Please Wait
22603
Meskipun sebahagian ayat menjelaskan tentang kitab mubin dan yang dimaksudkannya adalah kitab suci al-Quran, tetapi di dalam ayat ini dan ayat-ayat lain menjelaskannya sebagai sandaran Ilahi. Yang dimaksud dengan kitab mubin adalah martabat dari ilmu Ilahi atas makhluk-makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan (qabla ijad) dan hal itu termasuk juga kitab-kitab dan wahyu-wahyu lain, namun berkenaan dengan kuantiti dan kualitinya sama sekali tidak diketahui oleh manusia.
Rutab (basah) dan Yabis (kering) adalah kata kiasan untuk segala sesuatu dan tidak mengandungi makna yang istimewa. Kemudian disebutkan di dalam ayat itu bahwa mafatih al-ghaib itu hanya diketahui oleh Allah (s.w.t) (dan tidak ada seorang pun yang mengetahuinya kecuali mereka yang memang diberitahu oleh-Nya). Demikian juga tentang sesuatu yang basah dan sesuatu yang kering semuanya diketahui oleh Allah dan tidak satupun daun yang berguguran kecuali pasti diketahui oleh Allah (s.w.t). Tuhan tidak menyebutkan contoh-contoh lain dan segala sesuatu yang basah atau kering itu semuanya diketahui oleh Allah (s.w.t).
Tentang ayat-ayat al-Quran tersebut, para ahli falsafah dan agamawan, menegaskan bahwa ilmu Ilahi terbahagi kepada tiga bahagian[1] :
Pertama, ilmu Allah tentang diri-Nya dan sifat-Nya; ini yang disebut dengan ilmu Dzati. Ilmu terhadap Dzat dan sifat-sifat-Nya tidak mengalami perubahan apapun, dan ini bukan yang dimaksud oleh ayat di atas.
Kedua, ilmu tuhan terhadap makhluk-Nya setelah dicipta atau ilmu tentang partikular-partikular segala sesuatu. Ilmu ini dipersepsi kerana melihat hubungan antara tuhan dan makluk-Nya iaitu hubungan relasional (idhafiyyah) antara Tuhan dan objek yang diketahuinya, jadi Tuhan Mahamengetahui dan segala sesuatu yang hâdits (yang mengalami perubahan) diketahui oleh Allah (s.w.t). Lantaran ilmu jenis ini mempertimbangkan objeknya, maka ilmu seperti ini mengalami perubahan atau tidak tetap, berubah kerana perubahan makhluk dan zaman.
Ilmu dalam kategori seperti ini disebut dengan ilmu fi’ili dan bahagian dari sifat fi’liyah (perbuatan) Tuhan dan ilmu ini juga bukan yang dimaksud dalam ayat yang sedang kita bicarakan.
Ketiga, Ilmu tuhan terhadap makhluk pada alam azal (sedari dulu ada) dan sebelum penciptaan. Ertinya Tuhan mengetahui tentang makhluk sebelum diciptakan langit dan bumi dan segala isinya serta sebelum terjadi segala peristiwa dengan terperinci. Ilmu ini disebut dengan kitab mubin atau ummul kitab yang didalamnya juga termasuk lauh mahfuz, dan lahw mahw.
Jadi, ilmu itu ada dua bahagian satu bahagian ghaibi (transendental) dan satu lagi masyhud (imanen) mengikuti proses zaman; yang pertama tidak berubah dan yang berikutnya mengalami perubahan.
Maksud dengan kitab mubin seperti yang disebutkan oleh ayat tersebut[2] adalah ilmu Ilahi yang meliputi makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, sebelum mereka memiliki aktiviti dan yang dimaksud dengan rutab ( sesuatu yang basah) dan yabis (sesuatu yang kering) dalam ayat tadi adalah setiap ciptaan yang diwakilkan dalam dua kata iaitu sesuatu yang kering dan sesuatu yang basah.
Basah dan kering adalah dua kata yang berseberangan sebab setiap maujud itu bisa diletakan dalam dua kategori yang basah dan kering. Sesuatu yang basah dan sesuatu yang kering adalah bahasa simbolik dari setiap ciptaan dari makhluk-Nya.
Dalam beberapa riwayat dianalogikan[3] bahwa yang sesuatu kering sebagai janin dan yang basah adalah anak yang baru lahir atau sesuatu yang kering adalah kurma yang sudah dipetik dan yang basah adalah yang belum dipetik.
Kitab mubin dalam ayat-ayat lain[4] adalah simbolik untuk al-Quran dan bukan tajalinya yang kadang-kadang ditafsirkan sebagai ilmu khusus Tuhan terhadap makluk-Nya sebelum mereka diciptakan.
Untuk memahami maksud dari kitab mubin kita harus membaca ayat-ayat lain atau konteks turunnya ayat tadi sebelum dan sesudahnya, seperti dalam ayat pertama berbicara tentang konteks kemahaluasan ilmu Allah dan yang kedua berkenaan dengan isu turunnya wahyu.[]