1. Terdapat sejumlah argumen dan burhan untuk mengenal dan membuktikan eksistensi Allah Swt dan pada argumen ini terdapat beberapa metode yang kerap digunakan.
Dari segi metode, argumen-argumen ini dibagi menjadi tiga bagian: metode fitriah, metode ilmiah dan semi-filosofis serta metode filosofis. Argumen “keteraturan” merupakan salah satu metode ilmiah dan serupa dengan filsafat.
2. Dalil-dalil dan metode pembuktian Allah itu tidaklah sama, baik dari aspek kesahihan, kesempurnaan, kelemahan, kekurangan serta hasilnya. Argumen keteraturan merupakan salah satu argumen yang butuh kepada argumen-argumen lain dan dengan alasan inilah para ahli hikmah dan filosof Islam tidak menggunakannya untuk membuktikan dzat wajib al wujud.
3. Argumen keteraturan memiliki hubungan dekat dengan masalah “hikmah Ilahi” dan untuk membahas hubungan ini membutuhkan waktu tertentu.
4. Bentuk sederhana argumen keteraturan itu dapat dijelaskan seperti berikut ini: alam semesta ini memiliki keteraturan atau sistematika dan setiap yang teratur/sistematis pasti ada yang mengaturnya. Jadi alam semesta ini memiliki seorang pengatur. Premis pertama merupakan premis yang sifatnya empiris dan premis kedua merupakan premis yang sifatnya rasional.
5. Yang dimaksud “nâzhim” (pengatur) disini adalah entitas eksternal, jelas dan substansial yang mewujudkan keteraturan dan keseimbangan khusus pada sistem internal atau terakhir seluruh maujud/makhluk.
6. Memperkenalkan argumen keteraturan itu dapat dilakukan dengan cara menyebutkan hal-hal yang ada kaitannya dengan defenisi keteraturan, pembagian keteraturan, pembuktian adanya keteraturan dan dalil tentang mengapa adnya keteraturan (nazhm)?
7. Keteraturan itu ada yang sifatnya “i’tibari” (asumtif), ada yang “shanâ’i” (rekaan) dan ada yang “takwini” (natural). Keteraturan yang sifatnya i’tibari itu merupakan hasil dari asumsi beberapa orang dan keteraturan yang sifatnya shana’i itu diperuntukkan membangun aturan-aturan industri, skill khusus dan keteraturan tabiat (fisikal dan natural) dan takwini itu ditemukan pada garis edar penciptaan dan hakikat. Dan dalam argumen keteraturan, yang menjadi poros kajian adalah keteraturan natural dan struktural alam penciptaan (takwini).
8. Keteraturan yang bersifat fisikal (thabi’i) itu memiliki bagian-bagian serta bentuk-bentuk: keseimbangan internal unsur-unsur sebuah tatanan atau sistem yang terbatas, keseimbangan unsur-unsur wujud pada sekumpulan eksistensi, keseimbangan dan kesamaan antara fi’il (perbuatan) dan fa’il (pelaku) dan keseimbangan dan hubungan penting setiap perbuatan dengan tujuan khusus pada fi’il tersebut dalam silsilah sebab-sebab tujuan (‘ilal-e ghai). Pada argumen keteraturan, yang menjadi poros bahasan adalah keteraturan internal dan tujuan.
9. Terkadang keteraturan struktural alam semesta (nazhm takwini) itu berkenaan dengan entitas yang sifatnya materi dan natural, terkadang berkenaan dengan entitas (maujud) yang bersifat non-materi idealis (mujarrad mitsali), terkadang berkenaan dengan maujud yang bersifat non-materi rasional (mujarrad ‘aqli). Dan adapun hal yang menjadi fokus kajian para pembela atau para kritikus argumen keteraturan adalah sistem natural entitas materi.
10. Pembuktian keteraturan pada sekumpulan wujud (alam natural, alam idealis, dan alam rasional) merupakan hal yang sangat mustahil kecuali dengan argumen rasional.
11. Al-Qur’an –dalam menentang kelompok musyrikin yang meyakini akan tauhid pencipta dan adanya otoritas semua makhluk dalam penataan dan pengaturan– menggunakan argumen keteraturan dan menuturkan secara lugas dengan gaya debat yang terbaik.
Keteraturan pada malam dan siang, bertenggernya dan berdiamnya bumi melalui gunung-gunung tersebut, dan contoh-contoh dari keteraturan maujud pada tabiat yang disebut Al-Qur’an sebagai tanda-tanda akan keberadaan wujud pertama.
12. Imam shadiq As menganggap bahwa keberaturan alam semesta dan adanya pergantian malam dan siang dan lain sebagainya merupakan salah satu metode untuk membuktikan akan kemanunggalan dan keesaan Sang Pengatur dan Penata alam semesta.
Ada banyak argumen-argumen serta metode yang digunakan untuk mengenal dan mengetahui wujud dan eksistensi Allah Swt. Dalam sebuah pembagian umum, argumen-argumen ini –dari segi metodenya– dibagi ke dalam tiga bagian: metode fitrawi, metode ilmiah dan semi-filosofis serta metode filosofis Argumen “keteraturan” dikategorikan sebagai salah satu metode ilmiah dan semi-filosofis.[1]
Sebelum merangsek pada penjelasan tentang argumen keteraturan, di sini perlu diperhatikan bahwa argumen-argumen dan metode-metode pembuktian Allah Swt itu memiliki perbedaan-perbedaan yang cukup signifikan dalam banyak sisi, di antaranya adalah: sisi kesahihan, kesempurnaan, kelemahan dan kekurangan, nilai dan keterbatasan setiap dari argumen-argumen itu dalam memperoleh hasil yang diinginkan, kemampuan menepis dan menjawab pelbagai keraguan (syubhat), kritikan yang dilontarkan kepada setiap dari argumen tersebut, serta neraca penggunaan premis-premis yang bersifat empiris, dan bahkan dari sisi gaya penjelasan dan pemaparan dari setiap argumen tersebut. Dengan mencamkan baik-baik hal ini maka pintu-pintu masuknya pelbagai kerancuan dan sofisme (mughâlathah) menjadi tertutup.[2]
Berdasarkan hal ini, argumen-argumen yang dirilis untuk membuktikan wujud Allah Swt itu, dilihat dari aspek kesahihan, kerusakan, kesempurnaan, kekurangan dan syarat-syarat dalam memberikan rasa yakin, dibagi ke dalam tiga kelompok:
1. Argumen-argumen yang punya kelemahan dan bagian dalamnya sangat rapuh dan lapuk serta tidak memiliki syarat-syarat yang dapat mengantarkan pada sebuah keyakinan. Pada hakikatnya hal semacam ini bukanlah merupakan argumen.
2. Argumen-argumen yang tidak punya kelemahan dan tidak rapuh, namun memiliki kekurangan dan tidak punya nyali serta kemampuan untuk membuktikan wujud Allah Swt secara sempurna. Paling banter argumen semacam ini hanya dapat membuktikan sifat dari sifat-sifat dan nama dari nama-nama Ilahi dan supaya argumen-argumen ini bisa membuktikan keberadaan Wajib al-Wujud (Allah swt), ia memerlukan argumen-argumen lain yang bisa dijadikan sandaran. Dan argumen keteraturan masuk dalam kategori ini.
3. Argumen-argumen yang sahih dan sempurna yang secara paripurna dapat mengantarkan pada tujuan yang ingin dicapai yaitu membuktikan akan wujud dan eksistensi wajib al wujud, Allah Swt.[3]
Argumen keteraturan: sebagaimana yang telah diisyarahkan sebelumnya, salah satu metode ilmiah (empiris) dan semi-filosofis dalam mengenal Allah Swt adalah argumen keteraturan. Argumen ini menggunakan suatu premis yang sifatnya empiris; dalam artian bahwa melalui penelaahan secara empiris tentang realita-realita serta makhluk-makhluk tabiat yang ada di luar dan penyaksian atas bekas-bekas serta ayat-ayat Ilahi dan menggunakan hal tersebut pada penalaran demonstratif (istidlal burhani) sehingga menyampaikan kita pada sebuah hasil yang diharapkan. Dengan alasan inilah, sehingga argumen keteraturan itu bukanlah sebuah argumen yang hanya bersifat empiris semata, tapi ia juga menggunakan suatu premis yang sifatnya rasional.[4]
Kajian argumen keteraturan yang dalam ungkapan sebagian pembesar, merupakan sebuah dalil terpopuler dan sangat memasyarakat yang digunakan oleh kelompok Ilahiyun dalam membuktikan wujud Allah Swt![5], itu adalah dalil dan masalah sistem dan tatanan yang kokoh (nizhâm mutqan) dimana dengan berdasar pada ayat Al-Qur’an:”Shana’allaahu alladzii atqana kulla syaiin”,[6] kita dapat menyebutnya dengan istilah “itqân shan'”. Argumen keteraturan memiliki hubungan dekat dengan masalah “hikmah Ilahi” dimana untuk membicangkan hal tersebut memerlukan waktu tersendiri.[7] Kendati dapat dikatakan bahwa para ahli hikmah dan filosof Islam –dengan alasan adanya keterbatasan pada esensi argumen ini– tidak menggunakan argumen keteraturan ini untuk membuktikan Dzat Wâjib al-Wujud.[8]
