Apabila seseorang meyakini bahwa sebagian orang dapat melakukan perhitungan secara mandiri tanpa izin Ilahi dan menentukan ganjaran dan hukuman baginya jelas bahwa keyakinan ini tidak sesuai dengan ajaran dan kebudayaan agama. Di samping itu, hal ini berseberangan dengan konsep tauhid perbuatan (fi’li).
Akan tetapi apabila seseorang meyakini bahwa sebagian orang dari orang-orang terpilih dan orang-orang mukhlis, bukan secara mandiri, melainkan dengan izin Ilahi, dapat melakukan perhitungan seluruh makhluk dan menentukan ganjaran atau hukuman bagi mereka, maka perkara ini mungkin saja dapat dilakukan dan bukan sesuatu yang mustahil baik secara rasional atau syariat.
Kepelikan apa yang akan muncul apabila Tuhan hendak mengapresiasi orang-orang yang menghabiskan seluruh hidup dan kemampuannya untuk agama. Jiwa dan seluruh hartanya ia dermakan untuk agama, seperti Imam Husain bin Ali As, dengan mendelagasikan perhitungan seluruh makhluk kepada mereka dan dengan berdasarkan keadilan Ilahi, mereka memberikan ganjaran dan hukuman kepada seluruh makhluk.
Sebelum menjawab pertanyaan, kiranya kami perlu membahas sebuah kerancuan yang terdapat dalam pertanyaan yang diajukan.
Kemustahilan yang mengemuka dalam pertanyaan tidak jelas apakah terkait dengan tingkat tsûbût (teori) atau itsbât (praktik)?
Dengan kata lain, tidak jelas dalam pertanyaan yang diajukan apakah terkait dengan inti probablitas bahwa selain Tuhan yang melakukan perhitungan atas hamba-hamba-Nya, atau bahwa inti persoalan ini bukan sesuatu yang mustahil. Namun, kemudian pertanyaan yang mengemuka terkait dengan kedudukan dan martabat para Imam Syiah?
Karena itu, kita akan membahas dan menjawab kedua pertanyaan tersebut:
Dalam pembahasan tsûbût (teori) dan probabilitas, terdapat dua kemungkinan yang dapat digambarkan.
A. Bahwa sebagian orang yang secara mandiri dan tanpa izin Ilahi (sederetan secara horizontal dengan kehendak Tuhan) mampu membuat perhitungan, menetapkan ganjaran dan hukuman bagi para hamba Tuhan. Jelas bahwa seseorang meski dengan pengetahuan minimal terhadap ajaran agama tidak akan menerima anggapan seperti ini. Di samping itu, anggapan atau keyakinan semacam ini bertolak belakang dengan konsep tauhid perbuatan (fi’li) Tuhan; karena itu tidak seorang mukmin pun yang dapat menerima keyakinan semacam ini.
B. Bahwa sebagian orang tertentu, terpilih dan mukhlis, tidak secara mandiri, melainkan dengan izin Ilahi (sejejeran secara vertikal dengan kehendak Tuhan) mampu melakukan perhitungan atas catatan amal perbuatan makhluk ciptaan Tuhan. Mereka menetapkan ganjaran dan hukuman bagi makhluk ciptaan Tuhan. Perkara ini merupakan perkara yang mungkin saja terjadi dan dapat diterima serta sama sekali bukan hal yang mustahil secara rasional dan syariat.
Adapun terkait dengan itsbat (praktik) dan perwujudan luaran (tahaqquq khâriji), supaya sampai pada sebuah jawaban yang komprehensif dan adekuatif, kiranya kita harus memperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Tidak diragukan bahwa pada pandangan pertama, secara esensial dan mandiri, seluruh urusan berada di tangan Tuhan dan tiada makhluk pun yang bermitra dengan Tuhan dalam masalah ini.[1]
2. Kendati Tuhan dengan sendirinya memiliki kemampuan untuk melakukan segala perbuatan dan dengan kehendak-Nya segala sesuatunya akan terwujud,.[2] namun sunnah dan metode Ilahi mengharuskan bahwa segala sesuatu berlaku mengikut aturan dan caranya sendiri-sendiri. Karena itu, Dia mendelegasikan kepada makhluk ciptaan-Nya karena itu dapat kita saksikan para utusan dan rasul Tuhan di dunia dan akhirat yang mendapatkan delegasi dan wewenang dapat melakukan banyak hal. Misalnya dengan memperhatikan bahwa kita tahu kematian dan kehidupan berada di tangan Tuhan, tetapi dalam al-Qur’an, Allah Swt menyandarkan pencabutan jiwa (nyawa) kepada malaikat maut[3] atau pada ayat lainnya kepada para malaikat.[4]
Atau terkait dengan berita gembira yang disampaikan kepada Zakariya tentang (kelahiran) Yahya, meski Tuhan mampu melakukan perbuatan ini tanpa perantara, tetapi kita saksikan bahwa malaikat yang ditugaskan untuk melakukan perbuatan ini dan berfirman, Kemudian Malaikat (Jibril) memanggil Zakaria, sedang Zakaria tengah berdiri melakukan salat di mihrab, (seraya berkata), “Sesungguhnya Allah memberi berita gembira kepadamu dengan kelahiran (seorang putramu) Yahya, yang membenarkan kalimat (yang datang) dari Allah, menjadi panutan, menahan diri (dari hawa nafsu), dan seorang nabi yang termasuk keturunan orang-orang saleh.” (QS. Ali Imran [3]:39) dan hal-hal lainnya yang semisal dengan masalah ini terdapat pada ayat-ayat al-Qur’an dan riwayat.
Dengan memperhatikan pembahasan yang dijelaskan di atas, terlaksananya perbuatan ini (perhitungan dan penetapan ganjaran atau hukuman) yang dilakukan oleh sebagian orang terpilih, tentu bukan merupakan sebuah pekerjaan yang pelik dan sukar. Kepelikan apa yang akan muncul apabila Tuhan ingin mengapresiasi orang-orang yang menghabiskan seluruh hidup dan kemampuannya untuk agama, jiwa dan seluruh hartanya ia dermakan untuk agama, seperti Imam Husain bin Ali As,[5] dengan mendelagasikan perhitungan seluruh makhluk kepada mereka. Dan, berdasarkan keadilan Ilahi, mereka memberikan ganjaran dan hukuman kepada seluruh makhluk.
Dalam literatur-literatur Ahlusunnah dalam tafsir ayat, Hari tatkala manusia seluruhnya diseru dengan imam mereka,. terdapat sebuah riwayat yang dinukil Rasulullah Saw dan Baginda Ali As: Rasulullah Saw bersabda, “Yad’u kullu qaûm biimâm zamânihim wa kitâbi rabbihim wa sunnati nabiyyihim.” Setiap kaum akan diseru bersama dengan imam zaman mereka, kitab Tuhan mereka dan sunnah nabi mereka.”[6] Diriwayatkan dari Imam Ali As bahwa beliau bersabda, “Setiap orang akan diseru bersama imam zamannya.”[7] Karena itu, kritikan dan keberatan apa yang diarahkan kepada keyakinan Syiah ini, sementara hal ini juga terdapat pada literatur-literatur Ahlusunnah.
Untuk diketahui, dalam al-Qur’an disebutkan bahwa Allah Swt, Rasulullah Saw dan orang-orang beriman sebagai para pengawas segala perbuatan manusia,[8] dimana orang-orang beriman ini ditafsirkan sebagai para imam sesuai dengan riwayat kami (Syiah).[9]
Dengan memperhatikan ayat ini dan ayat sejenis demikian juga sebagian riwayat yang terkait dengan ayat-ayat ini, menjadi jelas bahwa mereka yang menjadi pengawas perbuatan para hamba entah ia akan dimanfaatkan sebagai saksi ataukah hakim dan yang membuat perhitungan bagi mereka.
Pada sebagian riwayat, berapa hikmah atas persoalan ini juga dijelaskan.
Dalam sebuah riwayat yang dinukil dari Imam Shadiq dalam penafsiran ayat, “Wa ‘ala al-a’raf rijalun ya’rifun” (Dan di atas al-A‘râf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu, Qs. Al-A’raf [7]:46) Diriwayatkan bahwa terdapat imam zaman bagi setiap umat. Mereka melakukan perhitungan atas umatnya dan para Imam Maksum As mengenal sahabat dan musuhnya. Demikianlah makna firman Tuhan, “Wa ‘ala al-a’raf rijalun ya’rifun.” [10]
Melalui riwayat Qummi, Imam Shadiq As bersabda, “Setiap umat akan dihitung catatan amalnya oleh imam zamannya. Para imam mengenal sahabat dan musuhnya, sebagaimana firman Allah Swt, “Wa ‘ala al-a’raf rijalun ya’rifun kullan bisimaihim” (Dan di atas al-A‘râf itu ada orang-orang yang mengenal masing-masing dari dua golongan itu itu dengan tanda-tanda mereka, Qs. Al-A’raf [7]:46) Dan orang-orang itu adalah para Imam Maksum. Dengan demikian, pada hari itu, catatan amal para sahabatnya akan diberikan melalui tangan kanan mereka dan catatan amal musuh-musuhnya diberikan melalui tangan kiri mereka. Kelompok pertama akan memasuki surga dan kelompok kedua akan digiring ke neraka.”[11] [IQuest]
[1]. Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan keputusan. (QS. Al-Kahf [18]:26)
[2]. Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya, “Jadilah!” Maka terjadilah. (QS. Yasin [36]:82)
[3]. Katakanlah, “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa)mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhan-mulah kamu akan dikembalikan.” (QS. Al-Sajdah [32]:11)
[4]. Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut jiwa orang-orang yang kafir seraya memukul muka dan belakang mereka (sembari berkata), “Rasakanlah siksa neraka yang membakar”, (tentulah kamu akan merasa ngeri).” (QS. Al-Anfal [8]:50)
[5]. Abu Hanifah Ahmad bin Daud Dainawari, Akhbâr al-Thawwal, Mahmud Mahdawi Damaghani , hal. 298-308, Teheran, Nasyr-e Nei, Cetakan Keempat, 1371 S.
[6]. Jalaluddin Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr fi Tafsir al-Ma’tsûr, jil. 4, hal. 194, Nasyir Kitab Khane Mar’asyi Najafi, Qum, 1404 H.
[7]. Muhammad bin Ahmad Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, jil. 11, hal. 297, Intisyarat-e Nashir Khusru, Teheran, Cetakan Pertama, 1364 S.
[8]. “Dan katakanlah, “Beramallah kamu, maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat amalmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia memberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Qs. Al-Taubah [9]:105)
[9]. Kulaini, Kâfi, jil. 1, hal. 219, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Cetakan Keempat, Teheran, 1365 S.
[10]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 27, hal. 315, Muassasah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[11]. Ali Ibrahim Qummi, Tafsir al-Qummi, jil. 1, hal. 231, Dar al-Kitab, Qum, Cetakan Keempat, 1367 S.