Salah satu penjelasan yang paling terkenal terkait dengan tingkatan-tingkatan sair dan suluk adalah penjelasan yang diungkapkan dalam buku Manthiq al-Thair karya Fariduddin al-Atthar yang menerangkan tingkatan-tingkatan sair dan suluk dalam tujuh tingkatan. Tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun itu adalah:
Thalab (menuntut). Isyq (Cinta) Makrifat (Pengetahuan) Istighna (Merasa kaya) Tauhid Hairat (Takjub) FanaKlasifikasi tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun ini lebih banyak menyoroti masalah perjalanan batin seorang sâlik (pejalan). Adapun simbol-simbol lahir suluk dan amalan-amalan yang harus dilakukan kurang begitu ditonjolkan. Meski pada sebagian penjelasan lainnya tingkatan-tingkatan amali dan praktis sair-suluk juga tetap menjadi obyek perhatian.
Apa yang pasti, seorang salik untuk sampai pada puncak kesempurnaannya harus melintasi pelbagai tingkatan dan stasiun dalam perjalanan sair dan suluk. Tingkatan-tingkatan ini meski disebutkan dengan nama-nama dan bilangan-bilangan yang berbeda, namun kesemuanya menunjuk pada satu perjalanan tunggal. Tingkatan-tingkatan ini secara umum bermula dari thalab (menuntut), dan setelah mujahadah, memperoleh makrifat dan cinta, berakhir pada puncak perjalanan yaitu perjumpaan dengan Allah Swt (liqauLlah). Ungkapan al-Quran terkait dengan tingkatan-tingkatan sair dan suluk adalah Islam, iman, hijrat, jihad, syahâdah, imâmah dan liqaulllâh.
Salah satu penjelasan yang terkenal terkait dengan tingkatan-tingkatan sair dan suluk adalah penjelasan yang diungkapkan dalam buku Manthiq al-Thair karya Fariduddin al-Atthar yang menerangkan tingkatan-tingkatan sair dan suluk dalam tujuh tingkatan. Tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun itu adalah:
Thalab (menuntut). Isyq (Cinta) Makrifat (Pengetahuan) Istighna (Merasa kaya) Tauhid Hairat (Takjub) Fana.[1]
Kasifikasi tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun ini lebih banyak menyoroti masalah perjalanan batin seorang salik (pejalan). Adapun simbol-simbol lahir suluk dan amalan-amalan yang harus dilakukan kurang begitu ditonjolkan. Kendati pada sebagian penjelasan lainnya tingkatan-tingkatan amali dan praktis sair-suluk juga tetap menjadi obyek perhatian.
Sebagian juga membagi tingkatan sair-suluk menjadi tujuh tingkatan: yakzha (kesadaran), taubat, takwa, tahliyah, tajliyah dan liqauLlâh."[2]
Sebagian arif juga menghitung adanya seratus atau seribu tingkatan suluk (perjalanan).[3]
Salah satu penjelasan eksklusif terkait dengan pelbagai tingkatan sair dan suluk disebutkan dalam risalah yang disandarkan kepada Sayid Bahrul Ulum. Beliau dalam tingkatan-tingkatan sair-suluk menyebutkan dua belas hal[4] yang kesemuanya terhitung sebagai tingkatan-tingkatan dan derajat-derajat dari Islam, iman, hijrah dan jihad. Adapun dua belas hal tersebut adalah sebagai berikut:
