Please Wait
9790
Benar! Apabila manusia seperti yang diumpamakan Hawking kita pandang laksana komputer yang memiliki memiliki otak biologis, sehingga seiring dengan padamnya komputer tersebut, maka padamlah kehidupan manusia dan tidak akan ada lagi dunia yang lain.
Namun pada dasarnya, hakikat manusia lebih tinggi dari sekedar sebuah komputer dan mesin penghitung yang dapat padam seiring dengan datangnya kematian.
Benar! Apabila manusia seperti yang diumpamakan Hawking kita pandang laksana komputer yang memiliki memiliki otak biologis, sehingga seiring dengan padamnya komputer tersebut, maka padamlah kehidupan manusia dan tidak akan ada lagi dunia yang lain. Namun tentu saja realitas dan hakikat manusia lebih tinggi dari sekedar sebuah mesin penghitung atau komputer.
Apabila kita menganggap ucapan Hawking terkait dengan Tuhan dan surga sebagai sebuah lelucon maka apa yang dapat dikatakan dalam hal ini adalah bahwa ia – berbeda dengan pertanyaan sebelumnya – belakangan ini kalkulasinya pada fisika quantum yang ia sebut sebagai satu-satunya hakikat dan realitas yang ada.
Amat disayangkan bahwa kebanyakan ilmuan ilmu-ilmu modern, tatkala melontarkan pendapat ihwal masalah-masalah metafisika maka masalah-masalah tersebut ditinjau dengan sudut pandangnya sendiri-sendiri yang membuat kita terheran-heran. Misalnya suatu waktu karena tidak menemukan sistem selain sistem tata-surya mereka sampai pada sebuah pandangan bahwa kita tidak dapat menolak Tuhan secara pasti, melainkan harus senantiasa diadakan riset ilmiah untuk dapat membuktikan dan menetapkan keberadaan Tuhan. Namun sejurus kemudian setelah mereka menemukan satu sistem yang lain, mereka sampai pada sebuah kesimpulan bahwa tentu saja Tuhan tidak eksis. Karena bukan hanya tata surya kita yang terdapat di alam semesta ini, melaikan banyak sistem tata surya yang laing yang terdapat di alam-alam lainnya.
Pada dasarnya tuhan yang dilontarkan Hawking sebelum-sebelumnya adalah tuhan yang diragukan keberadaannya dan pada lontaran pendapatnya setelah itu, ia secara keseluruhan mengingkari keberadaan Tuhan, atau memandang surga sebagai dongeng. Namun tidak jelas bagi kita, tuhan dan surga manakah yang dimaksud oleh Hawking?
Gagasan bahwa Tuhan adalah sosok yang bersemayam di balik loteng langit yang memutar dan mengatur semesta ataukah Tuhan sebagai satu realitas faktual dalam pandangan para arif dan orang-orang yang mengenal Tuhan secara hakiki? Hal ini merupakan sebuah contoh, tanpa kita mau membahasnya secara ilmiah.
Tuhan yang telah keluar dari sebuah temuan ilmiah sederhana adalah semata-mata sebuah gagasan yang diperkenalkan orang-orang yang telah mengalami penyimpangan, bodoh dan syirik sedemikian sehingga orang-orang yang mengingkarinya sama sekali tidak memiliki nilai untuk dikafirkan.
Demikian juga, keyakinan terhadap tuhan seperti ini, meminjam terma al-Qur’an, hanyalah sebatas sebuah ucapan dan gagasan serta tidak ada sangkut pautnya dengan iman manusia kepada Tuhan.
Kisah seperti ini telah banyak berulang dalam sejarah ilmu pengetahuan (sains). Sebagaimana dengan penemuan Galileo dan penemuan-penemuan ilmiah lainnya, sebagai konsekuensinya tersebarnya pengingkaran terhadap keberadaan Tuhan. Orang-orang di masa mendatang akan menilai tuhan manakah yang akan punah dan sirna; pada dasarnya gagasan-gagasan ini merupakan gagasan-gagasan yang pernah dilontarkan Aristoteles dan pelbagai penyimpangan orang-orang Kristian yang kemudian mengemuka sebagai sebuah agama. Sayang masalah ini tidak dibahas secara serius dan ilmiah dalam agama Kristen. Dengan demikian, topeng kemunafikan dalam dunia Kristen menjadi terkuak.
Dalam pandangan kami, gagasan-gagasan yang dilontarkan Hawking terkait dengan masalah-masalah seperti keberadaan Tuhan, surga dan neraka lebih merupakan sebuah ejekan terhadap agama-agama ketimbang sebuah argumentasi atas tiadanya keberadaan Tuhan atau tiadanya dunia lain setelah dunia ini. Meski kita tidak mengklaim bahwa apakah ia sendiri mengimani tuhan yang lain selain tuhan yang ia ingkari, namun orang seperti Hawking yang menurutnya, bertahun-tahun telah ia lalui antara hidup dan mati serta tidak takut terhadap kematian. Namun kita ingin bertanya, paradigma apa yang digunakan Hawking dalam memberikan penilaian terhadap usaha-usaha pencariannya selama ini?
Terlepas dari pandangan-pandangan pribadi Hawking, kita tahu bahwa ucapan-ucapan atheistik ini mengemuka dan disebarkan pada media-media dengan propaganda yang luas dan dipandang sebagai seruan kemenangan manusia atas setiap misteri termasuk di dalamnya adalah Tuhan dan dunia lainnya.
