Kode Site
id22006
Kode Pernyataan Privasi
33759
Tema
Dirayah al-Hadits
Ringkasan Pertanyaan
Tolong kemukakan dan jelaskan tentang hadis-hadis dan riwayat-riwayat yang berbicara tentang berjalan kaki – entah itu sebagai olah raga atau sebagai amalan ritual?
Pertanyaan
Apakah dalam khazanah hadis Ahlulbait As terdapat hadis-hadis tentang berjalan kaki?
Jawaban Global
Dalam khazanah dan himpunan hadis-hadis Ahlulbait As terdapat dua perbedaan pandangan terkait dengan masalah berjalan kaki.
Pada sebagian hadis, berjalan kaki hanya dinilai sebagai sebuah gerak fisikal dan disebutkan adanya anjuran terkait dengan adab-adab dan syarat-syaratnya dalam perjalanan; dan terkadang dalam perjalanan menuju tempat-tempat suci dikemukakan sebagai sebuah masalah yang mandiri.
Dari sudut pandang pertama, berjalan kaki yang dewasa ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan sebagai satu olah raga yang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran badan, tidak memiliki tema mandiri dalam riwayat-riwayat; namun terkait dengan kebanyakan adab-adabnya; seperti tenang dan berwibawa, berjalan tanpa sikap angkuh dan cara berjalan kaum wanita disebutkan dalam beberapa riwayat.
Boleh jadi sebab dari persoalan ini adalah tiadanya media transportasi yang komprehensif pada masa lalu dan jarak suatu tempat kebanyakan ditempuh dengan berjalan kaki yang tentu saja berjalan kaki dilakukan sebagai sebuah aktifitas harian dan berkelanjutan dimana kebanyakan dalam riwayat disebutkan tentang keselamatan badan dan kebugaran fisik.
Dari sudut pandang kedua, yaitu berjalan kaki ke tempat-tempat suci. Hal ini dapat dikatakan bahwa memilih naik kendaraan dan berjalan kaki ke tempat-tempat suci pada dasarnya tidak memiliki keutamaan sebagai sebuah gerak ritual dan boleh jadi mengingat sabda para imam, “Sebaik-baik amalan adalah yang paling susah pengerjaannya” melakukan perjalanan dengan berjalan kaki ke tempat-tempat suci.
Pada sebagian hadis, berjalan kaki hanya dinilai sebagai sebuah gerak fisikal dan disebutkan adanya anjuran terkait dengan adab-adab dan syarat-syaratnya dalam perjalanan; dan terkadang dalam perjalanan menuju tempat-tempat suci dikemukakan sebagai sebuah masalah yang mandiri.
Dari sudut pandang pertama, berjalan kaki yang dewasa ini sangat dianjurkan untuk dikerjakan sebagai satu olah raga yang sangat bermanfaat bagi kesehatan dan kebugaran badan, tidak memiliki tema mandiri dalam riwayat-riwayat; namun terkait dengan kebanyakan adab-adabnya; seperti tenang dan berwibawa, berjalan tanpa sikap angkuh dan cara berjalan kaum wanita disebutkan dalam beberapa riwayat.
Boleh jadi sebab dari persoalan ini adalah tiadanya media transportasi yang komprehensif pada masa lalu dan jarak suatu tempat kebanyakan ditempuh dengan berjalan kaki yang tentu saja berjalan kaki dilakukan sebagai sebuah aktifitas harian dan berkelanjutan dimana kebanyakan dalam riwayat disebutkan tentang keselamatan badan dan kebugaran fisik.
Dari sudut pandang kedua, yaitu berjalan kaki ke tempat-tempat suci. Hal ini dapat dikatakan bahwa memilih naik kendaraan dan berjalan kaki ke tempat-tempat suci pada dasarnya tidak memiliki keutamaan sebagai sebuah gerak ritual dan boleh jadi mengingat sabda para imam, “Sebaik-baik amalan adalah yang paling susah pengerjaannya” melakukan perjalanan dengan berjalan kaki ke tempat-tempat suci.
Jawaban Detil
Dalam khazanah dan himpunan hadis-hadis Ahlulbait As terdapat dua perbedaan pandangan terkait dengan masalah berjalan kaki.
Pada sebagian hadis, berjalan kaki hanya dinilai sebagai sebuah gerak fisikal dan disebutkan adanya anjuran terkait dengan adab-adab dan syarat-syaratnya dalam perjalanan; dan terkadang dalam perjalanan menuju tempat-tempat suci dikemukakan sebagai sebuah masalah yang mandiri. Akan tetapi dengan pandangan lain, terdapat banyak riwayat yang dianjurkan untuk bergerak menuju tempat-tempat suci dengan mengendarai kendaraan sehingga jangan sampai kelelahan dan kecapaian menghalangi peziarah untuk menjalankan manasik ibadah di tempat-tempat suci tersebut.
Namun demikian, keutamaan dan nilai jalan kaki ini yang tentu saja memiliki tingkat kesulitan dan kesusahan tertentu sehingga bagi orang-orang yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk menaiki kendaraan atau dengan adanya kemampuan finansial dan tersedia fasilitas kendaraan yang dapat mengantarkannya ke tempat-tempat ziarah tersebut, ia tebus ibadah dengan kesusahan dan bergumul dengan debu perjalanan merupakan keutamaan yang tidak dapat diingkari.
Selain itu, apabila seseorang memiliki kemampuan finansial dan dari satu sisi tidak memiliki kemampuan fisikal dan dengan berjalan kaki ia tidak akan mampu menunaikan amalan-amalan lainya, maka ia harus memanfaatkan kendaraan yang mengangkutnya ke tempat-tempat ziarah tersebut.
