Please Wait
Hits
29553
Tanggal Dimuat: 2010/05/09
Kode Site fa8238 Kode Pernyataan Privasi 8128
Tema Hukum dan Yurisprudensi
Ringkasan Pertanyaan
Apa saja yang menjadi syarat-syarat nikah Mut’ah?
Pertanyaan
Assalamu 'Alaikum Wr.Wb.
Allahumma Shalli 'Ala Muhammad wa Ali Muhammad.
Fenomena nikah mut'ah berkembang begitu pesat, bukan hanya di Makassar tapi juga di tempat kami di Parepare. Pengamalan nikah mut'ah di kalangan mahasiswa di Parepare tergolong serampangan. Menurut info dr salah seorang mahasiswa, ada teman sekosnya yang memut'ahi 3 wanita sekaligus. Dari orang yang sama, saya juga mendengar ada seorang mahasiswi yg telah dimut'ahi oleh temannya dan hal itu diketahui oleh orang tua si mahasiswi tersebut. Orang tuanya marah. Sang mahasiswi itu minta kepada lelaki yg pernah memut'ahinya untuk menikahinya secara da'im, agar dia bisa terlepas dr murka orang tuanya. Tapi sang mantan suami menolak, dgn alasan tdk ada dalam perjanjian sebelumnya. Satu hal lagi yang menjadi bahan renungan saya selama ini, yaitu bahwa ada seorang ustadz yang mengajarkan doktrin seperti ini: Jika seorang wanita diajak oleh seorang pria untuk bermut'ah, lalu sang wanita menolak, maka sang wanita itu sudah dalam kesesatan. Karena itu, tinggalkanlah dia (wanita itu). Doktrin lain (dari ustadz yg sama) mengatakan: Jika seorang pria dan wanita telah mengetahui hukum sahnya nikah mut'ah maka wajib hukumnya untuk mengamalkan nikah tersebut.
Dua doktrin ini menjadi senjata bagi mahasiswa untuk menunjuk mahasiswi mana yang dia ingin mut'ahi. Dan wanita yg ditunjuk itu tidak memiliki alasan untuk menolaknya. Dalam hal ini, wanita berada pada kondisi dipaksa (terpaksa). Padahal setau saya, satu-satunya pernikahan dimana wanita berada pada posisi merdeka untuk menentukan dirinya adalah dalam nikah mut'ah. Tapi dengan kedua doktrin di atas, wanita menjadi tidak merdeka lagi tapi terpaksa atau dipaksa oleh dalil syariat (doktrin tsb).
Karena itu banyak wanita yg menderita, karena di satu sisi dia ingin mengamalkan ajaran Ahlulbait namun pada saat yg sama dia takut diajak mut'ah dgn lelaki yg tdk dia suka. Nah, dari paparan saya di atas, saya mohon penjelasan mengenai 2 doktrin yg sering dilontarkan oleh ustdaz-ustadz muda kita di atas. Apakah itu benar menurut ajaran para Mullah di Iran? Apa syarat-syarat yang sah dari nikah mut'ah tersebut? Wassalam.
Jawaban Global

Dalam pandangan Islam, pernikahan, baik pernikahan itu permanen atau temporer (mut’ah) dilangsungkan berdasarkan keridhaan kedua belah pihak. Demikian juga pernikahan temporer seperti pernikahan permanen, hukumnya mubah dan dianjurkan. Namun hal ini tidak bermakna harus dan wajib dilakukan. Atas dasar itu, apabila seorang putri menolak lamaran seorang pria untuk pernikahan temporer maka ia tidak melakukan dosa. Pernikahan temporer memiliki syarat-syarat yang akan dijelaskan sebagian dari syarat-syarat tersebut pada jawaban detil.

