Please Wait
37854
Khawarij dulunya adalah pengikut Imam Ali kemudian berpisah dengan beliau pasca perang Shiffin karena penentangan mereka terhadap Imam Ali terkait dengan masalah tahkim atau hakamiyah (arbitrase). Mereka yang tadinya patuh dan taat di jalan Imam Ali kemudian keluar (kharij) dan membangkang melawan baginda Ali As. Atas dasar ini mereka juga disebut sebagai Mâriqin.
Sangat banyak penyimpangan yang dilakukan kelompok Khawarij. Di sini kami hanya akan menyebutkan beberapa dari peyimpangan tersebut:
1. Berdasarkan keyakinan Ahlusunnah bahwa Ali bin Abi Thalib adalah Khalifah Keempat Nabi Saw dan berdasarkan keyakinan Syiah, Baginda Ali adalah imam, washi dan khalifah pertama Rasulullah Saw yang wajib dipatuhi dan seluruh perintahnya harus ditaati. Akan tetapi orang-orang Nahrawan menentang beliau dan keluar dari jalan ketaatan kepadanya serta pada akhirnya berperang melawan baginda Ali. Inilah sebesar-besar penyimpangan yang mereka lakukan.
2. Kelompok Khawarij yang sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan pandangan pada perang Shiffin setelah orang-orang Syam (Suriah), dengan maksud mengecoh, meletakkan al-Qur'an di atas tombak. Mereka berkata: Mereka ini juga adalah seperti kita kaum Muslimin. Kita tidak boleh berperang melawan mereka. Imam Ali yang tadinya tidak bersedia berdamai dengan Mu'awiyah mereka paksa untuk menerima tahkim (arbitrase), namun setelah menerima arbitrase ini, kaum Khawarij malah menentang baginda Ali As.
3. Salah satu kritikan Khawarij kepada Imam Ali As, seperti yang mereka katakan berdasarkan ayat, "Inil Hukum illaLâh." (Sesungguhnya hukum hanya berasal dari Allah). Karena itu menerima tahkim dan hakamiyah artinya tidak mengindahkan al-Qur'an dan ayat yang disebutkan!. Kesimpulan keliru seperti ini disebutkan sebagai salah satu penyimpangan firkah Khawarij.
4. Penyimpang lain yang mereka lakukan adalah ketika mereka berkata: Barang siapa yang melakukan dosa besar maka ia adalah kafir dan telah keluar dari Islam (murtad) kecuali ia bertobat dan kembali menjadi seorang Muslim. Berdasarkan hal ini, jiwa dan harta kaum Muslimin (yang menurut mereka adalah orang-orang kafir) menjadi mubah dan boleh diambil.
Adapun keraguan Baginda Ali terkait dengan perang melawan Mu'awiyah kami kira cukup Anda memperhatikan penjelasan beliau tatkala orang-orang Syam kabur dan lari dari perang Shiffin dimana beliau bersabda kepada para pengikutnya: (Pergilah) Bunuh orang-orang yang tersisa yang merupakan kawan-kawan setan. Bunuhlah orang-orang yang berkata bahwa Tuhan dan Nabi-Nya berkata dusta. Karena itu, Imam Ali sama sekali tidak memiliki keraguan melainkan merasa mantap dan memotivasi para sahabatnya untuk berlaku demikian.
Jawaban Detil:
Untuk memperoleh jawaban yang sesuai kita akan membahas masalah ini menjadi dua bagian:
Pertama: Apakah Khawarij terkait dengan perang Nahrawan telah mengalami penyimpangan?
Kedua: Apakah Imam Ali As bersikap ragu dalam memadamkan api fitnah yang disulut oleh Mu'awiyah; artinya beliau tidak yakin bahwa apakah Mu'awiyah itu munafik sehingga harus dibunuh?
Sebelum memasuki pembahasan kiranya kita perlu menyodorkan beberapan penjelasan terkait dengan kelompok Khawarij ini.
