Please Wait
Hits
9847
9847
Tanggal Dimuat:
2014/02/19
Ringkasan Pertanyaan
Apakah sebagian dari bulan-bulan dan hari-hari seperti bulan Shafar dan hari Rabu adalah hari yang nahas?
Pertanyaan
Sebagian masyarakat menyandarkan kepada Ahlulbait As bahwa bulan Shafar dan hari Rabu adalah bulan-bulan dan hari-hari yang nahas dimana akan turun bala dan malapetaka pada masyarakat. Untuk menghilangkan bencana ini tidak ada cara lain kecuali dengan bersedekah dan setiap orang harus dengan 7 potongan (atau 7 kali) bersedekah dengan uang tunai. Permasalahan lainnya adalah mereka berkata bahwa terdapat salat khusus yang dikerjakan pada hari Rabu terakhir bulan Shafar dan mereka berkeyakinan bahwa melakukan salat itu akan menyebabkan tertolaknya bala dan petaka hingga bulan Shafar tahun berikutnya. Apakah perkataan ini benar?
Jawaban Global
Kenahasan hari atau waktu-waktu tertentu maksudnya adalah bahwa pada waktu itu tidak ada kejadian lain selain kenahasan dan malapetaka, dan aktivitas-aktivitas manusia atau minimal bentuk khusus dari amalan itu tidak membawa kebaikan bagi pelaku amalnya, dan kebahagian hari itu atau bagian dari waktu itu justru berkebalikan dengan hal ini.
Dalam timbangan akal, kenahasan hari-hari tertentu atau waktu-waktu tertentu tidak dapat ditetapkan dengan argumen-argumen rasional atas karena esensi dan hakikat waktu dari sisi lamanya adalah sebuah esensi yang terdiri dari bagian-bagian yang sama dan satu hal yang tidak berbeda. Oleh itu, dari sisi waktu itu sendiri, tidak ada bedanya antara suatu hari dengan hari yang lainnya sehingga salah satu hari merupakan hari bahagia dan yang lainnya adalah hari yang nahas.
Menurut timbangan syar’i, ayat-ayat al-Quran menyebutkan hari-hari nahas dan dan juga menyinggung tentang malam qadar sebagai malam-malam bahagia dan diberkati. Terdapat pula tentang riwayat-riwayat yang berkenaan dengan hari-hari bahagia dan nahas. Namun dengan memperhatikan riwayat-riwayat yang lain, kenahasan atau kebahagiaan suatu hari itu bukan merupakan sifat asli dan esensi dari hari-hari itu sendiri. Hari dan waktu tidak mempunyai peranan secara mandiri dalam menahaskan atau membahagiakan namun kenahasan dan kebahagiaan itu karena terjadinya bencana yang terjadi pada hari itu seperti terbunuhnya Habil oleh Qabil, turunnya azab atas kaum tertentu atau karena perbuatan tercela dan dosa-dosa yang dilakukan manusia.
Demikian juga, memperhatikan adanya kebahagiaan dan kenahasan hari-hari tertentu, menjadi alasan untuk menaruh perhatian kepada Allah Swt dan mengharap pertolongan-Nya. Oleh itu, cerita-cerita masyarakat berdasarkan kejadian-kejadian ini, demi untuk menghilangkan kenahasan ini, sebagian orang-orang disarankan untuk mengerjakan amalan-amalan seperti: berlindung kepada Allah Swt, memberi sedekah, berdoa, membaca al-Quran dan lainnya. Kami tidak menemukan bahwa semua bulan Safar merupakan waktu-waktu yang nahas dan kenahasan hari Rabu tidak khusus pada bulan Shafar, tapi ada pada semua bulan-bulan yang ada, selain bulan Shafar.
Dalam timbangan akal, kenahasan hari-hari tertentu atau waktu-waktu tertentu tidak dapat ditetapkan dengan argumen-argumen rasional atas karena esensi dan hakikat waktu dari sisi lamanya adalah sebuah esensi yang terdiri dari bagian-bagian yang sama dan satu hal yang tidak berbeda. Oleh itu, dari sisi waktu itu sendiri, tidak ada bedanya antara suatu hari dengan hari yang lainnya sehingga salah satu hari merupakan hari bahagia dan yang lainnya adalah hari yang nahas.
Menurut timbangan syar’i, ayat-ayat al-Quran menyebutkan hari-hari nahas dan dan juga menyinggung tentang malam qadar sebagai malam-malam bahagia dan diberkati. Terdapat pula tentang riwayat-riwayat yang berkenaan dengan hari-hari bahagia dan nahas. Namun dengan memperhatikan riwayat-riwayat yang lain, kenahasan atau kebahagiaan suatu hari itu bukan merupakan sifat asli dan esensi dari hari-hari itu sendiri. Hari dan waktu tidak mempunyai peranan secara mandiri dalam menahaskan atau membahagiakan namun kenahasan dan kebahagiaan itu karena terjadinya bencana yang terjadi pada hari itu seperti terbunuhnya Habil oleh Qabil, turunnya azab atas kaum tertentu atau karena perbuatan tercela dan dosa-dosa yang dilakukan manusia.
Demikian juga, memperhatikan adanya kebahagiaan dan kenahasan hari-hari tertentu, menjadi alasan untuk menaruh perhatian kepada Allah Swt dan mengharap pertolongan-Nya. Oleh itu, cerita-cerita masyarakat berdasarkan kejadian-kejadian ini, demi untuk menghilangkan kenahasan ini, sebagian orang-orang disarankan untuk mengerjakan amalan-amalan seperti: berlindung kepada Allah Swt, memberi sedekah, berdoa, membaca al-Quran dan lainnya. Kami tidak menemukan bahwa semua bulan Safar merupakan waktu-waktu yang nahas dan kenahasan hari Rabu tidak khusus pada bulan Shafar, tapi ada pada semua bulan-bulan yang ada, selain bulan Shafar.
Jawaban Detil
Di tengah masyarakat dikenal ada hari-hari yang mujur, di samping itu terdapat pula hari-hari nahas seperti bulan Shafar dan hari Rabu. Titik bahasan yang harus dikaji di sini adalah apakah makna hari nahas itu? Apakah keyakinan umum ini bersumber dari Islam? Apakah Islam menerima keyakinan seperti itu? Untuk memperoleh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini kami akan uraikan beberapa pembahasan berikut ini:
Arti Mujur dan Nahas pada Hari-hari
Nahas berarti warna merah yang kental pada ufuk yang berbentuk “nuhas” yaitu kobaran api kosong dari asap. Nahas kemudian berkembang menjadi makna malang dan celaka.[1]
Menurut istilah ayat dan riwayat, kenahasan hari dan waktu adalah bahwa pada waktu tertentu itu hanya terjadi peristiwa yang nahas dan amalan serta pekerjaan manusia pada waktu dan hari itu tidak akan membuahkan hasil yang baik.[2]
Kemujuran atau Kenahasan Hari dari Tinjauan Akal dan Syara’
Dalam timbangan akal, kenahasan hari-hari tertentu atau waktu-waktu tertentu tidak dapat ditetapkan dengan argumen-argumen rasional atas karena esensi dan hakikat waktu dari sisi lamanya adalah sebuah esensi yang terdiri dari bagian-bagian yang sama dan satu hal yang tidak berbeda. Oleh itu, dari sisi waktu itu sendiri, tidak ada bedanya antara suatu hari dengan hari yang lainnya sehingga salah satu hari merupakan hari bahagia dan yang lainnya adalah hari yang nahas.[3]
Namun dari sisi lain, terdapat beberapa faktor dan sebab-sebab yang berpengaruh dalam melahirkan suatu kejadian yang berada di luar cakupan ilmu atau informasi kita dan kita tidak mampu untuk mengindentifikasi sebab-sebab itu sehingga dapat mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan pada waktu itu dan apakah hari dan waktu itu merupakan hari yang nahas ataukah merupakan hari yang baik dan mujur.
