Carian Terperinci
Pengunjung
15581
Tarikh Kemaskini 2011/07/18
Ringkasan pertanyaan
Bagaimana kita dapat membezakan antara ujian dengan seksa atau azab Ilahi?
soalan
Musibah-musibah dan kesulitan-kesulitan dunia yang manakah harus kita anggap sebagai sebuah bala dari Tuhan dan yang manakah merupakan akibat dari perbuatan tidak baik kita? Bagaimana cara untuk membezakannya?
Jawaban Global

Sudah tentu sebahagian urusan-urusan terdiri daripada bala dan ujian-ujian Tuhan, supaya manusia dapat memberikan reaksi yang jelas dalam menghadapinya, dan tindak balas mereka dalam menghadapi kejadian ini akan membentuk sifat peribadi dan batin secara hakiki. Demikian juga dari sisi niat dan kebiasaan dalam memberikan reaksi atas musibah, terdapat perbezaan antara orang mukmin, kafir dan kaum munafik. Musibah-musibah yang tergolong dalam persoalan-persoalan ini antara lain adalah masalah kematian dan kehidupan, kemiskinan dan kekayaan, akal dan syahwat, anbiya dan aushiya’ dari satu sisi, dan syaitan serta manusia-manusia syaitan dari sisi lain, demikian juga kelangsungan dunia dan kebertahapan akhirat, perbezaan penciptaan setiap individu dari sisi keturunan, potensi dan sebagainya diiringi keburukan, kejahatan, ciptaan-ciptaan yang membahayakan atau tidak dan lain sebagainya.

Manusia samada dia menghendaki atau pun tidak, dan samada dia soleh ataupun tidak soleh, mereka harus melalui ujian-ujian ini, bahkan musibah-musibah yang datang dan terjadi kerana dosa dan hukuman serta seksaan yang dapat menjadi pelajaran bagi manusia untuk meninggalkan dosa dan memohon keampunan. Kesabarannya dalam menanggung beratnya musibah ini akan menyebabkan diampuninya dosa-dosanya kerana dengan demikian bererti manusia telah mampu melihat jiwanya sendiri dan mampu menentukan kesalahan yang telah dilakukannya dan datangnya kesulitan-kesulitan yang mengiringi dosa tersebut merupakan tanda-tanda yang membezakannya dari seluruh musibah-musibah lainnya.

Jawaban Detil

Sudah menjadi lumrah tabiat manusia jika tidak memiliki apa pun kesulitan khusus yang menimpanya maka dia akan bangga dengan dirinya sendiri di mana hal ini akan menjerumuskannya ke arah takabbur dan kesombongan. Kesombongan seperti inilah akan melalaikannya daripada akibat-akibat yang timbul dikemudian hari kerana perbuatan-perbuatannya sendiri. Untuk menghindarkan diri dari keburukan seperti ini, prinsip Ilahi mengharuskan bahawa dalam kehidupan duniawi manusia dihadapkan dengan kelemahan-kelemahan, kesulitan-kesulitan dan halangan-halangan semulajadi atau sesuatu yang diciptakan oleh mereka sendiri. Dari sinilah sehinggakan peristiwa-peristiwa seperti sakit, kematian dan cacat, demikian juga dengan kefakiran, kekayaan, banjir, gempa bumi, angin taufan, ledakan gunung berapi, serangga-serangga yang membahayakan serta binatang-binatang buas diletakkan dalam lingkungan jasmani manusia sedangkan jiwanya dibatasi dengan akal, syahwat dan pembimbing-pembimbing Ilahi dari satu sisi, manakala syaitan serta manusia-manusia kesyaitanan dari sisi yang lain, begitu juga adanya keterbatasan di dunia serta pentingnya ilmu dan iman terhadap ghaib.

Cara manusia menanggapi ketidaksempurnaan jasmani dan jiwanya ini akan membentuk sifat peribadi dan identitinya. Akal dan fitrah yang menjadi faktor dalaman manakala anbiya dan auliya Ilahi sebagai faktor luaran yang menjadi pembimbing dan penunjuk arah jalan berperilaku dan bagaimana bereaksi secara benar serta membimbing manusia meraih kesempurnaannya, sedangkan syahwat haiwani dan kecenderungan serta angan-angan yang panjang adalah faktor dalaman, manakala syaitan, jin serta manusia sebagai faktor luaran yang merupakan penghalang jalan manusia dalam mencapai kebahagiaan dan menjauhkannya dari jalan yang seharusnya dia lalui, namun manusia tetap harus memilih jalannya kerana keadilan Ilahi berada dalam kekuasaan mereka dan tidak ada manusia yang mampu menghindar dari persoalan ini.

Dari sini harus dikatakan bahawa seluruh alam yang wujud dengan segala nikmat dan musibahnya sebenarnya merupakan daerah ujian bagi manusia, sementara itu bala serta musibah-musibah yang menimpanya juga sebenarnya adalah nikmat dan penyebab yang memungkinkannya untuk memilih dan selanjutnya akan membimbingnya pada lompatan dan ketinggian jiwa baik di dunia maupun di akhirat, dan andainya tidak ada halangan-halangan tersebut, maka lompatan dan kenaikan ini merupakan suatu hal yang sangat mungkin diperolehi oleh manusia.

Dalam masalah ini para auliyaullah lebih banyak mendapatkan dan menanggung sulitnya bala dan musibah, kerana hal ini mereka perlu bersedia untuk mencapai ketinggian dan kemakmuran. Musibah-musibah yang datang menimpa para auliya akan menghasilkan beberapa persoalan di bawah ini:

 

1.     Memperkuat kehendak dan jiwa mereka dan memperluas lingkup eksistensinya serta memperkuat wilayah takwini dan penciptaan mereka;

2.     Mempertinggi darjat mereka di akhirat;[1]

3.     Membentuk kebencian mereka yang semakin mendalam kepada dunia dan hal-hal yang berkaitan dengannya dan memberikan kedekatan dan kecintaan yang semakin banyak kepada akhirat, dan apa yang berada di dekat-Nya akan disediakan kepada mereka;

4.     Memperbanyak tadharu' dan mengingat-Nya serta memacunya untuk mempersiapkan bekalan yang lebih banyak demi akhiratnya. Tentunya para auliya itu sendiripun menyambut musibah-musibah yang menimpanya dengan perasaan yang rela dan pandangan yang positif. Datangnya kesulitan-kesulitan ini bakal menambah keyakinan, keimanan dan kerelaan mereka, dan akan menyebabkan keinginan untuk bertemu dengan Tuhan menjadi semakin besar, kerana di balik segala ujian ini akan diikuti dengan kenaikan maqam, sedangkan usia yang pendek di dunia beserta musibah-musibah yang menyertainya sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan nikmat abadi yang terdapat di akhirat.

Jika kita memperhatikan sedikit apa yang terjadi di Karbala pada tahun 61 Hijriah maka kita akan mengetahuinya sebagai sebuah contoh yang jelas dari rasa kecintaan seperti ini.

Akan tetapi mereka yang memiliki kemampuan yang sedikit, hanya akan diuji setara dengan kemampuan mereka, jika mereka menang dalam ujian ini barulah akan menghadapi ujian-ujian selanjutnya.

Poin yang harus diperhatikan di sini adalah bahawa seluruh ujian tidak senantiasa berada dalam satu bentuk dan tingkatan. Seseorang itu kadangkala diberikan ujian dalam bentuk kefakiran sementara waktu, orang lain pula dalam bentuk kekayaan, ada yang diuji dengan musibah sebentar dan yang lain dengan kenikmatan, yang satu dengan anugerah anak manakala yang lainnya dengan ketiadaan menikmati kehadiran anak, yang satu dengan kesihatan sementara yang lainnya dengan penyakit dan barangkali yang satu dengan ilmu dan kesuksesan ilmunya sementara yang lain dengan kejayaannya dalam beribadah. Mungkin pula seorang manusia kadangkala diuji dengan hal-hal seperti ini dan kadangkala dengan bentuk yang itu atau yang lainnya, dan hal ini bergantung pada sejauh mana dia mempersiapkan diri untuk menerima ujian. Sudah tentu persiapan ini merupakan hasil dari perbuatan-perbuatan yang dilakukan sebelumnya yang boleh jadi dirinya sendiri tidak menyedari akan hal ini.

