Please Wait
7475
Untuk menjawab pertanyaan ini kiranya kita harus mengkaji beberapa poin sebagai berikut:
1. Jenis hukum apa kewajiban taat itu? Apakah termasuk jenis hukum syariat atau hukum akal?
2. Apa yang menjadi kriteria ketaatan itu? Ketaatan kepada siapa yang dipandang wajib oleh akal atau syariat?
3. Apakah terdapat kriteria kewajiban taat kepada Rasulullah Saw sebelum bi’tsat (masa diutusnya) atau tidak?
Ulama dan para periset ilmu Ushul meyakini bahwa kewajiban taat merupakan bagian dari hukum-hukum akal. Artinya hanya akal yang mampu mengkondisikan manusia untuk taat kepada seseorang karena kalau ketaatan kepada seseorang berlandaskan hukum syariat maka hal ini akan berujung pada daur (circular reasoning); dan apabila tidak berujung pada hukum akal maka hal itu akan tetap menyisakan pertanyaan bagi manusia mengapa manusia harus taat? Atas dasar itu, apabila dalam syariat kita memiliki sebuah dalil atas kewajiban taat seperti ayat, “athi’ulLah wa athi’u al-rasul”[1] perintah-perintah ini menandaskan perintah irsyâdi yang bermakna bahwa bimbingan (irsyadi) berititik tolak dari hukum akal.
Nah, berangkat dari sini dapat kita simpulkan bahwa kewajiban taat adalah sebuah kewajiban yang mengikut pada hukum akal. Yang harus kita cermati sekarang adalah apa yang menjadi kriteria ketaatan dan kepada siapa kita harus taat dalam pandangan akal?
Di sini juga ulama Ushul meyakini bahwa kriteria ketaatan adalah sesuatu yang umum diterima di kalangan orang-orang berakal yaitu bahwa orang yang harus ditaati adalah orang yang memiliki wewenang, otoritas dan kepemimpinan. Seperti otoritas tuan kepada budak[2] atau ayah dan ibu kepada anaknya atau orang-orang orang-orang yang memiliki kemahiran dan spesialisasi dalam satu bidang keilmuan atau orang yang memiliki kepemimpinan dan pengurusan atas seluruh masyarakat atau sebagian dari masyarakat adalah di antara orang-orang yang harus ditaati.
Kesimpulannya adalah bahwa apabila Rasulullah Saw memegang tanggung jawab kepemimpinan dan pengurusan seluruh atau sebagian masyarakat maka sesuai dengan hukum akal Rasulullah Saw adalah orang yang wajib ditaati atau beliau memiliki spesialisasi atau kemahiran dalam satu bidang keilmuan maka sesuai dengan hukum akal beliau wajib ditaati dalam bidang spesialisasinya.
Namun demikian kita harus memperhatikan satu poin yaitu bahwa sepanjang hukum akal tidak berpijak pada hukum syariat maka tidak hanya tidak memiliki pengaruh ukhrawi seperti ganjaran (tsawâb) dan hajaran (‘iqâb), karena ganjaran dan hajaran berurusan dengan hukum-hukum syariat,[3] bahkan pengaruh-pengaruh seperti keharusan taat juga tidak akan berlaku. Karena akal meski tidak akurat, memandang wajib dan mesti ketaatan manusia kepada seorang pemimpin dan pengayom. Namun dengan sedikit lebih cermat akal akan memahami bahwa hanya ketaatan kepada Allah Swt dan orang-orang yang dipandang wajib oleh Allah untuk ditaati adalah wajib hukumnya.[4]
Karena itu, dengan tinjuan cermat menjadi jelas bahwa Rasulullah Saw tidak wajib ditaati sebelum diutusnya. Dan kita tidak dapat berkata bahwa berdasarkan kaidah kesesuaian hukum akal dan syariat yang menandaskan segala sesuatu yang dihukum akal maka syariat juga akan menghukumi demikian” maka kewajiban taat kepada Rasulullah Saw adalah termasuk dalam kewajiban jenis hukum syariat. Karena pertama kewajiban taat apabila berasaskan hukum syariat maka hal itu akan berujung pada daur (circular reasoning).[5] Kedua, apabila kita mencermati hal ini maka menjadi jelas bahwa Rasulullah Saw sebelum diutusnya tidak wajib ditaati dalam pandangan akal. [IQuest]
[1]. “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah rasul-(Nya) dan ulil amri (para washi Rasulullah) di antara kamu.” (Qs. Al-Nisa [4]:59)
[2]. Musawi Tabrizi, hal. 4, Awtsaq al-Wasâil, Intisyarat-e Kutub Najafi, Qum, 1369.
[3]. Ibid, hal. 1.
[4]. Hamid Ridha Syakirin, Pursesy-hâ wa Pâsukh-hâ, Hukûmat-e Dîni, hal. 107, Qum Intisyarat-e Parsiyan, Cetakan Kedua, 1383 S.
[5]. Awtsaq al-Wasâil, hal. 9.