Pertanyaan ini bertautan dengan adanya beberapa perbedaan antara Rasulullah Saw dan selainnya. Perbedaan ini tidak berkaitan dengan perbedaan-perbedaan umum antara kaum pria dan kaum wanita dalam hubungannya dengan masalah seksual (yang pada tempatnya telah dibahas tentan dalil-dalilnya). Atas dasar itu secara global harus dikatakan:
- Pelbagai keistimewaan dan privilege yang diberikan kepada Rasulullah Saw sebagai imbalan atas pelbagai taklif yang diemban yang secara khusus berada dalam tanggungan beliau.
- Rasulullah Saw sekali-kali tidak pernah menggunakan pelbagai keistimewaan ini secara ekstrem.
- Berdasarkan keyakinan Syiah terkait dengan kebolehan pernikahan temporer, itu pun secara tidak terbatas, maka praktis tidak terdapat perbedaan antara Rasulullah Saw dan para pria lainnya.
- Pelbagai keterbatasan yang dilimpahkan kepada para istri Rasulullah Saw meski sesuai dengan kedudukan mereka, namun demikian, mereka tidak dalam kondisi terpaksa melanjutkan kehidupan mereka bersama Rasulullah Saw, bahkan dengan kerelaan mereka sendiri, mereka menerima adanya pelbagai keterbatasan ini.
Pada hakikatnya pertanyaan ini terbagi menjadi beberapa bagian dan atas dasar itu jawabannya juga harus disajikan dalam beberapa fokus pembahasan:
- Apakah seluruh hal yang disebutkan pada ayat lima puluh tiga surah al-Ahzab terkhusus kepada Rasulullah Saw?
- Mengapa jenis khusus dalam memilih istri terkhusus pada Rasulullah Saw sehingga para wanita Mukminah dapat menghadiahkan dirinya kepada Rasulullah Saw dan menjadi istri Rasulullah Saw tanpa menerima mas kawin?
- Mengapa Rasulullah Saw memiliki beberapa keunggulan khususnya atas yang lain dalam masalah-masalah seksual?
- Mengapa dengan adanya pelbagai keunggulan ini bagi pribadi Rasulullah Saw, para istri beliau tidak memiliki bahkan hak-hak yang diterima bagi kaum wanita lainnya dan tidak memiliki hak untuk menikah dengan pria lain pasca wafatnya Rasulullah Saw?
Berdasarkan urutan klasifikasi pertanyaan di atas, mari kita kaji beberapa bagian pertanyaan di atas sebagai berikut:
- Pertama-tama kiranya kita perlu dengan meninjau ayat yang dimaksud sekaligus menjawab pertanyaan pertama Anda. Allah Swt pada ayat ini berfirman kepada Rasulullah Saw: “Hai nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ayahmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayahmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersamamu, dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada nabi kalau nabi mau mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzab [33]:50)
Dengan berbekal sedikit pengetahuan tentang hukum syariat, kita akan memahami persoalan bahwa kaum wanita yang disebutkan pada ayat ini, meski kecuali dalam satu hal, tidak terkhusus bagi Rasulullah Saw dan mencakup seluruh orang. Rasulullah Saw yang menjadi obyek ayat ini dengan redaksi kalimat, “ahlalnâ laka” (Kami telah menghalalkan bagimu) bukan dalil atas pembatasan secara eksklusif hanya untuk Rasulullah Saw melainkan pada ayat-ayat lainnya juga dijumpai bahwa obyek wicara ayat pada mulanya adalah Rasulullah Saw, namun hukum yang terdapat pada ayat tersebut mencakup seluruh orang.[1]