Atas dasar itu, pengalaman manusia tidak mencukupi untuk menjadi jalan keluar bagi hal itu karena pengalaman manusia hanya akan bermanfaat ketika manusia mengetahui bahwa waktu itu terpisah dari sebab-sebab sehingga kita mampu mengidentifikasi bahwa A (akibat) adalah sebab dari B. Sementara tidak ada zaman yang terpisah dari sebab dan sebab itu sendiri juga tidak diketahui manusia.
Dengan demikian, dari sisi ini kemujuran atau kenahasan hari-hari dan waktu-waktu tertentu tidak dapat diingkari. Kemujuran atau kenahasan hari-hari juga tidak dapat diketahui dengan mudah melalui dalil-dalil akal, sebagaimana pembuktian akan tiadanya kenahasan dan kemujuran adalah sulit, meski sebuah kesulitan itu tidak bermakna mustahil.[4]
Menurut timbangan syar’i, terdapat ayat-ayat al-Quran yang menyebutkan hari-hari nahas. Allah Swt berfirman:
«إِنَّا أَرْسَلْنا عَلَيْهِمْ رِيحاً صَرْصَراً فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ»
Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang nan dingin pada hari nahas yang terus menerus. (Qs. al-Qamar [54]:19)
«فَأَرْسَلْنا عَلَيْهِمْ رِيحاً صَرْصَراً فِي أَيَّامٍ نَحِساتٍ»
“Maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh dan dingin kepada mereka dalam beberapa hari yang nahas.” (Qs. Fusshilat [41]:16)
Walaupun dari sisi konteks kedua ayat ini mengisahkan tentang cerita kaum Ad namun dapat diketahui bahwa kedua ayat itu berkaitan dengan kenahasan yang berhubungan dengan hari pada waktu itu dimana angin bertiup secara kencang dan terus menerus. Ayat ini tidak mengisyaratkan akan terulangnya peristiwa itu dengan pergantian dan berulangnya periode dalam pergantian dan perputaran waktu. Dan jika tidak maka semua waktu merupakan waktu yang nahas, tanpa memperhatikan perputaran bulan-bulan atau tahun-tahun.[5]
Sebagai bandingan dari hari-hari nahas ini, al-Quran mengisyaratkan adanya hari-hari yang membahagiakan (tidak secara lugas):
«وَ الْكِتابِ الْمُبِينِ إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ»
“Kami menurunkannya pada malam yang diberkati.” (Qs al-Dukhan [44]:3)
Arti dari “malam itu adalah malam qadr. Allah Swt dalam menjelaskan malam qadar berfirman:
«لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ»
“Lailatul Qadr lebih baik daripada seribu malam.” (Qs. al-Qadr [97]:3)
Jelas bahwa terberkatinya malam itu dan keberkahannya karena malam itu terkait dengan peristiwa besar dan penting dari sisi perhatian dan emanasi faiz Ilahi. Malam qadr memiliki pengaruh-pengaruh spiritual seperti qadha yang pasti, turunnya ruh (malaikat jibril) dan kesejahteraan malam itu. Oleh itu, kembalinya makna mubarak dan kebahagian pada malam itu adalah karena ibadah yang dilakukan pada malam itu. Ibadah pada malam itu memiliki fadhilah dan pahala yang tinggi serta tidak dapat dibandingkan dengan malam-malam selainnya. Pada malam itu, perhatian Ilahi sedemikian dekat bagi para hamba-Nya yang menghidupkan amalan pada malam itu.[6]
Terdapat banyak riwayat tentang kebahagiaan dan kenahasan hari-hari pada satu pekan, bulan-bulan Hijriah, bulan-bulan Persia dan Romawi sebagaimana yang disebutkan dalam Jawāmi’ Hadis.[7] Kebanyakan hadis-hadis ini lemah karena bersifat mursal atau tanpa sanad atau sebagian darinya tidak memiliki sanad, walaupun sebagiannya mempunyai sanad muktabar dan dapat dipercaya sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli tafsir dalam menafsirkan ayat di atas dengan menaruh perhatian dan memaknai sebagian hadis tersebut.[8]
Hari-hari Nahas dalam Riwayat
Sebagian riwayat memperkenalkan hari-hari tertentu sebagai hari nahas, seperti:
Arti Mujur dan Nahas pada Hari-hari
Nahas berarti warna merah yang kental pada ufuk yang berbentuk “nuhas” yaitu kobaran api kosong dari asap. Nahas kemudian berkembang menjadi makna malang dan celaka.[1]
Menurut istilah ayat dan riwayat, kenahasan hari dan waktu adalah bahwa pada waktu tertentu itu hanya terjadi peristiwa yang nahas dan amalan serta pekerjaan manusia pada waktu dan hari itu tidak akan membuahkan hasil yang baik.[2]
Kemujuran atau Kenahasan Hari dari Tinjauan Akal dan Syara’
Dalam timbangan akal, kenahasan hari-hari tertentu atau waktu-waktu tertentu tidak dapat ditetapkan dengan argumen-argumen rasional atas karena esensi dan hakikat waktu dari sisi lamanya adalah sebuah esensi yang terdiri dari bagian-bagian yang sama dan satu hal yang tidak berbeda. Oleh itu, dari sisi waktu itu sendiri, tidak ada bedanya antara suatu hari dengan hari yang lainnya sehingga salah satu hari merupakan hari bahagia dan yang lainnya adalah hari yang nahas.[3]
Namun dari sisi lain, terdapat beberapa faktor dan sebab-sebab yang berpengaruh dalam melahirkan suatu kejadian yang berada di luar cakupan ilmu atau informasi kita dan kita tidak mampu untuk mengindentifikasi sebab-sebab itu sehingga dapat mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan pada waktu itu dan apakah hari dan waktu itu merupakan hari yang nahas ataukah merupakan hari yang baik dan mujur.
Atas dasar itu, pengalaman manusia tidak mencukupi untuk menjadi jalan keluar bagi hal itu karena pengalaman manusia hanya akan bermanfaat ketika manusia mengetahui bahwa waktu itu terpisah dari sebab-sebab sehingga kita mampu mengidentifikasi bahwa A (akibat) adalah sebab dari B. Sementara tidak ada zaman yang terpisah dari sebab dan sebab itu sendiri juga tidak diketahui manusia.