Kiranya kita harus memperhatikan poin ini bahwa penggunaan kalimat seperti “masyi” dan “sair” dalam riwayat tidak serta merta bermakna berjalan kaki. Terkadang dari kalimat-kalimat ini dapat dimaknai sebagai penjelasan “bergerak” seperti ketika Imam Shadiq As bersabda, “Setiap orang yang mengambil langkah (bergerak) menunaikan hajat saudara Muslimnya Allah Swt akan menuliskan baginya beribu-ribu kebaikan untuknya dan mengampunkan beribu-ribu atas dosanya serta menganugerahkan beribu-ribu tingkatan kepadanya.”[1] Jelas bahwa dalam riwayat ini yang dimaksud dengan mengambil langkah memiliki makna umum gerak dan bertindak untuk memenuhi hajat-hajat orang-orang beriman.
Berjalan kaki sebagai olahraga
Berjalan kaki yang pada dewasa ini dianjurkan sebagai olahraga yang berguna bagi keselamatan badan dan kebugaran fisik, tidak memiliki persolan yang mandiri dan berdiri sendiri dalam riwayat. Boleh jadi sebab dari persoalan ini tiadanya media transportasi yang komprehensif pada masa lalu sehingga jarak suatu tempat kebanyakan ditempuh dengan berjalan kaki yang tentu saja berjalan kaki dilakukan sebagai sebuah aktifitas harian dan berkelanjutan dimana kebanyakan dalam riwayat disebutkan tentang keselamatan badan dan kebugaran fisik yang tidak terlalu memerlukan anjuran (karena pada dasarnya memang berguna bagi manusia). Namun demikian, berjalan kaki dapat diletakkan di bawah sebuah tema global olahraga yang banyak disebutkan dalam kebanyakan riwayat terkait dengan keselamatann badan dan kebugaran fisik.
Dalam khazanah hadis Ahlulbait As di samping anjuran-anjuran terkait dengan sebagian olahraga seperti berkuda, berenang dan memanah, badan yang sehat dan fisik yang bugar senantiasa mendapat perhatian dari Allah Swt.
Imam Sajjad As dalam doa Abu Hamzah al-Tsumali berkata, “Tuhanku! Anugerahkan kepadaku kesehatan badan dan kemampuan fisik kepadaku”[2] sedemikian sehingga badan manusia dinilai sebagai sebuah hak yang harus dipenuhi. Rasulullah Saw bersabda, “Tuhan memiliki hak padamu dan badanmu memiliki hak padamu serta keluargamu memiliki hak padamu.”[3]
Apabila ditetapkan bahwa berjalan kaki memiliki pengaruh positif dalam kesehatan badan manusia, dengan memanfaatkan dua riwayat ini, kita dapat menyimpulkan pandangan positif agama terkait dengan hal ini. Akan tetapi berjalan kaki dengan segala kegunaan bagi badan dinilai bukan hal yang ideal bagi seorang yang menderita sakit dan memerlukan istirahat yang cukup. Imam Shadiq As bersabda, “Sesungguhnya berjalan kaki bagi orang sakit akan menyebabkan munculnya kembali dan parahnya penyakitnya.” Bilamana ayahku sakit, saya menempatkan ia pada sebuah kain dan memikulnya untuk mengambil wudhu. Ayahku senantiasa berkata, “Sesungguhnya berjalan kaki bagi orang sakit akan mengakibatkan munculnya kembali dan memperparah penyakit tersebut.”[4]
Menghindar berjalan dengan angkuh
Berjalan kaki merupakan salah satu aktifitas yang memiliki adab-adab dan hukum-hukum tertentu. Adab pertama berjalan kaki adalah menjauhi segala bentuk sikap angkuh dan takabur secara lahir pada orang yang berjalan kaki. Pada hakikatnya takabur dan angkuh merupakan sifat yang sangat tercela yang senantiasa mendapat celaan pada ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat; sedemikian sehingga bahkan berjalan sekali pun sifat tercela ini harus dihindari. Allah Swt secara langsung melarang untuk tidak berjalan dengan angkuh.[5] Dan dalam beberapa riwayat disebutan sedemikian tercela sehingga bumi juga mencela orang yang berjalan dengan angkuh,[6] dan Allah Swt menjanjikan azab yang pedih baginya di akhirat kelak. Dari Imam Shadiq As diriwayatkan, “Rasulullah Saw bersabda, “Tatkala umatku bersikap seolah-olah tuli di hadapan peminta-minta dan berjalan dengan angkuh, Tuhanku dengan keagungan-Nya bersumpah dan menyatakan bahwa sebagian akan menjadi alat untuk mengazab yang lainnya.”[7]
Ahlulbait As poin ini dengan segala ketelitian yang terkadang luput dari perhatian kita dan abai menjalankannya. Disebutkan bahwa suatu hari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As keluar disertai dengan beberapa orang sahabatnya. Imam Ali mengendarai kuda dan sahabat yang menyertai beliau berjalan kaki, Imam Ali memperhatikan mereka dan bertanya, “Apakah engkau memiliki urusan? “Tidak, Wahai Amiral Mukminin.” Jawab mereka. “Kami suka berjalan bersama Anda.” Imam Ali As berkata lagi, “Maka naiklah; karena berjalan kaki bersama orang yang berkendara akan menyebabkan kerusakan bagi pengendara dan terhinanya pejalan kaki.”[8]
Wiqar dan Mitanat dalam berjalan
