Rezeki terdiri dari dua jenis. Rezeki yang kita cari dan rezeki yang datang dengan sendirinya. Dalam riwayat, rezeki yang datang kepada kita disebut sebagai “rezeki thâlib” (yang mencari) dan rezeki yang kita cari dinamakan “rezeki mathlûb (yang dicari).”
Rezeki thâlib dan yang telah ditentukan (mahtum) adalah rezeki berupa keberadaan, usia, segala fasilitas, lingkungan, keluarga, dan segala potensi dan sebagainya dari jenis rezeki ini, memberikan kemampuan yang diperlukan dan ketelitian untuk berusaha, berupaya dan bekerja sehingga dengan demikian gerbang pintu rezeki matlub dan yang bersyarat akan terbuka.
Untuk menerima rezeki matlub, setiap orang harus menengadahkan tangannya berdoa – disertai dengan usaha dan keseriusan – ke haribaan Tuhan; bahkan seorang bocah menyusui sekalipun usahanya adalah tangis dan rontaan, dengan aktifitas-aktifitas ini ia memperoleh rezeki yang dicari (ASI). Namun bocah ini tatkala ia beranjak besar dan lebih dewasa, usaha dan keseriusannya berbentuk lain. Dengan berpikir, tafakkur, berkerja, menggerakkan seluruh anggota badan, ia merubah sisi kualitas dan kuantitas rezeki yang diperolehnya. Kesimpulannya dalam bagian rezeki yang ditentukan (mahtum) dan yang mencari (thâlib), akan tercipta usaha, pikiran dan kerja dan dalam usaha, aktifitas, pencarian, dengan demikian rezeki yang dicari dan bersyarat itu akan diperoleh.
Rezeki mahtum (yang ditentukan) tidak dapat berubah dan berganti, bertambah dan berkurang. Dan hal ini bergantung pada bagaimana pekerjaan pendahuluan rezeki yang dicari itu dipersiapkan dan kualitas perangkapan, pengaturan dan penataannya dapat menambah dan mengurangi rezeki matlub.
Jawaban dari pertanyaan ini dapat dijelaskan dalam format dua premis dan sebuah konklusi sebagai berikut:
Premis minor: Rezeki yang diemban oleh Tuhan dan menjaminnnya adalah, jatah atau kuota yang harus sampai kepada seluruh makhluk sehingga ia dapat bertahan hidup. Namun jaminan Ilahi, pemberian rezeki, kita sandarkan kepada dzat Ilahi, berbeda dengan pengembanan tugas seorang manusia.
Sekiranya disebutkan dalam al-Qur’an bahwa, “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya.” (Qs. Hud [11]:6) maka harus diperhatikan bahwa Tuhanlah yang menanggung rezeki seluruh binatang melata tersebut bukan seorang makhluk. Allah bermakna Pencipta semesta dan seluruh eksisten. Jaminan Ilahi berbeda dengan jaminan sebuah makhluk yang merupakan bagian dari semesta dan berada di bawah pengaruh peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam semesta.
Mengenal perbuatan Tuhan dan sifatnya yang memberi rezeki adalah mengenal sistem yang berlaku di alam semesta. Kita (manusia) adalah bagian dari alam semesta ini dan seperti bagian-bagian lainnya di alam semesta ini kita memiliki tugas. Namun tugas-tugas yang kita miliki terkait dengan pelbagai rezeki, hak-hak dan tatanan penciptaan atau aturan syariat yang membuat kita memikul tugas ini adalah bersumber dari dimensi sifat Tuhan yang Mahapemberi. Kekuatan menarik dan memberi makan yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan, demikian juga peralatan pemberian makanan, selera-selera dan naluri-naluri yang terdapat pada binatang membimbing mereka kepada bahan-bahan makanan, semuanya ini merupakan manifestasi kemahapemberian Allah Swt.
Allah Swt membekali setiap binatang dengan perantara sekumpulan selera dan gairah sehingga mereka mencari apa yang mereka butuhkan serta berusaha untuk memenuhi selera-selera ini.
Pemikiran, usaha, dan upaya inlah yang merupakan wadah untuk menarik sifat kemahapemberian Tuhan. Dan Razzaqiyat-Nya menjadikan yang memberi rezeki-menerima rezeki mencinta dan mencari satu dengan yang lain.