Dengan demikian, dari sisi ini kemujuran atau kenahasan hari-hari dan waktu-waktu tertentu tidak dapat diingkari. Kemujuran atau kenahasan hari-hari juga tidak dapat diketahui dengan mudah melalui dalil-dalil akal, sebagaimana pembuktian akan tiadanya kenahasan dan kemujuran adalah sulit, meski sebuah kesulitan itu tidak bermakna mustahil.[4]
Menurut timbangan syar’i, terdapat ayat-ayat al-Quran yang menyebutkan hari-hari nahas. Allah Swt berfirman:
«إِنَّا أَرْسَلْنا عَلَيْهِمْ رِيحاً صَرْصَراً فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ»
Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang sangat kencang nan dingin pada hari nahas yang terus menerus. (Qs. al-Qamar [54]:19)
«فَأَرْسَلْنا عَلَيْهِمْ رِيحاً صَرْصَراً فِي أَيَّامٍ نَحِساتٍ»
“Maka Kami meniupkan angin yang amat gemuruh dan dingin kepada mereka dalam beberapa hari yang nahas.” (Qs. Fusshilat [41]:16)
Walaupun dari sisi konteks kedua ayat ini mengisahkan tentang cerita kaum Ad namun dapat diketahui bahwa kedua ayat itu berkaitan dengan kenahasan yang berhubungan dengan hari pada waktu itu dimana angin bertiup secara kencang dan terus menerus. Ayat ini tidak mengisyaratkan akan terulangnya peristiwa itu dengan pergantian dan berulangnya periode dalam pergantian dan perputaran waktu. Dan jika tidak maka semua waktu merupakan waktu yang nahas, tanpa memperhatikan perputaran bulan-bulan atau tahun-tahun.[5]
Sebagai bandingan dari hari-hari nahas ini, al-Quran mengisyaratkan adanya hari-hari yang membahagiakan (tidak secara lugas):
«وَ الْكِتابِ الْمُبِينِ إِنَّا أَنْزَلْناهُ فِي لَيْلَةٍ مُبارَكَةٍ»
“Kami menurunkannya pada malam yang diberkati.” (Qs al-Dukhan [44]:3)
Arti dari “malam itu adalah malam qadr. Allah Swt dalam menjelaskan malam qadar berfirman:
«لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ»
“Lailatul Qadr lebih baik daripada seribu malam.” (Qs. al-Qadr [97]:3)
Jelas bahwa terberkatinya malam itu dan keberkahannya karena malam itu terkait dengan peristiwa besar dan penting dari sisi perhatian dan emanasi faiz Ilahi. Malam qadr memiliki pengaruh-pengaruh spiritual seperti qadha yang pasti, turunnya ruh (malaikat jibril) dan kesejahteraan malam itu. Oleh itu, kembalinya makna mubarak dan kebahagian pada malam itu adalah karena ibadah yang dilakukan pada malam itu. Ibadah pada malam itu memiliki fadhilah dan pahala yang tinggi serta tidak dapat dibandingkan dengan malam-malam selainnya. Pada malam itu, perhatian Ilahi sedemikian dekat bagi para hamba-Nya yang menghidupkan amalan pada malam itu.[6]
Terdapat banyak riwayat tentang kebahagiaan dan kenahasan hari-hari pada satu pekan, bulan-bulan Hijriah, bulan-bulan Persia dan Romawi sebagaimana yang disebutkan dalam Jawāmi’ Hadis.[7] Kebanyakan hadis-hadis ini lemah karena bersifat mursal atau tanpa sanad atau sebagian darinya tidak memiliki sanad, walaupun sebagiannya mempunyai sanad muktabar dan dapat dipercaya sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli tafsir dalam menafsirkan ayat di atas dengan menaruh perhatian dan memaknai sebagian hadis tersebut.[8]
Hari-hari Nahas dalam Riwayat
Sebagian riwayat memperkenalkan hari-hari tertentu sebagai hari nahas, seperti:
- Riwayat dari Imam Hasan Askari yang menyatakan bahwa: “Dalam setiap bulan-bulan Hijriah, ketika hari nahas tiba maka tidak boleh mengerjakan sesuatu kecuali mengasingkan diri, beribadah, dan berpuasa. Hari-hari itu meliputi: 22 Muharram, 10 Shafar, 4 Rabiul Awwal, 28 Rabi’ al-Tsani dan Jumadil Awwal, 12 Jumadi al-Tsani dan Rajab, 16 Sya’ban, 24 bulan Ramadhan, 2 Syawwal, 28 Dzul Qa’dah, 28 Dzul Qa’dah, 8 Dzul Hijjah.” [9] Riwayat ini merupakan riwayat yang mursal (sanad hadisnya terputus) dan tidak memiliki sanad. Berdasarkan penelitian, hari nahas hanya jatuh pada hari 10 bulan Shafar itu pun sifatnya mursal. Namun dengan memperhatikan penjelasan yang akan diuraikan, kita akan dapat memahami riwayat ini dan mengambil kesimpulan dari riwayat ini secara benar.
- Terkait dengan ayat
«إِنَّا أَرْسَلْنا عَلَيْهِمْ رِيحاً صَرْصَراً فِي يَوْمِ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ»
Terdapat sebuah kemungkinan tanpa sanad bahwa hari nahas yang berkelanjutan secara terus menerus adalah hari Rabu terakhir bulan Shafar.[10] Padahal ayat-ayat yang berkaitan dengan ayat ini baik dari Syiah maupun Sunni adalah hari Rabu secara mutlak yaitu hari Rabu setiap bulan, bukan khusus pada hari Rabu terakhir bulan Shafar[11] seperti:
Imam Ali As bersabda, “Hari Rabu adalah hari nahas secara terus menerus karena pada hari itu diciptakan neraka.”[12] Imam Shadiq As bersabda, “Hari Rabu adalah hari yang nahas, hari nahas yang berkelanjutan karena hari itu merupaan hari pertama dan terakhir ketika Allah Swt berfirman,
«سَخَّرَها عَلَیهِمْ سَبْعَ لَیالٍ وَ ثَمانِیةَ أَیامٍ حُسُوماً»
“Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus.” (Qs Al-Haqqah [69]:7)[13]
Ibnu Abi Khatam dari Zar bin Habis meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan “Fi yaumi nahsin mustamirrin” adalah hari Rabu.[14] Demikian juga sesuai dengan riwayat yang berasal dari Abbas, Rabu terakhir pada semua bulan adalah hari nahas.[15]
Allamah Majlisi mengenai kenahasan hari Rabu terakhir pada bulan Shafar yang telah masyhur diantara masyarakat berkata, Kami tidak menemukan riwayat yang mengatakan hal demikian, kecuali riwayat itu bersifat umum tentang kenahasan hari Rabu terakhir pada setiap bulan, termasuk bulan Shafar juga.[16]
Namun riwayat yang bermakna tentang kemujuran hari-hari dalam suatu pekan atau selainnya, alasan mereka juga seperti alasan yang pertama. Karena terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan pada hari yang nahas itu, maka pada hari-hari bahagia dan mulia juga terjadi peristiwa-peristiwa yang menyenangkan dan diberkahi. Peristiwa-peristiwa yang menurut pandangan agama merupakan peritiwa penting dan besar seperti kelahiran Rasulullah Saw dan bi’tsahnya, demikian juga adanya riwayat tentang berdoanya Nabi pada hari itu dan berkata, “Tuhanku, jadikan keberkahan pada hari Sabtu dan Kamis semenjak pagi bagi umatku.”[17] Imam Shadiq As bersabda, “Allah Swt melunakkan besi bagi Daud pada hari Selasa.”[18]
Penjelasan mengenai Kebahagiaan dan Kenahasan Hari-hari
Mengenai sekelompok riwayat dari riwayat-riwayat ini harus memperhatikan poin-poin tertentu sehingga kita akan memperoleh pemahaman yang benar mengenai riwayat-riwayat ini:
Pertama, Pada ayat dan riwayat-riwayat itu sebab kenahasan dan kebahagiaan hari-hari disebutkan, yaitu dikatakan bahwa pada hari-hari itu kejadian-kejadian tidak menyenangkan terjadi secara terus menerus. Kejadian-kejadian ini dilihat dari sisi agama sangat mengerikan seperti terbunuhnya Habil oleh saudaranya, Qabil[19], turunnya azab pada fulan umat, terciptanya neraka jahannam dan lainnya. Demikian juga pada hari-hari keberkahan dan kebahagiaan terjadi peristiwa-peristiwa yang membahagiakan.
Kedua, Riwayat ini tidak mengimplikasikan bahwa kebahagiaan dan kenahasan karena kejadian-kejadian yang ada kaitannya dengan kejadian-kejadian agama karena sebab keberagamaan atau karena pengaruh keadaan hati atau karena pada hari tertentu terjadi kejadian-kejadian yang baik atau buruk sehingga menyebabkan keburukan atau kejelekan hari-hari itu. Namun hari itu sendiri atau sebagian dari waktu itu merupakan zaman yang memiliki kemuliaan dan keberkahan atau kejelekan dan kenahasan. Hari dan sebagian waktu secara takwini memiliki kekhususan tertentu dan tidak memiliki kekhususan yang lainnya. Dalam setiap riwayat yang bertentangan dengan apa yang kita katakan, maka kita menilainya sebagai riwayat yang disampaikan dalam kondisi taqiyah atau menolak secara keseluruhan atas riwayat itu.[20]
Pada riwayat yang lain juga dikatakan bahwa pada hakikatnya, hari-hari itu tidak nahas dan melarang manusia untuk meyakini akidah itu, dan sebagian masalah yang menimpa manusia adalah karena pekerjaan-pekerjaan buruk dan perbuatan-perbuatan dosa mereka, sebagaimana dalam sebuah hadis dari Imam Hasan Askari ketika ia bersabda kepada sahabatnya, “Apakah kesalahan hari-hari itu sehingga kamu menganggapnya sebagai hari yang nahas ketika balasan pekerjaanmu pada hari-hari itu menjerat Anda?
Perawi berkata: “Wahai putra Rasul! Aku selalu beristighfar demi memohon ampun atas dosa-dosaku dan inilah taubat yang Aku lakukan.”
Imam bersabda, “Hal ini tidak berguna bagi kamu, Allah akan menyiksa engkau atas celaanmu terhadap sesuatu yang tidak tercela. Apakah kamu tidak tahu bahwa Tuhan akan memberi pahala dan siksa di dunia ini dan di akhirat. Jangan lagi mengulang amalan ini (hakekat kesialan atau keberkahan suatu hari) dan janganlah memberikan perbedaan pengaruhnya suatu hari dari hukum-hukum Tuhan.”[21]
Hadis yang penuh makna ini mengisyaratkan bahwa apabila hari-hari itu mempunyai pengaruh, sesuai dengan perintah Tuhan, maka hal itu tidak boleh diketahui sebagai sebab-sebab yang terpisah dan kemudian manusia tidak lagi membutuhkan kasih sayang-Nya. Jangan mengubungkan peristiwa yang biasanya mempunyai sisi kaffarah atas amal yang salah dengan pengaruh hari-hari, kemudian ia sendiri membebaskan dirinya dari hal ini. Penjelasan ini merupakan cara terbaik untuk menyatukan hadis-hadis yang ada tentang masalah ini.[22]
Ketiga, Terdapat pula kemungkinan bahwa apa yang telah dipaparkan di atas, yaitu bahwa sebagian riwayat ini adalah benar, tapi tentu saja tidak semua riwayat itu salah karena sebagian dari riwayat-riwayat itu memiliki pengaruh misterius pada sebagian hari-hari yang ada kalanya tidak kita ketahui.[23]
Keempat, Sebagian orang, sangat berlebihan dalam melihat masalah hari-hari berkah dan nahas sehingga jika mereka ingin mengerjakan sesuatu maka ia akan melihat kebahagiaan atau kenahasan hari-hari itu. Jika demikian, tentu saja sangat banyak aktivitas-aktivitas kehidupannya yang tidak dapat dikerjakan dan kesempatan-kesempatan emas dalam kehidupannya akan hilang. Atau bukannya ia mempelajari hal-hal yang mendatangkan kemenangan atau kekalahannya dan mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain dalam menjalani kehidupannya, namun ia justru menimpakan kesalahan itu terhadap hari-hari kenahasan itu, sebagaimana rahasia kemenangan itu jika berbuat baik pada hari-hari yang mujur! Hal ini merupakan bentuk-bentuk pelarian dari kenyataan. Manusia harus menghindari sikap berlebihan dalam menghadapi suatu masalah dan masalah takhayul dalam kehidupannya serta tidak boleh mendengarkan rumor yang berkembang di masyarakat. Apabila dalam hadis ini telah terbukti sesuatu, maka kita harus menerima hal itu dan jika tidak, kita tidak boleh mempedulikan perkataan ini dan itu, dan harus menjalani kehidupan kita, dengan melangkah dengan usaha giat, tekun, tawakal kepada Allah Swt dan mengharap rahmat, kasih sayang dan pertolongan-Nya.[24]
Kelima, Penghitungan hari-hari nahas akan memperkuat keimanan. Ketika seseorang tidak mempedulikan akan sebab-sebab dan kejadian-kejadian yang dijelaskan dalam riwayat ini, seseorang tidak akan memperhatikan tentang kenikmatan-kenikmatan materi sehingga ketakwaannya akan semakin kuat dan sebaliknya, jika masyarakat tidak menaruh penghormatan terhadap waktu-waktu tertentu seperti bulan Muharram dan bulan Shafar, tidak memperhatikan dan mempedulikan kejadian-kejadian yang terjadi, dan hanya mengikuti hawa nafsunya saja, tanpa memperhatikan bahwa hari ini dan hari kemarin hari apa dan tidak sedikit pun peduli tentang hari apakah sekarang ini, maka masyarakat ini telah berpaling dari kebenaran dan dengan mudah masyarakat ini melanggar kesaklaran ajaran agama.
Oleh itu, penilaian kenahasan pada sebagian hari-hari dari sisi kemalangan maknawi yang bersumber dari sebab-sebab non hakiki dan tidak real dan pengabaian sebab-sebab itu merupakan sebuah bentuk kezaliman terhadap agama.[25]
Oleh itu, perhatian terhadap persoalan kebahagiaan dan kenahasan suatu hari, disamping manusia pada umumnya akan memperoleh informasi dari serangkaian peristiwa sejarah, juga merupakan sarana untuk bertawassul dan memberi perhatian kepada Allah Swt serta memohon pertolongan dari-Nya.
Dengan demikian kita harus memperhatikan apa yang berkembang di tengah masyarakat tentang hakikat ini dan mencari solusi atas masalah ini. Untuk menghilangkan kenahasan pada hari-hari tertentu harus berlindung kepada Allah Swt dengan cara berpuasa, berdoa, membaca al-Quran, bersedekah atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain semacam ini. Pada kesempatan ini, kami akan mencukupkan dengan menukilkan satu riwayat.
Sahl bin Ya’qub (Abu Nawas) berkata: Aku bertanya kepada Imam Hasan Askari, Wahai tuanku! Pada kebanyakan waktu-waktu ini karena kesialan-kesialan yang aku hadapi dan untuk menghilangkan ketakutan yang dihadapi manusia pada hari-hari ini, kami harus bagaimana karena kenahasan ini mencegah manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkan? Mohon sekiranya Tuan memberi tahu saya akan segala sesuatu yang harus saya lakukan untuk mengatasi masalah ini, karena kadang-kadang ada keperluan yang mendesak yang harus dicari solusinya sesegera mungkin dan bagaimana mereka harus bertindak ketika kenahasan itu menimpa manusia?
Imam Askari As bersabda, “Wahai Sahl! Para Syiah kami, memiliki wilayah yang ada di dalam hati mereka sebagai penjaga. Apabila berada di dalam kedalaman laut-laut yang tak bertepi atau di tengah-tengah padang pasir tidak bertepi atau di antara hewan buas atau penyandra dan musuh-musuh baik dari kalangan jin maupun manusia maka akan aman dari bahaya karena mereka mempunyai wilayah kami di hati mereka. Oleh itu selamat bagimu karena telah percaya kepada Allah Swt dan telah memurnikan keberwilayahanmu kepada para Imam, kemudian pergilah kemana engkau suka dan kerjakan semua yang engkau inginkan serta capailah tujuan kemana saja yang engkau mau. Wahai Sahal! Apabila pada dini hari, doa ini engkau baca sebanyak 3 kali:
«أَصْبَحْتُ اللَّهُمَّ مُعْتَصِماً بِذِمَامِكَ الْمَنِيعِ الَّذِي لَا يُطَاوَلُ وَ لَا يُحَاوَلُ مِنْ شَرِّ كُلِّ غَاشِمٍ وَ طَارِقٍ مِنْ سَائِرِ مَنْ خَلَقْتَ وَ مَا خَلَقْتَ مِنْ خَلْقِكَ الصَّامِتِ وَ النَّاطِقِ فِي جُنَّةٍ مِنْ كُلِّ مَخُوفٍ بِلِبَاسٍ سَابِغَةٍ وَلَاءِ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّكَ ع مُحْتَجِباً مِنْ كُلِّ قَاصِدٍ لِي إِلَى أَذِيَّةٍ بِجِدَارٍ حَصِينٍ الْإِخْلَاصِ فِي الِاعْتِرَافِ بِحَقِّهِمْ وَ التَّمَسُّكِ بِحَبْلِهِمْ جَمِيعاً مُوقِناً بِأَنَّ الْحَقَّ لَهُمْ وَ مَعَهُمْ وَ فِيهِمْ وَ بِهِمْ أُوَالِي مَنْ وَالَوْا وَ أُجَانِبُ مَنْ جَانَبُوا وَ أُحَارِبُ مَنْ حَارَبُوا وَ صَلِّ اللَّهُمَّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ وَ أَعِذْنِي اللَّهُمَّ بِهِمْ مِنْ شَرِّ كُلِّ مَا أَتَّقِيهِ يَا عَظِيمُ يَا عَظِيمُ حَجَزْتُ الْأَعَادِيَ عَنِّي بِبَدِيعِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ إِنَّا جَعَلْنا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَ مِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْناهُمْ فَهُمْ لا يُبْصِرُون»
Kemudian membaca doa ini sejumlah 3 kali pula:
«جَعَلْتُ فِي حِصْنٍ مِنْ مَخَاوِفِكَ وَ أَمْنٍ مِنْ مَحْذُورِك».
Apabila menginginkan bepergian atau melakukan pekerjaan yang tidak disukai pada suatu hari tertentu, maka bacalah surah al-Fatihah dan mu’awwadzatain (surah al-Falaq dan surah al-Nas), surah al-Ikhlas, Ayat kursi, 5 ayat pertama Surah Ali Imran. Kemudian bacalah:
«اللَّهُمَّ بِكَ يَصُولُ الصَّائِلُ وَ بِقُدْرَتِكَ يَطُولُ الطَّائِلُ وَ لَا حَوْلَ لِكُلِّ ذِي حَوْلٍ إِلَّا بِكَ وَ لَا قُوَّةَ يَمْتَازُهَا ذُو قُوَّةٍ إِلَّا مِنْكَ أَسْأَلُكَ بِصَفْوَتِك مِنْ خَلْقِكَ وَ خِيَرَتِكَ مِنْ بَرِيَّتِكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّكَ وَ عِتْرَتِهِ وَ سُلَالَتِهِ عَلَيْهِ وَ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ وَ صَلِّ عَلَيْهِمْ وَ اكْفِنِي شَرَّ هَذَا الْيَوْمِ وَ ضَرَّهُ وَ ارْزُقْنِي خَيْرَهُ وَ يُمْنَهُ وَ اقْضِ لِي فِي مُتَصَرَّفَاتِي بِحُسْنِ الْعَاقِبَةِ وَ بُلُوغِ الْمَحَبَّةِ وَ الظَّفَرِ بِالْأُمْنِيَّةِ وَ كِفَايَةِ الطَّاغِيَةِ الْغَوِيَّةِ وَ كُلِّ ذِي قُدْرَةٍ لِي عَلَى أَذِيَّةٍ حَتَّى أَكُونَ فِي جُنَّةٍ وَ عِصْمَةٍ مِنْ كُلِّ بَلَاءٍ وَ نَقِمَةٍ وَ أَبْدِلْنِي مِنَ الْمَخَاوِفِ فِيهِ أَمْناً وَ مِنَ الْعَوَائِقِ فِيهِ يُسْراً حَتَّى لَا يَصُدَّنِي صَادٌّ عَنِ الْمُرَادِ وَ لَا يَحُلَّ بِي طَارِقٌ مِنْ أَذَى الْعِبَادِ إِنَّكَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَ الْأُمُورُ إِلَيْكَ تَصِيرُ يَا مَنْ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير».
Kesimpulan
Apa yang dapat disimpulkan dari uraian di atas adalah pertama, kami tidak menemukan bahwa semua bulan Shafar dianggap sebagai bulan yang nahas. Kedua, kenahasan hari Rabu tidak terkhusus pada bulan Shafar saja, namun pada semua bulan-bulan yang lain. Ketiga, sebagaimana yang sudah dikatakan, tidak dapat diingkari sebagian kenahasan dari hari-hari tertentu, tapi bagaimanapun, terdapat cara-cara untuk menangkal efek buruk dari kenahasan hari-hari itu seperti doa, sedekah dan lain sebagainya. [iQuest]
Terdapat sebuah kemungkinan tanpa sanad bahwa hari nahas yang berkelanjutan secara terus menerus adalah hari Rabu terakhir bulan Shafar.[10] Padahal ayat-ayat yang berkaitan dengan ayat ini baik dari Syiah maupun Sunni adalah hari Rabu secara mutlak yaitu hari Rabu setiap bulan, bukan khusus pada hari Rabu terakhir bulan Shafar[11] seperti:
Imam Ali As bersabda, “Hari Rabu adalah hari nahas secara terus menerus karena pada hari itu diciptakan neraka.”[12] Imam Shadiq As bersabda, “Hari Rabu adalah hari yang nahas, hari nahas yang berkelanjutan karena hari itu merupaan hari pertama dan terakhir ketika Allah Swt berfirman,
«سَخَّرَها عَلَیهِمْ سَبْعَ لَیالٍ وَ ثَمانِیةَ أَیامٍ حُسُوماً»
“Yang Allah menimpakan angin itu kepada mereka selama tujuh malam dan delapan hari terus menerus.” (Qs Al-Haqqah [69]:7)[13]
Ibnu Abi Khatam dari Zar bin Habis meriwayatkan bahwa yang dimaksud dengan “Fi yaumi nahsin mustamirrin” adalah hari Rabu.[14] Demikian juga sesuai dengan riwayat yang berasal dari Abbas, Rabu terakhir pada semua bulan adalah hari nahas.[15]
Allamah Majlisi mengenai kenahasan hari Rabu terakhir pada bulan Shafar yang telah masyhur diantara masyarakat berkata, Kami tidak menemukan riwayat yang mengatakan hal demikian, kecuali riwayat itu bersifat umum tentang kenahasan hari Rabu terakhir pada setiap bulan, termasuk bulan Shafar juga.[16]
Namun riwayat yang bermakna tentang kemujuran hari-hari dalam suatu pekan atau selainnya, alasan mereka juga seperti alasan yang pertama. Karena terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan pada hari yang nahas itu, maka pada hari-hari bahagia dan mulia juga terjadi peristiwa-peristiwa yang menyenangkan dan diberkahi. Peristiwa-peristiwa yang menurut pandangan agama merupakan peritiwa penting dan besar seperti kelahiran Rasulullah Saw dan bi’tsahnya, demikian juga adanya riwayat tentang berdoanya Nabi pada hari itu dan berkata, “Tuhanku, jadikan keberkahan pada hari Sabtu dan Kamis semenjak pagi bagi umatku.”[17] Imam Shadiq As bersabda, “Allah Swt melunakkan besi bagi Daud pada hari Selasa.”[18]
Penjelasan mengenai Kebahagiaan dan Kenahasan Hari-hari
Mengenai sekelompok riwayat dari riwayat-riwayat ini harus memperhatikan poin-poin tertentu sehingga kita akan memperoleh pemahaman yang benar mengenai riwayat-riwayat ini:
Pertama, Pada ayat dan riwayat-riwayat itu sebab kenahasan dan kebahagiaan hari-hari disebutkan, yaitu dikatakan bahwa pada hari-hari itu kejadian-kejadian tidak menyenangkan terjadi secara terus menerus. Kejadian-kejadian ini dilihat dari sisi agama sangat mengerikan seperti terbunuhnya Habil oleh saudaranya, Qabil[19], turunnya azab pada fulan umat, terciptanya neraka jahannam dan lainnya. Demikian juga pada hari-hari keberkahan dan kebahagiaan terjadi peristiwa-peristiwa yang membahagiakan.
Kedua, Riwayat ini tidak mengimplikasikan bahwa kebahagiaan dan kenahasan karena kejadian-kejadian yang ada kaitannya dengan kejadian-kejadian agama karena sebab keberagamaan atau karena pengaruh keadaan hati atau karena pada hari tertentu terjadi kejadian-kejadian yang baik atau buruk sehingga menyebabkan keburukan atau kejelekan hari-hari itu. Namun hari itu sendiri atau sebagian dari waktu itu merupakan zaman yang memiliki kemuliaan dan keberkahan atau kejelekan dan kenahasan. Hari dan sebagian waktu secara takwini memiliki kekhususan tertentu dan tidak memiliki kekhususan yang lainnya. Dalam setiap riwayat yang bertentangan dengan apa yang kita katakan, maka kita menilainya sebagai riwayat yang disampaikan dalam kondisi taqiyah atau menolak secara keseluruhan atas riwayat itu.[20]
Pada riwayat yang lain juga dikatakan bahwa pada hakikatnya, hari-hari itu tidak nahas dan melarang manusia untuk meyakini akidah itu, dan sebagian masalah yang menimpa manusia adalah karena pekerjaan-pekerjaan buruk dan perbuatan-perbuatan dosa mereka, sebagaimana dalam sebuah hadis dari Imam Hasan Askari ketika ia bersabda kepada sahabatnya, “Apakah kesalahan hari-hari itu sehingga kamu menganggapnya sebagai hari yang nahas ketika balasan pekerjaanmu pada hari-hari itu menjerat Anda?
Perawi berkata: “Wahai putra Rasul! Aku selalu beristighfar demi memohon ampun atas dosa-dosaku dan inilah taubat yang Aku lakukan.”
Imam bersabda, “Hal ini tidak berguna bagi kamu, Allah akan menyiksa engkau atas celaanmu terhadap sesuatu yang tidak tercela. Apakah kamu tidak tahu bahwa Tuhan akan memberi pahala dan siksa di dunia ini dan di akhirat. Jangan lagi mengulang amalan ini (hakekat kesialan atau keberkahan suatu hari) dan janganlah memberikan perbedaan pengaruhnya suatu hari dari hukum-hukum Tuhan.”[21]
Hadis yang penuh makna ini mengisyaratkan bahwa apabila hari-hari itu mempunyai pengaruh, sesuai dengan perintah Tuhan, maka hal itu tidak boleh diketahui sebagai sebab-sebab yang terpisah dan kemudian manusia tidak lagi membutuhkan kasih sayang-Nya. Jangan mengubungkan peristiwa yang biasanya mempunyai sisi kaffarah atas amal yang salah dengan pengaruh hari-hari, kemudian ia sendiri membebaskan dirinya dari hal ini. Penjelasan ini merupakan cara terbaik untuk menyatukan hadis-hadis yang ada tentang masalah ini.[22]
Ketiga, Terdapat pula kemungkinan bahwa apa yang telah dipaparkan di atas, yaitu bahwa sebagian riwayat ini adalah benar, tapi tentu saja tidak semua riwayat itu salah karena sebagian dari riwayat-riwayat itu memiliki pengaruh misterius pada sebagian hari-hari yang ada kalanya tidak kita ketahui.[23]
Keempat, Sebagian orang, sangat berlebihan dalam melihat masalah hari-hari berkah dan nahas sehingga jika mereka ingin mengerjakan sesuatu maka ia akan melihat kebahagiaan atau kenahasan hari-hari itu. Jika demikian, tentu saja sangat banyak aktivitas-aktivitas kehidupannya yang tidak dapat dikerjakan dan kesempatan-kesempatan emas dalam kehidupannya akan hilang. Atau bukannya ia mempelajari hal-hal yang mendatangkan kemenangan atau kekalahannya dan mengambil pelajaran dari pengalaman orang lain dalam menjalani kehidupannya, namun ia justru menimpakan kesalahan itu terhadap hari-hari kenahasan itu, sebagaimana rahasia kemenangan itu jika berbuat baik pada hari-hari yang mujur! Hal ini merupakan bentuk-bentuk pelarian dari kenyataan. Manusia harus menghindari sikap berlebihan dalam menghadapi suatu masalah dan masalah takhayul dalam kehidupannya serta tidak boleh mendengarkan rumor yang berkembang di masyarakat. Apabila dalam hadis ini telah terbukti sesuatu, maka kita harus menerima hal itu dan jika tidak, kita tidak boleh mempedulikan perkataan ini dan itu, dan harus menjalani kehidupan kita, dengan melangkah dengan usaha giat, tekun, tawakal kepada Allah Swt dan mengharap rahmat, kasih sayang dan pertolongan-Nya.[24]
Kelima, Penghitungan hari-hari nahas akan memperkuat keimanan. Ketika seseorang tidak mempedulikan akan sebab-sebab dan kejadian-kejadian yang dijelaskan dalam riwayat ini, seseorang tidak akan memperhatikan tentang kenikmatan-kenikmatan materi sehingga ketakwaannya akan semakin kuat dan sebaliknya, jika masyarakat tidak menaruh penghormatan terhadap waktu-waktu tertentu seperti bulan Muharram dan bulan Shafar, tidak memperhatikan dan mempedulikan kejadian-kejadian yang terjadi, dan hanya mengikuti hawa nafsunya saja, tanpa memperhatikan bahwa hari ini dan hari kemarin hari apa dan tidak sedikit pun peduli tentang hari apakah sekarang ini, maka masyarakat ini telah berpaling dari kebenaran dan dengan mudah masyarakat ini melanggar kesaklaran ajaran agama.
Oleh itu, penilaian kenahasan pada sebagian hari-hari dari sisi kemalangan maknawi yang bersumber dari sebab-sebab non hakiki dan tidak real dan pengabaian sebab-sebab itu merupakan sebuah bentuk kezaliman terhadap agama.[25]
Oleh itu, perhatian terhadap persoalan kebahagiaan dan kenahasan suatu hari, disamping manusia pada umumnya akan memperoleh informasi dari serangkaian peristiwa sejarah, juga merupakan sarana untuk bertawassul dan memberi perhatian kepada Allah Swt serta memohon pertolongan dari-Nya.
Dengan demikian kita harus memperhatikan apa yang berkembang di tengah masyarakat tentang hakikat ini dan mencari solusi atas masalah ini. Untuk menghilangkan kenahasan pada hari-hari tertentu harus berlindung kepada Allah Swt dengan cara berpuasa, berdoa, membaca al-Quran, bersedekah atau mengerjakan pekerjaan-pekerjaan lain semacam ini. Pada kesempatan ini, kami akan mencukupkan dengan menukilkan satu riwayat.
Sahl bin Ya’qub (Abu Nawas) berkata: Aku bertanya kepada Imam Hasan Askari, Wahai tuanku! Pada kebanyakan waktu-waktu ini karena kesialan-kesialan yang aku hadapi dan untuk menghilangkan ketakutan yang dihadapi manusia pada hari-hari ini, kami harus bagaimana karena kenahasan ini mencegah manusia untuk mencapai tujuan yang diinginkan? Mohon sekiranya Tuan memberi tahu saya akan segala sesuatu yang harus saya lakukan untuk mengatasi masalah ini, karena kadang-kadang ada keperluan yang mendesak yang harus dicari solusinya sesegera mungkin dan bagaimana mereka harus bertindak ketika kenahasan itu menimpa manusia?
Imam Askari As bersabda, “Wahai Sahl! Para Syiah kami, memiliki wilayah yang ada di dalam hati mereka sebagai penjaga. Apabila berada di dalam kedalaman laut-laut yang tak bertepi atau di tengah-tengah padang pasir tidak bertepi atau di antara hewan buas atau penyandra dan musuh-musuh baik dari kalangan jin maupun manusia maka akan aman dari bahaya karena mereka mempunyai wilayah kami di hati mereka. Oleh itu selamat bagimu karena telah percaya kepada Allah Swt dan telah memurnikan keberwilayahanmu kepada para Imam, kemudian pergilah kemana engkau suka dan kerjakan semua yang engkau inginkan serta capailah tujuan kemana saja yang engkau mau. Wahai Sahal! Apabila pada dini hari, doa ini engkau baca sebanyak 3 kali:
«أَصْبَحْتُ اللَّهُمَّ مُعْتَصِماً بِذِمَامِكَ الْمَنِيعِ الَّذِي لَا يُطَاوَلُ وَ لَا يُحَاوَلُ مِنْ شَرِّ كُلِّ غَاشِمٍ وَ طَارِقٍ مِنْ سَائِرِ مَنْ خَلَقْتَ وَ مَا خَلَقْتَ مِنْ خَلْقِكَ الصَّامِتِ وَ النَّاطِقِ فِي جُنَّةٍ مِنْ كُلِّ مَخُوفٍ بِلِبَاسٍ سَابِغَةٍ وَلَاءِ أَهْلِ بَيْتِ نَبِيِّكَ ع مُحْتَجِباً مِنْ كُلِّ قَاصِدٍ لِي إِلَى أَذِيَّةٍ بِجِدَارٍ حَصِينٍ الْإِخْلَاصِ فِي الِاعْتِرَافِ بِحَقِّهِمْ وَ التَّمَسُّكِ بِحَبْلِهِمْ جَمِيعاً مُوقِناً بِأَنَّ الْحَقَّ لَهُمْ وَ مَعَهُمْ وَ فِيهِمْ وَ بِهِمْ أُوَالِي مَنْ وَالَوْا وَ أُجَانِبُ مَنْ جَانَبُوا وَ أُحَارِبُ مَنْ حَارَبُوا وَ صَلِّ اللَّهُمَّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ آلِ مُحَمَّدٍ وَ أَعِذْنِي اللَّهُمَّ بِهِمْ مِنْ شَرِّ كُلِّ مَا أَتَّقِيهِ يَا عَظِيمُ يَا عَظِيمُ حَجَزْتُ الْأَعَادِيَ عَنِّي بِبَدِيعِ السَّمَاوَاتِ وَ الْأَرْضِ إِنَّا جَعَلْنا مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ سَدًّا وَ مِنْ خَلْفِهِمْ سَدًّا فَأَغْشَيْناهُمْ فَهُمْ لا يُبْصِرُون»
Kemudian membaca doa ini sejumlah 3 kali pula:
«جَعَلْتُ فِي حِصْنٍ مِنْ مَخَاوِفِكَ وَ أَمْنٍ مِنْ مَحْذُورِك».
Apabila menginginkan bepergian atau melakukan pekerjaan yang tidak disukai pada suatu hari tertentu, maka bacalah surah al-Fatihah dan mu’awwadzatain (surah al-Falaq dan surah al-Nas), surah al-Ikhlas, Ayat kursi, 5 ayat pertama Surah Ali Imran. Kemudian bacalah:
«اللَّهُمَّ بِكَ يَصُولُ الصَّائِلُ وَ بِقُدْرَتِكَ يَطُولُ الطَّائِلُ وَ لَا حَوْلَ لِكُلِّ ذِي حَوْلٍ إِلَّا بِكَ وَ لَا قُوَّةَ يَمْتَازُهَا ذُو قُوَّةٍ إِلَّا مِنْكَ أَسْأَلُكَ بِصَفْوَتِك مِنْ خَلْقِكَ وَ خِيَرَتِكَ مِنْ بَرِيَّتِكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّكَ وَ عِتْرَتِهِ وَ سُلَالَتِهِ عَلَيْهِ وَ عَلَيْهِمُ السَّلَامُ وَ صَلِّ عَلَيْهِمْ وَ اكْفِنِي شَرَّ هَذَا الْيَوْمِ وَ ضَرَّهُ وَ ارْزُقْنِي خَيْرَهُ وَ يُمْنَهُ وَ اقْضِ لِي فِي مُتَصَرَّفَاتِي بِحُسْنِ الْعَاقِبَةِ وَ بُلُوغِ الْمَحَبَّةِ وَ الظَّفَرِ بِالْأُمْنِيَّةِ وَ كِفَايَةِ الطَّاغِيَةِ الْغَوِيَّةِ وَ كُلِّ ذِي قُدْرَةٍ لِي عَلَى أَذِيَّةٍ حَتَّى أَكُونَ فِي جُنَّةٍ وَ عِصْمَةٍ مِنْ كُلِّ بَلَاءٍ وَ نَقِمَةٍ وَ أَبْدِلْنِي مِنَ الْمَخَاوِفِ فِيهِ أَمْناً وَ مِنَ الْعَوَائِقِ فِيهِ يُسْراً حَتَّى لَا يَصُدَّنِي صَادٌّ عَنِ الْمُرَادِ وَ لَا يَحُلَّ بِي طَارِقٌ مِنْ أَذَى الْعِبَادِ إِنَّكَ عَلى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَ الْأُمُورُ إِلَيْكَ تَصِيرُ يَا مَنْ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير».
Kesimpulan
Apa yang dapat disimpulkan dari uraian di atas adalah pertama, kami tidak menemukan bahwa semua bulan Shafar dianggap sebagai bulan yang nahas. Kedua, kenahasan hari Rabu tidak terkhusus pada bulan Shafar saja, namun pada semua bulan-bulan yang lain. Ketiga, sebagaimana yang sudah dikatakan, tidak dapat diingkari sebagian kenahasan dari hari-hari tertentu, tapi bagaimanapun, terdapat cara-cara untuk menangkal efek buruk dari kenahasan hari-hari itu seperti doa, sedekah dan lain sebagainya. [iQuest]
[1] Raghib Isfahani, Husain bin Muhammad, Al-Mufrādāt fi Gharib al-Quran, Riset: Dawudi, Sahfwan ‘Adnan, hal. 794, Dar al-Qalam, Al-Dar al-Syamiyyah, Damisq, Beirut, cet. 1, 1412; Makarim Syirazi, Nashir, Nashir, Tafsir Nemuneh, jil. 23, hal. 42, Dar al-Kitab al-Islamiyyah, Tehran, cet. 1, 1374.
[2] Thabathabai, Sayid Muhammad Husain, Al-Mizān fi Tafsir al-Qurān, jil. 19, hal. 71, Daftar Intisyarat Islami, Qum, cet. 5, 1417.
[3] Ibid.
[4] Ibid, silahkan lihat: Tafsir Nemuneh, jil. 23, hal. 41.
[5] Al-Mizān fi Tafsir al-Qurān, jil. 19, hal. 71-72.
[6] Al-Mizān fi Tafsir al-Qurān, jil. 19, hal. 71.
[7] Silahkan lihat: Majlisi, Muhammad Baqir, Bihār al-Anwār, jil. 56, Bab 15, hal. 8-112, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Beirut, cet. 1, 1408.
[8] Al-Mizān fi Tafsir al-Qur’ān, jil. 19, hal. 72; Tafsir Nemuneh, jil. 23, hal. 42.
[9] Bihār al-Anwār, jil. 56, jil. 56, hal. 54, Muhadits Nuri, Mustadrak al-Masāil, jil. 8, hal. 205, Muasasah Ali a-Bayt (As), Qum, cet. 2, 1408.
[10] Kasyifi Sabzawari Husain bin Ali, Muwāhib’Alaih, Riset: Jalali Naini, Sayid Muhammad Ridha, hal. 1194, Sazman Cab wa Intisyarat Iqbal, Tehran, 1369; Kasyani, Mulla Fathullah, Tafsir Minhaj al-Shādiqin fi al-Zām al-Mukhālifin, jil. 9, hal. 100, Kitab Furusyi Muhammad Hasan Ilmi, Tehran, 1336.
[11] Silahkan lihat: Suyuthi, Jalaluddin, Al-Dur al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, jil. 6, hal. 135, Ketab Khaneh Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qum 1404.
[12] Syaikh Shaduq, ‘Ilal al-Syarāyi’, Riset: Ghifari, Ali Akbar, jil. 2, hal. 387-388, Daftar Intisyarat Islami, Qum, cet 1, 1362.
[13] Syaikh Shaduq, ‘Ilal al-Syarāyi’, Ketab Furusyi Dawudi, Qum, cet 1, 1362.
[14] Al-Dur al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, jil. 6, hal. 135.
[15] Bayāni al-Ma’āni, jil. 1, hal. 286.
[16] Majlisi, Muhammad Baqir, Zād al-Ma’ād, Riset: A’lami Alauddin, hal. 250, Muasasah al-A’lami lil Mathbu’at, Beirut, cet. 1, 1423.
[17] Syaikh Shaduq, Man Lā Yahdhuruhu al-Faqih, Riset:Ghifarim Ali Akbar, jil. 1, hal. 425, Daftar Intisyarat Islami, Qum, cet. 2, 1423.
[18] Al-Khishāl, jil. 2, hal. 386.
[19] Ibid.
[20] Al-Mizān fi Tafsir al-Qurān, jil. 19, hal. 74-75.
[21] Ibnu Syu’bah Harani, Hasan bin Ali, Tuhaf al’Uqul ‘an Ali al-Rasul (Saw), Riset: Ghifari, Ali akbar, hal 482-483, Daftar Intisyarat Islami, Qum, cet. 2, hal. 1404.
[22] Tafsir Nemuneh, jil. 23, hal. 47.
[23] Ibid.
[24] Ibid, hal. 44-45.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar