Please Wait
Hits
8441
8441
Tanggal Dimuat:
2010/11/21
Ringkasan Pertanyaan
Apa hubungan imâmah dengan tauhid dalam hadis silsilah al-dzahab (mata rantai emas)?
Pertanyaan
Apa hubungan imâmah dengan tauhid dalam hadis silsilah al-dzahab (mata rantai emas)?
Jawaban Global
Dari riwayat tersebut bisa dipahami bahwa pencapaian derajat tauhid itu akan memasukkan manusia kepada sebuah lingkup ke-ishmahan (keterjagaan dari dosa), dan derajat tersebut tidak akan mungkin bisa dicapai tanpa melalui wilâyah (konsep kepemimpinan manusia maksum), yang bermakna cermin Tuhan di muka bumi.
Guna memahami lebih dalam tentang topik tersebut, kiranya kita perlu memperhatikan secara seksama beberapa poin berikut:
Guna memahami lebih dalam tentang topik tersebut, kiranya kita perlu memperhatikan secara seksama beberapa poin berikut:
- Jika dikatakan bahwa wilâyah merupakan urusan Tuhan, artinya adalah Tuhan dengan segala wujud-Nya itu memiliki ‘sekutu’. Dan jika dikatakan bahwa manusia telah mencapai derajat wilâyah, maksudnya adalah dia telah melewati segenap tingkatan sair dan suluk serta musyahadah (penyaksian) Ilahiah, dia telah mencapai pada tahap di mana antara dia dengan al-Haq (Tuhan) itu sama sekali tidak ada lagi tabir yang menghalangi, dia telah mencapai kedudukan penghambaan murni dengan Tuhannya.
- Seluruh entitas berdasarkan keluasan dan kesempitan eksistensialnya memperoleh manfaat dari wilâyah, bahkan keseluruhannya itu adalah perwujudan dari wilâyah tersebut. Oleh karena itu “اوَّلُ ما خَلَق الله” (pertama kali yang Allah ciptakan) yang merupakan tabir terdekat sekaligus wujud terdekat dengan wilâyah keagungan itu telah memiliki wilâyah mutlak dan menyeluruh.
- “اوَّلُ ما خَلَق الله” adalah haqiqah Muhammadiyah, yaitu hakikat Nabi Muhammad Saw dan Ahlulbait As. Maka para Imam Maksum As itu telah memiliki wilâyah kulliyyah (kepemimpinan secara menyeluruh). Sangat jelas bahwa seseorang yang menempuh perjalanan untuk mencapai kesempurnaan, mampu menyingkirkan rintangan-rintangan yang menghalanginya, mampu menghilangkan segala ketergantungan pada materi bahkan non-materi, maka ia akan mampu melebur dalam tingkatan Ahadiyyah (ke-Esaan) dan mencapai kefanaan. Saat itu, ia telah lupa akan egonya sendiri, ia telah menyatu dengan Sang Kekasih, apapun yang ia lihat hanyalah Dia, setelah mencapai pada tingkat yang mana hanya ada wujud tunggal dan tidak ada lagi dwiwujud, maka ia akan menjadi cerminan seluruh wajah Zat Yang Maha Hak, ia melewati wilâyah kulliyyah dan Tuhan akan menjelma dalam bentuk yang sempurna pada dirinya.
- Tauhid adalah makna dari cermin dan tabir terdekat, untuk bisa memasuki alam yang demikian, syaratnya adalah melewati wilâyah, yaitu seseorang tidak akan bisa naik untuk sampai pada derajat makrifat dan kedekatan dengan Zat Suci Yang Maha Hak kecuali melalui cermin tanda agung tersebut, karena sinar dan cahaya matahari tersebut itu membutakan penglihatan setiap yang melihat, tanpa cermin dan tabir dia tidak akan mampu untuk menyaksikan keagungan-Nya. Karena itu, tauhid merupakan wilâyah dan wilâyah adalah tauhid, keduanya sama sekali tidak terpisah.
Imam Khumaini berkata: Syaikh ‘Arif Syah Abadi berkata bahwa bersaksi atas wilâyah itu terpendam dalam syahadat (kesaksian) atas risalah, karena wilâyah merupakan batin dari risalah, penulis ingin mengatakan bahwa secara keseluruhan dalam kesaksian atas ketuhanan itu terdapat dua kesaksian yang kompleks, dan dalam kesaksian atas risalah dua kesaksian tersebut juga kompleks, sebagaimana halnya dalam kesaksian atas wilâyah dua kesaksian lain juga kompleks.
Karena itu, kita meyakini bahwa guna memahami dan mengenal setiap sifat Tuhan itu tidak ada cara lain selain dengan mengenal dan berhubungan dengan para manusia maksum As, misal untuk mengetahui poin sebagai berikut; apakah Allah itu meridhai perbuatan yang kita lakukan atau tidak, hal itu tidak ada cara lain selain dengan cara meraih keridhaan atau ketidakridhaan Ahlulbait As.
Karena itu, kita meyakini bahwa guna memahami dan mengenal setiap sifat Tuhan itu tidak ada cara lain selain dengan mengenal dan berhubungan dengan para manusia maksum As, misal untuk mengetahui poin sebagai berikut; apakah Allah itu meridhai perbuatan yang kita lakukan atau tidak, hal itu tidak ada cara lain selain dengan cara meraih keridhaan atau ketidakridhaan Ahlulbait As.
Jawaban Detil
Imam Ridha As dalam hadis silsilah al-dzahab bersabda: “Allah Swt berkata: Lâ ilaaha illa Allâh adalah benteng-Ku, barang siapa memasuki benteng-Ku maka ia aman dari azab-Ku.” Lalu kemanapun beliau pergi beliau menambahkan: “Dengan syarat-syaratnya, dan aku adalah (salah satu) syaratnya.”[1]
Makna riwayat ini adalah bahwa untuk mencapai kedudukan tauhid yang diungkapkan dengan kalimat Laa ilaha illa Allah, dapat memasukkan manusia dalam derajat kemaksuman, dan mencapai kedudukan tersebut tidaklah mungkin tanpa melewati wilâyah yang merupakan makna mir’ati (cerminan) Ilahi.
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah ini perlu dijelaskan beberapa hal:
Makna riwayat ini adalah bahwa untuk mencapai kedudukan tauhid yang diungkapkan dengan kalimat Laa ilaha illa Allah, dapat memasukkan manusia dalam derajat kemaksuman, dan mencapai kedudukan tersebut tidaklah mungkin tanpa melewati wilâyah yang merupakan makna mir’ati (cerminan) Ilahi.
Untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah ini perlu dijelaskan beberapa hal:
- Wilâyah dan ke-wali-an Allah Swt merupakan salah satu dari sifat dan asma-Nya yang bersifat esensial. Sifat-sifat seperti Maha Pencipta, Maha Mengatur, Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan adalah manifestasi dari sifat tersebut.
- Meskipun banyak makna yang dapat difahami dari wilâyah, namun mencermati makna ini dapat menyadarkan kita bahwa semua makna yang lainnya kembali kepada makna tersebut. Makna itu adalah, dua hal atau lebih yang tak ada sama sekali batasan dan hijab di antaranya. Dengan penjelasan lain, artinya kesatuan antara Tuhan dan hamba, pecinta dan Yang Dicintai, yang mana tak ada pemisah antara keduanya, itu adalah wilâyah. Jadi, jika dikatakan: “Wilâyah hanyalah milik Allah.” maka yang dimaksud adalah, kebersamaan (ma’iyyat) Tuhan dengan segala entitas dan makhluk. Dan jika dikatakan “Seseorang mencapai derajat wilâyah.” maka yang dimaksud adalah, ia telah melewati perjalanan sair wa suluk (perjalanan-perjalanan irfani) hingga mencapai suatu derajat dimana tiada lagi hijab dan penghalang antara dia dengan Tuhannya. Tepat dikarenakan kedekatan inilah ketika seseorang menyatu dengan Tuhannya, ketika pecinta menyatu dengan Yang Dicintainya, disebut dengan wali. Dengan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa di antara kemestian dari wilâyah adalah kekuasaan, kepemilikan, kepengaturan dan pengayoman dalam perkara-perkara serta perantara curahan rahmat Ilahi.[2]
- Keniscayaan eksitensial setiap entitas adalah wujudnya wilâyah; karena segala makhluk dan entitas memiliki keterikatan yang nyata dalam hubungannya dengan Allah Swt. Karena itu wilâyah ada pada setiap entitas. Hanya saja dikarenakan perbedaan potensi dan sifat, derajat dan tingkatan wilâyah padanya pun berbeda-beda. Misalnya entitas yang memiliki potensi wujud yang lebih besar memiliki wilâyah yang lebih tinggi pula. Oleh itu setiap entitas sesuai dengan kondisinya adalah manifestasi dari asma ini. karenanya, awal makhluk yang diciptakan Allah swt adalah hijab terdekat dan entitas yang paling dekat dengan-Nya, yang memiliki wilâyah absolut dan manifestasi berbagai sifat agung Ilahi.
