Berdasarkan terminologi yang mengemuka dalam pertanyaan ini, maka pandangan yang diterima dalam Islam adalah pandangan evolusionisme.
Islam adalah sebuah agama yang menjadikan fitrah manusia sebagai objek wicaranya dan seluruh kaum dan bangsa pada seluruh masa semenjak kemunculan Islam. Karena itu, seluruh agama pra-Islam juga menjadi objek seruan Islam.
Sebagian ucapan para arif terkait dengan hakikat-hakikat Ilahi para nabi yang menyinggung masalah wahdat (kesatuan) dalam keragaman (katsrat) tidak bermakna satunya agama tersebut itupun dengan selaksa penyimpangan dan perubahan, melainkan para arif mengetahui dengan baik kedudukan khusus Islam Muhammadi dan mereka menyokong adanya propaganda dan tablig atas agama ini.
Meski sumber azali agama dan tujuan pamungkasnya tidak lain kecuali Allah Swt, tetapi pada tingkatan penjelasan, berdasarkan pelbagai tuntutan dan kapasitas manusia serta kebutuhan terhadap pelbagai petunjuk kenabian, terdapat syariat-syariat melalui para nabi Ilahi sepanjang perjalanan zaman hingga kemudian menyempurna pada agama dan syariat Islam oleh nabi akhir zaman.
Yang dimaksud dengan agama pada tingkatan ini adalah seperangkat aturan praktis yang diwahyukan untuk keselamatan manusia dalam kehidupan duniawi dan ukhrawi. Agama menunjukkan jalan kebahagiaan dan keselamatan kepada manusia pada setiap zaman.
Sebelum kita membahas perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara agama-agama, pertama-tama kiranya kita harus ketahui bahwa dalam pandangan Islam, manusia memiliki fitrah tunggal. Adapun perbedaan suku bangsa, kabilah, geografi dan waktu semata-mata merupakan perbedaan lahiriah saja. Karena itu, apabila manusia memiliki fitrah tunggal, maka suatu hal yang wajar apabila jalan keselamatannya juga memiliki rukun, pokok yang tetap dan azali. Syariat permanen dan azali ini di sisi Tuhan berada di luar pelbagai perbedaan dari sisi lingkungan dan letak geografis dan seterusnya. Syariat permanen dan azali ini sebagai sebuah realitas dan hakikat permanen serta menjadi objek perhatian seluruh nabi Ilahi adalah agama azali ini yang sesuai dengan fitrah manusia.
Namun yang pasti adalah bahwa pusparagam tuntutan dan kebutuhan manusia terhadap petunjuk pada seluruh tingkatan kesempurnaan dan pada setiap episode itu tidaklah satu dan terdapat pelbagai perbedaan di antara agama-agama juga berangkat dari pelbagai tuntutan dan kebutuhan ini.
Untuk menjelaskan beberapa dimensi masalah ini, kita harus meninjaunya dari tingkatan-tingkatan agama. Beberapa tingkatan ini diklasifikasi secara hierarkis semenjak sumber agama dan berlanjut hingga sampainya pada tingkatan agama secara umum. Tingkatan ini dapat dibagi menjadi empat bagian sebagai berikut:
1. Agama nafs al-amr: Agama yang terdapat pada ilmu Ilahi dan menjadi kehendak Rabbani yang memberikan petunjuk kepada manusia menuju kebahagiaan merupakan agama nafs al-amr (hakiki). Agama nafs al-amr merupakan naskah kebahagiaan manusia ini yang terdapat pada lauh mahfuzh, hakikat yang sebenarnya dan fakta yang tetap.[1]
2. Agama mursal: Agama pada tingkatan mursal (apa yang diturunkan kepada nabi dan rasul), yaitu segala yang telah dikirimkan oleh Tuhan kepada para nabi untuk membimbing manusia dalam bentuk agama.
3. Agama maksyuf: Agama pada tingkatan maksyuf (apa yang dipahami oleh manusia biasa), yaitu apa-apa yang akan menjadi jelas bagi seseorang dari agama pada tingkatan alam Ilahi atau pada tingkatan mursal dengan merujuk kepada akal dan teks atau nukilan.