Ketergantungan tipikal yang terdapat di antara eksisten yang membuat mereka berhubungan satu dengan yang lain. Sepanjan manusia pada tingkatan bocah kecil (bayi) dan tidak memiliki kemampuan untuk memperoleh rezeki, maka rezekinya disediakan dalam bentuk sajian tersedia dan siap santap. Dan secara gradual ia memperoleh kekuatan dan dengan kuriositas ia dapat memperoleh rezekinya, rezekinya tidak akan semudah ia peroleh sebagaimana waktu bayi. Sepertinya Dia mengambil rezekinya dan menempatkannya jauh dari jangkuannya hingga ia melangkah ke arah rezeki tersebut, mendapatkannya lalu memanfaatkannya. Secara umum, terdapat kesesuaian antara persiapan untuk memperoleh rezeki dan ukuran kemampuan makhluk yang menerima rezeki serta ukuran petunjuk untuk sampai pada rezeki yang ditetapkan baginya. Dan atas alasan ini, terdapat kesesuaian dalam kaitannya dengan tumbuh-tumbuhan dan binatang eksisten-eksisten yang lebih tinggi dan maju. Dan apa yang mencukupi bagi kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan-hewan adalah tidak mencukupi bagi manusia. Masalah pencarian rezekinya akan berbentuk lain. Jarak antara rezeki dan yang memakan rezeki dalam pentas kehidupan manusia lebih besar; dengan demikian media-media yang lebih besar dipersiapkan untuknya dan alat-alat petunjuk pada wujudnya dikuatkan. Kepadanya diberikan akal, ilmu dan pikiran, wahyu dan kenabian diturunkan kepadanya untuk membantunya. Dan telah ditetapkan seabrek tugas dan semua hal ini merupakan dimensi dari sifat kemahapemberian Tuhan. Dari sini dikatakan bahwa:
Jangan engkau menyantap pancingan Iblis hingga nyawamu melayang
Siapa yang memberikan gigi ia akan memberikan gizi
Kemampuan yang diberikan oleh Tuhan pemberi rezeki
Sehingga engkau memperoleh rezeki
Lihatlah bocah dalam rahim
Ia menikmati usia dan memperoleh rezeki
Merupakan tuturan yang benar namun tidak bermakna bahwa dengan memiliki gigi segalanya selesai dan memadai hingga makanan dimasak dan disajikan di atas meja makan manusia, namun bermakna bahwa apabila tiada makanan, maka gigi juga tidak tersedia, juga apabila gigi dan pemilik gigi tiada, maka makanan juga tidak akan ada. Dengan kata lain, dalam teks penciptaan antara rezeki dan pemakan rezeki, media untuk mendapatkan rezeki, media untuk menyantap rezeki, menguyah (digesti), menarik rezeki, media-media pemandu dan pembimbing ke arah rezeki terjalin hubungan berkelindan antara satu dengan yang lain. Sosok yang menciptakan manusia di alam natural memberikannya gigi, juga memberikan gizi (makanan) di alam natural. Pikiran dan kekuatan amal, mencari, dan melakukan tugas dengan baik dianugerahkan kepadanya dan kesemua ini merupakan cermin kemahapemberian Tuhan.[1]
Premis mayor: rezeki terbagi menjadi dua. Rezeki yang kita cari dan rezeki yang datang kepada kita.[2]
“Rezeki yang ditentukan” (thâlib) yang datang kepada kita senantiasa mengejar kita bahkan apabila kita berlari darinya. Ia tidak akan berlepas tangan dari kita laksana kematian yang senantiasa menguber manusia. “Sekiranya manusia lari dari rezekinya sebagaimana ia berlari dari kematian maka ia akan mendapatkannya sebagaimana kematian.”[3] Rezeki sedemikian memiliki akar pada ketentuan Ilahi dan tidak mengalami perubahan dan pergantian di dalamnya. Dalam hal ini, Allamah Thaba-thabai berujar, “Antara rezeki dan pemakan rezeki terdapat keniscayaan satu dengan yang lain. Mustahil terdapat pemakan rezeki yang mencari rezeki untuk dapat bertahan hidup namun rezeki tidak tersedia, demikian juga mustahil tersedia rezeki namun pemakan rezeki tidak ada, dan juga rezeki yang diperlukan oleh manusia bertambah dan dengan demikian masalah rezeki ini termasuk bagian dari ketentuan Ilahi.[4]
“Rezeki yang dicari” (matlub) adalah rezeki yang telah ditetapkan oleh pencarinya. Apabila kita mencarinya dan memenuhi segala syarat, sebab-sebab yang diperlukan untuk sampai kepadanya, maka rezeki sedemikian akan kita peroleh.
Sejatinya, usaha kita untuk sampai pada rezeki tersebut adalah termasuk “juz al-‘illah” (bagian dari sebab) dan apabila berada di samping sebab-sebab yang lain dari alam ghaib, maka tentu saja untuk memperoleh rezeki tersebut adalah perkara yang pasti. Dalam hal ini, Amirul Mukminin Ali As bersabda, “Carilah rezeki yang telah terjamin dan melimpah yang (hanya) disediakan bagi yang mencarinya.”[5]
Sebagaimana pencarian tanpa jaminan adalah mustahil, penjaminan rezeki juga tanpa pencarian (pada rezeki yang dicari) tidak mungkin. Atas alasan ini, dua bagian rezeki yang ditentukan bagi para hamba, satu bagian tanpa syarat (rezeki thâlib) dan bagian yang lain adalah rezeki bersyarat (rezeki matlub). Rezeki tanpa syarat mencari manusia pada segala kondisi sehingga menjamin ukuran kapabilitas manusia dari jenis rezeki ini tidak kepenuhan hingga ajal dan kematiannya tiba. Sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, “Tiada seorang pun yang meninggal hingga rezekinya sempurna ia dapatkan.”[6] Adapun rezeki matlub dan bersyarat kepastiannya bersyarat pada pengerjaan beberapa perkara dan dengan memperhatikan beberapa masalah dimana tanpanya tidak akan terwujud.” [7]
Rezeki thâlib dan yang telah ditentukan (mahtum) adalah rezeki berupa keberadaan, usia, segala fasilitas, lingkungan keluarga, dan segala potensi dan sebagainya yang dari jenis rezeki ini, memberikan kemampuan yang diperlukan dan ketelitian untuk berusaha, berupaya dan bekerja. Dan dalam pancaran rezeki yang telah ditentukan ini gerbang pintu rezeki matlub dan yang bersyarat akan terbuka.