Kelompok ini dikenal sebagai Mariqin, Khawarij dan Nahrawaniyun.
Ma-ra-q secara leksikal bermakna keluar (membelot) sebagaimana disebutkan, "Yamruqu al-sahma min al-Ramiyya; artinya anak panah keluar dari busurnya.[1] Dalam mendeskripsikan para Imam Maksum juga kita menjumpai redaksi ma-ra-q ini dengan membaca, "al-Raghib 'ankum Mariq."[2]
Mâriqin adalah orang-orang yang telah keluar dan membelot dari agama Allah dan memandang boleh berperang dengan khalifah Rasulullah Saw.[3] Dengan kata lain, sekelompok pengikut Imam Ali yang berpisah dari beliau pada perang Shiffin lantaran penentangan mereka dengan beliau pada kasus tahkim (arbitrase). Mereka keluar dari jalan ketaatan kepada Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib. Atas dasar ini mereka disebut sebagai Mâriqin.[4]
Khawarij dalam lisan Rasulullah Saw
Dengan memperhatikan bahwa kelompok Khawarij secara lahir adalah Muslim, gemar mengerjakan shalat, puasa dan tahajjud dan sebagaiya, sehingga bagi sebagian Muslim untuk mengenal kelompok ini dan berperang melawan mereka merupakan pekerjaan yang sulit dan pelik. Karena itu, Rasulullah Saw telah memberikan peringatan ihwal bahaya kelompok ini. dan Rasulullah Saw menjelaskan tanda-tanda mereka untuk dikenal. Misalnya:
A. Rasulullah Saw bersabda ihwal Khawarij: Segera pada umatku akan muncul sekelompok orang yang baik tutur-bahasanya namun buruk perilakunya. Mereka menyeru masyarakat kepada Kitabullah (al-Qur'an) sementara mereka sama sekali tidak mengetahui al-Qur'an. Mereka membaca al-Qur'an namun mereka tidak mendapatkan manfaat dari bacaannya. Mereka keluar dari agama sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya. Mereka tidak akan kembali kepada agama, sebagaimana anak panah tidak akan kembali kepada busurnya. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk. Alangkah beruntungnya mereka yang terbunuh oleh orang-orang ini. Atau berperang melawan mereka dan membunuhnya. Dan barang siapa yang membunuh orang-orang ini maka kedudukannya di hadapan Tuhan akan lebih baik dan layak daripada mereka. Ketika itu, seseorang berkata: Ya Rasulullah! Bagaimanakah tanda-tanda orang-orang ini? Rasulullah Saw bersabda: Tanda-tanda orang ini adalah mereka menggundul kepala mereka. Hadis ini dinukil dari Anas bin Malik dari Rasulullah Saw.[5]
B. Rasulullah Saw bersabda kepada Ali As: Selepasku engkau akan berperang melawan Nâkitisin (orang-orang yang meletuskan perang Jamal), Qâsithin (para antek Mu'awiyah) dan Mâriqin (Khawarij).[6]
C. Ali bin Abi Thalib As tatkala berangkat bertempur melawan Khawarij bersabda: "Sekiranya aku tidak kuatir bahwa dengan bersandar pada ganjaran yang banyak atas jihad ini, kalian meninggalkan ibadah lainnya, sungguh aku akan beritahu kepada kalian dari apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw tentang peperangan dengan orang-orang menyimpang ini (Khawarij) yang didasari oleh petunjuk dan bashirat. Sesungguhnya di sekeliling Rasulullah Saw ada seorang yang tangangnya pendek dan cacat, dadanya seperti dada wanita. Mereka adalah seburuk-buruk hamba Tuhan dan makhluk. Orang-orang yang membunuh mereka adalah sedekat-dekat hamba Tuhan. Orang itu memiliki julukan Makhdaj (cacat) dan tidak begitu dikenal pada kelompok itu. Karena sudah terbunuh, Ali As mencari orang itu di antara orang-orang yang terbunuh dan bersabda: Demi Tuhan! Saya tidak berkata dusta dan tiada yang berkata dusta kepadaku (sembari masih terus mencari) hingga akhirnya beliau menemukannya di antara orang-orang yang terbunuh. Bajunya terkoyak dan dadanya terdapat benjolan (sehingga membuat dadanya) seperti dada wanita… Lantaran Ali menemukannya, beliau bertakbir dan berkata: Jelas bahwa orang ini adalah sebuah pelajaran bagi mereka yang mencari petunjuk.”[7]
Pelbagai penyimpangan Khawarij
Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan Khawarij sangatlah banyak. Di sini kita hanya akan menyebutkan sebagian dengan memanfaatkan beberapa riwayat dari para Imam Maksum As.[8] Setelah itu mengkaji dan membahas riwayat-riwayat tersebut.
1. Keluar melawan khalifah Rasulullah Saw dan Imam Maksum As
Berdasarkan keyakinan Ahlusunnah Ali As adalah khalifah keempat Rasulullah Saw dan berdasrkan akidah Syiah, Imam Ali As adalah imam pertama maksum, washi dan khalifah Rasulullah Saw dan seluruh titahnya harus ditaati akan tetapi Khawarij keluar (khuruj) dan menentang beliau. Dan pada akhirnya berperang melawan Imam Ali dan hal ini merupakan sebesar-besarnya penyimpangan. Oleh itu, kita saksikan bahwa bahkan kelompok Muktazilah dan Asyairah dari mazhab Ahlusunnah juga memandang Khawarij sebagai kafir.[9]
Tatkala Ali mengutus Abdullah bin Abbas untuk mendatangi kaum Khawarij dan Abdullah bin Abbas pergi ke hadapan mereka dan berkata: Wahai para sahabatku! Alangkah anehnya orang-orang seperti kalian yang berhadapan dengan perkara yang kurang menyenangkan seperti ini dan kalian berontak melawan imam kalian dan berpaling darinya?[10]
2. Mendesak diterimanya tahkim berdasarkan pemahaman keliru tentang agama
Kaum Khawarij yang merupakan output dari tiadanya program yang jelas pada pelbagai penaklukan sebagian negeri. Mereka hanya memahami secara lahir dan mereka senantiasa memahaminya sedemikian dan tidak secuil pun pandangan keagamaan yang mereka manfaatkan, pada perang Shiffin, setelah orang-orang Syam dengan penuh muslihat mengangkat al-Qur'an di atas tombak dan berkata, "Mereka ini adalah kaum Muslimin sebagaimana kita. Karena itu kita tidak boleh berperang dengan mereka." Dan Ali yang tidak sedia berdamai dengan Mu'awiyah terpaksa menerima tahkim (arbitrase) ini.
Ali ketika memberi nasihat kepada Khawarij bersabda: "Bukankah pada waktu (orang-orang Syam) dengan maksud muslihat mengangkat al-Qur'an di atas tombak, kalian tidak berkata, "Orang-orang ini adalah saudara-saudara kita dan satu keyakinan? Mereka meminta jaminan keamanan dari kita dan berlindung kepada al-Qur'an, karena itu pendapat kami adalah kita menerima pendapatnya dan berdamai dengan mereka? Dan aku berkata dalam menjawab pertanyaan kalian: "Perbuatan ini secara lahir adalah iman namun batinnya adalah permusuhan dan kebencian. Permulaannya adalah belas kasihan dan kesudahannya adalah penyesalan! Karena itu tetaplah pada sikap semula kalian dan tidak menyimpang dari jalan semula. Kencangkan geraham kalian dan jangan pedulikan setiap suara; karena apabila kalian menjawab suara-suara tersebut maka kalian akan tersesat dan apabila kalian tidak mengindahkan mereka maka mereka akan binasa dan terhinakan![11]
Namun kembali kita menjadi saksi bahw mereka tidak memperdulikan nasihat imam mereka dan memilih jalan sesat.
3. Penyimpangan dengan bersandar pada ayat "Inil hukmu illaLah."
Salah satu penyimpangan penting kaum Khawarij adalah kritikan yang dilontarkan kepada Imam Ali As. Mereka berkata, berdasarkan ayat, ”Inil hukum illaLlah." (Qs. Yusuf [11]:67) Hukum hanya berasal dari Tuhan. Dengan demikian, menerima tahkim (arbitrase) bermakna tidak adanya perhatian pada al-Qur’an dan ayat yang disebutkan! Kendati kerapuhan argumentasi atas ayat ini dalam menolak tawaran arbitrase sangat jelas dan terang, akan tetapi di sini kami akan menyebutkan dalil-dalil ringkas halli dan naqdhi mengingat pentingnya persoalan ini.
Jawaban Halli (Solutif):
Ali As dalam masalah tahkim bersabda: Kami tidak mengambil manusia, melainkan kami mengambil Al-Qur'an (menjadi) hakim. Al-Qur'an adalah sebuah Kitab, bersampul, di antara dua sampul, dan ia tidak bercakap-cakap. Karena itu maka perlu ada juru bicara. Hanya manusia yang dapat menjadi juru bicara itu. Ketika orang-orang itu mengundang kita untuk mengambil Al-Qur'an sebagai pen-tahkim di antara kita, kita tidak boleh menjadi pihak yang berpaling dari Kitab Allah, karena Allah telah bersabda, "Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul. (QS. 4:59) Rujukan kepada Allah berarti bahwa kita memutuskan menurut Al-Qur'an, sedang rujukan kepada Rasul berarti bahwa kita mengikuti sunah beliau. Oleh karena itu, apabila tahkim dilakukan dengan sebenarnya melalui Kitab Allah (Al-Qur'an) maka kamilah yang sebenarnya paling berhak dari semua manusia atas tahkim; atau apabila itu dilakukan dengan sunah Rasul maka kamilah yang amat lebih laik untuk itu. (karena itu dalam dua kondisi kebenran bersama kami).[12]
Dalam sebuah penjelasan lain, Imam Ali As dalam menjawab ucapan mereka, bersabda: "Kalimatu haqqin yuradu biha al-Bathil." (Ucapan yang benar tapi untuk maksud bathil). [13]
Mengingat pandangan Khawarij di antaranya adalah "Laa hukma illaLlah" Setiap hukum yang tidak terdapat pada kitab Allah maka tidak dibolehkan mengikutinya dan mengamalkan hukum tersebut tidak dibenarkan. Baginda Ali As bersabda: Benar bahwa tiada hokum selain hukum Allah, tetapi orang-orang ini me-ngatakan (tugas) pemerintahan hanya pada Allah. Kaum Khawarij dengan menafikan hokum selain Tuhan ingin menafikan pemerintahan selain Tuhan. Ketika tiada pemerintahan dari selain Tuhan maka pemerintahan dan hukum selian Tuhan juga akan ternafikan. Lantaran istinbath hukum dan memperhatikan kebaikan masyarakat merupakan salah satu tugas pemerintahan dan berhubungan dengan pemenuhan hak-hak rakyat. Menafikan hukum selain Tuhan yang dilakukan Khawarij menyebabkan penafian terhadap pemerintahan manusia. Penafian pemerintahan oleh kaum Khawarij menjadi sebab sehingga Imam Ali mendustakan mereka dengan berkata: "Nyatanya tak ada jalan lepas bagi manusia dari penguasa, apakah penguasa itu bertakwa atau ahli maksiat.” Dengan kata lain, karena kaum Khawarij menafikan hukum selain Allah sejatinya mereka menafikan pemerintahan. Namun menafikan pemerintahan selain Tuhan merupakan sebuah perkara yang batil. Kesimpulannya bahwa klaim kaum Khawarij juga sebuah perkara yang batil. Kemudian Baginda Ali As bersabda: Akan tetapi mau-tak-mau masyarakat harus memiliki serang pemimpin, apakah ia adalah pemimpin bertakwa atau pemimpin durjana. Karena itu, ucapan Khawarij yang menandaskan bahwa tiada hukum selain hukum Allah tidak dapat diterima dan dijalankan. Sesungguhnya ucapan ini adalah ucapan yang tertolak. [14]
Jawaban Naqdhi (Kritis):
Apabila kita menerima ayat ini, ”Inil hukum illaliLlah, " sebagaimana yang dimaksudkan oleh kaum Khawarij maka kita akan berhadapan dengan selaksa persoalan dalam keseharian kita, keseharian para nabi dan para imam yang akan kita singgung beberapa di antaranya di sini.
Imam Baqir bersabda kepada Nafi': Katakanlah kepada Mâriqah (Khawarij) ini bagaimana Anda memandang boleh berpisah dari Amirulmukminin As sementara dengan mengikutinya dan taqarrub kepada Tuhan kalian menumpahkan darah (berperang) di sisinya untuk menolongnya (sebelum proses arbitrase)? Maka mereka akan menjawab pertanyaanmu: Ia meletakkan seorang hakam tentang agama Allah." Katakanlah kepada mereka:
A. Allah Swt sendiri dalam syariat Rasul-Nya menyerahkan urusan pengadilan kepada dua orang dari hamba-Nya terkait dengan masalah akhlak di antara istri dan suami bersabda: “Pilihlah hakam dari kerabat suami dan hakam dari pihak keluarga wanita. Apabila keduanya (suami dan istri) ingin berdamai maka Allah Swt akan menciptakan perdamaian di antara keduanya.”[15]
B. Rasulullah Saw menyerahkan urusan peradilan kepada Sa’ad bin Muadz pada peristiwa perang Bani Quraizha.[16]
Karena itu, sama sekali tiada kritikan yang dapat ditujukan kepada Ali As bahkan beliau beramal berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.[17]
Penyimpangan lain dan memandang kafir orang-orang yang mengerjakan dosa besar
Mereka berkata: Barang siapa yang mengerjakan dosa besar maka ia telah kafir dan telah keluar dari Islam, kecuali ia bertaubat dan kembali memeluk Islam. Atas dasar ini, mereka memandang boleh mengambil jiwa dan harta kaum Muslimin (karena telah kafir menurut anggapan mereka).
Ali As dalam hal ini berkata kepada kaum Khawarij: Kalaupun Anda tak berhenti mempercayai bahwa saya telah salah dan tersesat, mengapa maka Anda menganggap bahwa kalangan pengikut Nabi Muhammad (saw) umumnya telah tersesat seperti saya, dan menuduh mereka dengan kesalahan saya, dan menganggap mereka kafir karena dosa-dosa saya? Anda memanggul pedang dan menggunakannya dengan benar ataupun salah. Anda mengacaukan orang yang telah berbuat dosa dengan yang tidak. Anda tahu bahwa Nabi merajam pezina yang terlindung (yang telah kawin), kemudian beliau juga menyembahyanginya dan mengijinkan para pelanjutnya mewarisi dari dia. Beliau memotong (tangan) pencuri dan mencambuki pezina yang tak terlindung (yang belum kawin), tetapi setelah itu mengizinkan bagian mereka dari pampasan dan mengawini wanita Muslim. Jadi, Nabi menuntut mereka bertanggung jawab atas dosa mereka dan juga menaati perintah Allah tentang mereka, tetapi tidak melarang mereka atas haknya yang diberikan Islam, tidak pula menyingkirkan nama mereka dari para pengikutnya. Sesungguhnya Anda adalah yang terburuk dari semua orang dan (Anda) adalah orang yang telah ditempatkan iblis pada garis-garisnya dan dijerumuskan ke dalam negerinya yang tanpa jalan. [18]
Adapun pertanyaan kedua:
Apakah Ali As merasa yakin untuk memadamkan api fitnah Mua’wiyah?
Untuk menjawab bagian pertanyaan ini, mau tak mau kita harus menjelaskan pandangan Baginda Ali terkait dengan Mua’wiyah sehingga menjadi terang bahwa apakah Imam Ali As merasa ragu untuk memadamkan api fitnah Mua’wiyah atau tidak?
Pertama: Ibnu Abil Hadid menukil: Banyak dari sahabat Rasulullah Saw berada di barisan Ali As yang mendengar dari Nabi Saw melaknat Mua’wiyah setelah menjadi Muslim dan bersabda: “Mu’awiyah adalah seorang munafik, kafir dan ahli neraka. Riwayat tentang hal ini sangat masyhur.
Bagaimana mungkin sahabat-sahabat Ali As mendengar hadis ini namun Ali sendiri tidak mendengarnya?
Kedua: Imam dalam menjawab ancaman Mu’awiyah dalam suratnya kepada Mu’awiyah menulis: Kemudian daripada itu, sesungguhnya kami dan engkau (dulu) berada dalam ketentuan yang bersahabat sebagaimana engkau katakan, tetapi perselisihan timbul antara kami dan engkau di hari lain, ketika kami menerima iman dan engkau menolaknya. Situasinya sekarang ialah bahwa kami sabar (dalam iman) tetapi engkau telah menyimpang. Orang-orang di antara engkau yang menerima Islam mereka menerimanya dengan terpaksa; karena pada permulaan Islam engkau berperang dengan Rasulullah Saw.
Ketiga: Pertanyaan yang diajukan oleh Khawarij kepada Abdullah bin Abbas tatkala didengar oleh Baginda Ali As, beliau menjawabnya demikian: “Apa yang kalian katakan dimana kalian meragukan sendiri terhadap masalah tahkim dimana kalian memandang pada hak Mu’awiyah dan hak kami. Apabila kalian memandang Mu’awiyah lebih layak dari kami maka kalian akan menjadikannya sebagai pemimpin. Dan apabila saya yang lebih baik atas wilayah dan khilafah umat dan kalian menyokong saya maka ucapan saya ini bukan berasal dari tiadanya pengetahuan ihwal keutamaanku atas Mu’awiyah dan orang lain; melainkan bersumber dari sikap adil dalam ucapan dan tindakan sebagaimana Allah Swt berfirman: “Sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Saba [34]:24) Allah Swt sama sekali tidak memiliki keraguan dan dengan yakin mengetahui bahwa Hadhrat Rasulullah Saw berada dalam kebenaran namun Allah Swt berfirman demikian. Khawarij berkata: Wahai Ali! Hal ini juga merupakan dalil dan keterangan nyata bagi Anda dalam menguburkan protes kami.”[19]
Dengan dua hadis dari Ali As secara jelas dan terang menjelaskan sikap beliau pada perang Shiffin kami sudahi pembahasan ini.
Baginda Ali As di atas mimbar masjid Kufah bersabda: “Wahai warga Kufah! Apakah kalian tidak dapat bersabar berperang dengan musuh-musuh kalian. Apabila kalian tidak bersabar maka Allah Swt akan menjadikan sekelompok orang berkuasa atas kalian padahal kalian lebih pantas daripada mereka.”[20]
Dan dalam penjelasan lainnya, tatkala orang-orang Suriah lari dari perang Shiffin, Baginda Ali As bersabda kepada para pengikutnya: (Pergilah) Bunuhlah orang-orang yang tersisa dari mereka yang merupakan kawanan setan. Bunuhlah orang-orang yang berkata bahwa Allah dan Rasul-Nya berkata dusta.[21]
Karena itu, Baginda Ali As pada perang dengan Mu’awiyah sama sekali tidak memiliki keraguan bahkan keputusannya bulat dan memotivasi para pengikutnya dalam urusan ini. Pelbagai penyimpangan ini pada akhirnya berujung pada kesyahidan Baginda Ali oleh kelompok Khawarij ini (yang dilakukan Ibnu Muljam dan Asy’ats bin Qais).[22] [IQuest]
[1]. Khalil Ahmad Farahidi, Kitâb al-‘Ain, jil. 15, hal. 160, Intisyarat-e Hijrat, Qum, cetakan kedua, 1410 H.
[2]. Barangsiapa yang berpaling dari kalian maka sesungguhnya ia telah keluar dari agama Allah. Bihâr al-Anwâr, jil. 99, hal. 150 (Ziarah Jâmia’ al-Kabira)
[3]. Fakhruddin Tharihi, Majma’ al-Bahrain, jil. 5, hal. 235, Kitab Purusyi Murtazawi, Teheran, cetakan ketiga, 1375 S.
[4]. Ahmad bin ‘Ali Thabarsi, Ihtijâj, Ghaffari Mazandarani, Nizhamuddin Ahmad, jil. 1, hal. 229-230, Murtazawi, cetakan pertama, Teheran.
[5]. Thabarsi, I’lâm al-Warâ bi ’Alam al-Hudâ, hal. 33 (Zendegâni Chârda Ma’shum As), Azizullah ‘Athardi, hal. 46-47, Islamiyah, Teheran, cetakan pertama, 1390 H.
[6]. Thabarsi, I’lâm al-Warâ bi ’Alam al-Hudâ, hal. 33.
[7]. Mufid, Irsyâd, Rasul Mahallati, jil. 1, hal. 317, Islamiyah, Teheran, Cetakan Kedua.
[8]. Bersandar pada sebagian riwayat Ahlulbait pada riset ini lantaran argumen yang terpendam di dalamnya bukan semata-mata taken for granted.
[9]. Hilli, Alfain, Wijdani, hal. 7, Sa’di wa Mahmudi, Teheran, Cetakan Pertama.
[10]. Ahmad bin ‘Ali Thabarsi, Ihtijâj, Ghaffari Mazandarani, jil. 2, hal. 254.
[11]. Ahmad bin ‘Ali Thabarsi, Ihtijâj, jil. 1, hal. 403-404, Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1381 S.
[12]. Ahmad bin ‘Ali Thabarsi, Ihtijâj, Ja’fari, Behrad, jil. 1, hal. 404-405.
[13]. Nahj al-Balâghah, hal. 61, Khutbah 40, Bunyad-e Nahj al-Balagha, Cetakan Pertama, 1372.
[14]. Terjemahan Syarh-e Nahj al-Balâghah, Ibnu Maitsam, jil. 2, hal. 220, Daftar Nasyr-e al-Kitab, Cetakan Kedua, 1362 S.
[15]. “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada mereka dalam hal ini.” (Qs. Al-Nisa [4]:35)
[16]. Ahmad bin ‘Ali Thabarsi, Ihtijâj, Ja’fari, jil. 2, hal. 162-163.
[17]. Nahj al-Balâgha, terjemahan Dasyti, hal. 241, Muassasah Intisyarat-e Masyhur, Cetakan Pertama, Qum, 1379.
[18]. Jelwe-ye Târikh dar Syarh-e Nahj al-Balâgha Ibn Abil Hadid, jil. 7, hal. 220, Nasyrani, Teheran, Cetakan Kedua, 1375 S.
[19]. Terjemahan Nahj al-Balâgha (Zamani), hal. 819-820, Surat 64, Muassasah Intisyarat-e Nabawi, Cetakan Keduabelas, 1378 S.
[20]. Ahmad bin ‘Ali Thabarsi, Ihtijâj, Ghaffari Mazandarani, jil. 2, hal. 254.
[21]. Naqawi, Qaini, Khurasani, Muhammad Taqi, Miftah al-Sa’âdah fii Syarhi Nahj al-Balâghah, jil. 5, hal. 248, Maktab al-Mustafawi, Teheran; Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 11, hal. 66. 12441-12442, Muassasah Alil Bait As, Qum, 1408 H.
[22]. Mufid, Irsyâd, Rasul Mahallati, jil. 1, hal. 18.