4. Agama yang terlembagakan: Agama yang berada pada tingkatan maksyuf dan terlembagakan kemudian muncul dalam bentuk suatu ajaran yang dianut oleh sebagian kelompok masyarakat.[2]
Sekarang kita berkata bahwa agama mursal karena sampai kepada manusia melalui para nabi, dan pelbagai tipologi rasul, bergantung dari sisi tingkatan spiritual dan tipologi masyarakat, batasan ruang dan waktunya. Semakin tinggi derajat tingkatan seorang rasul, maka semakin tinggi tingkat aksesnya melalui perantara wahyu kepada agama nafs al-amr (hakiki). Dan, semakin tinggi tingkat kemampuan kebudayaan masyarakat yang menjadi objek wicara pesan wahyu tersebut, maka semakin tinggi mereka dapat memanfaatkan agama nafs al-amr. Semakin luas ruang dan waktu suatu agama dan semakin objek wicaranya semakin banyak pada pelbagai masa dan negeri, maka semakin banyak agama mursal ini mendapatkan manfaat dari agama nafs al-amr.
Dengan karakteristik agama pamungkas ini, yaitu agama mursal terakhir, yang pembawa pesannya merupakan rasul paling utama dan objek dakwahnya adalah seluruh manusia semenjak masa pewahyuan hingga hari Kiamat, maka sudah merupakan suatu hal yang wajar apabila agama yang dibawanya merupakan agama terparipurna dan mencakup seluruh agama nafs al-amr yang dijelaskan melalui wahyu dan nukilan (ayat dan riwayat).[3]
Sesuai dengan pendedahan di atas, maka menjadi jelas bahwa berdasarkan beberapa terminologi yang mengemuka dalam pertanyaan ini, pendekatan yang diterima dalam Islam adalah pendekatan evolusionisme.
Karena itu, Islam merupakan sebuah agama fitrah yang menjadikan manusia sebagai objek dakwahnya dan termasuk seluruh kaum, suku bangsa dan setiap masa pasca kemunculan Islam. Dengan demikian, seluruh pengikut agama terdahulu pra-Islam juga diseru dan diajak kepada Islam. Atas dasar itu, para pencari kebenaran yang mampu menyingkap pelbagai hijab dan penghalang hakikat – apa pun agama dan mazhabnya – sampai kepada hakikat kebenaran Islam dan memperkenalkan Islam sebagai agama hakiki.
Penegasan atas hakikat menjulang seluruh agama boleh jadi menjadi pendahuluan untuk memahami dan mengenal hakikat cerlang Islam. Selain itu, apabila dimaknai penetapan dan pembuktian setiap orang atas agama dan kebiasaan yang diwarisinya, maka hal itu bermakna menyelinapkan manusia pada tingkatan pengetahuan cacatnya. Dan, sesuai dengan asumsi ini, maka risalah khusus Islam sebagai pesan pamungkas Ilahi tidak dapat digambarkan. Di samping itu, tidak ada satu pun analisis logis yang dapat diajukan terkait dengan kepamungkasan (khatamiyat).
Sebagian tuturan para arif berkaitan dengan hakikat-hakikat Ilahi para nabi yang semuanya merupakan manifestasi-manifestasi hakikat Muhammadiyah Saw yang menyinggung pada jenis kesatuan (wahdah) dalam kejamakan (katsrat) sekali-kali tidak bermakna sederajat dan setaranya pandangan mereka terhadap seluruh agama yang itu pun dalam perjalanan sejarahnya mengalami banyak penyimpangan dan perubahan. Tuturan para arif menandaskan bahwa mereka mengetahui kedudukan khusus Islam Muhammadi dan menegaskan secara sempurna atas propaganda dan penyebaran Islam. Sudah tentu,mengekspresikan kecintaan mereka terhadap makam Ilahi seluruh manusia demikian juga memuliakan seluruh agama Ilahi tidak bermakna kebenaran setiap mazhab atau agama.
Dalam pandangan para arif, seluruh manusia dalam pencarian kebenaran absolut, kekuasaan absolut, dan pengetahuan absolut dan sebagainya yaitu Allah Swt. Seluruh agama merupakan simbol dari hakikat kemanusiaan ini. Sebagian dari tuturan para arif ini di antaranya, di balik kekufuran terpendam tauhid, zir-e kufr tauhid ast penhân,[4] adalah menyoroti masalah ini dan tidak bermakna kebenaran seluruh agama.
Karena itu, kita tidak dapat mengabaikan dan menghakimi begitu saja beberapa isyarat, tuturan dan beberapa ekspresi lainnya para arif atau tanpa riset mendukung pendapat khusus ihwal Islam dan agama-agama lainnya. [IQuest]
[1]. Dan sesungguhnya Al-Qur’an itu dalam induk al-Kitab (Lauh Mahfûzh) di sisi Kami adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah. (QS. Al-Zukhruf [43]:4)
[2]. Mahdawi Hadawi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd, hal. 386, Muassasah Farhanggi Khane Kherad, Qum, 1381 S.
[3]. Ibid, hal. 388.
[4]. Syabistari, Gulsyan-e Râz.