- Awal yang diciptakan Allah disebut dengan Haqiqah Muhammadiyah, yakni hakikat dari nabi kita Muhammad saw dan Ahlul Baitnya as.[3] Oleh karena itu Imam Ali as pernah berkata: “Maka sesungguhnya kami adalah hamba yang dididik (diatur dan diarahkan) oleh Tuhan kami, sedangkan selain kami adalah didikan kami.”[4]
Maka tidak heran jika kita bisa katakan bahwa mereka adalah hamba-hamba Tuhan sedangkan seluruh manusia lainnya adalah hamba mereka.[5] Berdasarkan hal inilah Imam Baqir as berkata: “Wilâyah kami adalah wilâyah Allah swt yang mana Ia mengutus seluruh nabi (hanya) dengan wilâyah itu.”[6] Jelas yang dimaksud di sini bukanlah wujud fisik para imam dan urutan keberadaan mereka dari segi sejarah jika dibanding dengan para nabi; yang dimaksud adalah esensi dan hakikat kedudukan mereka sebagai para imam dan wali Allah swt.[7]
- Jelas wilâyah kulliyah (mutlak) adalah milik Allah secara esensial, dan selain itu bersifat aksidensial. Artinya bahwa meskipun awal ciptaan Allah tersebut adalah yang paling tinggi kedudukan wilâyah-nya, namun wujudnya tetap berada di bawah derajat wujud sang Tuhan, karena merupakan ciptaan dan manifestasi dari-Nya beserta sifat-sifat-Nya.
- Sebagaimana yang telah dijelaskan, manusia dapat meniti jalan irfani dan menembus segala batasan materi duniawi[8] lalu melebur pada-Nya di maqam fana. Dalam derajat itulah ia melupakan dirinya dan menyatu pada Sang Tercinta, dan kemanapun ia melangkah segala yang dilihatnya adalah keindahan-Nya. Dengan demikian baginya tiada lagi dualisme, yang ada hanyalah kesatuan dan Tauhid; kedudukan tertinggi sang makhluk di sisi Tuhannya.[9]
Itulah yang diisyaratkan oleh Imam Ali As dalam tuturannya: “Aku adalah wajah Allah, Aku adalah sisi Allah, Aku adalah tangan Allah, Aku adalah ayat Allah, Akulah yang pertama, Aku yang terakhir, Aku yang lahir dan aku yang batin.”[10] Yakni beliau berada di kedudukan tertinggi wilâyah Ilahiah.
