Hakikat wujud itu memiliki dua sisi. Satu sisinya adalah berupa realitas hakiki (fi’liyyat mahdh) dan kesempurnaan mutlak. Sedangkan sisi lainnya adalah berujung kepada potensi hakiki (quwwah mahdh) dan penerima belaka. Jarak antara kedua sisi dan ujung ini terdapat peringkat-peringkat wujud mutawassith (pertengahan).
Cahaya wujud dari sumber wujudnya tidak akan sampai kepada potensi hakiki (quwwah mahdh) kecuali ia terlebih dahulu melewati dan melintasi seluruh tahapan-tahapan wujud mutawassith yang dikenal sebagai qaus nuzuli (kurva turun). Sebagaimana pula bahwa wujud -pada tahapan-tahapan penyempurnaan- dari maqam “penerimaan semata” (hayula; materi pertama) tidak akan mencapai maqam “qurb” (kedekatan) kepada wajib al-wujud (Wujud Wajib, Allah Swt) kecuali harus melalui seluruh tahapan-tahapan wujud mutawassith yang dikenal dengan qaus shu’udi (kurva naik).
Berdasarkan hal ini, mereka (ulama irfan) memandang bahwa perjalanan hakikat wujud itu mirip dengan sebuah lingkaran yang mencakup kedua qaus tersebut.
Menurut pandangan irfan bahwa pada qaus nuzul, manusia senantiasa membawa seluruh tahapan-tahapan yang telah diamanatkan kepadanya dan setelah itu, pada qaus shu’ud seluruh apa yang telah diperoleh pada qaus nuzul harus dikembangkan sehingga bisa sampai kepada derajat terakhir kesempurnaan. Apabila ia telah mencapai peringkat tsabat dan qarar (tetap dan eksis), maka lingkaran wujudnya pun menjadi sempurna dan terbebas dari segala batasan dan ketentuan. Sebagaimana Rasulullah Saw yang telah sampai kepada maqam dan derajat mulia ini. Dalam hal ini Al-Qur’an mengisyaratkan: “Tsumma danaa fatadallaa fakaana qaaba qausaini au adnaa” (kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah ia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi).
Sebelum merangsek pada pokok bahasan, kiranya perlu dijelaskan di sini dua kaidah filsafat; yaitu kaidah imkan asyraf dan imkan akhas. Kaidah imkan asyraf adalah sebuah kaidah yang menetapkan bahwa pada seluruh tahapan wujud, mumkin asyraf (wujud kontingen yang dari segi wujud atau eksistensinya lebih tinggi dan lebih mulia) harus lebih awal dari mumkin akhas (wujud kontingen yang dari segi tingkatan wujud dan eksistensinya lebih rendah).
Dengan kata lain, bahwa setiap mumkin akhas ada, maka sebelumnya harus ada mumkin asyraf. Misalnya ketika kita mencoba memperhatikan akal dan membanding-bandingkan antara keduanya maka kita akan yakin bahwa akal lebih unggul dari nafs. Ketika itu, kalau kita tahu munculnya wujud nafs, maka tentunya sebelumnya kita telah lebih dahulu tahu tentang munculnya wujud akal. Dan kaidah imkan akhas merupakan kebalikan dari kaidah imkan asyraf.
Hakikat wujud memiliki dua dimensi, yang keduanya itu sering disebut sebagai dua sisi wujud. Satu sisi sampai kepada realitas hakiki dan kesempurnaan mutlak, dan sisi lain hanya sebagai potensi belaka dan sekedar menerimanya saja. Dimensi yang sampai kepada realitas hakiki dan kesempurnaan mutlak adalah wajib al- wujud (Wujud Wajib) dimana kesempurnaannya itu tidak terbatas dan dari sisi perbuatannya tidak akan pernah berujung.
Dimensi yang hanya sampai pada sebatas potensi dan penerimaan semata adalah hayula ula (materi pertama) dimana peluang untuk kehilangan kesempurnaan tidak ada batasnya dan juga dalam menerima berbagai potensi tidak punya limit. Jarak antara kedua dimensi ini dibentuk oleh tahapan-tahapan pertengahan wujud. Cahaya wujud, dari awal keberadaannya, tidak akan pernah sampai hingga pada tahapan materi pertama yang merupakan reaksi semata (infi’al mahdh) kecuali harus melewati seluruh tahapan pertengahan wujud yang mana disebut qaus nuzul (kurva turun). Demikian halnya wujud pada tahapan penyempurnaan, dimana dari maqam hayula (materi) tidak akan pernah sampai ke maqam kedekatan pada Wajib al-Wujud kecuali ia harus melewati seluruh tahapan yang ada pada qaus shu’ud (kurva naik). Dengan melalui media kaidah imkan asyraf, telah banyak maujud mutawassith terealisasi pada qaus nuzul. Dan juga melalui media imkan akhas, telah banyak maujud mutawassith terealisasi. Yakni pada qaus nuzul, dengan terbuktinya wujud nafs maka wujud akal pun, melalui media imkan asyraf, juga menjadi terbukti. Akan tetapi, nafs nathiqah menjadi terbukti pada qaus nuzul melalui perantara kaidah imkan akhas dan pembuktian aka.[1]
Qaus nuzul dan shu’ud manusia dalam pandangan Irfan