Islam asghar (kecil). Iman asghar (kecil). Islam akbar (besar). Iman akbar yaitu ruh dan makna Islam akbar. Hijrah akbar atau hijrah dari ahli maksiat dan kezaliman. Jihad akbar. Penaklukan dan kemenangan atas lasykar setan. Islam a'zhâm (teragung) atau dominasi atas syahwat-syahwat dan angan-angan. Iman a'zhâm (teragung) atau penyaksian ketiadaan dan fananya ia di hadapan Allah Swt. Hijrah agung atau perpindahan dari wujudnya dan melupakan dirinya. Jihad a'zhâm (teragung) yang ditempuh oleh seorang salik setelah hijrah dari dirinya dan berperantara kepada Zat Suci Allah Swt sehingga seluruh pengaruh ananiyah lebur dan hancur dan melangkah di alam tauhid mutlak. Alam khulush.Dalam Risâlah Sair wa Sulûk yang disandarkan kepada Allamah Bahrul Ulum setelah menyebutkan alam-alam dan tingkatan-tingkatan atas, dibahas tentang proses bagaimana melintasi jalan yang penuh liku dan kehormatan ini. Allamah Bahrul Ulum membeberkan dua puluh lima instruksi untuk sampai pada tujuan-tujuan menjulang ini yang akan kami sampaikan secara ringkas sebagaimana berikut ini:
Salik ilaLlâh (pejalan menuju Allah) dan pengelana jalan untuk meraih kedekatan di sisi Allah, setelah mengetahui prinsip-prinsip agama demikian juga hukum-hukum agama, siap-siap melangkahkan kaki dan melakukan perjalanan, ia harus menjalankan dua puluh lima instruksi berikut ini untuk sampai tujuan:[5]
Pertama: Meninggalkan adab, adat dan kebiasaan yang menghalangi manusia untuk melintasi jalan ini dan tenggelam dalam pelbagai noda dan kontaminasi.
Kedua: Tekad bulat untuk melintasi jalan, tidak takut kepada siapapun dan dengan bersandar kepada Allah Swt ia tepiskan segala keraguan yang datang menghampiri.
Ketiga: Bersikap lembut dan moderat yang bermakna bahwa pada saat itu jangan menimpakan banyak hal kepada dirinya karena jangan sampai muncul kebencian dan kejenuhan dalam dirinya sehingga tertinggal dalam perjalanan.
Keempat: Istiqâmah yang bermakna bahwa ia harus tetap setia terhadap taubatnya dan supaya tidak lagi kembali melakukan kesalahan dan dosa. Demikian juga ia harus setia menjalankan apa yang dipesankan oleh sang guru.
Kelima: Stabil dan dawam yang bermakna program-program yang ia pilih dijadikan sebagai adat yang berterusan sehingga tidak lagi menyisakan peluang baginya untuk kembali kepada kebiasaannya yang telah lalu.
Keenam: Murâqabah yang bermakna menaruh perhatian kepada dirinya dalam segala kondisi supaya tidak melakukan kesalahan.
Ketujuh: Muhâsabah yang telah disinggung dalam hadis "Bukan dari kami yang tidak melakukan muhasabah atas dirinya setiap hari."
Kedelapan: Muakhâdzah yang bermakna bahwa setiap kali ia melakukan kesalahan maka ia harus menghukum dirinya.
Kesembilan: Musâra'ah yang bermakna bersegera, sesuai dengan tuntutan perintah, "Bersegeralah menuju pengampunan Tuhanmu"[6] yang disebutkan dalam al-Qur'an sebelum setan membisikan was-was kepadanya.
Kesepuluh: Irâdah yang bermakna bahwa batinnya sedemikian ia ikhlaskan sehingga tidak tersisa lagi unsur pengecohan di dalamnya dan melabuhkan seluruh cintanya pada Nabi Saw dan para washinya.
Kesebelas: Adab yang bermakna menjaga adab terkait dengan Allah Swt, Rasulullah Saw dan para khalifah maksumnya. Dalam menjaga adab ini sekali-kali kita tidak melontarkan ucapan yang bernada protes dan berusaha dalam mengagungkan orang-orang suci ini bahkan dalam mengemukakan keperluan menghindari menggunakan kata-kata perintah dan larangan.
Keduabelas: Niat yang bermakna memurnikan niat dalam perjalanan dan seluruh amalan yang dilakukan sepenuhnya untuk Allah Swt.
Ketigabelas: Shamt yang bermakna diam dan menjaga lisan untuk tidak banyak berkata-kata kecuali seperlunya.
Keempatbelas: Ju' dan makan sedikit yang merupakan salah satu syarat penting untuk dapat melintasi jalan ini namun tidak sampai menyebabkan kelemahan dan kelemasan.
Kelimabelas: Khalwat yang bermakna mengasingkan diri dari ahli maksiat dan pecinta dunia. Dan menjauhkan diri dari kebisingan dan keonaran tatkala ibadah dan berdzikir.
Keenambelas: Sahar dan bangun ketika dini malam (khususnya akhir malam) yang berulang kali ditekankan pada ayat dan riwayat.
Ketujuhbelas: Senantiasa menjaga kesucian yang bermakna senantiasa dalam keadaan wudhu yang memberikan cahaya khusus kepada batin manusia.
Kedelapanbelas: Thadarru' (tunduk rendah) di hadapan Tuhan. Sedapat mungkin mengungkapkan kerendahan di hadapan Tuhan.
Kesembilanbelas: Sedapat mungkin tidak memenuhi keinginan nafsu (bahkan pada hal-hal mubah).
Kedupuluh: Menjaga rahasia yang merupakan syarat terpenting mengingat para guru sangat menekankan hal ini. Demikian juga seluruh amalan dan programnya di jalan dirahasiakan (supaya tidak memunculkan riya dan pamer dalam hal ini). Apabila ia mencapai tingkatan mukasyafah alam-alam gaib, ia juga harus merahasiakannya dan tidak mengungkapnya kepada siapa pun (supaya tidak dijangkiti penyakit ujub dan ananiyah).
Keduapuluh satu: Memiliki guru dan murabbi baik itu guru umum yang membimbing dan menemani seluruh aktifitas yang terkait dengan sair dan sulûk dan guru khusus yaitu Rasulullah Saw dan para Imam Maksum As.
Namun salik harus memperhatikan bahwa tingkatan ini merupakan tingkatan yang sangat sublim dan subtil. Sepanjang Anda tidak memiliki pengetahuan tentang kelayakan ilmiah dan agama tentangnya maka jangan pernah mengandalkan bimbingan-bimbingannya karena terkadang setan muncul dalam pakaian seorang guru. Srigala berpakaian gembala dan menyimpangkan salik dari jalan yang ingin ia tuju.
Allamah Thabathabai dalam hal ini berkata, "Bahkan nampaknya sesuatu yang di luar kebiasaan dan memiliki ilmu gaib serta rahasia-rahasia tersembunyi manusia, melintasi air dan api, mengetahui masa depan dan semisalnya tidak dapat dipastikan bahwa orang-orang yang melakukan hal seperti ini memiliki maqam tinggi di jalan sulûk ilaLlâh. Karena, semua ini diperolah pada tingkatan mukâsyafah mental, dan dari tingkatan itu masih terbentang jalan yang sangat panjang untuk sampai tingkatan wushûl dan kesempurnaan.
Keduapuluh dua: Wirid yaitu dzikir-dzikir lisan yang membuka jalan bagi salik dan membantunya untuk melintasi jalan berliku menuju Allah Swt.
Keduapuluh tiga: Menafikan segala kenangan yang bermakna menguasai hatinya dan memerintah atasnya serta konsentrasi pikiran sedemikian sehingga tiada gambaran dan kenangan yang muncul dalam benaknya kecuali mengikut izin dan dalam kondisi ikhtiar. Dengan kata lain, jangan biarkan pikiran disibukkan dengan hal-hal yang tidak jelas dan hal ini merupakan salah satu pekerjaan yang pelik.
Keduapuluh empat: Pikiran yang bermakna bahwa salik dengan pikiran yang dalam dan benar dalam pengetahuan dan makrifat berusaha seluruh pikirannya terkait dengan sifat dan nama-nama Ilahi serta segala manifestasi dan perbuatan-Nya.