- Satu-satunya hal yang disebutkan pada ayat di atas terkhusus pada Rasulullah Saw adalah redaksi ayat, “khalisatan laka” (sebagai pengkhususan bagimu) adalah tempat ketika para wanita dengan kerelaan dan sesuka hatinya sendiri menyerahkan dirinya kepada Rasulullah Saw. Pernikahan dengan model seperti ini, terkhusus bagi Rasulullah Saw dan orang lain tidak memiliki jalan untuk menggunakan cara-cara seperti ini. Namun apabila Anda teliti dan cermat dalam hal ini maka kita akan memperoleh kesimpulan yang menarik sebagai berikut:
Pertama: model ini pada tataran praktik tidak terdapat jalan yang mengikat bahwa pembatasan ril bagi Rasulullah Saw, melainkan apabila seorang wanita merujuk kepada orang lain dan mengumumkan kesukaannya untuk menikah dengan pria tersebut, maka ia memiliki kemungkinan untuk menikah. Perbedaannya adalah Rasulullah Saw boleh tidak menyerahkan mas kawin dan menikah dengannya sementara pria lain memiliki kewajiban untuk menyerahkan mas kawin kepada istrinya.[2]
Kedua: Sebagian ahli tafsir meyakini bahwa Rasulullah Saw sama sekali tidak pernah menggunakan hak eksklusif ini sepanjang hidupnya.[3] Namun sebagian ahli tafsir lainnya berpandangan bahwa hanya terdapat seorang wanita yang menikah dengan cara seperti ini yang berdasarkan sebagian nukilan, ia adalah seorang wanita janda atau ditalak yang juga memiliki seorang anak bernama Syarik.[4] Atas dasar itu, kita tidak dapat memandangnya sebagai privilige eksklusif bagi Rasulullah Saw dan menganggapnya sebagai sejenis tuntutan untuk mendapatkan layanan seksual yang lebih.
-
Sehubungan dengan alasan mengapa pada umumnya kaum pria dapat menikah maksimal dengan empat orang wanita,[5] namun tidak terdapat keterbatasan dari sisi jumlah bagi Rasulullah Saw, harus dikatakan bahwa:
- Sisi-sisi yang telah ditinjau bagi Rasulullah Saw di hadapan seabrek taklif berat yang dibebankan di pundaknya. Atas dasar itu, kita saksikan bahwa apabila dalam suatu hal, privilege dengan redaksi kalimat, “khalishatan laka” yang diberikan kepadanya, dalam hal lain, tahajjud dan menghidupkan malam juga dengan redaksi “nafilatan laka” terbatas secara eksklusif yang diwajibkan baginya. Hal ini meski adanya anjuran bagi orang lain, namun apabila Rasulullah Saw meninggalkannya tidak akan menimbulkan konsekuensi hukuman baginya. Sebagian orang meyakini bahwa Rasulullah Saw disebabkan oleh, dari satu sisi, berada pada puncak irfan dan hubungan dengan Sumber Keberadaan, dan dari sisi lain, pada dunia materi, memiliki tugas untuk hidup secara normal, memerlukan media-media penyeimbang yang salah satunya adalah berinteraksi dengan para istri.
- Sejarah menunjukkan adanya pembentukan tempat-tempat harem dengan sepuluh atau terkadang seratus istri yang dilakukan oleh para penguasa. Adapun Rasulullah Saw, meski secara teoritis, boleh mendirikan tempat-tempat harem seperti ini, namun pada tataran praktik, sesuai dengan nukilan yang masyhur, para istri beliau juga tidak cukup dengan angka 10 bilangan jari, yang selain dalam satu hal, seluruh istri beliau yang dipilih dari kalangan janda dan orang-orang yang ditalak. Kesemua ini, menunjukkan bahwa semata-mata motivasi seksual bukan menjadi faktor atas pernikahan-pernikahan seperti ini.
- Dalam pandangan Syiah, selain Rasulullah Saw, orang lain dari sisi jumlah bilangan istri, hanya dapat menikah dengan empat istri secara permanen (daim) [6] dan istri-istri lainnya harus secara temporer (mut’ah). Berdasarkan hal itu dan pada tataran praktik, tidak terdapat diskriminasi antara Rasulullah Saw dan para pria dalam pelbagai ekspresi kebebasan seksual.
- Terlepas dari sebagian perbedaan natural libido yang di antara pada setiap orang, Anda tidak menemukan satu pun hal sehubungan dengan salah satu istri Rasulullah Saw yang mengeluh terkait dengan tiadanya perhatian beliau terhadap hasrat-hasrat seksual mereka dan dapat dikatakan mereka seluruhnya rela dengan kondisi yang ada, sebagaimana pada bagian-bagian selanjutnya akan kita saksikan, mereka sama sekali tidak memiliki keinginan berpisah dari Rasulullah Saw, namun sangat jarang dijumpai orang-orang, bahkan di antara dua istri permanen, yang dapat berlaku adil dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan seksual. Atas dasar perbedaan dalam perilaku ini sehingga pembatasan dari sisi bilangan, dapat dibenarkan.
- Terkait dengan pembahasan akhir dari pertanyaan Anda harus dikatakan bahwa perbedaan-perbedaan yang ada di antara kebebasan-kebebasan seksual Rasulullah Saw dan istri-istrinya, pada hakikatnya berpulang pada salah satu dari dua hal berikut:
Pertama: Sebagian dari perbedaan ini bersumber dari perbedaan-perbedaan antara sepsis pria dan wanita yang tidak terkhusus pada Rasulullah Saw dan dalilnya juga telah dibicarakan pada tempatnya masing-masing. Meski bagian ini, bukan merupakan bagian utama dari pertanyaan Anda, namun hubungannya dapat Anda lihat pada jawaban-jawaban yang dijelaskan pada catatan kaki.[7]
Dalam kondisi seperti ini, inti perbedaan dalam kaitannya dengan hubungan-hubungan seksual Rasulullah Saw dan para istrinya, sepanjang yang berkaitan dengan masa hidupnya, tidak berbeda dengan pria lain dan dari sisi ini, batasan istri beliau, sama dengan para wanita lainnya.
Kedua: Terdapat beberapa perbedaan antara istri-istri Rasulullah Saw dan wanita-wanita lainnya yang dalam hal ini harus dikatakan bahwa para istri Rasulullah Saw disebabkan oleh kedudukan tinggi mereka di tengah masyarakat, tidak dapat bertindak seperti dengan wanita-wanita biasa lainnya. Allah Swt berfirman, “Hai istri-istri nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu memperlembut (gaya) bicara(mu) sehingga berkeinginanlah orang yang memiliki penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik. “ (Qs. Al-Ahzab [33]:32)
Sebagai kebalikannya: “Hai istri-istri nabi, barang siapa di antara kamu yang mengerjakan perbuatan keji yang nyata, niscaya akan dilipatgandakan siksaan kepadanya dua kali lipat. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Ahzab [33]:30) menduduki posisi penting dan menjalankan peran sebagai Ummahat al-Mu’minin tidak dapat berbentuk deterministik (ijbari) dan dilakukan tanpa kerelaan mereka sendiri.
Karena itu, Allah Swt menasihatkan kepada Rasul-Nya sedemikian, “Hai nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu sebuah hadiah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik.” Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridaan) Allah dan rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (Qs. Al-Ahzab [33]:28-29)
Setelah itu para istri beliau boleh memilih salah satu dari dua pilihan berikut ini:
Pertama: Dengan menerima hadiah-hadiah berharga dan dengan cara yang sangat terhormat, mereka berpisah dari Rasulullah Saw dan seperti perempuan lainnya mereka melanjutkan hidupnya. Tentu saja dengan memilih pilihan ini, mereka dapat menjadi istri orang lain.
Kedua:Mengingat bahwa kedudukan istimewa duniawi dan ganjaran layak ukhrawi apabila mereka bertakwa, maka mereka tetap akan berstatus sebagai istri Rasulullah Saw. Tentu saja pilihan ini juga memiliki beberapa keterbatasan.
