Riwayat sedemikian tidak kami jumpai pada kitab Mishbâh al-Mujtahid. Dalam pandangan Syiah, nikah mut’ah memiliki syarat-syarat yang harus dipenuhi di antaranya menyampaikan formula bukan semata-mata bermakna senggama antara pria dan wanita tanpa menyertakan formula. Formula tersebut menunjukkan adanya kerelaan di antara kedua belah pihak.
Riwayat ini dengan penjelasan seperti yang tertera dalam pertanyaan tidak terdapat pada kitab Mishbâh al-Mujtahid. Karena itu penyandaran seperti ini tidak benar adanya. Di samping itu, Mishbâh al-Mujtahid melingkupi riwayat-riwayat tentang ibadah, doa, amalan-amaan ritual harian, mingguan dan bulan-bulan khusus seperti bulan Ramadhan, Muharram, Safar dan sebagianya serta tidak ada sangkut pautnya dengan pembahasan akad-akad seperti akad nikah temporer (mut’ah) dan permanen (daim). Benar terdapat riwayat yang serupa dalam hal ini, misalnya apabila seseorang melangsungkan akad mut’ah dan mandi maka setiap tetesan air mandinya mendapatkan ganjaran permohonan ampunan dari para malaikat.[1] Atau imannya akan sempurna ketika ia melangsungkan pernikahan mut’ah dengan syarat tertentu.[2]
Iman menjadi sempurna dengan mut’ah tentu dengan terpenuhinya syarat-syarat yang akan kami sampaikan kemudian. Syarat-syarat ini juga disebutkan dalam riwayat.[3]
Syarat-syarat Pernikahan Sementara (mut’ah)
Pernikahan sementara (mut’ah) dalam Islam merupakan sebuah pernikahan resmi. Bagi orang-orang yang ingin melampiaskan libido seksualnya namun tidak memiliki kemampuan dari sisi finansial untuk melangsungkan pernikahan permanen (daim) serta membina bahtera rumah tangga maka ia dapat menggunakan jalan ini. Dengan cara seperti ini ia menyelamatkan dirinya dari perbuatan dosa.
Islam sebagai agama terparipurna mensyariatkan dan membolehkan pernikahan sementara (mut’ah) lantaran persoalan yang boleh jadi dihadapi oleh sebagian orang ketika ia menikah secara permanen. Apabila hakikat, seluruh hukum, konsekuensi dan syarat-syarat pernikahan sementara dipahami dengan baik dan menimbang dengan seksama apa yang menjadi tujuan dan maksud Islam menetapkan aturan seperti ini demikian juga menunaikan segala hukum, konsekuensi dan syarat-syaratnya di samping amalan-amalan dan aturan-aturan Islam lainya, maka tentu saja pernikahan sementara merupakan sebaik-baik jalan untuk menjaga masyarakat dan setiap orang serta mampu mengantisipasi pelbagai kerusakan yang dapat dihadapi semua orang. Demikianlah tujuan dan maksud Syâri’ Muqaddas (Pemberi Syariat yang Suci).[4]
Pernikahan sementara memiliki selaksa syarat. Di antara syarat tersebut adalah ketika membaca formula akad maka yang membacanya harus menyatakannya secara imperatif (insyâ). Hal ini disepakati oleh masyhur fukaha, bahkan secara konsensus (ijma)[5] disepakati oleh para ulama yang terdahulu dan terkemudian.[6] Perbedaan hanya terdapat pada boleh tidaknya menggunakan bahasa Arab atau selain Arab dalam membaca formula dan akadnya. Sebagian fukaha tidak memandang pembacaan dengan menggunakan bahasa Arab sebagai syarat terlaksananya pernikahan mut’ah.[7]
Aban bin Taghlib bertanya kepada Imam Shadiq As bahwa apabila ia berdua-duaan dengan seorang wanita apa yang harus dikatakan kepada wanita tersebut? (Bagaimana aku menikah dengannya). Imam Shadiq As bersabda: Katakan kepadanya, “Apakah kunikahi engkau dengan cara mut’ah berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya?” Hingga Imam Shadiq As bersabda bahwa apabila wanita tersebut berkata “iya” maka ia telah menjadi istrimu.[8]
Dengan demikian apa yang mengemuka dalam pertanyaan Syiah tidak memandang senggama antara pria dan wanita sebagai mut’ah melainkan menandaskan bahwa nikah mut’ah harus menggunakan akad yang dinyatakan secara imperatif. Atas dasar itu, apabila riwayat secara lahir, menyatakan tidak perlunya membaca akad dengan lafaz (memadai dengan nikah mu’athâti [tidak perlu ijab dan qabul])[9] yang dijadikan sebagai dalil oleh sebagian fukaha,[10] maka hal itu bertentangan dengan riwayat-riwayat dan dalil-dalil lainnya yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih Syiah dan fukaha Syiah tidak mengamalkan hal tersebut.[IQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, “Pernikahan Sementara dan Ketenangan” dan No. 3130 pada site ini.
[1]. Wasâil al-Syiah, jkil. 21, hal. 16, Hadis 26402.
[2]. Man Lâ Yahdhur al-Faqih, jil. 3, hal. 466.
وَ رُوِیَ أَنَّ الْمُؤْمِنَ لَا یَکْمُلُ حَتَّى یَتَمَتَّعَ
[3]. Wasâil al-Syiah, jil. 21, hal. 14.
