Dalam menjawab pertanyaan di atas, pertama-tama kiranya perlu dijelaskan di sini tentang apa yang dimaksud dari perubahan dalam pertanyaan tersebut. Terkadang boleh jadi yang dimaksud dengan redaksi “agama masyarakat dapat dirubah”, adalah perubahan pada “akar agama Ilahi dan benar – yang diterima oleh sebuah masyarakat; dalam asumsi ini, maka yang mengemuka bukanlah permasalahan tetap (tsabat) atau tidak tetapnya (‘adam tsabat) unsur-unsur agama dan permasalahan pengetahuan agama, demikian juga bukan terkait masalah konstraksi (qabdh) dan ekspansi (basth) agama dengan memperhatikan tambahan redaksi “religius” pada “masyarakat” (masyarakat religius), karena hal ini memerlukan pembahasan yang berbeda.
Dan terkadang yang dimaksud, pelbagai keyakinan dan iman masyarakat dan perubahan dalam pandangan mereka terhadap keyakinan tersebut, dimana dalam asumsi ini dapat dikatakan: Iya, agama masyarakat dapat dirubah; karena hal ini dapat dijumpai dalam al-Qur’an, riwayat, sumber-sumber Islam dan juga sejarah serta pelbagai peristiwa dimana orang-orang yang menentang agama pada setiap zaman dan masyarakat manusia berada pada tataran menghantam orang-orang beriman dan menciptakan keguncangan pada agama dan keyakinan mereka. Dan hal ini adalah tujuan mereka. Dalam merealisir tujuan mereka menggunakan segala cara dan metode hingga dapat mewujudkan tujuan ini.
Karena itu, al-Qur’an senantiasa memperingatkan orang-orang beriman untuk menguatkan agama dan keyakinan mereka. Siap sedia, mempunyai bekal ilmu dan resisten dalam menghadapi pelbagai plot, konspirasi dan pelbagai keraguan yang ditebarkan oleh musuh-musuh agama sehingga orang-orang beriman tidak tergadaikan dan terjauhkan dari tujuan-tujuan rendah mereka. Karena apabila orang-orang beriman tidak mengindahkan tuntunan al-Qur’an, maka pelan-pelan nilai-nilai agama akan terlupakan dan secara gradual terjebak dalam perangkap hawa nafsu, setan dan musuh-musuh agama. Dan secara tidak sadar mereka terseret hingga berada pada barisan orang-orang batil. Dan sebagai akibatnya, ia akan berhadap-hadapan dengan Tuhan dan membangkang perintah-perintah-Nya. Ia akan terdepak dari wilayah dan pengawasan Tuhan, dan dengan pilihannya sendiri ia akan keluar dari cahaya petunjuk dan kebahagiaan. Terjerembab dalam kesesatan dan penyimpangan. Dan menjadi jelmaan dari ayat, “Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah tagut yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (Qs. Al-Baqarah [2]:257)
Dalam menjawab pertanyaan di atas, apa yang dimaksud dari pertanyaan tersebut harus jelas terlebih dahulu. Terkadang boleh jadi, yang dimaksud dengan perubahan pada agama masyarakat, perubahan pada “akar agama Ilahi dan agama hak” yang diterima oleh satu komunitas; dimana dalam asumsi ini, maka yang mengemuka bukanlah permasalahan tetap (tsabat) atau tidak tetapnya (‘adam tsabat) unsur-unsur agama dan permasalahan pengetahuan agama, demikian juga bukan terkait masalah konstraksi (qabdh) dan ekspansi (basth) agama dengan memperhatikan tambahan redaksi “religius” pada “masyarakat” (masyarakat religius), karena hal ini memerlukan pembahasan yang berbeda.[1]
Dan terkadang yang dimaksud adalah keyakinan dan iman anggota masyarakat dan perubahan pelbagai kecendrungan dan pandangan mereka dimana dalam asumsi ini dapat dikatakan secara global bahwa kecendrungan dan pandangan masyarakat dapat saja berubah. Dan sebelum menjawab pertanyaan ini secara detil, tampaknya penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat beragama dan apa saja tipologinya penting dikemukakan di sini? Mendesain satu masyarakat dengan pelbagai desain dan dekorasi seperti masyarakat tradisional, industri, badui, madani, dan masyarakat religius merupakan sebuah akibat dari terbentuknya hubungan dan pelbagai peristiwa yang terjadi pada masyarakat tersebut. Misalnya antara masyarakat feudal dan masyarakat industri terdapat perbedaan dalam konteks ini.