Dari sisi lain harap diperhatikan berjalan kaki dengan tawadhu dan rendah hati tidak boleh menghilangkan wibawa seseorang; bahkan berjalan kaki dengan penuh wibawa dan charisma merupakan salah satu sifat terpuji orang beriman. Dalam mendeskripsikan bagaimana Rasulullah Saw berjalan kaki disebutkan, “Rasulullah Saw sedemikian (aktif) berjalan sehingga dengan baik terlihat beliau tidak lemah dan lesu dalam berjalan.”[9] Imam Shadiq As, dalam memberikan deskripsi ihwal bagaimana datuknya Imam Sajjad As berjalan, bersabda, “Sedemikian tenang bergerak sehingga seolah seekor burung hingap di atas kepalanya dan sisi kanannya tidak mendahului sisi kirinya. (tidak berjalan sehingga pundaknya bergerak secara kencang dan bersikap angkuh).[10]
Karena itu dianjurkan dalam berjalan tangan-tangan tidak dilepaskan begitu saja di sekeliling badan[11] dan berjalan kaki sedemikian sehigga tidak dalam kondisi tergesa-gesa; artinya berjalan kaki dengan kecepatan yang seimbang, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat karena diriwayatkan dari Imam Kazhim As bahwa beliau bersabda, “Berjalan tergesa-gesa akan menghilangkan wibawa seorang mukmin.”[12]
Wibawa dan karisma ini dalam berjalan juga mendapat perhatian khusus dan diajurkan untuk berajalan di tepi jalan; dan boleh jadi ia dapat terjaga dari kecelakaan; Imam Ketujuh As bersabda, “Tidak layak seorang wanita berjalan di tengah-tengah dan lebih baik ia bergerak dari tepi jalan.”[13]
Berjalan kaki dalam jarak jauh
Pada masa-masa sebelumnya dimana fasilitas transportasi dan kaki empat tidak tersedia bagi semuanya, kebanyakan masyarakat menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Sebagian riwayat menyebutkan keluhan orang-orang ini terkait dengan kesulitan perjalanan ini. Untuk memecahkan masalah ini, Rasulullah Saw memberikan saran-sarang kepada mereka bahwa boleh jadi kita hari ini juga perlu melakukan olah raga seperti naik gunung dan berjalan-jalan di padang pasir. Kecepatan yang relatif tinggi dalam bergerak[14] dan demikian juga mengikat perut dan pinggang[15] adalah anjuran-anjuran yang perlu dilakukan dalam berjalan.
Berjalan kaki ke tempat-tempat suci
Dalam kebanyakan hadis ziarah khususnya riwayat-riwayat yang terkait dengan haji senantiasa dikemaukan pembahasan gerak menuju tempat-tempat suci dengan berkendara atau berjalan kaki. Dari kesimpulan dan ketelitian dari kumpulan hadis ini, khususnya sebagian riwayat yang melarang berjalan kaki dan menganjurkan berkendara kita dapat sampai pada beberapa poin.
Dalam bergerak menuju tempat-tempat suci, terdapat beberapa riwayat yang menganjurkan untuk berkendara sehingga jangan sampai orang yang berziarah kelelahan sehingga terhalangi untuk menjalankan ritual ibadah di tempat itu; artinya inti dalam berziarah dan menunaikan kewajiban-kewajiban agama adalah adanya gairah dan keselamatan yang cukup; karena itu nampaknya berjalan kaki dengan memperhatikan pelbagai kesusahan yang ada, hanya dapat dinilai sebagai sebuah gerak ritual tatkala orang-orang tidak memiliki kemampuan finansial untuk menggunakan kendaraan ke tempat ziarah atau meski dengan adanya kemampuan finansial dan memiliki akses untuk menggunakan kendaraan, mengingat hadis yang menyebutkan, “afdhal al-a’mal ahmazuha”[16] memilih untuk berjalan kaki. Selain itu, apabila seseorang memiliki kemampuan finansial dan dari satu sisi ia tidak memiliki kemampuan fisikal yang cukup kuat serta bakalan terhalangi melakukan amalan-amalan lainnya, maka ia harus menggunakan kendaraan untuk membawanya ke tempat-tempat ziarah dan suci ini.
Akan tetapi menanggung kesusahan ini sedemikian bernilai sehingga Imam Shadiq As bersabda, “Tiada yang melebihi kesusahan dan ketinggian orang-orang yang beribadah kepada Allah Swt dengan berjalan kaki (dalam berziarah dan menunaikan kewajiban-kewajiban agama).”[17] Dan yang senantiasa dijadikan sebagai model oleh orang-orang Ilahi dalam budaya ini adalah Imam Husain As yang sebanyak 20 kali melakukan perjalanan dari Madinah ke Mekkah dengan berjalan kaki untuk menunaikan ibadah haji. Perawi bertanya kepada Imam Shadiq As tentang keutamaan berjalan kaki pada musim haji, Imam Shadiq As menjawab, “Sesungguhnya Husain bin Ali As tiga kali membagi hartanya dengan Tuhannya (dan berderma kepada orang-orang miskin) bahkan sepatu, pakaian dan uang belanjanya; dan 20 kali pergi ibadah haji dengan berjalan kaki.”[18]
Dalam menetapkan hal ini yaitu memilih berjalan kaki ketimbang berkendara dapat disandarkan pada beberapa hadis dimana para maksum dalam menjawab pertanyaan masyarakat, mereka memotivasi untuk berkendara sehingga kelelahan dalam perjalanan tidak menghalangi mereka beribadah dan berdoa.
Dalam sebuah hadis dengan sanad shahih disebutkan bahwa periwayat berkata kepada Imam Shadiq As, “Sebelumnya kami pergi haji dengan berjalan kaki, namun orang-orang mengabarkan bahwa Anda melarang orang pergi haji dengan berjalan kaki. Bagaimana pendapat Anda?” Abu Abdillah (Imam Shadiq As) menjawab, “Orang-orang yang pergi menunaikan ibadah haji, sebagian besar berjalan kaki dan sebagian lainnya dengan berkendara. Saya berkata, “Saya tidak mempersoalkan hal itu.” Kemudian Abu Abdillah bertanya, “Lantas apa yang menjadi pertanyaanmu?” “Manakah yang lebih Anda sukai maka itulah yang akan saya lakukan.” Tanyaku. Imam Shadiq As bersabda, “Lebih aku sukai apabila engkau berkendara; karena engkau akan lebih banyak energi dan kekuatan untuk beribadah dan berdoa.”[19]
Dalam sebuah hadis muatstsaq Ibnu Bukair bertanya kepada Imam Shadiq As terkait dengan hal ini. Saya berkata kepada Abu Abdillah As, “Kami semua memutuskan untuk berjalan kaki ke Mekkah.” “Tidak. Kalian harus pergi dengan berkendara (menuju ke sana).” Jawab Imam Shadiq As. Saya berkata, “Semoga Allah Swt menjauhkan pekerjaan Anda dari segala cela dan kekurangan! Orang-orang berkata kepada kami bahwa Hasan bin Ali As berjalan kaki untuk menunaikan ibadah haji.” Abu Abdillah As berkata, “Hasan bin Ali As berjalan kaki ke Mekkah sementara orang-orang menarik kemah-kemah dan pelana-pelana di sampingnya.”[20] Sebagaimana Abi Bashir yang berkata, “Saya bertanya kepada Abu Abdillah manakah yang lebih utama berkendara atau jalan kaki ke Mekkah?” Imam Ja’far Shadiq As bersabda, “Apabila seseorang mampu dan ia berjalan kaki untuk menunaikan ibadah haji sehingga ia dapat menghemat biaya dan nafkah dalam perjalanan, maka berkendara lebih utama untuknya.”[21]
Di balik ini terpendam sebuah ketelitian yang sangat indah. Pergi ke suatu tempat maknawiah bahkan dengan adanya pelbagai kekurangan dan kesukaran dalam perjalanan, lebih baik ketimbang disebabkan oleh alasan biaya-biaya perjalanan, ia melakukan melakukan perjalanan dan menjauhkan dirinya dari makanan spiritual. Tatkala Imam Shadiq As bertanya kepada Adzafir, “Apa yang menghalangi untuk pergi haji setiap tahunnya?” Ia menjawab, “Semoga diriku menjadi tebusanmu. (Yang menghalangi adalah) biaya dan pengeluaran untuk keluargaku.” Imam Shadiq As berkata, “Apabila engkau mati siapa yang tersisa dari keluargamu?” Berilah makan minyak dan cuka (makanan yang minim biayanya) namun setiap tahunnya engkau pergi haji bersama mereka.”[22] Hal ini bermakna bahwa apabila kita harus memilih antara perjalanan spiritual dan kehidupan yang mudah dan menyenangkan, alangkah baiknya biaya-biaya tambahan keseharian dan bahkan biaya-biaya perjalanan; seperti membeli oleh-oleh, menginap di hotel-hotel berbintang, alat-alat transportasi yang mahal kita abaikan namun demikian ruh kita senangkan dan ceriakan engan perjalanan spiritual.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa memilih naik kendaraan dan berjalan kaki ke tempat-tempat suci pada dasarnya tidak memiliki keutamaan sebagai sebuah gerak ritual[23] dan boleh jadi mengingat sabda para imam, “Sebaik-baik amalan adalah yang paling susah pengerjaannya” melakukan perjalanan dengan berjalan kaki ke tempat-tempat suci. Imam Husain As meski berulang kali melakukan perjalanan jalan kaki ke Mekkah, namun beliau senantiasa menjadikan Rasulullah Saw sebagai teladan yang datang berhaji dengan menaiki kendaraan. Imam Ja’far Shadiq As ditanya, “Apakah berhaji dengan berkendarai yang lebih utama atau berjalan kaki?” Imam Ja’far As menjawab, “Haji dengan berkendara yang lebih utama. Karena Rasulullah Saw pergi haji dengan berkendara.”[24]
Sehubungan dengan keutamaan berjalan kaki ke tempat-tempat suci lainnya seperti pusara suci Imam Husain As juga terdapat beberapa riwayat yang disebutkan, “Barang siapa yang pergi ke luar rumah bermaksud ziarah ke Haram Imam Husain As, apabila ia berjalan kaki maka Allah Swt mencatat setiap langkah yang ia ambil sebagai sebuah kebaikan dan dosa-dosa akan dihapuskan baginya. Dan apabila ia berkendara maka Allah Swt akan menulis setiap langkah yang ditempuh kendaraannya dan menghapuskan dosa-dosa untuknya hingga ia sampai di Karbala.”[25] Dalam riwayat ini perbandingan keutamaan antara berkendara dan berjalan kaki tidak dijelaskan, melainkan ganjaran dari masing-masin dari keduanya yang ditentukan. [iQuest]
Pada sebagian hadis, berjalan kaki hanya dinilai sebagai sebuah gerak fisikal dan disebutkan adanya anjuran terkait dengan adab-adab dan syarat-syaratnya dalam perjalanan; dan terkadang dalam perjalanan menuju tempat-tempat suci dikemukakan sebagai sebuah masalah yang mandiri. Akan tetapi dengan pandangan lain, terdapat banyak riwayat yang dianjurkan untuk bergerak menuju tempat-tempat suci dengan mengendarai kendaraan sehingga jangan sampai kelelahan dan kecapaian menghalangi peziarah untuk menjalankan manasik ibadah di tempat-tempat suci tersebut.
Namun demikian, keutamaan dan nilai jalan kaki ini yang tentu saja memiliki tingkat kesulitan dan kesusahan tertentu sehingga bagi orang-orang yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk menaiki kendaraan atau dengan adanya kemampuan finansial dan tersedia fasilitas kendaraan yang dapat mengantarkannya ke tempat-tempat ziarah tersebut, ia tebus ibadah dengan kesusahan dan bergumul dengan debu perjalanan merupakan keutamaan yang tidak dapat diingkari.
Selain itu, apabila seseorang memiliki kemampuan finansial dan dari satu sisi tidak memiliki kemampuan fisikal dan dengan berjalan kaki ia tidak akan mampu menunaikan amalan-amalan lainya, maka ia harus memanfaatkan kendaraan yang mengangkutnya ke tempat-tempat ziarah tersebut.
Kiranya kita harus memperhatikan poin ini bahwa penggunaan kalimat seperti “masyi” dan “sair” dalam riwayat tidak serta merta bermakna berjalan kaki. Terkadang dari kalimat-kalimat ini dapat dimaknai sebagai penjelasan “bergerak” seperti ketika Imam Shadiq As bersabda, “Setiap orang yang mengambil langkah (bergerak) menunaikan hajat saudara Muslimnya Allah Swt akan menuliskan baginya beribu-ribu kebaikan untuknya dan mengampunkan beribu-ribu atas dosanya serta menganugerahkan beribu-ribu tingkatan kepadanya.”[1] Jelas bahwa dalam riwayat ini yang dimaksud dengan mengambil langkah memiliki makna umum gerak dan bertindak untuk memenuhi hajat-hajat orang-orang beriman.
Berjalan kaki sebagai olahraga
Berjalan kaki yang pada dewasa ini dianjurkan sebagai olahraga yang berguna bagi keselamatan badan dan kebugaran fisik, tidak memiliki persolan yang mandiri dan berdiri sendiri dalam riwayat. Boleh jadi sebab dari persoalan ini tiadanya media transportasi yang komprehensif pada masa lalu sehingga jarak suatu tempat kebanyakan ditempuh dengan berjalan kaki yang tentu saja berjalan kaki dilakukan sebagai sebuah aktifitas harian dan berkelanjutan dimana kebanyakan dalam riwayat disebutkan tentang keselamatan badan dan kebugaran fisik yang tidak terlalu memerlukan anjuran (karena pada dasarnya memang berguna bagi manusia). Namun demikian, berjalan kaki dapat diletakkan di bawah sebuah tema global olahraga yang banyak disebutkan dalam kebanyakan riwayat terkait dengan keselamatann badan dan kebugaran fisik.
Dalam khazanah hadis Ahlulbait As di samping anjuran-anjuran terkait dengan sebagian olahraga seperti berkuda, berenang dan memanah, badan yang sehat dan fisik yang bugar senantiasa mendapat perhatian dari Allah Swt.
Imam Sajjad As dalam doa Abu Hamzah al-Tsumali berkata, “Tuhanku! Anugerahkan kepadaku kesehatan badan dan kemampuan fisik kepadaku”[2] sedemikian sehingga badan manusia dinilai sebagai sebuah hak yang harus dipenuhi. Rasulullah Saw bersabda, “Tuhan memiliki hak padamu dan badanmu memiliki hak padamu serta keluargamu memiliki hak padamu.”[3]
Apabila ditetapkan bahwa berjalan kaki memiliki pengaruh positif dalam kesehatan badan manusia, dengan memanfaatkan dua riwayat ini, kita dapat menyimpulkan pandangan positif agama terkait dengan hal ini. Akan tetapi berjalan kaki dengan segala kegunaan bagi badan dinilai bukan hal yang ideal bagi seorang yang menderita sakit dan memerlukan istirahat yang cukup. Imam Shadiq As bersabda, “Sesungguhnya berjalan kaki bagi orang sakit akan menyebabkan munculnya kembali dan parahnya penyakitnya.” Bilamana ayahku sakit, saya menempatkan ia pada sebuah kain dan memikulnya untuk mengambil wudhu. Ayahku senantiasa berkata, “Sesungguhnya berjalan kaki bagi orang sakit akan mengakibatkan munculnya kembali dan memperparah penyakit tersebut.”[4]
Menghindar berjalan dengan angkuh
Berjalan kaki merupakan salah satu aktifitas yang memiliki adab-adab dan hukum-hukum tertentu. Adab pertama berjalan kaki adalah menjauhi segala bentuk sikap angkuh dan takabur secara lahir pada orang yang berjalan kaki. Pada hakikatnya takabur dan angkuh merupakan sifat yang sangat tercela yang senantiasa mendapat celaan pada ayat-ayat al-Quran dan riwayat-riwayat; sedemikian sehingga bahkan berjalan sekali pun sifat tercela ini harus dihindari. Allah Swt secara langsung melarang untuk tidak berjalan dengan angkuh.[5] Dan dalam beberapa riwayat disebutan sedemikian tercela sehingga bumi juga mencela orang yang berjalan dengan angkuh,[6] dan Allah Swt menjanjikan azab yang pedih baginya di akhirat kelak. Dari Imam Shadiq As diriwayatkan, “Rasulullah Saw bersabda, “Tatkala umatku bersikap seolah-olah tuli di hadapan peminta-minta dan berjalan dengan angkuh, Tuhanku dengan keagungan-Nya bersumpah dan menyatakan bahwa sebagian akan menjadi alat untuk mengazab yang lainnya.”[7]
Ahlulbait As poin ini dengan segala ketelitian yang terkadang luput dari perhatian kita dan abai menjalankannya. Disebutkan bahwa suatu hari Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As keluar disertai dengan beberapa orang sahabatnya. Imam Ali mengendarai kuda dan sahabat yang menyertai beliau berjalan kaki, Imam Ali memperhatikan mereka dan bertanya, “Apakah engkau memiliki urusan? “Tidak, Wahai Amiral Mukminin.” Jawab mereka. “Kami suka berjalan bersama Anda.” Imam Ali As berkata lagi, “Maka naiklah; karena berjalan kaki bersama orang yang berkendara akan menyebabkan kerusakan bagi pengendara dan terhinanya pejalan kaki.”[8]
Wiqar dan Mitanat dalam berjalan
Dari sisi lain harap diperhatikan berjalan kaki dengan tawadhu dan rendah hati tidak boleh menghilangkan wibawa seseorang; bahkan berjalan kaki dengan penuh wibawa dan charisma merupakan salah satu sifat terpuji orang beriman. Dalam mendeskripsikan bagaimana Rasulullah Saw berjalan kaki disebutkan, “Rasulullah Saw sedemikian (aktif) berjalan sehingga dengan baik terlihat beliau tidak lemah dan lesu dalam berjalan.”[9] Imam Shadiq As, dalam memberikan deskripsi ihwal bagaimana datuknya Imam Sajjad As berjalan, bersabda, “Sedemikian tenang bergerak sehingga seolah seekor burung hingap di atas kepalanya dan sisi kanannya tidak mendahului sisi kirinya. (tidak berjalan sehingga pundaknya bergerak secara kencang dan bersikap angkuh).[10]
Karena itu dianjurkan dalam berjalan tangan-tangan tidak dilepaskan begitu saja di sekeliling badan[11] dan berjalan kaki sedemikian sehigga tidak dalam kondisi tergesa-gesa; artinya berjalan kaki dengan kecepatan yang seimbang, tidak terlalu cepat juga tidak terlalu lambat karena diriwayatkan dari Imam Kazhim As bahwa beliau bersabda, “Berjalan tergesa-gesa akan menghilangkan wibawa seorang mukmin.”[12]
Wibawa dan karisma ini dalam berjalan juga mendapat perhatian khusus dan diajurkan untuk berajalan di tepi jalan; dan boleh jadi ia dapat terjaga dari kecelakaan; Imam Ketujuh As bersabda, “Tidak layak seorang wanita berjalan di tengah-tengah dan lebih baik ia bergerak dari tepi jalan.”[13]
Berjalan kaki dalam jarak jauh
Pada masa-masa sebelumnya dimana fasilitas transportasi dan kaki empat tidak tersedia bagi semuanya, kebanyakan masyarakat menempuh perjalanan dengan berjalan kaki. Sebagian riwayat menyebutkan keluhan orang-orang ini terkait dengan kesulitan perjalanan ini. Untuk memecahkan masalah ini, Rasulullah Saw memberikan saran-sarang kepada mereka bahwa boleh jadi kita hari ini juga perlu melakukan olah raga seperti naik gunung dan berjalan-jalan di padang pasir. Kecepatan yang relatif tinggi dalam bergerak[14] dan demikian juga mengikat perut dan pinggang[15] adalah anjuran-anjuran yang perlu dilakukan dalam berjalan.
Berjalan kaki ke tempat-tempat suci
Dalam kebanyakan hadis ziarah khususnya riwayat-riwayat yang terkait dengan haji senantiasa dikemaukan pembahasan gerak menuju tempat-tempat suci dengan berkendara atau berjalan kaki. Dari kesimpulan dan ketelitian dari kumpulan hadis ini, khususnya sebagian riwayat yang melarang berjalan kaki dan menganjurkan berkendara kita dapat sampai pada beberapa poin.
Dalam bergerak menuju tempat-tempat suci, terdapat beberapa riwayat yang menganjurkan untuk berkendara sehingga jangan sampai orang yang berziarah kelelahan sehingga terhalangi untuk menjalankan ritual ibadah di tempat itu; artinya inti dalam berziarah dan menunaikan kewajiban-kewajiban agama adalah adanya gairah dan keselamatan yang cukup; karena itu nampaknya berjalan kaki dengan memperhatikan pelbagai kesusahan yang ada, hanya dapat dinilai sebagai sebuah gerak ritual tatkala orang-orang tidak memiliki kemampuan finansial untuk menggunakan kendaraan ke tempat ziarah atau meski dengan adanya kemampuan finansial dan memiliki akses untuk menggunakan kendaraan, mengingat hadis yang menyebutkan, “afdhal al-a’mal ahmazuha”[16] memilih untuk berjalan kaki. Selain itu, apabila seseorang memiliki kemampuan finansial dan dari satu sisi ia tidak memiliki kemampuan fisikal yang cukup kuat serta bakalan terhalangi melakukan amalan-amalan lainnya, maka ia harus menggunakan kendaraan untuk membawanya ke tempat-tempat ziarah dan suci ini.
Akan tetapi menanggung kesusahan ini sedemikian bernilai sehingga Imam Shadiq As bersabda, “Tiada yang melebihi kesusahan dan ketinggian orang-orang yang beribadah kepada Allah Swt dengan berjalan kaki (dalam berziarah dan menunaikan kewajiban-kewajiban agama).”[17] Dan yang senantiasa dijadikan sebagai model oleh orang-orang Ilahi dalam budaya ini adalah Imam Husain As yang sebanyak 20 kali melakukan perjalanan dari Madinah ke Mekkah dengan berjalan kaki untuk menunaikan ibadah haji. Perawi bertanya kepada Imam Shadiq As tentang keutamaan berjalan kaki pada musim haji, Imam Shadiq As menjawab, “Sesungguhnya Husain bin Ali As tiga kali membagi hartanya dengan Tuhannya (dan berderma kepada orang-orang miskin) bahkan sepatu, pakaian dan uang belanjanya; dan 20 kali pergi ibadah haji dengan berjalan kaki.”[18]
Dalam menetapkan hal ini yaitu memilih berjalan kaki ketimbang berkendara dapat disandarkan pada beberapa hadis dimana para maksum dalam menjawab pertanyaan masyarakat, mereka memotivasi untuk berkendara sehingga kelelahan dalam perjalanan tidak menghalangi mereka beribadah dan berdoa.
Dalam sebuah hadis dengan sanad shahih disebutkan bahwa periwayat berkata kepada Imam Shadiq As, “Sebelumnya kami pergi haji dengan berjalan kaki, namun orang-orang mengabarkan bahwa Anda melarang orang pergi haji dengan berjalan kaki. Bagaimana pendapat Anda?” Abu Abdillah (Imam Shadiq As) menjawab, “Orang-orang yang pergi menunaikan ibadah haji, sebagian besar berjalan kaki dan sebagian lainnya dengan berkendara. Saya berkata, “Saya tidak mempersoalkan hal itu.” Kemudian Abu Abdillah bertanya, “Lantas apa yang menjadi pertanyaanmu?” “Manakah yang lebih Anda sukai maka itulah yang akan saya lakukan.” Tanyaku. Imam Shadiq As bersabda, “Lebih aku sukai apabila engkau berkendara; karena engkau akan lebih banyak energi dan kekuatan untuk beribadah dan berdoa.”[19]
Dalam sebuah hadis muatstsaq Ibnu Bukair bertanya kepada Imam Shadiq As terkait dengan hal ini. Saya berkata kepada Abu Abdillah As, “Kami semua memutuskan untuk berjalan kaki ke Mekkah.” “Tidak. Kalian harus pergi dengan berkendara (menuju ke sana).” Jawab Imam Shadiq As. Saya berkata, “Semoga Allah Swt menjauhkan pekerjaan Anda dari segala cela dan kekurangan! Orang-orang berkata kepada kami bahwa Hasan bin Ali As berjalan kaki untuk menunaikan ibadah haji.” Abu Abdillah As berkata, “Hasan bin Ali As berjalan kaki ke Mekkah sementara orang-orang menarik kemah-kemah dan pelana-pelana di sampingnya.”[20] Sebagaimana Abi Bashir yang berkata, “Saya bertanya kepada Abu Abdillah manakah yang lebih utama berkendara atau jalan kaki ke Mekkah?” Imam Ja’far Shadiq As bersabda, “Apabila seseorang mampu dan ia berjalan kaki untuk menunaikan ibadah haji sehingga ia dapat menghemat biaya dan nafkah dalam perjalanan, maka berkendara lebih utama untuknya.”[21]
Di balik ini terpendam sebuah ketelitian yang sangat indah. Pergi ke suatu tempat maknawiah bahkan dengan adanya pelbagai kekurangan dan kesukaran dalam perjalanan, lebih baik ketimbang disebabkan oleh alasan biaya-biaya perjalanan, ia melakukan melakukan perjalanan dan menjauhkan dirinya dari makanan spiritual. Tatkala Imam Shadiq As bertanya kepada Adzafir, “Apa yang menghalangi untuk pergi haji setiap tahunnya?” Ia menjawab, “Semoga diriku menjadi tebusanmu. (Yang menghalangi adalah) biaya dan pengeluaran untuk keluargaku.” Imam Shadiq As berkata, “Apabila engkau mati siapa yang tersisa dari keluargamu?” Berilah makan minyak dan cuka (makanan yang minim biayanya) namun setiap tahunnya engkau pergi haji bersama mereka.”[22] Hal ini bermakna bahwa apabila kita harus memilih antara perjalanan spiritual dan kehidupan yang mudah dan menyenangkan, alangkah baiknya biaya-biaya tambahan keseharian dan bahkan biaya-biaya perjalanan; seperti membeli oleh-oleh, menginap di hotel-hotel berbintang, alat-alat transportasi yang mahal kita abaikan namun demikian ruh kita senangkan dan ceriakan engan perjalanan spiritual.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa memilih naik kendaraan dan berjalan kaki ke tempat-tempat suci pada dasarnya tidak memiliki keutamaan sebagai sebuah gerak ritual[23] dan boleh jadi mengingat sabda para imam, “Sebaik-baik amalan adalah yang paling susah pengerjaannya” melakukan perjalanan dengan berjalan kaki ke tempat-tempat suci. Imam Husain As meski berulang kali melakukan perjalanan jalan kaki ke Mekkah, namun beliau senantiasa menjadikan Rasulullah Saw sebagai teladan yang datang berhaji dengan menaiki kendaraan. Imam Ja’far Shadiq As ditanya, “Apakah berhaji dengan berkendarai yang lebih utama atau berjalan kaki?” Imam Ja’far As menjawab, “Haji dengan berkendara yang lebih utama. Karena Rasulullah Saw pergi haji dengan berkendara.”[24]
Sehubungan dengan keutamaan berjalan kaki ke tempat-tempat suci lainnya seperti pusara suci Imam Husain As juga terdapat beberapa riwayat yang disebutkan, “Barang siapa yang pergi ke luar rumah bermaksud ziarah ke Haram Imam Husain As, apabila ia berjalan kaki maka Allah Swt mencatat setiap langkah yang ia ambil sebagai sebuah kebaikan dan dosa-dosa akan dihapuskan baginya. Dan apabila ia berkendara maka Allah Swt akan menulis setiap langkah yang ditempuh kendaraannya dan menghapuskan dosa-dosa untuknya hingga ia sampai di Karbala.”[25] Dalam riwayat ini perbandingan keutamaan antara berkendara dan berjalan kaki tidak dijelaskan, melainkan ganjaran dari masing-masin dari keduanya yang ditentukan. [iQuest]
[1]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 4, hal. 415, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1407 H.
[2]. Muhammad bin al-Hasan Thusi, Misbâh al-Mujtahid, jil. 1, hal. 2, Maktabah Faqih, Qum, 1410 H.
[3]. Warram bin Firas, Mas’ud bin Isa, Majmu’ah Warram, jil. 1, hal. 2, Maktabat Faqih, Qum, 1410 H.
[4]. Al-Kâfi, jil. 8, hal. 291.
[5]. “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali tinggimu tidak akan sampai setinggi gunung.” (Qs. Al-Isra [17]:37); “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Qs. Luqman [31]:18)
[6]. Imam Shadiq As meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang berjalan di muka bumi dengan angkuh dan takabur, maka bumi dan sesiapa pun yang ada di atasnya akan mengirimkan laknat untuknya.” Ibnu Babawaih, Muhammad bin Ali, Tsawâb al-A’mâl wa Iqâb al-A’mâl, terjemahan Persia oleh Bandar Rigi, hal. 587, Intisyarat Akhlaq, Qum, 1379 S.
[7]. Tsawâb al-A’mâl wa Iqâb al-A’mâl, hal. 542.
[8]. Al-Kâfi, jil. 6, hal. 540.
[9]. Hasan bin Fadhl Thabarsi, Makârim al-Akhlâq, hal. 22, al-Syarif al-Radhi, Qum, 1412 H.
[10]. Muhammad bin Hasan Syaikh Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 15, hal. 382, Muassasah Alu al-Bait, Qum, 1409 H.
[11]. Disebutkan pada sebagian riwayat dengan redaksi “al-mathitha”; Wasâil al-Syiah, jil. 11, hal. 457.
[12]. Muhammad bin Ali Ibnu Babawaih, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 3, hal. 561, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1413 H.
[13]. Wasâil al-Syiah, jil. 20, hal. 184.
[14]. “Faqala lahum ista’inu binnasl,” Man La Yahdhuruh al-Faqih, jil. 2, hal. 295.
[15]. “Faqala syuddu azurakum was Tabthinu.” Ibid.
[16]. “Sebaik-baik amalan yang paling susah dikerjakan.” Hadis ini diriwayatkan dari Rasulullah Saw dan juga merupakan hadis yang masyhur di kalangan Sunni dan Syiah. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 79, hal. 229, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, 1403 H.
[17]. Wasâil al-Syiah, jil. 11, hal. 78.
[18]. Muhammad bin al-Hasan Thusi, Tahdzib al-Ahkâm, jil. 5, hal. 11, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1407 H.
[19]. Al-Kâfi, jil. 4, hal. 456.
[20]. Hingga selama mereka lelah mereka dapat menggunakannya dan dari sisi lain masyarakat mendapatkannya ia tidak berjalan kaki disebabkan karena bakhil dan pelit. Al-Kâfi, ibid.
[21]. Hadis ini dari sisi sanad merupakan sahih; al-Kâfi, ibid. Sebagian ahli tafsir menyimpulkan bahwa kebanyakan riwayat yang disebutkan terkait dengan berkendara, mengemuka tatkala seeorang melakukan thawaf dari Mekkah sendiri; misalnya terkait dengan hadis-hadis al-Kâfi dalam hadis shahih dari Rifa’i disebutkan, “Saya bertanya kepada Aba Abdillah Shadiq As, “Hasan bin Ali berjalan kaki untuk menunaikan haji, dari Mekah atau dari Medinah? Imam berkata, “Hasan bin Ali As jalan kaki dari Mekah ke Arafah.” Saya bertanya lagi, “Setelah (berjalan kaki dari Mina) menuju ziarah Ka’bah (tatkala kembali ke Mina) apakah saya dapat berkendara?” Abu Abdillah berkata, “Hasan bin Ali datang dengan berkendara untuk thawaf ziarah.” “Ringkasnya apakah lebih baik berjalan kaki pergi haji atau berkendara?” Tanyaku lagi. “Haji dengan berkendara lebih baik.” Jawab Imam. Aku bertanya lagi, “Haji dengan berkendara lebih baik atau haji dengan berjalan kaki?” Imam menjawab, “Iya. Karena Rasulullah Saw berkendara pergi haji. Namun dari bentuk lahir kalimat seperti “Nakhuruju ila Makkah” (kami keluar ke Mekkah) dan menggunakan kemah, pelana dan demikian juga pembahasan penghematan dalam pengeluaran dan biaya perjalanan nampaknya juga mencakup perjalanan-perjalanan di luar Mekah. Khususnya sebab yang terkait dengan kemampuan lebih dalam ibadah lebih umum dan kebanyakan konteks perjalanan-perjalanan panjang.
[22]. Al-Kâfi, jil. 4, hl. 256.
[23]. Sebagaimana Syaikh Thusi dan Allamah Majlisi juga menyinggungnya:
«المشی أفضل إن کان الحامل له علیه کسر النفس و مشقة العبادة».
Dari sisi lain perbuatan maksum juga tidak memiliki lisan sehingga darinya dapat disimpulkan adanya anjuran yang bersifat esensial; Muhammad bin al-Hasan Thusi, al-Istibshâr, jil. 2, hal. 142, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1390 H. Muhammad Baqir Majlisi bin Muhammad Taqi, Mir’at al-‘Uqûl, jil. 18, hal. 109, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1404 H.
«المشی أفضل إن کان الحامل له علیه کسر النفس و مشقة العبادة».
Dari sisi lain perbuatan maksum juga tidak memiliki lisan sehingga darinya dapat disimpulkan adanya anjuran yang bersifat esensial; Muhammad bin al-Hasan Thusi, al-Istibshâr, jil. 2, hal. 142, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1390 H. Muhammad Baqir Majlisi bin Muhammad Taqi, Mir’at al-‘Uqûl, jil. 18, hal. 109, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1404 H.
[24]. Al-Kâfi, ibid; Tahdzib al-Ahkâm, jil. 5, hal. 12.
[25]. Tsawâb al-A’mâl wa ‘Iqâb al-A’mâl, hal. 194.