Advanced Search
Hits
11699
Tanggal Dimuat: 2014/05/08
Ringkasan Pertanyaan
Apakah pelaknatan Bani Umayyah kepada Imam Ali As tercatat dalam literatur-literatur standar sejarah?
Pertanyaan
Apakah pelaknatan Bani Umayyah kepada Imam Ali As itu memang ada benarnya?
Jawaban Global
Muawiyah adalah seorang yang sangat licik yang menggunakan segala cara untuk sampai pada tujuan. Ia menggunakan pelbagai cara seperti membuat hadis palsu, beramal secara lahir dan lain sebagainya sehingga ia mampu menyihir orang-orang bergabung bersamanya untuk melawan para penentangnya.
Salah satu cara propaganda Muawiyah adalah melaknat dan mencela. Sesuai dengan nukilan-nukilan sejarah, orang-orang bawahannya melaknat Ali As di hadapan masyarakat dan salat-salat Jumat. Sunnah pelaknatan ini dibuat oleh Muawiyah dan pada akhirnya Umar bin Abdulaziz menginstruksikan kepada jajaran bawahannnya untuk meninggalkan tradisi ini dan berhenti melaknat Imam Ali As.
 
Jawaban Detil
Meski terjadi perbedaan pendapat tajam di antara masyarakat Islam pasca wafatnya Rasulullah Saw, namun perbedaan ini tidak berujung pada perang dan pertumpahan darah. Konflik bersenjata pertama dimulai pada masa khalifah ketiga yang berujung pada terbunuhnya Usman bin Affan.
Peperangan pada masa Imam Ali As juga secara umum bersumber dari peristiwa itu dimana kelompok besar kaum Muslimin di bawah pemerintahan Imam Ali As yang menjadi khalifah sah kaum Muslimin berhadap-hadapan dengan Muawiyah yang merupakan gubernur Suriah yang berdalih ingin menuntut darah Usman kemudian mengklaim dirinya sebagai khalifah kaum Muslimin. Terjadi konflik dan adu kekuatan hebat di antara dua kelompok ini. Setelah kesyahidan Imam Ali As, Muawiyah yang menguasai medan seorang diri dengan pelbagai cara berhasil mempengaruhhi orang-orang di sekeliling Imam Hasan As dan pada akhirnya ia memproklamirkan dirinya sebagai khalifah kaum Muslimin.
Media terpenting Muawiyah dalam hal ini adalah menggunakan media propaganda. Ia menggunakan segala macam cara seperti membuat hadis palsu, beramal secara lahir dan lain sebagainya sehingga ia mampu menyihir orang-orang bergabung bersamanya untuk melawan para penentangnya.
Salah satu cara propaganda Muawiyah adalah melaknat dan mencela. Sesuai dengan nukilan-nukilan sejarah, orang-orang bawahannya melaknat Ali As di hadapan masyarakat dan salat-salat Jumat (yang merupakan media utama pada masa itu) sebagaimana yang akan disebutkan pada beberapa nukilan terlampir. Di samping itu, sebagian literatur menyebutkan bahwa Imam Hasan As dan Imam Husain As tidak lepas dengan muslihat ini dan keduanya juga mendapat laknat di mimbar-mimbar umum oleh antek-antek Muawiyah.[1]
Menariknya, pada perang Shiffin, dua orang dari pasukan Imam Ali As, melaknat Muawiyah dan orang-orang Suriah, Imam Ali As, meski ia memandang benar perbuatan ini, melarang mereka melakukan hal itu.[2] Sebagai bandingannya, Muawiyah menyebarkan tradisi dengan melaknat Amirul Mukminin Ali As secara terang-terangan dan pada acara-acara umum. Tersebarnya tradisi keji ini, sedemikian hebat sehingga Imam Hasan As dalam perjanjian damainya dengan Muawiyah membuat persyaratan supaya Muawiyah tidak lagi melaknat Imam Ali As di mimbar-mimbar.[3]
            Berikut ini kami lampirkan sebagain dokumen sejarah terkait dengan persoalan ini:
  1. Marwan bin Hakam memerintah selama enam tahun di Madinah dan ia melaknat Imam Ali di hadapan orang-orang dan pada setiap Jumat.[4]
  2. Hajjaj, mengumpulkan pembesar Kufah dan meminta mereka untuk mencela Imam Ali As.[5]
  3. Tatkala Ummu Salamah, istri Rasululah Saw berhadapan dengan celaan terhadap Imam Ali As, berkata, “Apakah kalian melaknat Rasulullah Saw?” Kemudian mengimbuhkan, “Sesungguhnya saya mendengar dari Rasulullah Saw barang siapa yang melaknat Ali maka ia telah melaknatku.”[6]
  4. Selagi orang-orang Hajjaj mencambuk Abdurrahman bin Abi Laila hingga kulitnya berubah menjadi legam, mereka memerintahkan, “Para pendusta! Laknatlah (Imam Ali)!”[7]
  5. Hajjaj menulis kepada wakilnya Muhammad bin Qasim, “Panggillah Athiyyah Aufa (salah seorang Syiah Kufah). Apabila ia melaknat Ali maka demikianlah seharusnya. Namun apabila ia menolak untuk melakukan itu maka cambuklah ia empat ratus kali dan pangkaslah rambut dan janggutnya.” Namun Athiyyah menolak melakukan hal itu dan pada akhirnya ia menerima empat ratus kali cambukan dan janggut dan rambutnya dicukur habis.[8] 
Sesuai dengan nukilan-nukilan sejarah, orang-orang bawahannya melaknat Ali As di hadapan masyarakat dan salat-salat Jumat. Sunnah pelaknatan ini dibuat oleh Muawiyah dan pada akhirnya Umar bin Abdulaziz menginstruksikan kepada jajaran bawahannnya untuk meninggalkan tradisi ini dan berhenti melaknat Imam Ali As.[9]
Di akhir pembahasan ini, kami ingin mengutip satu cerita yang berkaitan dengan cara Bani Umayyah yang menunjukkan bagaimana Bani Umayyah sangat getol melakukan perbuatan ini dan bagaimana sebagian gubernur yang mencintai Ali As lari darinya:
Imam Ali As berkata kepada Hujr bin Adi, “Wahai Hujr! Apa yang akan kamu lakukan ketika engkau duduk di mimbar San’a dan diperintahkan untuk melaknatku dan berlepas diri dariku?”
“Saya berlindung kepada Allah Swt dari melakukan perbuatan ini.” Ujar Hujr bin Adi.
“Demi Allah! Peristiwa ini akan terjadi! Pada waktu itu maka engkau harus melaknatku namun jangan berlepas diri dariku.” Pungkas Imam Ali.
Setelah beberapa tahun, Hajjaj menjadi penguasa atas Hujr dan memerintahkan kepada Hujr untuk melaknat Imam Ali As. Ia naik ke atas mimbar dan berkata, “Wahai segenap manusia! Sesungguhnya pemimpin kalian ini memerintahkan Aku untuk melaknat Ali maka laknatlah ia, laknat Allah atasnya.”[10]
Hujr bin Adi menggunakan cara yang sangat cerdik kata ganti yang ada dan mengembalikan kata ganti itu kepada Hajjaj dan menghindari pelaknatan kepada Imam Ali As meski ia telah mendapat izin langsung dari Imam Ali As untuk melakukan hal itu. [iQuest]
 

[1]. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, Riset dan edit oleh Muhammad Abul Fadhl Ibrahim, jil. 15, hal. 256, Maktabah Ayatullah al-Mar’asyi al-Najafi, Qum, Cetakan Pertama, 1404 H.  
[2]. Abu Junaid Ahmad Daud Dainawari, al-Akhbâr al-Thiwâl, Riset oleh Abdul Mun’im Amir, Perujuk: Jamaluddin Syayyal, hal. 165, Qum, Mansyurat al-Radhi, 1368 S.   
[3].  Fadhl bin Hasan Thabari, I’lam al-Wara Bi’alam al-Huda, hal. 260, Muassasah Alu al-Bait As, Qum, Cetakan Pertama, 1417 H; Syaikh Mufid, al-Irsyad fi Ma’rifat Hujajullah ‘ala al-‘Ibad, jil. 2, hal. 14, Kongre Syaikh Mufid, Qum, Cetakan Pertama, 1413 H; Ali bin Isa Arbali, Kasyf al-Ghummah fi Ma’rifat al-Aimmah, Riset dan edit oleh Hasyim Rasuli Mahallati, jil. 1, hal. 515, Nasyr Bani Hasyimi, Cetakan Pertama, 1381 H.
[4]. Ismail bin Umar, Ibnu Katsir Dimasyqi, al-Bidayah wa al-Nihayah, jil. 8, hal. 259, Dar al-Fikr, Beirut 1407 H; Muhammad bin Ahmad Dzahabi, Tarikh al-Islam, Riset oleh Umar Abdussalam Tadmiri, jil. 4, hal. 228, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Kedua, 1409 H; Ibnu Sa’ad Katib Waqidi, al-Thabaqat al-Kubra, Riset oleh Muhammad Abdulqadir ‘Atha, jil. 1, hal. 399, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Cetakan Pertama, 1410 H.  
[5]. Syaikh Thusi, al-Amali, hal. 620, Dar al-Tsaqafah, Qum, Cetakan Pertama, 1414 H.  
[6]. Al-Bidayah wa al-Nihayah, jil. 7, hal. 354; Qadhi Nu’man Maghribi, Syarh al-Akhbar fi Fadhail al-Aimma al-Athhar As, jil. 1, hal. 167, Daftar Intisyarat Islami, Qum, Cetakan Pertama, 1409 H.  
[7]. Ahmad bin Yahy Baladzuri, Ansab al-Asyraf, Riset oleh Suhail Zukar dan Riyadh Zirkili, jil. 7, hal. 383, Dar al-Fikr, Beirut, Cetakan Pertama, 1417 H.  
[8]. Khairuddin Zirkili, al-A’lam, jil. 4, hal. 237, Dar al-‘Ilm lil Malayin, Beirut, Cetakan Kedelapan, 1989 M.  
[9]. Ali bin Muhammad Ibnu Atsir Jarzi, al-Kamil fi al-Tarikh, jil. 5, hal. 42, Dar Shadir, Beirut, 1385 H; Abdurrahman bin Muhammad Ibnu Khaldun, Diwan al-Mubtada wa al-Khabar fi Tarikh al-‘Arab wa al-Barir wa Man ‘Asharahum min Dzawi al-Sya’n al-Akbar (Tarikh Ibnu Khaldun), Riset oleh Khalil Syahadah, jil. 3, hal. 94, Beirut, Dar al-Fikr, Cetakan Kedua, 1408 H.
[10]. Ibnu Syahr Asyub Mazandarani, Manaqib Alu Abi Thalib As, jil. 2, hal. 269, Intisyarat Allamah, Qum, Cetakan Pertama, 1379 H; Sayid Hasyi bin Sulaiman Bahrani, Madinah al-Ma’ajiz al-Aimmah al-Itsna ‘Asyr, jil. 2, hal. 182, Muassasah al-Ma’arif al-Islamiyah, Qum, Cetakan Pertama, 1413 H.
«أَیُّهَا النَّاسُ إِنْ أَمِیرَکُمْ هَذَا أَمَرَنِی أَنْ أَلْعَنَ عَلِیّاً أَلَا فَالْعَنُوهُ لَعَنَهُ اللَّه»
 
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Klasifikasi Topik

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    261162 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    246281 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    230064 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214936 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    176255 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    171569 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    168054 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    158091 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140895 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    134006 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...