berkenaan dengan ilmu Baginda Ali As dan terkait dengan kekuasaan (qudrah) Ilahi, Baginda Ali As juga merupakan cermin kekuasaan Ilahi.[9] Kodrat Ilahi menjelma pada diri Baginda Ali As sehingga mampu mengangkat gerbang Khaibar; sebagaimana Baginda Ali As sendiri menjelaskan hal tersebut, “Di Khaibar saya tidak menggunakan kekuatan jasmani melainkan dengan kekuatan Rabbani.”[10]
Karena itu, dengan memperhatikan beberapa poin yang telah disebutkan, terkait dengan beberapa redaksi yang digunakan dalam riwayat terdapat dua makna yang dapat dikatakan:
1. Imam Maksum As, merupakan media bagi Allah untuk memberikan emanasi-Nya dari sumber asli kepada seluruh makhluk dan eksisten. Imam Maksum As terdahulu daripada seluruh manusia dalam menerima emanasi Ilahi, sedemikian sehingga apabila bukan karena perantara dan mediasi Imam Maksum As maka emanasi dan rahmat Ilahi tidak akan pernah sampai kepada seluruh makhluk dan eksisten; dimana keagungan ini lantaran ketinggian maqam dan derajat serta kedekatan (qurb) spiritual imam kepada sumber keberadaan. Karena itu, yang menyampaikan ucapan ini pada sebagian riwayat ini, sebagai media Ilahi dalam meluaskan bumi dan mengeluarkan mata air, gunung dan sebagainya di alam materi dimana kesemua ini merupakan emanasi-emanasi Ilahi supaya manusia dapat sampai kepada kesempurnaan dan kedekatan kepada Allah Swt di dunia ini; misalnya tatkala hujan turun pertama-tama menyirami pegunungan dan kemudian menuju pertanahan; hal ini disebabkan karena ketinggian yang dimiliki gunung.[11]
2. Kita tidak dapat memandang pada makna lahir ucapan-ucapan pada riwayat-riwayat ini; karena misalnya maksud “ana al-awwal wa al-akhir” yang merupakan kelanjutan hadis ini dan riwayat lainnya yang dinukil dari Baginda Ali sendiri, sejatinya merupakan tafsir dan makna redaksi ini bahwa orang pertama yang beriman kepada Rasulullah Saw[12] di alam ghaib dan syahâdah (penyaksian) serta seluruh alam-alam keberadaan[13] adalah Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib As. Karena itu yang dimaksud bukan makna lahiriyahnya.
3. Ucapan-ucapan dalam sebagian riwayat ini tidak bertentangan dengan keyakinan Islam; karena seluruh perbuatan yang dilakukan para Imam Maksum As merupakan cerminan dan manifestasi sempurna, lengkap, menyeluruh nama dan sifat Ilahi, semuanya tidak secara mandiri dan independen melainkan secara ikutan dan akisdental serta berada dalam lintasan vertikal kehendak Ilahi.
Kesimpulan
Karena manusia paripurna (insan kamil) merupakan cerminan dan manifestasi nama-nama dan sifat-sifat Ilahi, maka seluruh perbuatan, emanasi, rahmat dan anugerah Ilahi yang telah ditetapkan Allah Swt di alam material duniawi ini terlaksana melalui manusia paripurna ini, Ali dan para Imam Maksum lainnya merupakan media dan perantara antara Tuhan dan seluruh makhluk-Nya dalam menerima seluruh emanasi (fuyudhât) Ilahi dari sumber emanasi (faidh). Dan seluruh penciptaan semesta terlaksana melalui perantara mereka secara vertikal, ikutan dan akisdental. [IQuest]
[1]. Diadaptasi dari Indeks No. 631 (Site: 690) dan 3259 (Site:4598)
[2]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 39, hal. 348, Muassaah al-Wafa, Beirut, Libanon.
[3]. Ibid.
[4]. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Khuliqtu Ana wa Ali bin Abi Thalib min Nur Wahid” Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 15, hal. 11.
[5]. Abdullah Jawadi Amuli, Ali As Mazhar-e Asmâ-e Husnâ-e Ilahi, Penata: Sa’id Bandeali, hal. 46-47, Markaz-e Nasyr Isra, Cap-e Usweh, Cetakan Pertama, 1380 S.
[6]. Daud Qaishari, Syarh Fushus al-Hikam, Risetan Allamah Hasan Hasan Zadeh Amuli, jil. 1, hal. 247-251, Muassasah Bustan-e Kitab, Cetakan Kedua, 1386 S.
[7]. Muhammad Ya’qub bin Kulaini, Al-Kâfi, jil. 1, hal. 258. Imam Shadiq As bersabda, “Inna al-Imam idza Sya’a an Ya’lam ‘alima,” Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[8]. Abdullah Jawadi Amuli, Ali As Mazhar-e Asmâ-e Husnâ-e Ilahi, hal. 73-75.
[9]. Abdullah Jawadi Amuli, Ali As Mazhar-e Asmâ-e Husnâ-e Ilahi, hal. 89.
[10]. “Ma Qala’tu bâb Khaibar biquwwat jasmaniyah bal biquwwah Rabbaniyah.” Bihar al-Anwar, jil. 84, hal. 32.
[11]. Sayid Muhammad Taqi Naqawi Qaini Khurasani, Miftah al-Sa’âdat fi Syarhi Nahj al-Balâghah, jil. 3, hal. 4-8, Maktabat al-Mustafawi; Mir Sayid Ali Hairi Tehrani, Muqtaniyât al-Durar wa Multaqathât al-Tsamar, jil. 1, hal. 62, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Teheran, 1377 S. Silahkan lihat, Indeks: Rububiyah dan Insan Kamil, No. 3416 (Site: 4812).
[12]. Bihâr al-Anwâr, jil. 39, hal. 347.
[13]. Alam-alam yang dimaksud adalah alam anwar, mitsal, arwah, nufus dan dzar; Muqtaniyat al-Dirar wa Multaqathat al-Tsimar, jil. 1, hal. 62.