Argumen keteraturan tersebut dapat dipresentasikan dalam banyak format, namun seperti yang telah disinggung sebelumnya, hasil apa pun yang dapat diraih, bersandar pada dua premis. Premis pertama sifatnya empiris dan premis kedua bersifat rasional.[9] Premis rasional yang merupakan premis mayor silogisme (setiap yang beraturan pasti membutuhkan seorang pengatur) tanpa bersandar pada sebuah silogisme yang menggunakan harakat (gerak), huduts (tercipta) dan imkan (kontingen), tidak akan membuahkan hasil, seperti ini sehingga dikatakan bahwa keteraturan adalah sebuah realita yang hâdits (diawali dengan ketiadaan) dan atau yang mungkin (mumkin) yang butuh kepada sebuah penyebab awal dan atau Wâjib al-Wujûd, jadi keteraturan juga memiliki sebuah penyebab awal dan atau Wâjib al-Wujûd.
Tentunya yang awal itu dimana keteraturan itu lahir darinya, juga disebut sebagai “pengatur”, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa argumen keteraturan, dalam kondisi apa pun ketika hendak membuahkan suatu hasil, memerlukan argumen lain dan ia tidak akan pernah dikategorikan sebagai argumen yang independen.[10]
Di samping itu dengan alasan bahwa (argumen) keteraturan, dengan bantuan dari salah satu argumen-argumen lain, dapat membuktikan keberadaan sang “pengatur pertama”, dan karena sebuah perbuatan yang lahir dari sang pengatur itu sangatlah ilmiah, maka di sini dapat pula dibuktikan bahwa sang pengatur memiliki sifat ‘ilm (ilmu; mengetahui).[11]
Bentuk sederhana argumen keteraturan itu dapat dinyatakan seperti berikut ini: keteraturan itu ada; yakni alam semesta ini memiliki keteraturan, dan setiap yang teratur itu memiliki seorang pengatur, jadi alam semesta ini memiliki seorang pengatur.[12]
Memperkenalkan argumen keteraturan ini membutuhkan beberapa perkara: 1. Definisi keteraturan, 2. Pembagian keteraturan, 3. Pembuktian wujud keteraturan, 4. Dalil dan falsafah keteraturan.[13]
Definisi keteraturan: Sebagaimana yang akan dijelaskan pada bagian berikutnya, keteraturan merupakan satu bentuk hubungan keberadaan antara segala sesuatu dan hal yang melahirkan keteraturan itu adalah wujud dan hubungan keberadaan tersebut, dan hubungan keberadaan itu dapat terlihat hasilnya pada keteraturan penciptaan (takwini). Dengan bersandar pada hal ini maka ia dapat didefinisikan dengan suatu kondisi yang diperoleh dimana dengan “Berkumpul, berkoordinasi, adanya hubungan harmonis antara partikel-partikel yang berbeda-beda suatu komponen terbatas dan atau komponen wujud dan atau kesamaan sumber antara perbuatan (fi’il) dan pelaku (fa’il) dan atau adanya hubungan penting antara perbuatan dengan tujuan”.[14]
Pembagian keteraturan: Berdasarkan bahwa hal yang muncul dalam pikiran ketika pertama kali bertemu dengan kata “nazhm” (keteraturan) adalah suatu perkara yang sifatnya analogis dan relatif (dimana diperoleh dari hasil membandingkan antara dua atau beberapa hal dalam kondisi dan syarat-syarat tertentu) dan terkadang perbandingan dan analogi itu bersifat i’tibari (asumtif), terkadang juga bersifat shana’i (rekaan) serta terkadang bersifat thabi’i dan takwini (fisikal dan natural). Demikian juga ‘keteraturan’ dibagi menjadi keteraturan yang bersifat i’tibari, shana’i dan takwini (thabi’i). Keteraturan yang sifatnya i’tibari itu merupakan hasil asumsi dan kesepakatan beberapa orang dan akan beragam bentuknya sesuai dengan kondisinya masing-masing, seperti keteraturan barisan para tentara dan atau barisan orang-orang yang shalat. Keteraturan shana’i (rekaan) yang berdasarkan aturan-aturan industri dan kreatifitas serta skill, ia disediakan dan digunakan, seperti keteraturan pada radio, jam dan lain sebagainya. Keteraturan yang sifatnya thabi’i dan takwini dimana ia dapat ditemukan pada garis edar penciptaan dan hakikat dan diperoleh dengan cara melakukan perbandingan dan analogi segala sesuatu yang ada diluar (maujud eksternal) dan substansial (‘aini), memiliki hukum dan aturan tersendiri.