Pada rezeki yang dicari setiap orang bagaimanapun bentuknya harus menengadahkan tangannya ke hadapan Mahapemberi rezeki Mutlaq (Razzaq); bahkan seorang bocah yang meminum ASI dengan usahanya meronta, menangis, menjerit, dan berteriak. Karena itu, dalam pelbagai perbuatan ini ia akan memperoleh rezeki matlub (ASI). Namun tatkala ia tumbuh berkembang dan sampai pada tingkatan yang lebih besar, usaha dan keseriusannya berbentuk lain, dan dengan cara berpikir, berbuat, menggerakan anggota tubuh, kualitas dan kuantitas rezeki juga mengamlami perubahan.
Kesimpulannya dalam mendapatkan rezeki yang ditentukan, usaha, pikiran dan kegiatan tercipta dan dalam usaha, kegiatan dan mencari, rezeki yang dicari akan muncul. Rezeki yang ditentukan tidak berubah, berganti, berkurang atau bertambah. Bukan keserakahan orang-orang serakah yang mampu menyingkirkan rezeki ini dan juga bukan dengan penolakan orang-orang enggan terhadap rezeki tersebut.[8] Namun bergantung pada bagaimana pemenuhan pelbagai pendahuluan rezeki yang dicari (mathlub) dan kualitas rangkapan, penataannya yang dapat berpengaruh pada kuantitas dan kualitasnya. Misalnya niat baik dan berketerusan dalam thaharah merupakan perkara yang dapat menambah rezeki.
Seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw bahwa ia ingin rezekinya bertambah luas, Rasulullah Saw bersabda: “Hendaklah engkau senantiasa dalam keadaan suci (thaharah) supaya rezekimu semakin bertambah.”[9]
Imam ‘Ali As bersabda, “Orang yang niatnya baik maka rezekinya akan bertambah banyak.”[10]
Karena itu perlu bagi kita setelah mengetahui hubungan antara rezeki dan pemakan rezeki bahwa media-media untuk memperoleh rezeki ini telah disediakan dan tugas untuk mencarinya berada di pundak kita. Serta berusaha menemukan sebaik-baik cara untuk dapat memperoleh rezeki, dan memberdayakan segala potensi dan kekuatan yang kita miliki kemudian bertawakkal kepada Sang Pencipta.
Persada dan segala yang pelik di dalamnya adalah tirai
Semua rezeki bersumber dari Tuhan yang mahamengetahui setiap diri
Tatkala engkau memacul bumi sebagai kerja asli
Tumbuh darinya masing-masing seribu biji
Kini kuambil bijian itu lalu kau semai
Di bumi yang engkau pandang sebagai sebab tempat bersemai
Tatkala dua tahun berlalu tidak tumbuh apa yang engkau semai
Kini engkau hanya dapat bersandar pada doa dan munajat
Tengadahkan tanganmu dan dongakkan kepalamu kepada Sang Pemenuh Hajat
Tangan dan kepala menjadi saksi rezeki-Nya
Hingga engkau tahu bahwa yang Dialah yang memberikan rezeki
Karena berlabuh kepada-Nya seluruh pencari rezeki
Tuntutlah rezeki dari-Nya bukan dari Iwan dan Budi
Pintalah kemampuan dari-Nya bukan khazanah dan harta
Pohonlah bantuan dari-Nya bukan dari paman dan bibi[11]
[1]. Murtadha Muthahhari, Bist Guftâr, Guftâr-e Syisyum, hal. 127.
[2]. Nahj al-Balâghah,
[3]. Muhammadi Rey Syahri, Husaini Sayid Hamid, Muntakhab Mizân al-Hikmah, riwayat no. 2564.
[4]. Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizân, jil. 18, juz 27, hal. 377.
[5]. Muntakhab Mizân al-Hikmah, riwayat no. 2555.
[6]. Ibid, riwayat no. 2561.
[7]. Rezeki secara leksikal bermakna sesuatu yang diambil manfaat darinya, “al-rizq maa yuntafa’ bihi.”
[8]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 77, hal. 68, hadits 7, riwayat dari Nabi Saw.
[9]. Muntakhab Mizân al-Hikmah, riwayat no. 2574.
[10]. Ibid, riwayat no. 2574.
[11] Jalaluddin Rumi, Matsnawi.