Jawaban Detil

Dalam pandangan Islam, pernikahan baik permanen (daim) atau temporal (mut’ah) merupakan sebuah urusan ikhtiari. Ikatan pernikahan yang berlansung di antara keduanya harus berdasarkan kerelaan dan keridhaan kedua belah pihak. Pernikahan temporer (mut’ah) adalah sebuah pernikahan yang terjalin di antara seorang pria dan wanita yang tidak memiliki halangan sama sekali untuk menikah dan dilangsungkan berdasarkan keridhaan kedua belah pihak, disertai mahar yang ditentukan hingga waktu tertentu. Nikah seperti ini tidak memiliki talak. Seiring dengan berakhirnya masa waktu nikah maka secara otomatis pasangan suami dan istri akan berpisah.[1]

Dalam pandangan Islam, sahih dan validnya pernikahan temporer tatkala memenuhi beberapa persyaratan. Di sini kami akan menyebutkan sebagian dari persyaratan tersebut:

1.     Membaca formula akad (semata-mata rela dan ridha di antara kedua belah pihak, pria dan wanita tidak memadai melainkan harus disertai dengan ekspresi lafaz khusus).

2.     Sesuai dengan ihtiyath wajib, formula akad harus disampaikan dalam bahasa Arab yang benar. Dan apabila pria dan wanita tidak dapat membaca akad dalam bahasa Arab dengan benar maka keduanya dapat (dibolehkan) membaca akad dengan bahasa mana pun dan tidak diwajibkan bagi mereka untuk mengambil wakil akan tetapi sedemikian ia berkata-kata sehingga makna “zawwajtu” (aku nikahkan) dan “qabiltu” (aku terima) dapat dipahami dengan benar.

3.     Menentukan dan menyebutkan mahar tatkala membacakan akad.

4.     Orang yang melangsungkan akad (yang menikah) itu harus berakal dan berusia baligh.

5.     Anak putri yang telah mencapai usia baligh dan rasyidah yaitu telah mampu mengidentifikasi kemaslahatannya apabila ia ingin bersuami. Jika ia seorang perawan maka ia harus meminta izin dari orang tuanya atau dari kakeknya (dari pihak ayah). Namun apabila ia tidak lagi perawan dan keperawanannya hilang lantaran pernikahan (sebelumnya) maka ia tidak lagi memerlukan izin dari ayah atau kakeknya (dari pihak ayah).

6.     Wanita dalam proses berlangsungnya akad temporer (mut’ah), ia tidak terikat akad permanen (daim) atau temporer (mut’ah) dengan orang lain (bukan istri orang lain) dan juga tidak berada dalam masa iddah akad permanen atau temporer orang lain.

7.     Pria dan wanita harus ridha dan rela atas pernikahan dan bukan karena terpaksa (atau dipaksa) sehingga keduanya menikah.[2]

8.     Demikian juga wanita tatkala ingin melangsungkan akad dengan seorang pria, (hal itu dapat dilakukan) apabila ia telah melangsungkan akad lainnya dan telah mendapatkan talak atau masa akad mut’ahnya telah habis maka masa iddah juga telah ia lalui (iddahnya sudah habis).

9.     Syarat lainnya adalah bahwa wanita yang telah menikah dan terikat dengan akad lainnya tidak melakukan zina dengan seorang pria yang ia niatkan untuk menikah dengannya; karena apabila seorang pria berzina dengan seorang wanita yang telah menikah maka wanita itu haram bagi pria tersebut untuk selamanya.[3]

 

Karena itu dalam pandangan Islam pernikahan, apakah itu pernikahan permanen atau pernikahan temporal berlangsung atas keridhaan dua belah pihak (pria dan wanita) dan apabila wanita atau seorang wanita menolak lamaran seorang pria untuk melangsungkan pernikahan temporal (mut’ah) maka sesunggunya ia tidak melakukan dosa. [IQuest]



[1]. Diadaptasi dari Jawaban Global Pertanyaan 844 (Site: 915) (Bolehnya melangsungkan pernikahan temporer).  

[2]. Taudhi al-Masâil Marâji’, jil. 2, 449-460; Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 701-707 dan juga hal. 734-736.  

[3]. Diadaptasi dari Pertanyaan 961 (Site: 1099) (Pernikahan Kembali pasca Pernikahan Temporer)