Bagian yang menjadi titik fokus bahasan pada argumen keteraturan adalah keteraturan yang sifatnya tabi’i dan takwini, bukan yang sifat i’tibari dan shana’i, kendatipun sejenis ini (shana’i) dapat membantu pikiran pelajar[15] dan juga membantu dalam merilis sebuah silogisme analogis (qiyas tamtsiili). Misalnya ketika seseorang berada di sebuah pulau melihat dan menyaksikan sebuah jam, keteraturan sistem jam itu mendorong orang tersebut untuk mengetahui, mengenal sang pengatur dan sang pembuatnya serta dengan metode analogis, dirilislah sebuah argumen dengan cara mencari kemiripan antara keteraturan takwini dan keteraturan shana’i atas keberadaan sang pengatur.[16]
Bagian-bagian keteraturan thabi’i dan takwini: hubungan keberadaan (pada tabiat dan penciptaan) yang dengannya, keteraturan thabi’i dan takwini bisa terealisasi, itu dibagi menjadi tiga bagian; karena relasi keberadaan itu hanya ada pada ruang lingkup sebab-akibat dan hal-hal yang tidak memiliki hubungan atau relasi sebab-akibat, tidak akan pernah terwujud di antara mereka itu sebuah keteraturan dan hubungan serta relasi sebab-akibat itu tidak pernah keluar dari tiga perkara berikut: 1. Relasi penyebab pelaku (‘illatul faa’ili), 2. Relasi penyebab tujuan (‘illatul gaaiyyah), 3. Relasi penyebab internal (‘illatul qawam aw ad daakhili).
Bagian pertama hubungan penyebab pelaku dengan akibat; keteraturan dalam hal ini adalah “keniscayaan adanya keselarasan (sinkhiyah) khusus setiap fi’il (perbuatan) dan faa’il (pelaku)” dan jika tidak demikian maka dari sebuah pemberi efek akan lahir efek apa saja dan setiap pemberi efek bisa memiliki efek apa pun juga, dan ini tentunya dengan jelas menyepakati adanya teori tashaduf (kejadian secara kebetulan) serta menafikan konsep kauslitas.
Bagian kedua hubungan penyebab terakhir dengan akibat; keteraturan pada bagian ini adalah “keniscayaan adanya relasi integrasi (takâmul) khusus setiap maujud yang selain wajib (al-wujud) dengan tujuan yang jelas”, dan kalau tidak demikian maka setiap sesuatu itu akan memiliki kecenderungan kearah mana saja dan akhir serta tempat kembalinya setiap maujud itu adalah hal yang lain (bukan yang diharap) dan ini merupakan sebuah ketidak harmonisan tujuan, seperti ketidak harmonisan sebuah pelaku dapat menimbulkan chaos.
Bagian ketiga hubungan internal partikal-partikal sesuatu, khususnya sesuatu yang memiliki materi dan forma, jenis, diferensia dan atau unsur-unsur yang jumlahnya banyak dan sesuatu yang sifatnya simpel secara eksternal (basîth khâriji), maka jika ditinjau dari sudut pandang eksternal itu ia tidak mengandung keteraturan internal. Meskipun keteraturan internal, ditinjau dari sisi akal pikiran (dzihn; mind) yang merupakan hasil rangkaian dari jenis (jins) dan diferensi (fashl) dan yang semisalnya, baginya sesuatu yang logis dan masuk akal serta dipahami. Dan sesuatu yang sifatnya simpel secara mental (basiith dzihni), sebagaimana halnya keteraturan internal (jika ditinjau dari luar) baginya adalah sesuatu yang tidak dapat terimajinasi, keteraturan internal pun (jika ditinjau dari sisi akal/dzihn) baginya adalah sesuatu yang dianggap tidak logis, tidak dipahami serta tidak masuk akal.[17]
Keteraturan internal itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian: pertama; sebuah keteraturan yang dihasilkan dari adanya keharmonisan yang sifatnya internal antara unsur-unsur sebuah sistem dan komponen terbatas/tertentu, dan kedua; sebuah keteraturan yang diperoleh dari adanya keharmonisan unsur-unsur wujud dalam komponen eksistensi.[18]
Tentunya keteraturan-keteraturan semacam ini tidak hanya terbatas pada apa yang telah disebutkan diatas dan tidak memiliki pembatasan yang sifatnya rasional dan mungkin saja terdapat pembagian lain yang bisa ditambahkan kepadanya. Juga sebagian dari pembagian yang disebutkan diatas bisa jadi ada yang saling mengintervensi (tadâkhul).[19]
Dengan kata lain, keteraturan itu memiliki empat bentuk: 1. Keharmonisan internal di antara unsur-unsur sistem tertentu, 2. Keharmonisan unsur-unsur wujud pada komponen eksistensi, 3. Keharmonisan kesamaan kategori fi’il dan faa’il, 4. Keharmonisan dan hubungan penting setiap perbuatan dengan tujuan yang khusus untuk perbuatan tersebut dalam matarantai dan silsilah penyebab-penyebab terakhir (‘ilal ghai).
Perbedaan hasil pada setiap keteraturan-keteraturan tersebut: Keteraturan yang diperoleh berdasarkan keharmonisan internal unsur-unsur sebuah sistem tertentu atau diperoleh berdasarkan keharmonisan unsur-unsur wujud pada komponen eksistensi, tidaklah sama dengan keteraturan yang diperoleh berdasarkan Keharmonisan kesamaan kategori fi’il dan faa’il atau yang diperoleh berdasarkan keharmonisan dan hubungan penting setiap perbuatan dengan tujuan yang khusus untuk perbuatan tersebut dalam matarantai dan silsilah penyebab-penyebab tujuan (‘ilal ghai). Suatu argumen yang terbentuk dengan menggunakan keharmonisan unsur-unsur sebuah sistem, kalaupun ia sempurna, tetap tidak akan mengantarkan kepada tujuan sejati dimana hal itu adalah sang pelaku pertama dan ia hanya membuktikan mabda’ (permulaan) dan sebuah penyebab yang mengemban keharmonisan yang telah ditetapkan dan ia sangat tahu akan hal itu dan pelaku semacam ini bisa saja berupa hal yang sifatnya mumkin, haadits, dan ataupun mutaharrik (yang bergerak). Bahkan kalau keteraturan yang sifatnya umum komponen wujud beredar dalam sebuah argumen, maka bisa jadi pengaturnya itu berupa suatu maujud non-materi yang Maha Tahu dan Maha Mampu yang mana berada di luar komponen harmoni dan juga bukan Wâjib al Wujûd, maka ketika itu untuk menyempurnakan argumen keteraturan dan membuktikan wajib al-wujud, juga harus menggunakan Argumen Imkan.[20]
Hal yang menjadi fokus kajian dalam argumen keteraturan adalah keharmonisan dan keteraturan internal dan keteraturan terakhir[21] dan lebihnya, yang dimaksudkan adalah ‘keharmonisan’ yang mana sangat populer dalam memperoleh tujuan yang tunggal pada perbuatan-perbuatan dan sikap unsur-unsur serta anggota-anggota yang bermacam-macam dalam sebuah komponen dan tujuan ini membentuk sedemikian rupa sehingga tak ada satu pun –pada batasan perbuatan dan sikap– dari unsur-unsur serta bagian-bagiannya itu yang sendirian. Seperti keteraturan shana’i menentukan waktu dan zaman melalui media sikap harmonis partikal-partikal jam dan atau bahkan memberikan kesenangan dan semangat kepada pemirsa dalam merangkai warna-warna pada sebuah papan/pamplet yang dipajang serta dipamerkan. Dan mungkin orang-orang yang sebagaimana halnya menjadikan pengulangan perbuatan-perbuatan yang serupa dari pelaku-pelaku yang serupa dan sama pula itu sebagai premis minor argumen keteraturan, keseragaman dan keharmonisan perbuatan dengan pelaku tersebut pada sistem kausalitas alam juga dianalisis seperti silogisme ini.[22]
Pembuktian wujud keteraturan: setelah menjelaskan definisi dan pembagian keteraturan, sewajarnyalah wujud keteraturan pun bisa dibuktikan, karena seperti yang telah diisyarahkan sebelumnya, premis pertama (minor) argumen keteraturan adalah wujud keteraturan (takwini, bukan keteraturan yang sifatnya i’tibari dan shana’i).[23]
Ruang lingkup dan sasaran kajian keteraturan takwini itu terkadang berupa maujud-maujud yang sifatnya materi dan natural dan terkadang juga berupa alam idealis/utopis dan bahkan juga berupa maujud-maujud alam akal (non-materi rasional).[24]
Argumen keteraturan yang dikemukakan oleh para presenter dan juga para kritikus itu[25] adalah keteraturan tabiat maujud-maujud materi yang banyak dikaji serta dibuktikan melalui ilmu-ilmu empiris dan eksperimen.