- Kesatuan inilah yang dimaksud dengan kesatuan Tauhid dan wilâyah. Tauhid adalah suatu alam yang untuk memasukinya kita harus memasuki alam wilâyah terlebih dahulu. Tanpa melewatinya tak mungkin seseorang bisa menyaksikan keindahan-Nya.[11] Karena itu, tauhid adalah wilâyah itu sendiri dan wilâyah adalah tauhid itu sendiri, dan keduanya tak terpisah sama sekali.[12]
Imam Khumaini, mengenai rahasia penulisan Lâ ilâha illâ Allâh, Muhammad Rasulullâh, wa Aliyun Amirul Mu’minin atas seluruh entitas semenjak arsy hingga bumi, berkata: Syaikh Arif Syah Abadi berkata: Syahadah (pengakuan) terhadap wilâyah tertanam pada pengakuan terhadap risalah; karena wilâyah adalah batin dari risalah.[13]
Beliau juga pernah mengatakan: Segala entitas melalui perantara manusia akan kembali kepada Haq, bahkan tempat kembali dan ma’ad mereka adalah manusia... Ayat Allah swt yang berbunyi: “Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka.” (Qs. Al-Ghasyiyah [88] : 25) dan yang ditulis dalam ziarah Jami’ah Kabirah “...dan kembalinya semua makhluk kepada kalian dan hisab mereka atas kalian...” adalah salah satu dari rahasia-rahasia Tauhid, yang mengisyarahkan pada: kembali kepada insan kamil adalah kembali kepada Tuhan; karena insan kamil atau manusia yang sempurna adalah makhluk yang telah menyati (mencapa derajat fana) pada sang Ilahi secara mutlak. Mereka tidak memiliki ego untuk diri sendiri, namun merupakan mainfestasi total sifat-sifat Ilahi dan asma-Nya yang suci.[14]
Bagi yang teliti dalam pembahasan ini pasti menyadari bahwa kami tidak mengingkari bahwa para imam merupakan makhluk-makhluk Allah Swt. Anda pun sadar bahwa kami tak bermaksud menjelaskan akidah hulul-nya (menitisnya) Tuhan pada wujud mereka.[15] Namun yang kami yakini adalah, mereka telah fana pada Tuhan dan meninggalkan wujud diri serta ego insani mereka.[16] Jelas setinggi apa seseorang meninggalkan sisi materi dan insaninya maka sebesar itu pula Tuhan bermanifestasi (tajalli) padanya. Jadi terdapat kesatuan dan hubungan erat antara Tauhid dan wilâyah. Misalnya begini, cukup untuk mengetahui apakah Allah ridha dengan perbuatan kita dengan cara mencari tahu apakah para imam ridha dengan perbuatan yang kita lakukan atau tidak.[17] [iQuest]
Beliau juga pernah mengatakan: Segala entitas melalui perantara manusia akan kembali kepada Haq, bahkan tempat kembali dan ma’ad mereka adalah manusia... Ayat Allah swt yang berbunyi: “Sesungguhnya kepada Kami-lah kembali mereka.” (Qs. Al-Ghasyiyah [88] : 25) dan yang ditulis dalam ziarah Jami’ah Kabirah “...dan kembalinya semua makhluk kepada kalian dan hisab mereka atas kalian...” adalah salah satu dari rahasia-rahasia Tauhid, yang mengisyarahkan pada: kembali kepada insan kamil adalah kembali kepada Tuhan; karena insan kamil atau manusia yang sempurna adalah makhluk yang telah menyati (mencapa derajat fana) pada sang Ilahi secara mutlak. Mereka tidak memiliki ego untuk diri sendiri, namun merupakan mainfestasi total sifat-sifat Ilahi dan asma-Nya yang suci.[14]
Bagi yang teliti dalam pembahasan ini pasti menyadari bahwa kami tidak mengingkari bahwa para imam merupakan makhluk-makhluk Allah Swt. Anda pun sadar bahwa kami tak bermaksud menjelaskan akidah hulul-nya (menitisnya) Tuhan pada wujud mereka.[15] Namun yang kami yakini adalah, mereka telah fana pada Tuhan dan meninggalkan wujud diri serta ego insani mereka.[16] Jelas setinggi apa seseorang meninggalkan sisi materi dan insaninya maka sebesar itu pula Tuhan bermanifestasi (tajalli) padanya. Jadi terdapat kesatuan dan hubungan erat antara Tauhid dan wilâyah. Misalnya begini, cukup untuk mengetahui apakah Allah ridha dengan perbuatan kita dengan cara mencari tahu apakah para imam ridha dengan perbuatan yang kita lakukan atau tidak.[17] [iQuest]
[1]. Syaikh Shaduq, Tsawâb al-A’mâl wa ‘Iqâb al-A’mâl, hal. 7; Ma’âni al-Akhbâr, hal. 370 dan 371; Al-Tauhid, hal. 24 dan 25; Syaikh Thusi, Âmâli, jil. 2, hal. 201.