Sejarah menunjukkan bahwa seluruh istri Rasulullah Saw, dengan menyadari adanya beberapa keterbatasan yang akan dihadapi, memilih untuk tetap menjadi istri Rasulullah Saw dan berdasarkan nukilan-nukilan sejarah, Aisyah adalah orang terdepan yang menyatakan kerelaannya menjadi istri Rasulullah Saw.[8]
Salah satu keterbatasan itu adalah larangan untuk menikah dengan pria lain pasca wafatnya Rasulullah Saw yang dinyatakan dalam surah al-Ahzab ayat 53, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak (datang sebelum waktu yang telah ditentukan sehingga kamu harus) duduk menunggu-nunggu waktu makan (tiba). Tetapi jika kamu diundang, maka masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah tanpa kamu asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu nabi lalu ia malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar). Tetapi Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta suatu kebutuhan hidup kepada mereka (istri-istri nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Dan kamu tidak boleh menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah.”
Ibnu Abbas menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seseorang yang telah memutuskan untuk menikah dengan Aisyah (istri yang disebutkan sebagai orang yang paling pertama menyatakan kerelaan dan kesetiaan kepada Rasulullah Saw) setelah Rasulullah Saw wafat! Seorang ahli tafsir lainnya bernama Sadi menyatakan bahwa orang yang berniat untuk mempersunting Aisyah adalah Thalha bin Ubaidillah![9]
Harap diperhatikan bahwa sahabat mulia ini, dengan memanfaatkan dukungan Ummul Mukminin Aisyah meletuskan fitnah perang Jamal.
Nah apabila ia memiliki gelar suami Ummul Mukminin, apa tidak mungkin ia meletuskan fitnah yang lebih besar dan mengingat bahwa ia sebagai suami seseorang yang dulunya adalah istri Rasulullah Saw, pemikiran umum yang diciptakan oleh kelompok yang ingin berkuasa.[10] Atas dasar itu dan untuk mencegah penyalahgunaan yang mungkin saja dilakukan dalam hal ini dan hal-hal yang serupa, para istri Nabi Saw dilarang menikah setelah wafatnya beliau dan telah kita jelaskan sebelumnya bahwa mereka boleh pada masa Rasulullah Saw berpisah darinya dan memilih suami lainya. Namun kini dengan kerelaannya sendiri, memilih untuk tetap sebagai istrinya, dan secara implisit, juga menerima pelbagai keterbatasan yang ada. [iQuest]
[1]. Sebagai contoh silahkan lihat surah al-Thalaq (65) ayat 1, “Hai nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu idah mereka , hitunglah tempo idah itu, dan bertakwalah kepada Allah, Tuhan-mu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka keluar rumah (selama menjalani masa idah) kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri.”
[2]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 5, hal. 384, Hadis 2, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1365 S.
[3]. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Thabari, Jâmi’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 22, hal. 17, Dar al-Ma’rifah, Beirut, 1412 H.
[4]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 22, hal. 202, Muasassah al-Wafa, Beirut, 1404 H.
[5]. Dalam hal ini Anda dapat merujuk pada beberapa kitab tasir silahkan perhatikan pada hal-hal yang disebutkan pada ayat 3 surah al-Nisa. “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat.”
[6]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 5, hal. 451, riwayat-riwayat yang ada dalam bab:
"انهن بمنزلة الإماء و لیست من الأربع".
[7]. Beberapa indeks: Perbedaan Warisan Wanita dan Pria dalam Islam, Pertanyaan No. 2207; “Perbedaan antara Diyat Wanita dan Pria dalam Islam”, Pertanyaan No. 2379; Falsafah Perbedaan Hukum Murtad Wanita dan Pria,” Pertanyaan 1912; “Sebab Perbedaan Diyat Wanita dan Pria,” Pertanyaan No. 7469; “Sebab Perbedaan Warisan Wanita dan Pria,” Pertanyaan 886.
[8]. Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Thabari, Jâmi’ al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 21, hal. 100.
[9]. Ibnu Katsir Damisyqi, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhim, jil. 6, hal. 403, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 1419 H.