Lontaran pernyataan bahwa tiada satu pun yang paling penting kecuali peradaban unggul kita dan kita harus melanjutkan perjalanan perdaban kita ini, karena mereka memandang seluruh agama merupakan takhayul dan angan-angan belaka. Hanya saja, harus diketahui oleh mereka bahwa peradaban teknologi moderen pada masalah-masalah yang paling sederhana sekalipun telah mengalami musibah dan petaka yang tidak terpecahkan apatah lagi mau mengklaim ingin memecahkan masalah Tuhan dan keyakinan terhadap ruh, keabadian dan hari Kiamat.
Kebanyakan para penyembah ilmu-ilmu modern di masa kita dengan bahasa sederhana mengklaim bahwa kami dengan pengetahuan yang kami miliki, dimanapun kami cari dan telusuri kami tidak menemukan sesuatu yang bernama Tuhan atau dunia yan lain. Nah, pada dasarnya sesuai dengan pengakuannya, semenjak permulaan mereka tidak memiliki tujuan seperti ini; karena untuk menemukan Tuhan diperlukan sebuah disiplin ilmu selain ilmu teknis dan kalkulasi matematis di samping itu menuntut sebuah amalan non-hedonistik dan materalialistik.
Pandangan terhadap Tuhan seperti ini mengingatkan kita akan kisah Fir’aun yang disebutkan dalam al-Qur’an yang berkata kepada menterinya, buatkan sebuah menara yang sangat tinggi buatku sehingga aku dapat melihat dari ketinggian siapakah Tuhan yang sering disebut-sebut Musa. Karena saya kira ia adalah seorang pendusta. Ucapan Fir’aun ini diabadikan dalam al-Qur’an, “Dan Fira‘un berkata, “Hai para pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku. Maka bakarlah, hai Haman, untukku tanah liat, kemudian buatkanlah untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta.” [1] Memangnya apabila dibangun sebuah menara dengan ketinggian yang menjulang atau dengan media lainnya naik ke atasnya kemudian akan memperoleh informasi tentang Tuhan? Siapa pun dan dengan media material apa pun tidak akan mendapatkan informasi tentang Tuhan Nabi Musa As. Karena Tuhan tidak berada di langit dan juga tidak di bawah gugusan bintang-bintang dan bahkan fisika kuantum; karena Tuhan tidak berada pada lahir alam dan jalan untuk mengenalnya melalui jalan hati yang merupakan rukun asasi pengetahuan manusia dan amat disayangkan manusia dewasa ini tidak mengenal dengan baik dimensi eksistensialnya ini yang merupakan gerbang ruh.
Seluruh dunia materi dengan segala keagungan yang menjadi obyek telaah pada fisika kuantum, seluruhnya merupakan ornamen-ornamen selestial langit pertama sebagaimana firman Allah Swt, “Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan (batu-batu meteor dari kejahatan setan). Demikianlah ketentuan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.”[2] Dan terdapat langit-langit yang lebih tinggi yaitu langit non-material yang hanya akan dapat terbuka bagi orang-orang yang memiliki kekuatan pengenalan yang mampu menembus hijab-hijab yang ada dan kemampuan yang lebih besar.
Keterhinaan manusia di hadapan sains dan teknologi yang merupakan buah karyanya sendiri, pada masa modern telah sampai pada satu titik dimana ia melupakan kedudukan hakikinya dan kita tahu bahwa Tuhan tidak akan dapat dikenal tanpa mengenal hakikat manusia; karena Tuhan berada pada rahasia wujud manusia.
Karena itu, tidak sampainya manusia kepada Tuhan dengan model pencarian di atas, adanya penegasan ayat-ayat al-Qur’an dan pengingkaran orang-orang yang telah melalaikan dirinya sendiri, mencari Tuhan di tempat yang keliru, “Dan (di waktu itu) mereka berkata, “Kami beriman kepada Allah.” Tetapi bagaimanakah mereka dapat mencapai (keimanan) dari tempat yang jauh itu? Dan sesungguhnya mereka telah mengingkari Allah sebelum itu; dan mereka mengada-adakan kebohongan dari tempat yang jauh tanpa pengetahuan.”[3] (Qs. Al-Saba []:52-53) [IQuest]
[1]. (Qs. Al-Qashash [28]:38)
« وَ قالَ فِرْعَوْنُ یا أَیُّهَا الْمَلَأُ ما عَلِمْتُ لَکُمْ مِنْ إِلهٍ غَیْری فَأَوْقِدْ لی یا هامانُ عَلَى الطِّینِ فَاجْعَلْ لی صَرْحاً لَعَلِّی أَطَّلِعُ إِلى إِلهِ مُوسى وَ إِنِّی لَأَظُنُّهُ مِنَ الْکاذِبینَ»
[2]. (Qs. Al-Fusshilat [33]:12)
« فَقَضاهُنَّ سَبْعَ سَماواتٍ فی یَوْمَیْنِ وَ أَوْحى فی کُلِّ سَماءٍ أَمْرَها وَ زَیَّنَّا السَّماءَ الدُّنْیا بِمَصابیحَ وَ حِفْظاً ذلِکَ تَقْدیرُ الْعَزیزِ الْعَلیمِ»
[3]. (Qs. Al-Saba [34]:52-53)
«وَ قالُوا آمَنَّا بِهِ وَ أَنَّى لَهُمُ التَّناوُشُ مِنْ مَکانٍ بَعیدٍ *وَ قَدْ کَفَرُوا بِهِ مِنْ قَبْلُ وَ یَقْذِفُونَ بِالْغَیْبِ مِنْ مَکانٍ بَعیدٍ»