Please Wait
39425
1. Dari pertanyaan yang diajukan disebutkan bahwa sebuah riwayat dinukil dari Nabi Saw bahwa: ”Kebersihan merupakan sebagian dari iman”! dimana nukilan riwayat semacam ini tidak ditemukan dalam kitab-kitab hadis dan lain sebagainya.
2. Apa yang dinukil dari Nabi Saw di dalam kitab-kitab itu adalah:”an-nazhâfatu minal iimân”. Maknanya bahwa iman merupakan sumber dari kebersihan dan atau kebersihan itu membentuk sebagian dari iman tersebut. Jadi seorang mukmin punya perhatian khusus dalam masalah kebersihan.
3. Dengan memperhatikan sebagian riwayat-riwayat dari Nabi Saw yang mana beliau menitahkan bahwa: ”buniyaddînu ‘ala al-nazhâfati” (agama dibangun di atas kebersihan) dan juga dalam ungkapan-ungkapan para Imam Maksum As terkait masalah wudhu dan lain-lain dimana dikatakan: ”lâ shalâta illâ bithahûrîn”, mungkin dapat dikatakan, maksud dari nazhâfah (kebersihan) adalah thahârah (kesucian) dan tidak hanya shalat, bahkan tidak ada satu pun amalan yang dianggap sahih dan benar jika tanpa ada thahârah dan nazhâfah, kendati tahapan-tahapan dan pembagian thahârah itu (thahaarah dari hadats dan khubuts dan thahârah dari selain Allah Swt) berbeda-beda.
4. Dalam kacamata Islam, pernikahan dan membentuk rumah tangga, memiliki kekhususan tersendiri, karena dari satu sisi, pernikahan itu dianggap sebuah media untuk menjaga kesucian diri dan menjaga dari terjerumus ke hal-hal yang negatif (dalam kaitannya dengan nafsu hewani) dan juga memberikan ketenangan serta membantu guna mencapai kesempurnaan agama, dan pada sisi lain, penafian atas rahbaniyah (meninggalkan dunia dan segala kenikmatannya), hal itu dianggap menjadi penghalang atau kendala untuk sampai pada kesempurnaan dan kebahagiaan. Dengan padangan seperti inilah dimana pernikahan itu merupakan suatu media untuk menjaga sebagian agama.
5. Ungkapan “sebagian agama” bagi pernikahan, merupakan sebuah perkara yang mentradisi dan untuk menjelaskan suatu masalah yang sangat penting, banyak digunakan ungkapan dan redaksi semacam ini.
6. Shalat, puasa, haji, jihad, wilayat dan lain-lain adalah hal-hal yang banyak ditemukan ungkapan-ungkapan terkait dengannya dalam riwayat-riwayat dan teks-teks agama dan demikian juga dalam masalah-masalah pernikahan dan kebersihan tidak kalah banyaknya ungkapan-ungkapan terkait dengannya dalam riwayat-riwayat dan teks-teks agama tersebut.
7. Dalam riwayat-riwayat yang demikian banyak, telah dijelaskan ihwal batasan-batasan dan bagian-bagian Islam dan Iman, seperti tawakkal, menyerahkan segala perkara kepada Allah Swt, rela dengan ketentuan Allah Swt, pasrah, baik dan benar, berkorban, ilmu dan sabar, shalat, wilâyah, dan lain-lain dan penisbahan bahwa nikah adalah ”sebagian dari agama” itu merupakan perkara yang sifatnya relatif (nisbi) saja.
Dalam pertanyaan tersebut, sebuah riwayat yang dinukil dari Nabi Saw dimana model seperti ini tidak memiliki wujud luar. Dalam kitab mana disebutkan bahwa kebersihan sebagian dari iman? Apa yang terdapat dalam sumber-sumber hadis adalah bahwa sebuah hadits diriwayatkan dari Rasulullah Saw yang redaksinya seperti ini:”al nazhâfatu min al-îman”.[1] Kebersihan berasal dari iman. Dan hal ini bermakna bahwa seorang beriman, seperti karena seorang mukmin maka tentunya ia juga bersih dan sumber kebersihan itu adalah iman atau bahwa kebersihan membentuk sebagian dari iman itu dan tidak bisa dibenarkan orang yang mengklaim dirinya mukmin tapi tidak punya perhatian terhadap kebersihan, jadi pastinya bahwa kata “sebagian” itu tidak ada dalam riwayat-riwayat sehingga dalam pertanyaan itu ada semacam kesulitan.
Khususnya lagi kebersihan itu tidak dapat dibatasi hanya pada hal-hal semacam mencuci tangan, wajah, pakaian dan rumah serta yang lainnya; akan tetapi hal itu memiliki pengertian yang lebih umum dan dengan mengkaji hal-hal tersebut, kita bisa meraih sebuah hasil dimana shalat, puasa dan lain sebagainya juga bisa termasuk. Dengan kata lain, kebersihan dimaknai dengan thaharah (kesucian) yang mana ketika itu, jika pemikiran dan amal seorang manusia tidak diserta dengannya (thaharah) maka tidak akan membuahkan hasil. Jadi tidak hanya tidak bisa dikatakan bahwa: “tidak ada shalat kecuali dengan thaharah”[2], bahkan tak ada satu pun amalan tanpa thaharah dan kebersihan dianggap benar dan dikabulkan dan kalau sudah seperti ini, maka iman tanpa kebersihan tidak akan terealisasi.
Tambahan, pada bagian-bagian yang mana dijelaskan dalam riwayat-riwayat yang terkait dengan kadar ukuran dan kuantitasnya, itu hanya melihat kuantitas dari aspek relatifitasnya saja. Misalnya kalau dikatakan bahwa dengan menikah sebagian dari iman seseorang menjadi sempurna; yakni ketika membandingkan antara orang yang sudah menikah dengan orang yang belum menikah, orang yang sudah menikah itu lebih senang dan lebih santai dan dengan pikiran tenang ia dapat beribadah serta melaksanakan perintah Allah Swt secara lebih baik dan ia telah melintasi sebagian jalan, namun seseorang yang belum menikah akan selalu berhadapan dengan berbagai masalah dalam menjaga dan memelihara iman dan lain sebagainya. Jadi menikah dapat dikatakan merupakan faktor penting dalam perkara ini.
Diriwayatkan dari Nabi Saw bahwa beliau besabda: ”Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang punya kemampuan, hendaknyalah menikah, karena menikah itu dapat menahan pandangan lebih baik kepada seorang yang non-muhrim dan memberikan kesucian diri yang lebih baik...”.[3]
Dalam Islam dari satu sisi terkait dengan unsur positif nikah itu sangat ditekankan bahwa: pernikahan ini merupakan sebuah media untuk meraih ketenangan dan ketentraman, dan menjadi sebab untuk cinta dan sayang. Dengan menikah, tekanan adanya keinginan seksualitas bisa teratasi, ruh dan jiwa pemuda yang dipenuhi oleh rasa ketidak tentraman dan lainnya dapat menemukan keberimbangan, dapat memahami lebih baik tentang hakikat hidup dan segera melangkahkan kaki di atas jalan menuju agama dan kesempurnaan dengan lebih cepat. Dan sejatinya, ketentraman nikah itu bisa lebih dipahami oleh orang-orang yang pernah merasakan betapa beratnya hidup dalam keadaan sendiri dan orang-orang yang mengetahui tentang keadaan jiwa dan ruh yang penuh dengan kekhawatiran dan ketidak tenangan para pemuda yang belum menikah.
Dan dari sisi lain, hidup secara rahbaniyah (meninggalkan dunia dengan segala kenikmatannya) dianggap tidak terpuji dan telah dilarang. Rasulullah Saw bersabda: ”Tidak ada rahbaniyah pada umat-ku...”[4], dan meninggalkan pernikahan dan wanita dan kehidupan dan lain-lain dimana sebagian (Utsman bin Mazh’uun, salah seorang sahabat Rasulullah Saw) menjalani metode hidup seperti ini, merupakan hal yang tidak diterima dan diridhai Rasulullah Saw, dalam kaitan ini, beliau Saw bersabda: ”Aku tidak diutus oleh Allah Swt untuk hidup secara RAHBANIYAH, akan tetapi Allah mengutusku dengan membawa sebuah agama yang adil dan mudah serta tidak susah. Saya berpuasa, saya shalat dan dengan para istri....barangsiapa yang menyukai agama fitrah-ku, maka ia harus mengamalkan sunnah dan cara-ku dan nikah merupakan salah satu cara dan sunnah-ku...”.[5] dan pada sisi inilah serta dengan cara pandang inilah menikah itu dianggap sebagai pelengkap sebagian iman, dan ungkapan-ungkapan semacam ini banyak ditemukan dalam riwayat-riwayat Imam Maksum As.
Dan ini merupakan sebuah perkara yang sifatnya mentradisi, dalam artian bahwa kalau kita ingin menjelaskan kepada teman kita tentang sebuah pekerjaan yang sangat penting, maka kita mengatakan seperti ini bahwa kalau kamu melaksanakan pekerjaan ini, maka kamu telah menempuh sebagian dari jalan tersebut dan sebagian dari masalah kamu dikarenakan bahwa kamu telah terlibat melakukan sebuah pekerjaan dan pada dasarnya mungkin maknanya tidak seperti ini dimana kalau dihitung secara teliti, sebagian dari jalan atau masalah, akan tetapi maksudnya adalah dimana pekerjaan ini memiliki saham besar dalam menyelesaikan persoalan atau mewujudkan masalah.
Tentunya, jangan pula lalai dari poin ini bahwa kemungkinan pada sebagian masalah, hakikat adalah satu hal, misalnya tergantung pada dua hal dan masalah-masalah lain juga punya peran dalam kesempurnaannya. Umpamanya kalau kita punya sebuah riwayat dimana kebersihan sebagian dari iman dan menikah juga sebagian dari iman, kita bisa mengatakan bahwa hakikat iman itu bisa langgeng dengan dua pilar dan tanpa keduanya, iman itu tidak akan terealisasi dan shalat, puasa dan lain-lain dalam hal ini punya peran yang mana bisa lebih menyempurnakan dan memperkuat iman tersebut; karena iman merupakan satu kondisi hati dimana banyak faktor-faktor yang bisa berpengaruh dalam memperkuatnya.
Nah, karena ungkapan semacam ini tidak ada. selain bahwa pentinng dan peranan shalat dalam Islam dan dampaknya dalam kehidupan pribadi dan sosial orang-orang dan lain sebagainya adalah sesuati yang tdaik bisa dipungkiri oleh siapa pun juga.[6] Shalat juga merupakan tiang agama[7] dan zikir dan mengingat Allah Swt,[8] dan pendekat setiap orang takwa[9] merupakan salah satu pondasi dasar Islam,[10] timbangan amal-amal[11] dan lain-lain dan meninggalkannya (sengaja atau menganggap remeh) adalah kafir.[12] Juga amalan-amalan lain seperti puasa, jihad, wilayah dan lain-lain dimana memiliki peran yang sangat penting dalam ajaran agama Islam dan ungkapan-ungkapan yang khusus berkaitan dengannya dalam teks-teks agama itu tidak kalah banyaknya dengan ungkapan-ungkapan yang ada kaitannya dengan pernikahan dan kebersihan.
Tentunya, sebagaimana yang dikatakan sebelumnya bahwa kebersihan itu tidak hanya ada pada apa yang populer di kalangan masyarakat dan ia memiliki makna yang lebih luas dimana ia mungkin juga mencakup hal-hal diantaranya kebersihan badan dari hadats dan khubuts, dan kebersihan hati dari akhlak buruk dan tidak islami. Berdasarkan hal inilah sehingga ada pada sebagian sumber, riwayat-riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw, dimana beliau Saw bersabda: ”Agama dibangun atas dasar kebersihan”.[13] Atau apa yang berkenaan dengan masalah wudhu dan mandi dan lain-lain ditemukan dalam sabda-sabda para Imam Maksum itu bermakna sebagai thahuur (penyuci).[14]
Terakhir, perlu disebutkan hal ini bahwa dengan merujuk ke riwayat-riwayat dimana “iman” dan “bagian-bagian serta rukun-rukun iman” dan “Islam” dan “bagian-bagian Islam” dan lain-lain tersebut dijelaskan, maka secara sempurna akan jelaslah bahwa bagian-bagian dan rukun-rukun Islam dan Iman itu tidak hanya ada pada pernikahan dan kebersihan dan lain sebagainya. Misalnya:
1. Abu Hamzah menukil dari Imam Baqir As bahwa Imam bersabda:”Islam itu dibangun diatas lima pilar: shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah...”.[15]
2. Imam Shadiq As dalam menjawab pertnyaan ini dimana terkait dengan definisi Iman, bersabda: ”Bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Swt, Rasulullah Saw utusan-Nya, mengakui apa yang datang dari Allah Swt, shalat lima waktu, mengeluarkan zakat, puasa pada bulan ramadhan, menunaikan ibadah haji, dan berwilayah adalah sahabat kami dan memusuhinya adalah musuh kami dan...”.[16]
3. Imam Shadiq As dari Imam Baqir As, dan beliau menukil dari Imam Ali As dimana beliau bersabda:”iman itu memiliki 4 rukun: tawakkal kepada Allah Swt, menyerahkan urusan kepada Allah Swt, ridha dengan ketentuan dan qadha Allah Swt dan pasrah kepada perintah Allah Swt”.[17]
4. Imam Shadiq As bersabda:”Allah Swt meletakkan iman itu pada 7 bagian: kebaikan dan kebenaran, yakin, ridha, setia, ilmu dan sabar,...”.[18][]
[1] .Bihâr al-Anwâr, jil. 59, hal 291, bab 89; Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 16, hal 319, bab Istihbâb takhlîl al-Insân; Abul ‘Abbas Mustagfiri, Thibb al-Nabi, hal 19.
[2] . Bihâr al-Anwâar, jil. 42, hal 245.
[3] . Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 2, hal. 531, hadits 21.
[4] . Bihâr al-Anwâr, jil. 70, hal 115.
[5] . Wasâil al-Syi’ah, jil. 14, hal 74.
[6] . Indeks: Shalat.
[7] . Bihâr al-Anwâr, jil. 82, hal 201; Nahj al-Balâghah, surat 47.
[8] .Qs. Thahaa (20): 14.
[9] . Nahj al-Balâghah, hikmah 136.
[10] . Bihâr al-Anwâr, jil. 82, hal 234.
[11]. Al-Kâfi, jil. 3, hal 267, hadits 13; al-Faqîh, jil. 1, hal 33, hadits 622; Wasâil al-Syi’ah, jil. 3, hal 22, bab 8, hadits 8.
[12] . Bihâr al-Anwâr, jil. 82, hal 216-217.
[13]. Mahajjatul Baidhâ, jil. 1, hal 281.
[14] . Wasâil al-Syi’ah, kitab Thahârah; Imam Khomeini, Adab al-Shalah, hal 55-94 dan lain-lain.
[15] . Bihâr al-Anwâr, jil. 68, hal 329, juga hal 225-396.
[16] . Ibid, hal 330, hadits 4.
[17] . Ibid, hal 340 dan 341, hadits 12.
[18] . Ibid, jil. 69, hal 159.