Sebenarnya musibah-musibah dan bala-bala yang ada lebih luas dari apa yang telah kami sebutkan di atas. Dan setiap manusia sentiasa berhadapan dengan hal-hal tersebut dalam bentuknya yang tersendiri dan tidak ada jalan untuk menghindarkan diri darinya.[2]

Akan tetapi sebahagian dari musibah-musibah terjadi kerana kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia atau kerana penyimpangan dan penentangan yang dilakukannya terhadap peraturan-peraturan Ilahi. Musibah seperti ini terjadi sebagai sarana untuk memberikan pelajaran supaya manusia sedar dengan kesalahan yang dilakukannya. Sudah tentu musibah jenis ini hanya akan ditemukan pada orang-orang yang tidak maksum, kerana orang-orang maksum terlepas dari segala kelalaian dan kesalahan, sehingga musibah-musibah yang menimpa mereka tidak boleh dimaknai sebagai keampunan dan penebus dosa.

Sementara itu mengenai musibah-musibah yang lainnya akan wujud dalam beberapa bentuk:

 

1.     Azab yang terputus dan yang jangka pendek muncul untuk memberikan ‘ibrah dan pelajaran kepada manusia, menghilangkan kesombongan dan takabbur serta mendorong mereka untuk berendah diri di hadapan Ilahi, mengajaknya untuk berzikir dan mengingati-Nya, ia juga berguna untuk menyempurnakan hujjah atas mereka;[3]

2.     Azab dan seksa yang bertahap adalah untuk mereka yang membangkang, degil dan tidak berkehendak melepaskan dirinya dari kesombongan dan takabbur. Kelompok ini telah lupa tentang kewujudan Tuhan, hari kiamat, kematian dan kemuliaan-kemuliaan manusia kerana tenggelam dalam kenikmatan duniawi;[4]

3.     Azab dan seksa istishal (iaitu seksa yang berkepanjangan), hal ini akan terjadi pada mereka yang berada di puncak kesombongan. Mereka akan diselimuti oleh seksa Ilahi dan sekaligus akan dimasukkan ke dalam jahannamnya alam barzakh, dan hingga kiamat pun mereka akan tetap berhubungan dan berteman akrab dengan azab ukhrawi.[5]

Bentuk pertama merupakan bahagian dari kenikmatan itu sendiri, kerana musibah seperti ini akan memberikan kesedaran, peringatan kepada manusia dan akan menjadi penjaganya di sepanjang hidupnya. Kesabaran manusia dalam menghadapi musibah-musibah seperti ini serta memperbanyak istighfar dan memohon keampunan segala dosa yang telah dilakukannya akan menyebabkan menghapusnya kejelekan-kejelekan dan keburukan-keburukannya lalu akan mengubahnya ke dalam kebaikan-kebaikan dan meninggikan darjat di sisi-Nya, demikian juga akan menjauhkannya dari kelalaian dan ketidaksedaran. Akhirnya hal ini akan melepaskannya dari kemurkaan Tuhan dan azab ukhrawi, bahkan akan mendekatkannya ke haribaan-Nya.

Akan tetapi dua bentuk azab yang lainnya merupakan azab Ilahi yang menjadi milik para perosak dan para pembuat kezaliman di dunia, meskipun secara zahiriah mereka menikmati kehidupannya di puncak kesejahteraan dan kemakmuran.