[4]. Diadaptasi dari pertanyaan No. 2925 (Site: 3130).
[5]. Muhammad Hasan Najafi, Jawâhir al-Kalâm fi Syarhi Syarâ’i al-Islâm, Syaikh Abbas Qucani, jil. 30, hal. 153, Dar al-Ihya Turats al-‘Arabi, Cetakan Kedelapan, Beirut, Libanon.
[6]. Silahkan lihat, Taudhi al-Masâil 13 Marâji’, jil. 2, hal. 453-455, berkenaan dengan Masalah 2369-2370, Daftar Intisyarat-e Islami, Cetakan 11, 1384 S. Fakhrul Muhaqqiqin, Aidhâ al-Fawâid fi Syarhi Musykilât al-Qawâid, Sayid Husain Musawi Kermani-Syaikh Ali Panah Isytihardi, Syaikh Abdurrahim Burujerdi, jil. 3, hal. 12, Muassasah Ismailiyan, Qum, Cetakan Pertama, 1387 H. Jawâhir al-Kalâm fi Syarhi Syarâ’i al-Islâm, jil. 30, hal. 153. Muhammad Fadhil Lankarani, al-Ta’liqât ‘ala al-Urwat al-Wutsqâ, jil. 2, hal. 732-733. Markaz Fiqhi Aimmah Athar As, Cetakan Pertama, Qum dan kitab-kitab fikih lainnya.
[7]. Taudhil al-Masâil 13 Maraji, jil. 2, hal. 453 & 454, terkait dengan Masalah 2370.
[8]. Al-Hurr al-‘Amili, Wasail al-Syiah, jil. 21, hal 43, Muassasah Ali al-Bait As Liihya al-Turats, 1409 H.
مُحَمَّدُ بْنُ یَعْقُوبَ عَنْ عَلِیِّ بْنِ إِبْرَاهِیمَ عَنْ أَبِیهِ عَنْ عَمْرِو بْنِ عُثْمَانَ عَنْ إِبْرَاهِیمَ بْنِ الْفَضْلِ عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ وَ عَنْ عَلِیِّ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ زِیَادٍ عَنْ إِسْمَاعِیلَ بْنِ مِهْرَانَ وَ مُحَمَّدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ إِبْرَاهِیمَ بْنِ الْفَضْلِ عَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ قَالَ قُلْتُ لِأَبِی عَبْدِ اللَّهِ (ع) کَیْفَ أَقُولُ لَهَا إِذَا خَلَوْتُ بِهَا قَالَ تَقُولُ أَتَزَوَّجُکِ مُتْعَةً عَلَى کِتَابِ اللَّهِ- وَ سُنَّةِ نَبِیِّه لَا وَارِثَةً وَ لَا مَوْرُوثَةً کَذَا وَ کَذَا یَوْماً وَ إِنْ شِئْتَ کَذَا وَ کَذَا سَنَةً بِکَذَا وَ کَذَا دِرْهَماً وَ تُسَمِّی (مِنَ الْأَجْرِ) مَا تَرَاضَیْتُمَا عَلَیْهِ قَلِیلًا کَانَ أَوْ کَثِیراً فَإِذَا قَالَتْ نَعَمْ فَقَدْ رَضِیَتْ وَ هِیَ امْرَأَتُکَ وَ أَنْتَ أَوْلَى النَّاسِ بِهَا الْحَدِیثَ.
[9]. Disebutkan dalam riwayat bahwa Umar ingin merajam seorang wanita pezina dan hal ini diketahui oleh Baginda Ali As dan beliau setelah bertanya tentang pokok persoalannya. Wanita tersebut berkata yang menunjukkan kerelaan keduanya. Baginda Ali As menandaskan bahwa mereka telah melangsungkan pernikahan:
وَ عَنْهُ عَنْ أَبِیهِ عَنْ نُوحِ بْنِ شُعَیْبٍ عَنْ عَلِیِّ بْنِ حَسَّانَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ کَثِیرٍ عَنْ أَبِی عَبْدِ اللَّهِ ع قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى عُمَرَ فَقَالَتْ إِنِّی زَنَیْتُ فَطَهِّرْنِی فَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُرْجَمَ فَأُخْبِرَ بِذَلِکَ أَمِیرُ الْمُؤْمِنِینَ ع- فَقَالَ کَیْفَ زَنَیْتِ قَالَتْ مَرَرْتُ بِالْبَادِیَةِ فَأَصَابَنِی عَطَشٌ شَدِیدٌ فَاسْتَسْقَیْتُ أَعْرَابِیّاً فَأَبَى أَنْ یَسْقِیَنِی إِلَّا أَنْ أُمَکِّنَهُ مِنْ نَفْسِی فَلَمَّا أَجْهَدَنِیَ الْعَطَشُ وَ خِفْتُ عَلَى نَفْسِی سَقَانِی فَأَمْکَنْتُهُ مِنْ نَفْسِی فَقَالَ أَمِیرُ الْمُؤْمِنِینَ ع تَزْوِیجٌ وَ رَبِّ الْکَعْبَة.
[10]. Jawâhir al-Kalâm fi Syarhi Syarâ’i al-Islâm, jil. 30, hal. 153.