«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ حِصْنِي فَمَنْ دَخَلَ حِصْنِي أَمِنَ عَذَابِي قَالَ فَلَمَّا مَرَّتِ الرَّاحِلَةُ نَادَانَا بِشُرُوطِهَا وَ أَنَا مِنْ شُرُوطِهَا؛ كلمۀ «لا اله الا الله»
«لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ حِصْنِي فَمَنْ دَخَلَ حِصْنِي أَمِنَ عَذَابِي قَالَ فَلَمَّا مَرَّتِ الرَّاحِلَةُ نَادَانَا بِشُرُوطِهَا وَ أَنَا مِنْ شُرُوطِهَا؛ كلمۀ «لا اله الا الله»
[2]. Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, Imâm Syinâsi, jil. 5, hal. 10-33.
[3]. Berdasarkan hal itu Rasulullah saw bersabda: “Awal yang diciptakan Allah swt adalah cahayaku.” Yang mana seluruh makhluk berasal dari cahaya itu, yakni Akal Awal, atau Ruh Muhammadi, Jiwa yang Satu). Beliau juga bersabda: “Aku telah menjadi nabi semenjak Nabi Adam As masih di antara air dan tanah.” Yakni Nur Muhammadi sudah diciptakan terlebih dahulu sebelum diciptakannya segala maujud lainnya. Oleh karena itu Nabi Adam As sendiri pun mendapatkan curahan dari Nur Muhammadi atau Haqiqah Muhammadiyah itu. Muhammad Dawud Qaishari, Syarh Fushûsh al-Hikam, hal. 55-57; Hasan Zadeh Amuli, Mumid al-Himam dar Syarh e Fushush al-Hikam, hal. 64 dan 65.
[4]. Nahj al-Balâghah, Surat 28.
[5]. Ibnu Abi Al-Hadid, Syarh Nahj al-Balâghah, jil. 15, hal. 194.
[6]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Al-Kâfi, jil. 1, hal. 437; Shaffar, Muhammad bin Hasan, Bashâir Al-Darajât, hal. 75.
«وَلَايَتُنَا وَلَايَةُ اللَّهِ الَّتِي لَمْ يَبْعَثْ نَبِيّاً قَطُّ إِلَّا بِهَا»
«وَلَايَتُنَا وَلَايَةُ اللَّهِ الَّتِي لَمْ يَبْعَثْ نَبِيّاً قَطُّ إِلَّا بِهَا»
[7]. , Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, Ruh Mujarrad, hal. 294.
[8]. Indeks: Hijab-Hijab Berwujud Cahaya, Pertanyaan 4767 (website: 5013).
[9]. Al-Muqaddamât min Nash al-Nushûsh, hal. 46.
[10]. Jâmi’ al-Asrâr wa Manbâ’ al-Anwâr, hal. 364 – 380.
«أنا وجه الله، و أنا جنب الله، و أنا يد الله، و أنا آية الله. أنا الاوّل، أنا الآخر، أنا الظاهر، أنا الباطن»
«أنا وجه الله، و أنا جنب الله، و أنا يد الله، و أنا آية الله. أنا الاوّل، أنا الآخر، أنا الظاهر، أنا الباطن»
[11]. Syaikh Mahmud Syabesytari, Gulsyan e Râz, hal. 12-14.
[12]. Ali Nuri, al-Ta’liqât ‘ala Mafâtih al-Ghaib, hal. 742; Agha Muhammad Reza Qumsyei, Majmue Âtsâr e Hakim Sahba, hal. 111-150; Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani, Imâm Syinâsi, jil. 5, hal. 125.
[13]. Imam Khumaini, Âdâb al-Shalât, hal. 141.
[14]. Imam Khumaini, Âdâb al-Shalât, hal. 263; silahkan lihat Mirdamad, Qabasât, hal. 387.
[15]. Diyakini bahwa orang-orang Ghulat berkeyakinan pada hulul. Jawad Masykur, Farhangg Firaq Islâmi, hal. 345; Rahimian, Tajalli wa Zhuhur dar Irfân Nazhari, hal. 46; Mulla Shadra Syirazi, Al-Hikmah Al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah, jil. 2, hal. 341.
[16]. Imam Ali As dalam menjelaskan kriteria Ahlul Bait As mengatakan: “Mereka memiliki ciri utama kewalian.” Nahj Al-Balaghah, Khutbah 2.
[17]. Tarkhan Qasim, Mehr Mâh, 148-161.
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar