Para filosof dan teolog menyodorkan beberapa cara dan metode untuk menetapkan sifat-sifat Tuhan. Di antara cara dan metode tersebut adalah dalil-dalil rasional dan telaah pada penciptaan.
Dalam model pelbagai penalaran ini yang menjadi titik tekannya adalah menafikan tiadanya yang sia-sia dalam penciptaan dan juga bersandar pada gerakan semesta berdasarkan sistem dan tatanan ke arah satu tujuan pamungkas sehingga dengan demikian hikmah Tuhan akan ditetapkan.
Kiranya kita harus mencermati bahwa memiliki makrifat dan pengetahuan terhadap sifat-sifat Tuhan tidak dapat dibandingkan dengan pencerapan-pencerapan indrawi manusia. Namun demikian mengenal sifat-sifat Tuhan bukanlah sesuatu yang mustahil dan tidak dapat dijangkau.
Atas dasar itu ulama, baik filosof atau pun teolog menyodorkan beberapa cara dan metode untuk menetapkan sifat-sifat Tuhan. Tentu saja memanfaatkan cara dan metode ini akan mengantarkan kita kepada hasil yang ideal. Karena itu, di sela-sela pembahasan ini, kami akan menyebutkan beberapa metode dan cara tersebut.
Hanya saja sebelum mengulas pokok persoalan yaitu menetapkan hikmah dan kebijaksanan Tuhan ada baiknya kami mengemukakan beberapa poin yang dapat membantu untuk dapat memahami masalah ini dengan baik.
Poin pertama terkait dengan sifat tidak membutuhkan Tuhan. Sebagaimana yang Anda ketahui bahwa membutuhkan adalah salah satu tipologi eksisten atau entitas kontingen (mumkinat); mengingat bahwa seluruh kontingen membutuhkan sebab (sebab pengada [illat muhditsah] dan sebab pelestari [illat mubqiyah]). Namun setelah menetapkan kemestian wujud bagi Tuhan dan menafikan kontingen (mumkin) dari-Nya maka masalah membutuhkan terkait dengan Tuhan juga akan mentah dengan sendirinya.
Poin kedua bahwa Tuhan tidak akan melakukan perbuatan tercela. Untuk menetapkan hal ini kita dapat menyebutkan beberapa dalil sebagai berikut:
Dalil pertama: Allah Swt tidak memiliki stimulus atas perbuatan tercela dan setiap pelaku yang tidak memiliki stimulus atas perbuatan tercela maka terjadinya perbuatan tercela baginya adalah absurd. Karena itu terjadinya perbuatan tercela atau menyandarkan perbuatan tercela kepada Tuhan juga bersifat absurd bagi Tuhan.
Adapun dalil untuk menetapkan premis minor: Seseorang yang mengerjakan perbuatan tercela memiliki salah satu motivasi-motivasi dan stimulasi-stimulasi berikut ini:
- Seseorang yang acuh-tak-acuh dan tidak mengenal takut; artinya ia tidak mengenal takut dari celaan orang lain, tidak takut terhadap azab neraka dan ia tidak mewajibkan dirinya menjadi seorang yang bertakwa. Motivasi seperti ini tidak terdapat pada Zat Tuhan; karena Tuhan bukanlah sosok yang melakukan perbuatan sia-sia yang siap melakukan perbuatan apa saja.
- Manusia bodoh dan dungu; artinya ia tidak mengetahui keburukan dan tercelanya perbuatan sehingga ia melakukannya. Motivasi seperti ini juga tidak memiliki makna bagi Tuhan; karena Allah Swt adalah Zat Mahamengetahui secara mutlak dan tiada satu pun yang luput dari pengetahuan-Nya.
- Mengetahui keburukan sebuah perbuatan namun karena adanya sifat membutuhkan yang membuatnya melalukan perbuatan buruk; seperti seseorang yang menenggak minuman keras. Motivasi seperti ini juga tidak terdapat pada Zat Tuhan; karena Tuhan adalah Zat yang Mahakaya secara mutlak dan Dia sama sekali tidak membutuhkan.
- Manusia mengenal keburukan sebuah perbuatan namun ia terpaksa melakukannya; misalnya seorang penjahat yang terpaksa melaukan kejahatan. Motivasi seperti ini tentu saja tidak berlaku bagi Tuhan; karena tidak terdapat kekuasaan dan kekuatan yang lebih kuat dan lebih unggul melebihi kekuasaan dan kekuatan Tuhan sehingga dapat memaksannya melakukan suatu perbuatan, bahkan Dia adalah fa’âl mâ yasyah (Melakukan apa saja yang Dia ingini) dan fa’âl mâ yurid (Melakukan apa saja yang Dia kehendaki). Karena itu Allah Swt tidak memiliki movitasi untuk melakukan perbuatan buruk.
Adapun penetapan premis mayor: Allah Swt adalah pelaku mandiri dan sepanjang pelaku mandiri tidak berkuasa atas segala sesuatu dan tidak memiliki motivasi atas perbuatan tersebut maka tidak akan pernah menjadi illat tammah (sebab tuntas) dan sepanjang tidak mencapai illat tammah (sebab tuntas) maka mustahil akan lahir sebuah perbuatan. Nah terkait dengan perbuatan buruk meski terdapat kekuatan yang merupakan salah satu rukun atas lahirnya sebuah perbuatan, namun tidak terdapat motivasi yang merupakan rukun lainnya maka mustahil lahir perbuatan buruk dari Tuhan.
Masalah ini terkait dengan hal-hal buruk namun terkait dengan hal-hal baik dan mengandung kemaslahatan Tuhan di samping memiliki kekuatan juga memiliki motivasi.[1]
Beberapa Makna Hikmah
Hikmah secara leksikal bermakna ‘adl (adil), itqân (kukuh) dan lain sebagianya. Mengikut kamus, gelar hakîm dilekatkan bagi orang yang menunaikan seluruh urusannya dan kegiatannya hingga tuntas dengan kukuh.[2]
Hikmah secara teknikal terminologis juga disebutkan memiliki dua makna:
- Mengenal hakikat-hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya.
- Mengerjakan sebuah perbuatan dengan baik, sempurna, dan sesuai dengan kemaslahatan seluruh entitas dan ciptaan.
Allah Swt adalah Hakim (Mahabijak) dalam dua pengertian dan makna di atas; karena makrifat-Nya terhadap segala sesuatu merupakan makrifat yang paling sempurna dan perbuatan-perbuatan-Nya juga dikerjakan dengan paling kukuh dan kuat.[3]
Adapun dalil-dalil untuk menetapkan sifat hikmah bagi Allah Swt ini dapat dilakukan dengan beberapa jalan di antaranya adalah sebagai berikut:
- Dalil Rasional:
Di antara makna hikmah adalah bahwa perbuatan-perbuatan Allah Swt berada pada puncak rasionalitas dan amat sangat logis. Setiap perbuatan yang dilakukan bukan untuk mencapai maksud dan tujuan tertentu merupakan hal yang sia-sia di hadapan seluruh orang-orang yang berakal budi. Perbuatan sia-sia adalah buruk dan tercela di sisi orang-orang berakal sehat. Hal ini telah ditetapkan sebelumnya bahwa perbuatan buruk mustahil dapat dilakukan oleh Tuhan Yang Mahabijaksana. Karena itu perbuatan sia-sia mustahil dan tentu tidak dapat dilakukan oleh Allah Swt.[4]
Adapun disebutkan bahwa perbuatan-perbuatan Tuhan memiliki tujuan hal itu tidak bermakna bahwa tujuan tersebut secara esensial (dzati) kembali kepada Tuhan; karena sebagaimana yang telah disebutkan bahwa zat Tuhan adalah sempurna dan tidak memerlukan perbuatan-perbuatan seperti ini serta sejatinya tujuan-tujuan ini kembali dan berpulang kepada makhluk-makhluk.
Hal ini dapat dijelaskan lebih jauh bahwa terkadang seorang pelaku perbuatan melakukan sebuah perbuatan maka tujuannya kembali kepada dirinya sendiri dan terkadang melakukan sesuatu untuk berbagi dan menyampaikan manfaat kepada seseorang. Apabila tujuan termasuk pada jenis pertama maka hal tersebut merupakan tujuan untuk meraih kesempurnaan (istikmâli) dan tentu saja tidak tepat dan benar dilekatkan pada Allah Swt; karena hal itu merupakan pertanda adanya kekurangan dan cela sang pelaku perbuatan. Tentu saja Allah Swt suci dari segala bentuk kekurangan dan cela. Namun apabila tujuan yang disasar termasuk pada jenis kedua maka ia adalah kesempurnaan itu sendiri dan bersumber dari kesempurnaan pelaku.
Allah Swt memiliki selaksa sifat-sifat yang kita kenal sebagai sifat-sifat keindahan (jamâl) dan kesempurnaan (kamâl); seperti berilmu, berkuasa, menghendaki kebaikan dan lain sebagainya. Oleh itu, Entitas yang menyandang sifat-sifat seperti ini harus mengeluarkan dan mengkreasi sistem terbaik dan paling bijak karena selain dari itu maka harus dikatakan bahwa Tuhan tidak memiliki sifat-sifat seperti ini, padahal tidak demikian adanya. Karena itu Allah Swt senantiasa menyandang sifat-sifat keindahan dan kesempurnaan ini.
- Menelaah pada Âfâk dan Anfus
Allah Swt senatiasa menyeru manusia untuk merenung dan berpikir tentang alam semesta dan tentang dirinya. Allah Swt memandang bahwa salah satu jalan untuk memahami dan meraih makrifat adalah dengan cara seperti ini.[5]
Dalam hal ini harus dikatakan bahwa perbuatan sebagaimana ia menunjukkan pada pelaku (fâ’il) perbuatan, ia juga menunjukkan pada tipologi yang dimilikinya; artinya setelah mencermati pelbagai tipologi perbuatan maka kita akan memahami sifat yang disandang oleh pelaku perbuatan itu. Sejatinya dengan cara seperti ini kita akan dapat memahami sesuatu dari akibat (atsar) kepada muattsir (sebab).
Melakukan kontemplasi dan renungan tentang semesta dan pelbagai fenomena alam ini maka kita dapat melihat dengan jelas dan terang adanya kekukuhan, mekanisme, dan pelbagai keteraturan yang akurat di antara seluruh bagian-bagian yang terdapat di semesta raya. Menyaksikan pelbagai fenomena dan lintasan kesempurnaannya yang memiliki tujuan dengan memperhatikan pelbagai perbedaan yang ada di antara seluruh entitas dari sudut pandang yang berbeda-beda,[6] akan memandu kita pada sosok Sang Pencipta yang Mahatahu, Mahakuasa dan Mahabijaksana.
Adanya keanekaragaman dalam hidup merupakan dalil lainnya atas hikmah, ilmu dan kekuasaan Tuhan. Dengan adanya satu tujuan universal yang merupakan sasaran dan tujuan-tujuan seluruh kehidupan, segala sesuatu juga memiliki tujuan untuk dirinya sendiri-sendiri yang masing-masing diciptakan untuk sampai pada tujuan tersebut. Hal tersebut disertai dengan hal-hal lainya dalam melintasi jalan kesempurnaan; misalnya bumi yang melepaskan dahaganya dengan curahan air hujan. Air adalah air dan bumi adalah bumi itu sendiri namun tumbuh-tumbuhan tumbuh berkembang dari bumi dengan air ini dan pada warna, rasa dan manfaatnya juga yang masing-masing memiliki tujuan penciptaan sendiri-sendiri berbeda dengan tumbuh-tumbuhan lainnya. Setiap tumbuhan diciptakan dengan tujuan tertentu dan seiring sejalan dengan tumbuhan lainnya untuk melintasi kesempurnaan.[7]
Karena itu, dengan memperhatikan apa yang telah disinggung di atas baik dari sudut pandang dalil-dalil rasional dan pendukung-pendukung lainnya harus dikatakan bahwa hikmah Allah Swt adalah menyampaikan seluruh enititas dan makhluk kepada kesempurnaannya masing-masing yang layak diraihnya. Demikian juga, Allah Swt itu Mahabijak bermakna bahwa perbuatan-Nya memiliki tujuan namun bukan untuk diri-Nya.
Akhir kata, hikmah setiap makhluk dan entitas memiliki tujuan yang terpendam dalam esensi setiap makhluk dan ketika kita berkata Allah Swt itu Mahabijaksana artinya adalah bahwa Dia yang memotivasi seluruh makhluk dan entitas kepada tujuan-tujuan natural dan penciptaannya.[8] [iQuest]
[1]. Muhammad Ali, Syarh Kasyf al-Murâd, hal. 213, Dar al-Fikr, Qum, Cetakan Keempat, 1378 S.
[2]. Jamaluddin Ibnu Manzhur, Lisân al-‘Arab, jil. 12, hal. 140, Dar Shadir, Beirut, Cetakan Pertama, 1410 H.
[3]. Syarh Kasyf al-Murâd, hal. 196.
[4]. Ibid, hal. 216.
[5]. “Dan Dia-lah yang menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan. Setelah itu Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur. Dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan (perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.”
(Qs. Al-An’am [6]:99); “Sesungguhnya dia langit dan bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) untuk orang-orang yang beriman.” (Qs. Al-Jatsiyah [45]:3)
[6]. “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah penciptaan langit dan bumi serta bahasa dan warna kulitmu yang beraneka ragam. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Qs. Al-Rum [30]:22)
[7]. Tafsir Hidâyat, jil. 3, hal. 130, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[8]. Murtadha Muthahhari, Majmu’e Âtsâr, jil. 1, hal. 194, Intisyarat Shadra, Teheran.