Bermasyarakatnya orang-orang beragama, sepanjang bentuk-bentuk dan model-model yang digunakan tidak menata hubungan sosial dan kemasyarakatan mereka berdasarkan agama dan tidak menimbang pelbagai peristiwa sosial mereka mengikut agama, maka hal itu tidak akan memunculkan masyarakat religius. Masyarakat religius adalah masyarakat yang menjadikan agama sebagai ukuran dan matra. Masyarakat religius adalah masyarakat yang senantiasa menimbang pergaulan dan peristiwa yang terjadi di dalamnya dengan teraju agama. Masyarakat religius adalah masyarakat yang memiliki kerisauan terhadap agama. Kerisauan dan perasaan membutuhkan ini, yang membuat mereka menyelaraskan diri dengan agama. Dan hal ini tidak terbatas pada urusan personal, ritual, moral anggotanya, namun hubungan antara agama dan seluruh perkara dan interaksi sosial yang harus ditimbang dengan agama. Dan penilaian agama berlaku pada setiap garis dan titik hubungan sosial tersebut. Hal ini tidak bermakna bahwa masyarakat religius segala sesuatu diambil dan diadopsi dari agama; dan tidak lagi memerlukan sumber pengetahuan lainnya[2] seperti akal dan sains. Tentu saja tidak demikian.
Dalam menjawab pertanyaan di atas, masalah ini patut diajukan bahwa alam semesta berpijak di atas kebenaran dan tidak ada lowongan untuk disusupi kebatilan. Segala tradisi yang tidak sesuai dengan teraju kebenaran maka ia akan sirna dan tiada satu pun tradisi yang dapat berdiri di hadapan kebenaran. Tradisi yang tidak akan punah dan tidak terkalahkan Ilahi, adalah kemenangan hak atas batil, kebenaran atas kebatilan. Dan tradisi ini merupakan kaidah yang berlaku secara universal dan dawam di alam semesta.
Mengingat kemenangan berada di pihak kebenaran dan kekalahan di jejeran kebatilan, tidak akan ada masyarakat yang akan meraih kemenangan apabila mereka tidak melakukan kesalahan dalam mengenal kebenaran, sampai kepada realitas dan mengamalkan kebenaran. Artinya dari sisi fondasi keyakinan, sebuah masyarakat harus memiliki iman yang sempurna. Juga dari sisi hukum-hukum islami, harus memiliki program yang benar dan dijalankan dengan benar.[3]
Dalam pandangan al-Qur’an dan hadis, kemenangan atau kekalahan pada domain pemikiran dan keyakinan memiliki peran asasi dan penting. Mengingat bahaya konsekuensi kekalahan pada bidang kebudayaan, melebihi invasi militer, mengarah pada pemikiran dan keyakinan agama masyarakat. Dan apabila masyarakat lalai, kemanusiaan dan kebahagiaan dunia dan akhirat kaum Muslimin berada dalam posisi bahaya, Qur’an, dengan memberikan perhatian ekstra terhadap masalah ini, memperingatkan tentang bahaya ini. Al-Qur’an memandang bahaya dan fitnah dalam agama dan invasi budaya lebih besar dari bahaya invasi militer. Oleh itu, al-Qur’an mengingatkan kaum Muslimin untuk tidak lalai, dan memberikan titik tekan bahwa bahaya dan fitnah dalam agama dan masalah invasi budaya lebih berbahaya ketimbang bahaya serangan militer. Dalam surah al-Baqarah (2), ayat 191 disebutkan bahwa: “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); fitnah itu lebih besar bahayanya daripada pembunuhan.”
Rasulullah Saw dalam sebuah hadis menyebutkan tiga jenis fitnah yang ditebarkan oleh kaum penyembah dunia pada agama, antara lain:
1. Fitnah dalam urusan harta.
2. Fitnah dalam masalah keyakinan.
3. Fitnah dalam pembenaran (justifikasi) yang menimbun dusta.[4]
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa salah satu fitnah adalah menyebarkan pelbagai keraguan (syubha) dalam benak masyarakat dalam masalah keyakinan. Mereka memulai menyebarkan keraguan ini dengan melontarkan pelbagai kesamaran dalam masalah keyakinan dan pandangan dan dengan menyerang nilai-nilai (values) dan tujuan-tujuan (goals), mempersoalkan pelbagai metode, dan membuat mereka putus asa terhadap pelbagai hasil, memastikan kekalahan dan kelemahan, menyerah dan menerima kehinaan di hadapan kebatilan.
Dalam melontarkan pelbagai fitnah, mereka menggunakan titik-titik kelemahan, ketakutan, keserakahan, ancaman, jelmaan-jelmaan, tarikan-tarikan, pelbagai penderitaan, dan konfrontasi yang mungkin dan pasti terjadi. Dengan metode ini, mereka sampai pada poin yang menyeret anggota masyarakat berpaling dari agama dan tradisi. Serta menerima pelbagai bid’ah dan penyimpangan, sedemikian sehingga ia dapat menahan diri di hadapan setan namun tak kuasa menahan diri di hadapan Tuhan dan Rasul-Nya.
Manusia di samping pelbagai keraguan dan kesamaran, barang siapa yang lebih cepat terpancing, terkatung-katung dalam kegelapan dan kesamaran nilai-nilai maka lebih cepat ia akan menjual diri dan agamanya.
Iya. Di medan ujian dan terwujudnya pelbagai fitnah (cobaan), orang-orang yang tidak terlalu kuat dari sudut pandang iman kepada Allah dan pelbagai konsekuensinya, iman tidak menghujam pada jiwa dan hatinya, tatkala berbenturan antara pelbagai keinginan nafsunya dan kehendak Tuhan, serta nilai-nilai agama, maka ia memilih memenuhi keinginan nafsunya ketimbang harus memenuhi kehendak Tuhan dan mematuhi nilai-nilai agama. Dalam kondisi seperti ini, mereka tidak terlalu bersemangat menghadapi agama dan nilai-nilai agama, dan dari sudut pandang mental, cenderung memaksakan hukum-hukum dan nilai-nilii agama sesuai dengan seleranya dan menafsirkan agama sesuai dengan hawa nafsunya. Dan apabila penafsiran agama dan al-Qur’an sesuai dengan segala keinginan nafsunya maka hal itu akan menggembirakannya dan membuatnya bersemangat.
Ali As dalam Nahj al-Balâgha memprediksikan demikian bahwa: “Akan datang kepada kalian suatu masa selepasku tiada sesuatu yang paling tersembunyi selain kebenaran. Dan tiada yang paling nampak selain kebatilan. Pada masa tersebut, dan tak ada yang lebih lumrah dari dusta terhadap Allah dan Rasul-Nya. Bagi manusia di masa itu, tak ada sesuatu yang lebih tak berharga selain Al-Qur'an yang dibaca sebagaimana seharusnya ia dibaca, dan tak ada sesuatu yang lebih berharga dari Al-Qur'an yang disalah-tempatkan dari kedudukannya. Dan di kota-kota tak ada yang lebih dibenci daripada kebajikan, dan tak ada yang lebih disukai ketimbang kejahatan.”[5]
Di samping itu, Amirul Mukminin Ali As juga memberikan tuntunan bagaimana kita menghadapi pelbagai fitnah: “Janganlah kalian menjadi patok-patok bencana dan tenda-tenda bidah, melainkan berpeganglah pada apa yang darinya tali umat telah dijalin dan padanya tiang-tiang ketaatan telah didirikan. Majulah terus kepada Allah sebagai orang tertindas, dan jangan maju kepada-Nya sebagai penindas. Jauhilah jalan iblis dan tempat-tempat kedurhakaan. Jangan masukkan ke dalam perut Anda suapan-suapan haram, karena Anda sedang menghadapi Dia yang telah mengharamkan kedurhakaan bagi Anda, dan memudahkan jalan ketaatan bagi Anda.”[6]
Sebagaimana yang telah disebutkan bahwa pada setiap masa, ahli batil dan penentang agama agama senantiasa memerangi agama, ahli hak dan pemeluk agama dengan pelbagai media dan metode. Dan khususnya pada masa kiwari dimana kita sendiri menjadi saksi panggung pertarungan antara pemikiran sekularisme dan agama.[7] Kita saksikan bahwa puak-puak sekularisme dengan menggunakan pelbagai media bangkit melawan dan menentang agama. Mereka dengan menggunakan pelbagai media berusaha memadamkan cahaya agama, di antaranya:
1. Menebarkan pelbagai keraguan pada fondasi-fondasi agama
2. Menyokong pelbagai kelompok-kelompok menyimpang.
3. Menentang agama dalam pelbagai dimensi seperti, melepas hijab, menebarkan kemungkaran, dan kerusakan serta mendistorsi kandungan-kandungan agama dan sebagainya.
Dan juga kita menjadi saksi, para pemimpin arogan dunia dengan bersandar pada paradigma-paradigma pemikiran sekularisme berupaya menguburkan kebudayaan dan menentang agama dengan menggunakan segala cara, dimana sebagian akan kami sebutkan di bawah ini sebagai contoh misalnya:
1. Infiltrasi pada institusi kebudayaan dan pendidikan suatu bangsa dan menarik unsur-unsur penyokong.
2. Berhadap-hadapan dengan agama dan berupaya mengubur nilai-nilai agama; penentangan dengan Islam dan sentralitas agama (yang merupakan identitas masyarakat religius).
3. Muncul dan tampaknya pemikir dan cendekiawan yang terkooptasi.[8]
Dapat dikatakan bahwa dengan terwujudnya proses ini yaitu berujung pada hilangnya pemikiran agama, pengamalan agama, pranata-pranata agama, dan signifikannya nilai kemasyarakatannya, tersungkurnya agama dan berkurangnya kehadiran agama di tengah masyarakat, kebudayaan, seni, pendidikan, pemerintahan, managemen, politik dan sebagainya akan tampak jelas.
Pandangan Imam Khomeini Ra tentang agama dan kebudayaan
Imam Khomeini Ra dalam menjelaskan dua rukun asasi sebab penentangan Revolusi Islam atas rezim Pahlevi:
1. Pelbagai pengkhianatan Syah dalam bidang perekonomian, politik dan sosial.
2. Pelbagai pengkhianatan atas (nama) agama dan kebudayaan.
Dan menurut Imam Khomeini, reformasi kebudayaan merupakan jalan paling asasi untuk menyelamatkan bangsa-bangsa.[9]
Atas dasar ini, Pemimpin Revolusi Islam (Imam Ali Khamenei) menuturkan demikian, “Ungkapan membuat masyarakat menjadi masyarakat yang berbudaya adalah ungkapan benar. Dan saya berulang kali mengingatkan masalah ini dalam masalah-masalah kebudayaan. Akan tetapi kita masih berada pada awal perjalanan. Dan masyarakat kita adalah masyarakat yang berbudaya secara natural; akan tetap belum secara aktual. Mengapa kita berkata bahwa masyarakat kita adalah berbudaya secara natural? Karena masyarakat kita adalah masyarakat religius dan masyarakat religius tabiatnya memiliki satu harapan kebudayaan berbeda dengan masyarakat duniawi yang semata berpikir ihwal masalah-masalah kehidupan, dan dalam masyarakat tersebut ia dapat menjadi masyarakat berbudaya dan juga sama sekali tidak berbudaya.”[10]
Sebagai hasilnya, dapat dikatakan bahwa agama masyarakat dapat berubah lantaran hal ini dapat dijumpai dalam al-Qur’an, riwayat dan sumber-sumber lainnya yang menegaskan bahwa ahli batil dan musuh-musuh agama berada pada tataran berkonfrontasi dan berperang melawan orang-orang beragama dan ahli hak. Mereka berupaya mengguncang dan mengeliminir agama dan keyakinan mereka. Dan dalam mewujudkan tujuannya, mereka menggunakan segala cara dan media. Berdasarkan hal ini, al-Qur’an memberi peringatan bahwa apabila orang-orang beriman dan kaum Muslimin tidak menepikan al-Qur’an sebagai pedoman dan instruksi-instruksi Ilahi dan tidak menguatkan sendi-sendi keagamaan mereka, maka mereka akan takluk (dengan mudah) di hadapan pelbagai konspirasi, plot dan fitnah musuh, khususnya dalam berhadapan dengan keraguan (syubha) yang dilontarkan, apabila keyakinan mereka goncang maka secara perlahan mereka melupakan nilai-nilai agama serta terjerembab dalam perangkap musuh, setan dan hawa nafsu. Dan ujungnya, bersikap menentang di hadapan agama Ilahi dan titah-titah-Nya. Mereka berupaya membenarkan justifikasi penyimpangannya, secara perlahan tanpa disadari terseret ke dalam kekuasaan setan dan thagut. Orang-orang seperti ini adalah obyek nyata dari ayat, ““Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindung mereka adalah tagut yang mengeluarkan mereka dari cahaya (iman) kepada kegelapan (kekafiran). (Qs. Al-Baqarah [2]:257)[]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Paul Tilisch, Ilahiyyat Farhang, penerjemah, Murad Farhadpur, Fadhlullah Pakza.
2. Tafakkur-e Dini dar Qarn-e Bistum, terjemahan Abbas Syaikh Syuja’i dan Muhammad Muhammad Ridhai.
3. Jâme’e wa Farhang, jil. 1.
4. Abdullah Jawadi Amuli, Bunyân-e Marshus.
5. Abdullah Jawadi Amuli, Syariat dar ‘Aine Ma’rifat.
6. Abdulhussein Khusrupanah, Kalâm-e Jadid.
7. Muhammad Dasyti, al-Mu’jam al-Mufahrash li Alfaz Nahj al-Balâghah.
8. Mirja Ilyada, Din Pazyuhi, penerjemah Bahauddin Khuramsyahi.
9. Harian Kayhan, 13/12/1283.
10. Mirza Abul Hasan Sya’rani, Natsar Tuba (Dairat al-Ma’arif Lughat al-Qur’an).
11. Muhammad Ridha Kasyifi, Din wa Farhang.
12. Shadiq Larijani, Qabdh wa Basth dar Qabdh wa Basthi Digâr.
13. Shadiq Larjiani, Ma’rifat-e Dini.
14. Misbah Yazdi, Qur’ân dar Aine Nahj al-Balâgha.
15. Mufrâdât Raghib Isfahâni.
16. Munâsibat-e Dini wa Farhang dar Jâme’e Irân, jil. 1 dan 2.
17. Nufudz wa Istihâlah, Daftar-e Nemayandegi Wali Faqih.
18. Ahmad Wa’izhi, Ta’rif-e Jâme’e Dini wa Jâme’e Madani.
19. Mahdi Hadawi Tehrani, Bawâr-hâ wa Pursesy-hâ.
20. Mahdi Hadawi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd.
21. Mahdi Hadawi Tehrani, Wilâyat wa Diyânat.
[1]. Silahkan lihat, beberapa indeks dan referensi lainnya: Agama dan Perubahan, Islam dan Modernisasi, Agama dan Pluralisme, Islam dan Tuntutan Zaman. Abdullah Jawadi Amuli, Syariat dar ‘Aine’ye Ma’rifat; Mahdi Hadawi Tehrani, Mabâni Kalâmi Ijtihâd; Mahdi Hadawi Tehrani, Bâwar-hâ wa Pursesy-hâ; Mahdi Hadawi Tehrani, Wilâyat wa Diyânat; Shadiq Larijani, Ma’rifat-e Dini; Shadiq Larijani, Qabdh wa Basth dar Qabdh wa Basth-e Digar.
[2]. Ahmad Wa’izhi, Ta’rif-e Jâme’e Dini wa Jâme’e Madani, hal. 89-90.
[3]. Abdullah Jawadi Amuli, Bunyân-e Marshus, hal. 22.
[4]. “Ya Ali! Inna al-Qaum Sayuftaanuna bi Amwalihim” Bihâr al-Anwar, jil. 32, hal. 241.
[5]. Nahj al-Balâgah, khutbah 147.
[6]. Muhammad Dasyti, Al-Mu’jam al-Mufahrast lialfâzh Nahj al-Balâgha, khutbah 151.
[7]. Mahdi Hadawi Tehrani, Bawar-ha wa Pursesy-ha, hal. 37-40; Mahdi Hadawi Tehrani, Wilayat wa Diyanat, hal. 40-47.
[8]. Nufudz wa Istihâlah, Mua’winat-e Siyasi Nemayandegi Wali Faqih dar Qarargah TsaraLlah, Teheran, cetakan 1378.
[9]. Harian Kayhan, 13/12/1381 S.
[10]. Nufudz wa Istihâlah, 226, Sukhânân-e Rahbar Mua’zzham Inqilâb dar 4/9/1371 S.