Keduapuluh lima: Dzikir yang bermakna perhatian hati kepada Zat Suci Ilahi; bukan dzikir lisan yang disebut sebagai wirid. Dengan kata lain, seluruh perhatiannya diarahkan kepada keindahan Allah Swt dan menutup matanya dari selain-Nya.
Demikianlah ringkasan dari Risâlah Sair dan sulûk yang disandarkan Allamah Bahrul Ulum dimana Allamah Thabathabai juga mengikut metode ini, sesuai dengan apa yang diuraikan pada Risalah Lubb al-Lubâb, dengan sedikit perbedaan.
Akhir kata perlu untuk diingat bahwa masing-masing dari pusaka yang penuh nilai ini berada pada tataran menjelaskan tingkatan-tingkatan sair dan suluk dari para pendahulu yang sampai kepada kita. Bagi orang-orang yang sementara dalam perjalanan Irfan, penjelasan tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun ini sangat bernilai namun demikian penyusunan pelbagai tingkatan sair dan suluk yang memiliki metode Qurani dan mencakup ajaran-ajaran suci Syiah dan peran sentral imam tetap merupakan sebuah kemestian.
Di samping itu, menaruh perhatian pada seluruh sisi eksoterik dan esoterik, teoritis dan praktis, personal dan sosial yang menjawab seluruh persoalan dan kebutuhan seorang salik pada masa sekarang ini adalah suatu hal yang niscaya diperlukan.[7] [iQuest]
[1]. Atthar dalam Manthiq al-Thair menyebut tujuh stasiun suluk, "Thalab, isyq, ma'rifat,... " Lughat Nâme Dekhâda, terkait dengan klausul haft wâdi.
[2]. Husain Mazhahiri, Kâwusyi Nu dar Akhlâq Islâmi wa Syu'un Hikmat 'Amali, jil. 1, Fashl Panjum, Cegunegi Tazkiyah, Dengan judul, "Syiweh-hâye Pâk Kardan Nafs az Pelesytihâ, Muassasah Nasyr wa Tahqiqat-e Dzikr, Teheran, 1382 S.
[3]. Di antara buku terpenting Khajah Abdullah Anshari adalah Shad Maidân dan Manâzil al-Sâirin yang menulis tentang tingkatan-tingkatan sair dan suluk. Dalam buku Shad Maidân dengan bersandar pada tuturan Khidir As yang menyatakan bahwa terdapat ribuan makam antara hamba dan Tuannya, Khaja Abdullah Anshari berkata, "Dan ribuan makam itu adalah stasiun-stasiun yang dilalui oleh para pejalan menuju Tuhan." Syarat setiap stasiun adalah taubat batin dan taubat lahir, semenjak makrifat hingga cinta terbentang ribuan stasiun dan dari pengetahuan hingga kelancangan terbentang ribuan stasiun. Kalimat ini kemudian tertulis pada Shad Maidan (Seratus Medan), "Awal gerakan salik (pejalan) adalah taubat – medan pertama – dan ujung perjalanan adalah fana yaitu medan keseratus."
[4]. Mahdi bin Sayid Murtadha Bahr al-'Ulum, Risâlah Sair wa Suluk, Mansub be Bahrul Ulum, Kata Pengantar Sayid Husain Tehrani, hal. 76 – 109, Intisyarat Allamah Thabathabai, Masyhad 1417 H.
[5]. Ibid, hal. 145 - 172
[6]. (Qs. Ali Imran [3]:133)
[7]. Sehubungan dengan tingkatan-tingkatan dan stasiun-stasiun sair-suluk silahkan lihat, "Ali Akbar Khanjani, Sair wa Suluk 'Irfâni (Ahwâl-Marâhil wa Maqâmât), artikel Sayad Tu Basyi, hal. 209, www.katabnak.com