Tentunya, dengan melihat definisi dan analisa keteraturan dimana ia merupakan suatu bentuk relasi penting dan lazim dua atau beberapa hal, premis minor argumen keteraturan itu adalah sebuah premis yang sifatnya empiris/eksperimen bukan inderawi (hissi), karena maksimalnya kapasitas yang dimiliki indera dalam menyaksikan perkara-perkara tabiat, hanya terbatas pada memahami beberapa hal yang ada berdampingan dan berurutan satu sama lain atau saling mengintervensi (tadakhul). Dan keteraturan (relasi yang sifatnya penting dan niscaya) diperoleh dengan jalan sensasi dan perasaan.[26]
Dalam argumen keteraturan, kalau hanya melihat keteraturan pada sebagian tabiat, hasil yang akan diperoleh setelah digabungkan dengan premis mayor argumen tersebut (setiap keteraturan pasti ada yang mengaturnya) adalah pembuktian keteraturan yang terbatas pada hal itu saja dan kalau melihat ke seluruh alam tabiat maka hasilnya tetap hanya terbatas pada seluruh alam tabiat itu yang menandaskan eksistensi sang desainer dan sang pengatur bagi alam tabiat dan karena kita dapat melakukan sebuah eksperimen dan observasi terhadap sebagian alam tabiat maka tidak akan ada rintangan khusus pada proses observasi dan eksperimen tersebut.[27]
Akan tetapi, jika seseorang mencari pembuktian keteraturan pada komponen eksistensi (alam natural, alam idealis/utopis dan alam akal) maka ia tidak bisa kecuali dengan menggunakan argumen rasional.[28]
Dengan argumen limmi;[29] yakni dengan jalan melihat ke al mabaadil ‘aliyah (permulaan-permulaan yang tertinggi) dan melalui media sifat-sifat dan asma-asma Allah Swt, tidak hanya bisa membuktikan keteraturan tabiat dan atau keteraturan universal alam, akan tetapi ia juga mampu membuktikan akan kesempurnaan (baca; terbaik) sistem maujud tersebut.
Tentunya seseorang yang menggunakan argumen limmi (a priori argument) untuk membuktikan keteraturan dan keharmonisan dan atau kesempurnaan sistem, sebelum memahami akar sistem, terlebih dahulu ia telah mengetahu wujud pertama (wujud mabda’).[30]
Dalil dan falsafah keteraturan (penyebab keteraturan): Bahwa mengapa di alam ini (pada sebagian tabiat atau pada seluruh alam tabiat atau pada komponen eksistensi) ada keteraturan, itulah yang menjadi kajian premis mayor silogisme yang dijelaskan bahwa dengan penyebab pelaku (‘illat faa’ili) yang telah mewujudkan keteraturan tersebut. Kalau pengatur dan pelaku pertama bagi keteraturan maujud tidak ada dan muncul secara kebetulan, maka premis kedua (mayor) dari argumen itu dimana dikatakan bahwa “setiap keteraturan pasti memiliki seorang pengatur”, tidaklah sahih dan tidaklah benar karena pada selain ini, perbedaan antara bahwa seluruh keteraturan-keteraturan itu muncul tanpa ada yang mengaturnya dan atau sebagiannya muncul secara“kebetulan” dan sebagian yang lain muncul tanpa ada seorang pengatur dan penata.[31]
Yang dimaksud dengan “pengatur” (nâzhim) adalah maujud yang jelas dan bersifat eksternal serta substansial dimana dapat menyebabkan terwujudnya keteraturan dan keharmonisan khusus pada sistem internal atau pada tujuan seluruh maujud tabiat dan keberadaannya itu merupakan sebuah keniscayaan guna keteraturan ini dapat terealisasi. Dengan alasan ini, semestinyalah menafikan kemungkinan adanya “kebetulan” secara sempurna.[32]
Penggunaan argumen keteraturan dalam Al-Qur’an: dengan menutup mata dari segala keterbatasan yang dimiliki argumen keteraturan yang telah diisyarahkan sebagian darinya, penggunaan argumen ini ketika menghadapi orang-orang menyepakati akan adanya keteraturan, baik pada sebagian tabiat maupun pada seluruh alam tabiat dan juga meyakini keberadaan dzat wajib al-wujud dan juga keesaan dan kepenciptaan-Nya adalah sangat bermanfaat.
Setiap maujud yang bersifat mumkin (kontingen) merupakan suatu tanda dan ayat Allah Swt. Al-Qur’an menganggap bahwa penciptaan langit-langit dan bumi, jiwa-jiwa dan fisik-fisik, yang bernyawa dan yang tidak itu merupakan tanda keberadaan Allah Swt dan menyebut semuanya itu dengan kata “ayat” dan maujud-maujud yang teratur lagi tertib, dalam segala aspek, merupakan tanda dan ayat-ayat dari adanya sang Creator ulung.[33]
Keteraturan masa dari segi malam dan siang dan pergantiannya (siang dan malam) pada seluruh musim atau pada satu musim, pada tempat-tempat yang berbeda-beda dan atau keteraturan bumi dari segi pemenuhan ketenangannya lewat gunung-gunung tersebut dan lain sebagainya merupakan contoh-contoh dari keteraturan segala yang ada di alam tabiat ini yang untuk menyebutkannya membutuhkan tulisan yang cukup panjang.[34]
Dari sini, Al-Qur’an menggunakan argumen keteraturan dengan metode khusus guna menghadapi orang-orang musyrik.[35]
Al-Qur’an, dalam menghadapi kelompok ini yang mana mereka percaya dengan tauhid pencipta dan peran asli seluruh makhluk dalam penataan dan pengaturan, akan tetapi mereka menganggap penata dan pengatur mereka itu adalah tuhan-tuhan yang bermacam-macam dimana menjadi media antara Allah Swt dengan ciptaan, menggunakan metode jadal (debat) yang paling baik.[36]
Akhir kata, di sini akan disebutkan beberapa permisalan dari Al-Qur’an yang menyebutkan beberapa tanda dan ayat Allah Swt dan pengatur alam semesta, diantaranya adalah:” Dan diantara tanda-tanda-Nya, Ia menciptakan langit dan bumi...” dan lain-lain.[37]
Dalam sabda-sabda Imam Ali As juga banyak menyinggung ihwal keteraturan dan keluarbiasaan makhluk-makhluk ciptaan Allah Swt yang mana dengan menelaah kitab Nahjul Balâghah, rasa dahaga ini pun bisa teratasi.[38]
Imam Shadiq As dalam sabda-sabda beliau tentang keteraturan dan keharmonisan alam ini disebutkan bahwa,”Tatkala kami melihat ciptaan yang demikian sistematis dan bintang gemintang berjalan, pergantian siang dan malam, matahari dan bulan, hal ini semua mengantarkan dan menunjukkan bahwa pengatur dan penata alam semesta ini adalah Satu”.[39] Dan juga tatkala Hisyam bin Hakam menginginkan dalil tentang keesaan Allah Swt dari Imam Shadiq As, Imam bersabda:”Keterkaitan semua dan koordinasi berketerusan sistem wujud dan kesempurnaan ciptaan, semua menjadi saksi akan keesaan-Nya.[40][]
[1] . Murtadha Muthahari, Tauhid, hal. 31 dan 58; Rawesy Realism, jil. 5, hal. 34; Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Amuzesy Falsafeh, jil. 2, hal. 365-367.
[2] . Abdullah Jawadi Amuli, Tabyîn-e Barâhn-e Itsbât-e Khudâ, hal. 22-23.
[3] . Ibid, hal. 22-23.
[4] . Mishbah Yazdi, Âmuzesy Falsafeh, jil. 2, hal. 366; Ja’far Subhani, Ilahîyyât, hal. 56 dan 57; Abdullah Jawadi Amuli, Tabyîn-e Barâhn-e Itsbât-e Khudâ, hal. 32 dan 231.
[5] . Majmuu’e Aatsâr-e Syahid Muthahari, jil. 8; Dars-hây-e Ilahîyyât-e Syifâ, hal. 454; Rawesy-e Realism, jil. 5, hal. 40.
[6] . "Begitulah) perbuatan Allah yang membuat tiap-tiap sesuatu dengan kokoh. " (Qs. Al-Naml [27]:88).
[7] . Majmû’e Âtsâr-e Syahid Muthahari, jil. 8, hal. 454; Asfar, jil. 7, hal. 56-94, 95, 101, 106 dan 188; Âmuzesy Falsafeh, jil. 2, hal. 365-367.
[8] . Abdullah Jawadi Amuli, Tabyîn-e Barâhîn-e Itsbât-e Khudâ, hal. 42 dan 227.
[9] . ibid, hal. 22 dan 231; Ja’far Subhani, Ilahîyyât, hal. 56-57.
[10] . Abdullah Jawadi Amuli, Tabyîn-e Barâhîn-e Itsbât-e Khudâ, hal. 231.
[11] . Ibid, hal. 232.
[12] . Ibid, hal. 39 dan 40.
[13] . Ibid; Murtadha Muthahari, Tauhid, hal. 60-61.
[14] . Abdullah Jawadi Amuli, Tabyîn-e Barâhîn-e Itsbât-e Khudâ, hal. 29-30 dan 228-230.
[15] . Ibid, hal. 29.
[16] . Ibid, hal. 228.
[17] . Ibid, hal. 33.
[18] . Ibid, hal. 230.
[19] . Ibid, hal. 228.
[20] . Ibid, hal. 230.
[21] . Ibid, hal. 32; hal. 228-229.
[22] . Ibid, hal. 230.
[23] . Ibid, hal. 32 dan 228.
[24] . Ibid, hal. 32.
[25] . Majmuu’e Âtsar-e Syahid Muthahari, jil. 8, hal. 486 – 454; Abdullah Jawadi Amuli, Tabyîn-e Barâhîn-e Itsbât-e Khudâ, Burhan-e Nazhm; Ja’far Subhani, Ilaahiyyaat, jil. 1, hal. 55-59 dan lain-lain.
[26] . Abdullah Jawadi Amuli, tabyiin-e baraahiin-e itsbat-e khudaa, hal. 33.
[27] .ibid, hal. 233.
[28] .ibid, hal. 35 dan 233.
[29] .Untuk lebih tahu tentang pembagian argumen (burhan), Anda bisa merujuk ke buku-buku logika, bagian shana’at khams.
[30] .Abdullah Jawadi Amuli, Tabyîn-e Barâhîn-e Itsbât-e Khudâ, hal. 33.
[31] . Ibid, hal. 36-37.
[32] . Ibid, hal. 37.
[33] . Ibid, hal. 43.
[34] . MT. Mishbah Yazdi, Ma’ârif Qur’ân, jil. 1-3, hal. 225-317; Murtadha Muthahari, Rawesy Realism, jil. 5, hal. 39-48 dan Tauhid, hal. 44-153; Ridha Shadr, Nesyânehâ az U; Ahmad Najafi Khiradmand, Hastibakhsy-e Jahân dan lain-lain.
[35] . Qs. Luqman ayat 25.
[36] . Abdullah Jawadi Amuli, Tabyîn-e Barâhîn-e Itsbât-e Khudâ, hal. 238.
[37] .Qs. Ruum ayat 22-25 dan 46; Qs. Luqman ayat 31; Qs. Fushshilat ayat 37; Qs. Syuraa ayat 29; Qs. al Ghasyiah ayat 17-21 dan lain-lain.
[38] . Nahjul Balaghah, khutbah-khutbah: 1, 83, 91, 155, 165, 182, 185, 186, 211, dan seterusnya.
[39] . Syaikh Shaduq, Tauhid, hal. 244.
[40] . Ibid, hal. 250.