Allah Swt berfirman:”Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian kami kembalikan ia ke tempat yang serendah-rendahnya” (Qs. Al-Tin [95]:4-5). Hal ini sesuai dengan qaus nuzul dan menunjukkan bahwa sebelum alam tabiat, manusia telah ada sebelumnya. Dan hal ini sesuai dengan realita dan penarikan dari maqam tertinggi (a’la ‘illiyyin) ke maqam terendah (asfala safilin) tidak mungkin kecuali ia harus melewati tangga-tangga yang terdapat di antaranya. Jadi, dalam ilmu Ilahi turun dari Hadrat Wâhidiyyah dan ‘ain tsabit (entifikasi permanen) ke alam masyiyat, dan alam masyiyat ke alam ‘uqul dan ruhanih (malaikat al-muqarrabin), dan dari alam itu ke alam malakut ‘ulya (nafs-nafs kulliyah) dan dari alam itu ke alam tabiat. Alam tabiat juga memiliki tingkatan-tingkatan, dan yang paling rendah adalah alam hayula dimana ia merupakan tahapan pertama alam atau dengan istilah lainnya alam lampau dan thabi’at nazilah (tabiat yang menurun) dan derajat akhir turunnya manusia. Lantas mulai melakukan perjalanan dan secara bertahap dari maqam terendah, materi pertama (hayula) yang mengikat qaus (busur panah), hingga naik ke maqam “Tsumma danaa fatadallaa fakaana qaaba qausaini au adnaa” (kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah ia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Dengan itu maka manusia sempurna (insan kamil) adalah seluruh silsilah wujud, dan lingkaran wujud itu berakhir dengannya dan dialah yang awal dan akhir yang zahir dan batin serta dialah kitab universal Ilahi.[2]
Para filosof menganggap bahwa awal dan akhir kedua qaus tersebut adalah pada akal pertama yang mana berada dalam faidh muqaddas (emanasi yang Mahasuci) dan juga menganggap bahwa akal pertama tersebut merupakan tahapan sederhana dan universalitas perintah Ilahi yang Esa (Qs. Al-Qamar [54]: 50).
Menurut anggapan para urafa bahwa kesempurnaan atau limit dari lingkaran tersebut berada pada qaus shu’ud yang sampai ke maqam au adnâ (atau lebih dekat), dimana permulaan gerakan dan terpancarnya limpahan tersebut dinisbahkan kepada nama-nama Dzat (Ilahi). Dari sini, kedua qaus shu’ud dan nuzul serta cakupan lingkaran perkara Ilahi dan juga gerakan pengadaan atau pembentukan tersebut menurut ahli irfan, lebih luas serta lebih besar jangkauannya dibandingkan apa yang dipahami oleh ahli hikmah.
Dalam pandangan Irfan, insan kamil adalah apa yang diungkapkan oleh Al-Qur’an pada surat al Isra (17) ayat 79:”Dan pada sebahagian malam hari shalat malamlah (dan bacalah Al-Qur’an). Ini sebagai suatu ibadah dan kewajiban tambahan bagimu. Mudah-mudahan Tuhanmu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”.
Ia Mahmud mutlaq (yang terpuji secara mutlak) lantaran semua makhluk di alam semesta yang sentiasa mendapat limpahan-Nya memuji dan menyanjung Dia. Pemilik maqam mahmud adalah orang yang dengan meniti serta melalui kedua qaus nuzul dan shu’ud itu serta sampai pada maqam au adnaa (atau lebih dekat), telah menyatukan dan membuat jembatan penghubung antara kedua qaus tersebut. Pada qaus nuzul, manusia mengemban seluruh tahapan-tahapan yang telah diamanatkan dan setelah itu pada periode qaus shu’ud, seluruh apa yang telah diperoleh dan dicapai pada periode qaus nuzul harus dikembangkan dan tetap dijaga serta dipelihara.
Ahmad menjadi rasul, akal pun kerdil di hadapannya
Dua alam ini tercipta hanya karenanya
Aku telah menjadi nabi yang mengibarkan panji dalam genggaman
Kenabian pamungkas dititipkan kepada Muhammad
Bulan yang merupakan batu cincin telah menjadi Zabarjad
Stempelnya adalah kasih Muhammad
Lingkaran dunia adalah lingkaran mim-nya
Kedua alam tersembunyi pada kediamannya
Lilin Ilahi berkobar dari dalam hatinya
Ibrah kehidupan telah ia dapati sepanjang abad
Sinar mentari berhajat kepadanya
Setengah hilal adalah malam mikrajnya
Peringkat awal dimana akal adalah tulisan
Duduk dalam mahjubah Ahmad
Dialah penutup rasul dan pamungkas para nabi. (Nizhami)
Dalam Al-Qur’an banyak ditemukan ayat-ayat yang menyingkap hal-hal yang berkaitan dengan qaus nuzul dan qsaus shu’ud, di antaranya adalah surat al-A’raf (7) ayat 29:”Sebagaimana Dia telah menciptakan kamu pada permulaan, (demikian pulalah) kamu akan kembali kepada-Nya” dan juga pada surat al-Anbiya (21) ayat 104:”Sebagaimana kami telah memulai penciptaan pertama begitulah kami akan mengulanginya” dan lain-lain.
Sehubungan dengan hal ini, di dalam doa Nudbah kita ucapkan sebuah ungkapan yang ditujukan kepada Hujjah Allah Swt di muka bumi ini (Imam Zaman Ajf.):”Yabna man danaa fatadallaa fakaana qaaba qausaini au adnaa dunuwwan wa iqtiraban minal ‘aliyyil a’laa...” (Wahai putra seorang yang telah mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah ia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi) kepada yang Mahatinggi).[3]
Perbincangan mengenai qaus shu’ud dan nuzul sangat luas, tetapi kita cukupkan hanya disini saja dan bagi siapa yang tertarik dengan bahasan ini, maka kami persilahkan untuk merujuk ke referensi-referensi yang ada. []