Jawaban global atas pertanyaan ini memerlukan penjelasan beberapa perkara sebagai berikut:
1. Pencerapan dan pengenalan bermakna kesadaran terhadap realitas atau menemukan jalan kepada realitas.
2. Manusia dapat mengenal dan mencerap melalui empat jalan: A. Melalui jalan indra (empiric). B. Melalui jalan akal (rasional). C. Melalui jalan hati atau kalbu (jalan pensucian jiwa). D. Jalan wahyu dan kitab Ilahi.
3. Dari sudut pandang epistemologi, media indra adalah media pengenalan yang paling lemah dan setelah itu media akal kemudian media hati dan yang paling tinggi dari semuanya adalah pengenalan dan pengetahuan revelasional (wahyu).
4. Pengenalan rasional bermakna pengetahuan terhadap segala realitas yang tetap dan merupakan salah satu jalan untuk sampai pada realitas dan mengenalnya.
5. Segala yang bertautan dengan pencerapan kita (mudrak) atau pelbagai entitas yang memiliki ukuran dan kadar namun entitas tersebut bukan entitas material (non-material imaginal) atau pelbagai entitas atau kategori yang tidak memiliki ukuran dan kadar (non-material rasional).
6. Dari sudut pandang al-Qur'an, akal merupakan salah satu hujjah Ilahi yang mampu mencerap sebagian maarif dan realitas. Agama Islam menerima dan mengakui segala pencerapan dan pengenalan akal.
7. Dalam pengenalan hati yang merupakan pengenalan syuhudi, manusia melihat atau mendengar pelbagai realitas. Mereka yang memulai pengenalannya dengan jalan pensucian jiwa dan pembersihan hati, suluk dan mengenal dirinya dan sampai kepada puncaknya, ia akan mampu mengenal pelbagai rahasia alam semesta, mulk, malakut, jabarut dan sampai kepada penyaksian Ilahi.
Beberapa perkara di atas mengantarkan kita kepada sebuah kesimpulan bahwa akal manusia memiliki kemampuan untuk mencerap pelbagai nikmat dan azab barzakhi. Akan tetapi hal itu tidak bermakna bahwa ia mampu mencerap kuiditas dan kedalaman seluruh realitas barzakhi secara sempurna; dan kemestian ucapan ini tidak bermakna penafian dan pengingkaran pencerapan akal, melainkan akal dalam hampir kebanyakan perkara dalam pencerapannya memerlukan wahyu, di antaranya mengenal kualitas dan kebagaimanaan perkara-perkara gaib dan barzakhi dengan bantuan wahyu.
Terkait dengan pertanyaan di atas, kemampuan akal dalam mengenal segala nikmat dan azab barzakhi "mirip" dengan pencerapan-pencerapan manâmiyah (alam mimpi), pencerapan pelbagai urusan non-material dan mitsali (imaginalis) di alam mimpi yang pada dasarnya dapat dipahami dan efeknya tidak dapat diingkari.
8. Alam eksistensi terdiri dari dua: Yang nampak dan dapat disaksikan (syahadah). Dan yang tidak nampak dan tidak tersaksikan (ghaib). Dan sebagian dari alam gaib ini dapat diakses oleh manusia.
9. Pada ayat-ayat dan riwayat terdapat banyak hal yang mengabarkan seluruh nikmat dan azab yang tidak pernah terlintas dalam benak, tidak pernah terucapkan oleh lisan dan tidak pernah terlihat oleh mata.
Jawaban Detil:
Jawaban detil dari pertanyaan di atas akan menjadi terang dengan penjelasan beberapa hal sebagai berikut.
Definisi pencerapan dan pengenalan
Pencerapan dan pengetahuan merupakan pahaman-pahaman yang gamblang, badihi dan tidak dapat didefinisikan; dengan alasan bahwa kita mengetahui segala sesuatu dengan ilmu dan pengetahuan.
Apabila kita ingin mendefinisikan pengetahuan dan pencerapan maka definisi ini akan berujung pada daur musharrih dan apabila kita ingin mendefinisikannya dengan selain ilmu maka pertama-tama non-ilmu itu harus kita kenal melalui ilmu, kemudian kita mengenal non-ilmu itu dengan ilmu. Definisi sedemikian kurang-lebihnya akan berujung pada daur musarrih.
Lalu apa yang disebut sebagai definisi ilmu atau pengetahuan bukanlah definisi hakiki melainkan definisi tanbihi; artinya sebuah hal yang terdapat dalam benak lawan bicara (audiens), namun kurang mendapat perhatian dengan redaksi-redaksi yang serupa, dan kalimat-kalimat yang sinonim, maka makna tersebut akan nampak dan ketahuan dalam benaknya. Di antara definisi redaksional yang disebutkan sebagai definisi ilmu dan pengetahuan adalah kesadaran terhadap realitas atau jalan untuk sampai kepada realitas.[1]
Mengingat bahwa pengenalan terhadap pelbagai realitas dan sampainya kepada fakta dengan pelbagai media dimana salah satu dari media tersebut adalah akal, maka kita akan menyebutkan secara ringkas terkait media dan jalan-jalan untuk sampai kepada realitas dan juga pencerapan akal.
Media-media Pengenalan
Empat media atau jalan untuk mengenal atau mengetahui sesuatu:
A. Media indra. Media atau jalan indra ini terbuka bagi semua.
B. Media akal. Sebuah media atau jalan yang terbuka untuk dilalui oleh sebagian orang.
C. Media hati atau kalbu (jalan pensucian hati): Jalan ini terbuka bagi kaum urafa.
D. Media kitab dan wahyu: Jalan ini terkhusus bagi para nabi Ilahi.[2]
Dalam perspektif epistemologi, derajat "pengenalan indrawi" merupakan tingkatan terendah dari beberapa tingkatan pengenala. Akan tetapi di antara beberapa orang atau jenis pengenalan indrawi, ada sebagian yang lebih utama bagi sebagian lainnya dan atas alasan ini terkadang disebutkan bahwa"Bilamanakah yang didengarkan itu serupa dengan yang disaksikan."[3]
Dan lebih tinggi dari pengenalan indrawi atau empirik adalah pengenalan rasional yang banyak diaplikasikan pada ranah filsafat, teologi dan ilmu-ilmu yang memerlukan penalaran, dan tingkatan yang lebih tinggi dari pengenalan rasional adalah pengenalan hati yang mengemuka dalam bidang Irfan. Dan puncak dari pengenalan ini adalah "pengenalan revelasional" yang sejalan dengan ilmu syuhudi dan ilmu hudhuri (knowledge by presence).[4][5]
Pengenalan rasional
Pengetahuan yang dipahami terhadap segala realitas yang tetap yang juga termasuk di dalamnya adalah pelbagai perkara yang berubah dan bergerak di alam natural. Ilmu ini adalah ilmu yang lebih tinggi dan luas daripada ilmu indrawi. Sebagaimana pengetahuan kita yang bersifat tetap dan tegak. Dengan ilmu-ilmu rasional segala perkara universal yang terkait dengan ilmu perolehan dapat dilalui dan banyak realitas yang dapat diperoleh dengan ilmu-ilmu rasional. Akan tetapi, ilmu sedemikian tidak mampu mencerap pelbagai perkara yang bersifat tetap dan non-material yang merupakan wujud luaran dan terentifikasi pada dunia luaran.
Karena itu dapat dikatakan bahwa: sebagaimana pencerapan indrawi dan empirik tidak mampu memahami segala realitas universal, maka pencerapan dan pengenalan rasional juga tidak kuasa menembus dan menyaksikan (syuhud) pelbagai khazanah Ilahi.
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa dengan ilmu-ilmu rasional manusia dapat mencapai dan memperoleh masalah-masalah universal dan pada ranah ilmu-ilmu perolehan. Manusia dengan meraup pelbagai pemahaman universal dan pemikiran rasional, maka ia mengenal dirinya sebagai makhluk yang unggul yang berbeda dengan segala sesuatu yang berada di luar dirinya, ia memandang bahwa segala pemahaman universal ini memiliki tipologi non-material.
Pemahaman-pemahaman universal adalah pelbagai realitas yang tidak terangkum dalam ruang dan waktu. Perkara ini merupakan dalil bahwa pahaman-pahaman universal sekali-kali tidak memiliki tempat pada sel-sel otak dan semacamnya.
Pengenalan yang lebih unggul melalui jalan pahaman-pahaman universal berada secara horizontal pada pengenalan manusia. Hal itu memberikan kemampuan kepada manusia, di samping mengenal secara universal realitas-realitas alam natural, non-materialnya jiwa dan lebih tinggi dari itu, ia mengenal segala realitas transendental yang memperkenalkan padanya mabda dan ma'ad segala perkara natural dan nafsani. Ibnu Sina dalam Namath Hasytum (Tingkatan Kedelapan) Isyarat juga dalam menetapkan ma'ad maknawi dengan meneliti keseharian kemudian menetapkan pelbagai kelezatan akal dan melalui jalan ini ia menetapkan dan menyimpulkan tentang kebahagiaan abadi manusia.[6]
Karena itu, bagi para pemikir yang meyakini pengenalan rasional berpandangan bahwa dunia natural adalah tanda-tanda dan ayat-ayat yang bukan hanya mengantarkannya kepada inferensi kaidah-kaidah tetap dan abadi yang berkuasa atasnya, tetapi juga memperkenalkan kepadanya non-materialnya manusia, kepada mabda (awal) dan ma'ad (akhir) alam semesta.
Dalam pengenalan hati, yang merupakan pengenalan syuhudi, manusia melihat pelbagai realitas dalam pandangannya, mendengarkan pelbagai kalimat dengan telinganya yang tidak dilihat dan didengarkan orang lain. Dari sudut pandang hal-hal yang beragam dan dalam berhadapan dengan pelbagai urusan, ia menyaksikan pelbagai pandangan dan mendengarkan pelbagai suara yang tiada keraguan di dalamnya.[7]
Hal-hal yang terkait dengan pengenalan
Hal-hal yang terkait dengan pengenalan dapat dibagi menjadi tiga bagian universal:
A. Alam natural: Sebuah alam yang di dalamnya kita mencerap dan memahami sesuatu dengan media indra.
B. Alam imaginal: Sebuah alam yang disaksikan di balik natural. Pelbagai eksisten dan entitas alam ini terdapat pelbagai realitas yang memiliki ukuran dan kadar, akan tetapi realitas tersebut bukanlah materi. Mimpi-mimpi yang benar dan penyaksian-penyaksian yang terjadi pada manusia pada saat bermimpi, kesemuanya merupakan contoh dan perumpamaan bagi alam ini. Kendati alam semesta ini merupakan sebuah hakikat dan tidak terlepas dari pikiran, khayalan, mimpi dan tidur seseorang.
C. Alam rasional: Entitas-entitas alam rasional adalah realitas-realitas universal yang tidak berukuran dan tidak berkadar pada sebuah materi khusus, termasuk di dalamnya keseluruhan individu natural, imaginal dan segala yang terpredikasi di dalamnya. Akan tetapi jalan untuk menetapkan dan membuktikan alam imaginal dan rasional dapat dicapai setelah menetapkan tingkatan imaginasi dan rasionisasi manusia. Pembahasan masalah ini memerlukan kesempatan lain di masa mendatang.
Ukuran standar akal dalam mengenal pelbagai realitas dalam pandangan Al-Qur'an dan riwayat
Al-Qur'an dan riwayat-riwayat para Maksum As memandang akal tidak mampu mengenal sebagian pengetahuan dan realitas-realitas yang lebih tinggi. Al-Qur'an dan riwayat-riwayat tidak hanya memandang akal memadai untuk kebahagiaan manusia bahkan memandang bahwa akal tidak memiliki pemahaman dan pencerapan seluruh pengetahuan yang diperlukan manusia untuk menjalani kehidupannya.[8] Atas dasar ini, wahyu pada sebagian ajaran-ajarannya memainkan peran pemandu dan penegas bagi akal manusia dan pada sebagian lainnya menyampaikan pelbagai realitas yang tidak mampu dilakukan oleh akal manusia biasa kecuali dengan mengikuti wahyu. Seperti lahirnya efek-efek hukum-hukum perekonomian-politik, atau ibadah di alam barzakh dan kiamat dan atau seperti kesepakatan dan kedudukan yang terdapat pada pentas hari kiamat sebagaimana yang dijelaskan pada ayat dan riwayat.
Dengan penjelasan di atas, hakikat ini menjadi jelas bahwa wahyu dan agama dengan panduan terhadap pelbagai pencerapan akal dan indra, tidak hanya menafikan dan menyalahkannya, namun juga dengan berita gaib terhadap pelbagai peristiwa yang disaksikan pada hari pengumpulan (hasy dan nasyr), dari pelbagai pakem, kaidah dan parameter yang digunakan akal manusia, di samping usaha untuk menghasilkan pelbagai pengetahuan rasional, menyediakan bahan-bahan baru kepada manusia dengan berita-berita yang dicapai melalui penyaksian dan penerimaan-penerimaan Ilahiah (wahyu).
Standar keagamaan akal menjadi sebab sehingga akal dapat berposisi dan berperan sebagai hujjat Ilahi dalam domain pencerapan dan pengetahuan agama sehingga akal memiliki kedudukan dan penghormatan dalam agama.
Sebagai hasilnya pelbagai proposisi rasional juga dipandang sebagai bagian dari proposisi agama. Karena itu, ungkapan-ungkapan keagamaan bahkan terkait dengan pemberitaan realitas-realitas gaib, kendati mengandung realitas-realitas supra rasional, sekali-kali tidak bertentangan dan berhadap-hadapan dengan pelbagai penerimaan akal.[9]
Sebagian besar ulama Syiah, memandang akal sebagai "teraju" dalam mengenal sebagian realitas. Pelita dan lentera pada sebagian perkara serta kunci dan pembuka bagi sebagian yang lainnya.
Bahwa akal berperan sebagai kunci dan pembuka maksudnya adalah bahwa setelah akal menunaikan tugasnya sebagai pelita dalam mengenal pelbagai aturan dan ordinansi serta mengungkapkan hukum-hukum syariat pada cakrawala wujudnya dalam bentuk pahaman-pahaman universal, non-material dan tetap; setelah itu akal tidak memiliki intervensi dan campur tangan dalam domain syariat. Misalnya setelah menyingkap dan mengenal hokum-hukum Ilahi, akal tidak mampu menyingkap rahasia-rahasia hukum tersebut; karena rahasiah-rahasiah hukum tersebut berkaitan dengan alam ghaib dan berada di luar jangkauan penalaran dan inferensi akal yang hanya mengetahui sebagian hal yang bersifat universal terkait dengan alam gaib.[10]
Kriteria pengenalan yang nampak dan gaib
Entitas alam eksistensi terbagi menjadi dua: indrawi dan non-indrawi. Kriteria untuk mengenal entitas indrawi adalah empirik dan eksperimen. Empirik kendati pada bidangnya memiliki nilai dan dapat diterima, akan tetapi ia berada pada lintasan akal secara vertikal, bukan horizontal (tidak berhadap-hadapan). Karena yang dimaksud dengan empirik bukanlah induksi dan perulangan, melainkan eksperimen dari sebuah kejadian yang berulang yang berada pada lindungan deduksi (qiyas) ringan yang bermanfaat untuk ilmu dan yakin, dan setiap deduksi senantiasa memiliki mayor universal yang tidak dapat dicerap dengan indra (biasa atau dengan peralatan) dan tidak akan dipahami kecuali dengan berpikir rasional.
Dunia gaib, terbagi menjadi dua: Mutlak dan nisbi. Gaib mutlak adalah yang tertutup dan terpendam pada seluruh tingkatan wujudnya bagi semua. Gaib nisbi adalah yang pada sebagian tingkatan wujudnya atau bagi sebagian orang gaib.
Gaib mutlak seperti Dzat Ilahi yang merupakan sebuah hakikat nir-batas, Dia juga tidak dapat dikenal dan dicerap dengan ilmu hushuli, pahaman, dan juga dengan ilmu hudhuri dan syuhudi qalbi, melainkan ilmu secara global (ilmu ijmali) terhadap-Nya dan iman kepadanya hanya dapat diyakini pada sebagian (fil jumlah), bukan secara keseluruhan (bil jumlah).
Akan tetapi gaib nisbi seperti berita-berita tentang masa lampau, atau kiamat dan malaikat dan sebagainya, kriteria pengenalannya adalah dengan menggunakan argumen-argumen rasional, penyaksian-penyaksian kalbu dan juga penegasan al-Qur'an untuk berpikir dan berrasionisasi, atas dasar itu akal merupakan kriteria pertama untuk pengenalan; karena apabila akal yang berkuasa, maka ia menerima kriteria pengenalan yang lebih unggul yaitu wahyu dan juga membenarkan penyaksian-penyaksian kalbu dan juga membimbing pelbagai pencerapan indrawi.[11]
Makna leksikal dan teknikal Barzakh
"Barzkah" (isthmus) adalah batasan, media dan penghalang antara dua benda (materi dan ruh). Alam mitsal disebut sebagai alam barzakh lantaran ia merupakan pembatas antara dua benda material dan alam ruh-ruh non-material. Demikian juga disebut sebagai pembatas antara dunia dan akhirat. Redaksi barzakh dapat digunakan pada dua hal: Satu alam barzakh yang merupakan tempat perpindahan ruh-ruh setelah berpisahnya dengan badan dan yang lainnya adalah pembatas antara ruh-ruh yang non-material dan benda-benda.[12]
Apakah manusia memiliki kemampuan untuk mengenal alam gaib? Dalam menjawab pertanyaan ini dapat dikatakan bahwa apabila yang dimaksud adalah mengenal di sini adalah mengenal secara rasional berupa pemahaman, konsepsi dan hal-hal teoritis, maka hal ini, sesuai dengan kaidah yang telah ditetapkan dalam pembahasan epistemologi dan tidak dapat dibahas di sini secara keseluruhan, merupakan sebuah perkara yang mungkin. Apabila yang dimaksud pencerapan dan pengenalan di sini adalah pengenalan dan pencerapan syuhudi dan qalbi, maka pencerapan ini dapat dilakukan pada dunia lain dengan mengindahkan dan menunaikan aturan mainnya, dan manusia dapat sampai pada satu tingkatan sehingga ia menemukan wadah pencerapan syuhudi dunia lain.
Pada dunia eksistensi terdapat ragam alam yang masing-masing alam tersebut memiliki hukum tersendiri. Hukum-hukum ini berbeda satu dengan yang lainnya berdasarkan perbedaan alamnya. Misalnya alam nasut atau natural, memiliki hukum-hukum khusus tersendiri demikian juga alam barzakh yang terkhusus baginya. Demikian juga alam kiamat memiliki hukum dan aturan main tersendiri.
Manusia untuk masuk dan mencerap secara syuhudi alam-alam tersebut, ia harus bertransformasi sehingga ia memiliki wadah dan kapasitas untuk hal tersebut. Atas dasar ini, manusia mengalami perubahan dengan kematian sehingga ia dapat memasuki alam barzakh; dan juga berdasarkan ayat-ayat al-Qur'an, perubahan asasi harus terjadi pada keseluruhan alam sehingga memiliki kesiapan untuk mencerap dan menerima hukum dan aturan main alam kiamat. Karena itu, dapat dikatakan bahwa manusia memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk menerima pencerapan alam non-materi; akan tetapi dengan syarat ia memperoleh transformasi, perubahan dan kapabilitas ini. Sebagaimana sebagian manusia lantaran melakukan ritual, adab dan amalan tertentu maka ia memiliki kapabilitas untuk memahami, mencerap alam yang lebih tinggi di dunia ini dan banyak realitas yang tersingkap baginya sebelum datangnya kematian dan kiamat. Mereka yang memulai suluknya dengan jalan pensucian jiwa dan pembersihan hati maka ia akan melintasi pelbagai tingkatan, stasiun dan memperoleh tingkatan-tingkatan tertinggi.
Pada tingkatan pertama, ia akan mampu mengenal rahasia-rahasiah alam dunia (mulk)..dan pada tingkatan yang lebih tinggi, ia akan memahami rahasia-rahasia alam malakut. Dan yang lebih tinggi dari itu, tingkatan persiapan menyaksikan alam jabarut dan kelayakan untuk memandang arsy Ilahi.
Maqam ini adalah mirip dengan maqam orang-orang seperti Haritsa bin Malik yang menjawab pertanyaan Nabi Saw terkait bagaimana ia melalui malamnya. Haritsah bin Malik berkata: "Seolah-olah aku memandang arsy Rahman dengan jelas."[13]
Apakah akal manusia memiliki kemampuan untuk mencerap alam barzakh dan alam kiamat, pelbagai nikmat dan azabnya? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa terdapat banyak realitas eksistensi dan khususnya realitas-realitas yang berada di balik alam materi dan kita tidak mengetahuai realitas-realitas tersebut. Akan tetapi ketidaktahuan ini, kebanyakan terteletak pada kualitas, kuantitas dan kebagaimanaan realitas-realitas tersebut, adapun pokok dan inti realitas tersebut telah dibuktikan oleh akal dan wahyu. Dan kita mengetahui hal tersebut (secara global). Meski ilmu terhadap kuiditas dan esensi realitas-realitas tersebut sangat terbatas. Kecuali bagi sebagian orang yang dengan ritual-ritualnya di dunia ini memiliki jalan untuk dapat mengakses alam tersebut. Ilmu global mereka berganti menjadi ilmu detil.
Karena itu, kesepadanan dan bagaimananya badan-badan barzakhi dan sebagainya, segala nikmat dan azabnya tidak begitu jelas bagi kita; namun terdapat ayat-ayat dan riwayat serta analisis rasional gambaran dari kualitas dan kuantitas badan barzakhi yang mengilustrasikan tentang pelbagai nikmat dan azab barzakhi dan kiamat.[14] Apabila kita ingin menggambarkan alam barzakh, segala nikmat dan azabnya, kita dapat menyerupakannya dengan segala nikmat yang kita rasakan pada saat tidur; manusia di alam rukyat (mimpi) benar-benar mengerjakan sesuatu, berjalan, bertutur-kata, berpikir dan sebagainya. Kapan saja kita bandingkan hal ini dengan kehidupan material, maka kita akan menemukannya bukan sebagai realitas.
Akan tetapi apabila kita tidak membandingkannya maka harus dikatakan bahwa pekerjaan-pekerjaan ini yang dilakukan dalam mimpi setidaknya bagi dirinya adalah sebuah hakikat dan realitas. Karena segala permintaan, ketenangan dan penderitaan dalam mimpi tidak terlepas dari realitas. Dan boleh jadi manusia dalam alam mimpi berpengaruh pada badan materinya. Nah, apabila kehidupan mimpi menjadi kenyataan, maka kita harus menyebut kehidupan sedemikian sebagai kehidupan barzakhi dan mitsali.
Di sana, tidak terdapat materi atau molekul, akan tetapi gambaran seluruh entitas semesta tanpa materi, beban dan timbangan, akan tetap ada. Misalnya dalam alam konsepsi, kita dapat menggambarkan semesta dan segala sesuatu dalam benak dan menghadirkannya dalam benak kita. Dan sejatinya kita menyaksikan gambaran langit, bumi, sahabat dan teman. Sekarang, apabila apa yang terjadi di alam mimpi dan alam konsepsi kita saksikan, memiliki aspek kenyataan yang lebih besar dan realitas yang lebih terang, maka kita harus menamakannya sebagai kehidupan barzakhi. Dari sisi ini, para ilmuan berkata bahwa pada alam barzakh, terdapat efek-efek seperti, panas, dingin, manis, pahit, gembira dan sedih, kendati tidak terdapat materi. Di alam barzakh terdapat kegiatan memakan, meminum, mendengar, melihat dan menyaksikan, meski tidak ada materi.[15]
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa terdapat ayat-ayat dan riwayat yang mengisahkan bahwa manusia pasca perpindahan ke alam akhirat, ia akan berhadapan dengan pelbagai nikmat (atau azab) yang tidak dapat digambarkan. Dan hal itu bergantung dengan derajat keimanan atau kekufuran dan kemunafikan. Misalnya pada ayat, "Seorang pun tidak mengetahui pahala yang disembunyikan untuk mereka yang dapat menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan." (Qs. Al-Sajdah [32]:17) dan juga Nabi Saw bersabda pada sebuah hadis yang cukup panjang:"…..Barangsiapa yang berpuasa di bulan Rajab selama empat belas hari maka Allah Swt akan menganugerahkan kepadanya ganjaran yang tidak pernah disaksikan oleh mata dan juga tidak pernah didengarkan oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam benak."[16]
Sebagaimana sebagian dari kandungan hadis ini disampaikan melalui lisan Imam Shadiq As "Dan barangsiapa yang bersedekah di bulan Rajab semata-mata mencari keridhaan Allah, maka Allah Swt akan memuliakannya di hari Kiamat di surga dengan ganjaran yang tidak pernah disaksikan oleh mata, tidak pernah didengarkan oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam hati manusia."[17]
Dengan demikian Allah Swt berasaskan kemuliaan dan keagungan-Nya akan menganugerahkan segala kenikmatan kepada orang-orang beriman yang tidak pernah disaksikan oleh mata, tidak pernah didengarkan oleh telinga dan tidak pernah terlintas dalam akal dan hati seorang pun.
Imam Khomeini Ra dalam mencirikan segala kenikmatan surgawi berkata, "Saya mendengar dari seorang ahli makrifat: "Di surga, terdapat minuman dari air, segala kenikmatan yang merdu kedengarannya dengan segala jenisnya (segala jenis musik dan melodi), dan seluruh kelezatan yang elok dipandang mata (pelbagai bentuk yang indah dan penuh warna), dan panca indra lainnya demikian adanya. Bahkan masing-masing dari segala kenikmatan ini dicerap dan dipahami secara terpisah.[18][]
Referensi untuk telaah lebih jauh:
1. Imam Khomeini Ra, Tafsir Dua Sahar.
2. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudhui Qur'ân Karim, jil. 13.
3. Abdullah Jawadi Amuli, Syariat dar 'Aine Ma'rifat.
4. Abdullah Jawadi Amuli, Syenâkht Syenâsi dar Qur'ân.
5. Abdullah Jawadi Amuli, 'Aql wa Imân wa Insân Syinâsi.
6. Hurr 'Amuli, Wasâil al-Syiah, jil. 7.
7. Ja'far Subhani, Ma'âd-e Insân wa Jahân.
8. Sayid Ja'far Sajjadi, Farhang-e 'Ulum Falsafi wa Kalâmi, cetakan 1357.
9. Mirza Abulhasan Sya'rani, Natsar Thubâ ya Dairaât al-Ma'ârif Lughât Qur'ân.
10. Muhammad Ridha Kasyifi, Khudâ Syinâsi wa Farjâm Syinâsi.
11. Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14.
[1]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudhu'i Qur'ân Karim, jil. 13, hal. 87-88.
[2]. Ibid, hal. 216.
[3]. Laisa al-Khabar kal Mu'âyinat Shuduq, Man La Yahdhur al-Faqih, jil. 4, hal. 378, hadis ke- 5788.
[4]. Abdullah Jawadi Amuli, Hayât-e 'Arifâne Imâm 'Ali As, hal. 21.
[5]. Syariat dar A'ine Ma'rifat, hal. 178-179.
[6]. Tafsir Maudhu'i, jil. 13, hal. 331-332.
[7]. Abdullah Jawadi Amuli, Syenâkht Syinâsi dar Qur'ân, hal. 407.
[8]. 'Aql wa Imân wa Insânsyinâsi, hal. 16.
[9]. Syariat dar Aine Ma'rifat, hal. 368.
[10]. Ibid, dinukil dari Aql wa Imân wa Insân Syinâsi, hal. 18.
[11]. Tasnim, jil. 2, hal. 171-173.
[12]. Sayid Ja'far Sajjadi, Farhang-e 'Ulum Falsafi wa Kalâmi, cetakan 1357; Natsar Thuba ya Dairat al-Ma'ârif Lughât Qur'ân.
[13]. Abdullah Jawadi Amuli, Syenâkht Syinâsi, hal. 409-410.
[14]. Muhammad Ridha Kasyifi, Khudâ Syinâsi wa Farjâm Syinâsi, hal. 98-100.
[15]. Ja'far Subhani, Ma'âd-e Insân wa Jahân; Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 321;
Muhammad Ridha Kasyifi, Khuda Syinâsi wa Farjâm Syinâsi, hal. 94.
[16]. Hurr 'Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 7, Kitâb al-Shaum, hal. 353.
[17]. Ibid, hal. 354, hadis ke-10.
[18]. Imam Khomeini Ra, Tafsir Doa Sahar, hal. 44.