Ungkapan al-Quran mengatakan, Bahkan manusia itu mengetahui tentang keberadaan dirinya sendiri meskipun dia membuat alasan.”[6] Dan sebenarnya seseorang lebih mengetahui dirinya sendiri dari pada orang lain dalam niat dan tujuan dari amal dan perbuatan yang dilakukannya. Jika dia memandang dengan sedar dan adil serta menghindarkan diri dari mencari alasan serta membebankan segala sesuatu kepada selainnya maka dia akan mampu mengetahui keburukan dan kebaikan yang ada dalam dirinya. Dari sinilah jika sebuah musibah mendatanginya seiring dengan niat tak baiknya atau kelalaian yang dilakukannya, hal ini menunjukkan bahawa Tuhan memberikan inayah dan perhatian-Nya kepadanya dan dengan ini sebenarnya Tuhan bermaksud menyedarkannya untuk meninggalkan tujuan dan niat tidak elok tersebut, di mana jika dia bersyukur dengan nikmat yang diberikan ini (musibah dan hukuman) dan meninggalkan persoalan tidak elok tersebut, maka rahmat dan nikmat-nikmat Ilahi akan melingkupinya, manakala kebaikan-kebaikan dan ilham-ilham Ilahi akan mengusir dan menghalanginya dari jalan-jalan yang tidak layak dan dari perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji.[7] Akan tetapi jika dia tidak memberikan perhatian yang serius terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Ilahi dan menyepelekan peringatan-peringatan dan hujah-hujah Tuhan, maka Tuhan pun akan meninggalkannya dan membiarkannya seorang diri sehingga dia tidak akan lagi mendapatkan peringatan mahupun hukuman daripada-Nya, melainkan akan tenggelam dalam kesejahteraan dan kemakmuran sehingga dia akan mengambil jarak dari Tuhannya secara bertahap dan secara sempurna, akhirnya ia berhak untuk mendapatkan seksa abadi (secara bertahap).

Kesimpulannya: dunia dan kehidupan material, gemerlap sinar serta himpunan dari peristiwa-peristiwa terjadi di dalamnya merupakan ujian dan musibah Ilahi yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia supaya dengan reaksi yang benar dalam menghadapinya akan memberikan kekuatan karakter peribadi dan identiti manusia dan meningkatkan maqam insaniyahnya –jika kita mampu menanggapinya dengan benar akan mendapatkan manfaat dari persoalan-persoalan ini, dan dengan bimbingan dari para nabi kita akan memiliki reaksi dan perilaku yang benar dalam menghadapinya- sedangkan apabila terlanjur melakukan kesalahan maka, dia akan diperingatkan berkali-kali sehingga meninggalkan kedegilannya, akan tetapi jika tetap tidak berubah maka dia akan menerima azab secara terus menerus atau secara bertahap.

 

Sumber:

1.     Al-Quranul Karim.

2.     Berbagai tafsir dalam penjelasannya tentang ayat-ayat yang dimaksud yang tercantum dalam catatan kaki.

3.     Imam Khomeini, Syarh Cehel Hadits, hal. 236-246 dan hal. 589, Muasasah Tandzim wa Nasyr Atsar, Tehran, 1376.

4.     Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, Ma'arif Quran (Roh wa Rohnamo Syenosi), jil. 4-5, hal. 115-153.



[1] . Rujuklah: Ideks: Makna Wilayah, pertanyaan 128.

2. QS. Muhammad: 31, Anbiya: 35, QS. Al-Baqarah: 155, dan …

[3] . QS. Al-A'raf: 68, 90-94.

[4] . QS. Al-Mukminun: 53-56. QS. Al-A'raf: 182-183.

[5] . QS. Al-Fushilat: 16, 27 dan 50.

[6] . Qs. Al-Qiyamah: 14-15.

[7] . Qs. Al-Anfal: 26, Qs. Al-Ankabut: 69, Qs. Al-Baqarah: 282.

Terjemahan pada Bahasa Lain
Opini
Bilangan komen 0
Sila masukkan nilai
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Sila masukkan nilai
Sila masukkan nilai

Kategori

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits