Please Wait
11113
“Syarâb” bermakna minuman dan “thahûr” berarti sesuatu yang suci dan mensucikan. Banyak ayat yang menyebutkan bahwa di surga kelak terdapat beragam jenis minuman yang menyegarkan dan suci dengan segala kualitas yang bervariasi. Dalam satu ayat al-Qur’an disebut sebagai “syarâban thahûrâ”, “Tuhan memberikan minuman syarâban thahûrâ kepada mereka.” Adapun apa yang dimaksud dengan syarâban thahûrâ di sini terdapat tiga pendapat.
1. Sebagian berpandangan bahwa yang dimaksud dengan syarâban thahûrâ adalah sejenis minuman yang disantap selepas menikmati suguhan makanan surgawi. Minuman tersebut mensucikan seluruh kotoran-kotoran batin dan tidak tersisa dari kotoran ini kecuali keringat yang semerbak dan aromatik dari kulit badan mereka. Sebagian berpendapat bahwa yang dimaksud dengan syarâban thahûrâ di sini adalah segala manfaat ruhani dan maknawi untuk melepaskan dahaga maknawi dan suluk ruhani, sebagaimana dinukil dari Imam Shadiq As yang bersabda: "Lantaran orang-orang beriman meminum syarâban thahûrâ maka mereka dipalingkan dari selain Allah dan dihadapkan kepada maula (Tuhan) mereka." Diriwayatkan dari Imam Baqir As yang bersabda: “Orang-orang mukmin tatkala meminum minuman itu, Allah Swt, dengan perantara minuman tersebut, mensucikan hati-hati mereka dari hasud.”
2. Karena manusia merupakan rajutan indah dari lempung dan Ruh Ilahi, Allah Swt di samping nikmat-nikmat materi, Dia juga menganugerahkan nikmat ruhani dan maknawi kepadanya. Dan karena manusia dalam sair suluknya berbeda-beda nikmat surgawi mereka juga berbeda satu dengan yang lain. Pada ayat al-Qur’an minuman-minuman surga diekspresikan dalam bentuk yang paling indah, disertai dengan seindah-indah susunan. Misalnya “Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli. laksana mutiara yang tersimpan baik.” (Qs. Al-Waqiah [56]:22-23), “Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek, dan seloki (piala) berisi minuman yang diambil dari mata air surga yang mengalir. (Qs. Al-Waqiah [56]:17-18) "Diedarkan kepada mereka gelas yang penuh berisi khamar yang suci. (Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamar zat yang dapat merusak akal dan mereka tidak mabuk karenanya." (Qs. Al-Shaffat [37]:45-47)
Sebagian orang sebagaimana abrar (orang-orang yang mengerjakan kebajikan) meminum dari minuman yang menyegarkan (Rahiq Makhtum) dimana cap lak kesturi yang terpelihara dari kebatilan menempel padanya. Serta terjaga dari segala noda dan nista. Dan nikmat-nikmat orang-orang yang didekatkan kepada Allah (muqarrabun) adalah arak murni Tasnim. Dinukil dari Nabi Saw bahwa beliau bersabda: “Tasnim merupakan minuman termulia di surga yang diminum oleh Muhammad dan keluarganya. Dan ashâbul yamin dan penduduk surga lainnya meminum dari campuran minuman tersebut.”
Sebagai kesimpulanya sebagaimana seluruh manusia di dunia berada pada tataran yang bertingkat dan berbeda, di surga juga mereka memiliki kedudukan yang berstrata dan bertingkat. Dan nikmat yang mereka dapatkan di surga sesuai dengan kandungan dan kemampuan ruhani mereka. Atas alasan ini dalam al-Qur’an disebutkan dengan redaksi yang bervariasi. Sebagian disebut sebagai “ashâbul yamin”, sebagian dijuluki “abrâr” sebagain digelari “muqarribân” di haribaan Allah Swt. Dan nikmat yang mereka peroleh juga selaras dan sejalan dengan kedudukan mereka yang berstrata.
“Syarâb” bermakna minuman dan dalam al-Qur’an al-Karim digunakan sesuai dengan makna ini: “Di dalamnya mereka bertelekan (di atas dipan-dipan) sambil meminta buah-buahan yang banyak dan minuman di surga itu.” (Qs. Shad [38]:51) dan pada ayat yang lainnya, “Dia-lah yang telah menurunkan air hujan dari langit; dari air itulah bahan minumanmu dan dari air itu juga tumbuh-tumbuhan yang kamu gunakan untuk menggembalakan ternakmu (tumbuh).” (Qs. Al-Nahl [16]:10)
Adapun dengan redaksi “tahur” di samping bermakna suci[1] juga bermakna mensucikan.[2] “Dan Kami turunkan dari langit air yang dapat menyucikan.” (Qs. al-Furqan [25]:48)
Syarâban Thahûrâ
Dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat yang menyebutkan bahwa di surga terdapat beragam jenis minuman yang menyegarkan dan suci[3] tersedia dengan kualitas yang beragam. Cairan-cairan sungai yang mengalir di surga ini berbeda dengan cairan-cairan yang terdapat di dunia ini baik dari sisi substansi dan esensi juga dari sisi kualitas. Karena sungai-sungai di dunia tidak ada mengandung cairan lainnya selain air kemudian air-air ini setelah beberapa lama akan memiliki bau. Akan tetapi cairan-cairan sungai di surga dari dua sisi ini memiliki keunggulan dimana ayat-ayat al-Qur’an menyinggung masalah ini. Al-Qur’an menyinggung empat minuman yang terdapat pada empat sungai yang terdapat di surga.[4] Sungai air untuk melepaskan dahaga. Sungai susu, untuk memenuhi kebutuhan makanan. Sungai madu untuk kenikmatan dan kekuatan. Sungai khamar (arak) untuk bersenang-senang. Minuman-minuman ini setelah diciptakan sekali-kali dengan berlalunya waktu tidak akan mengalami kerusakan dan perubahan.[5]
Pada ayat-ayat lainnya disebutkan tentang “Rahiq Makhtum[6] atau Tasnim”[7] atau minuman yang tercampur dengan Kafur[8] atau Zanjabil.[9] Pada satu ayat al-Qur’an ditegaskan dengan redaksi “syarâban thahûrâh” “Wa saqahum rabbuhum syarâban thahûrâh” (Qs. Al-Insan [76]:21) Tuhan mereka meminumkan mereka minuman yang menyegarkan dimana pemberi minuman (Sâqi) mereka adalah Allah Swt sendiri.
Pandangan para penafsir
Ragam pendapat ihwal minuman khusus surga yang memberikan kehidupan ini dapat dihimpun dengan tiga jenis pendapat berikut ini:
1. Yang dimaksud dengan syarâban thahûrâh adalah jenis minuman yang diteguk oleh penduduk surga setelah menyantap hidangan surgawi dan mensucikan seluruh kotoran-kotoran batin dan tidak tersisa dari kotoran ini kecuali keringat yang semerbak dan aromatik dari kulit badan mereka.[10] Dimana penafsiran ini adalah jenis penafsiran materialistik terhadap segala nikmat dan makanan surgawi. Namun dengan kualitas dan tipologi yang lebih unggul dan kelezatan yang lebih banyak. Sebagaimana banyak ayat dan riwayat[11] yang mencirikan minuman-minuman surgawi ini dengan redaksi yang paling indah disertai seelok-elok pemberi minuman (Saqi), Misalnya “Dan (di dalam surga itu) ada bidadari-bidadari yang bermata jeli. laksana mutiara yang tersimpan baik.” (Qs. Al-Waqiah [56]:22-23), “Mereka dikelilingi oleh anak-anak muda yang tetap muda, dengan membawa gelas, cerek, dan seloki (piala) berisi minuman yang diambil dari mata air surga yang mengalir. (Qs. Al-Waqiah [56]:17-18) "Diedarkan kepada mereka gelas yang penuh berisi khamar yang suci. (Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamar zat yang dapat merusak akal dan mereka tidak mabuk karenanya." (Qs. Al-Shaffat [37]:45-47)
2. Yang dimaksud dengan syarâban thahûrâh adalah nikmat-nikmat ruhani dan maknawi untuk mereka yang meniti jalan maknawi dan suluk ruhani. Dalam tafsir al-Mizân, syarâban thahûrâh ini disinggung dengan dengan redaksi pensucian-pensucian ruhani dari segala noda kelalaian mengingat Tuhan dan menyingkap segala hijab penghalang dalam memperhatikan-Nya.[12] Sebagaimana diriwayatkan dari Imam Shadiq As: "Lantaran orang-orang beriman meminum syarâban thahûrâ mereka dipalingkan dari selain Allah dan dihadapkan kepada maula (Tuhan) mereka."[13] Dalam tafsir Atyab al-Bayân disebutkan bahwa syarâban thahûrâh ini mensucikan seluruh hati orang-orang yang berbuat kebajikan (abrâr) dari akhlak tercela dan sifat buruk, fantasi-fantasi yang merusak, duka dan nestapa, dan segala kotoran dan nista.[14]
Dari riwayat yang dinukil dari Imam Baqir As bahwa tatkala orang-orang beriman meminum syarâban thahûrâh, Allah Swt, dengan perantara minuman yang mensucikan itu, mensucikan hati-hati mereka dari sifat hasud.[15] Sebagian ulama berkata: Lantaran karam dalam tauhid murni dan keterputusan sempurna (kamal inqitâ’) dari sisi kita di haribaan Tuhan adalah kesempurnaan paripurna, sehingga segala sesuatu yang tidak sejalan dengannya maka ia tidak memiliki kesucian. Karena minuman yang diteguk dari tangan Saqi (pemberi minuman) semacam ini akan mensucikan manusia dari segala sesuatu selain Tuhan. Kandungan ucapan ulama ini dipandang sebagai sebuah hakikat keseluruhan dan meliputi yang dipetik dari mutiara pelajaran Ahlulbait As.[16] Dari Imam Shadiq As dinukil bahwa beliau bersabda: Minuman ini mensucikan dan membersihkan jiwa dan raga mereka dari segala sesuatu selain Dzat yang Esa dan Kudus. Karena satu-satunya dzat yang suci adalah Tuhan dan dengan mengingat-Nya akan mensucikan manusia dari segala noda serta mencegahnya dari segala yang nista.” [17]
3. Sebagian penafsir menggabungkan dua pendapat ini dan berkata:[18] Karena manusia merupakan rajutan indah antara lempung dan ruh Tuhan, di samping rezeki-rezeki materi, nikmat-nikmat ruhani dan maknawi juga diberikan kepada mereka. Dan karena manusia berbeda dalam sair suluknya nikmat surgawi yang mereka peroleh juga beragam. Sebagian orang sebagaimana abrâr (orang-orang yang mengerjakan kebajikan) meminum dari minuman yang menyegarkan (Rahiq Makhtum) dimana cap lak kesturi terpelihara dari kebatilan menempel padanya. Serta terjaga dari segala noda dan nista. Dan nikmat-nikmat orang-orang yang didekatkan kepada Allah (muqarrabun) adalah arak murni Tasnim. Dari hadis yang dinukil dari Nabi Saw disebutkan bahwa beliau bersabda: “Tasnim merupakan minuman yang paling mulia di surga dimana Muhammad dan keluarganya meminumnya. Ashabul Yamin dan penduduk surga lainnya meminum dari campuran minuman tersebut.” [19] Dimana yang memberikan minuman (Sâqi) tersebut adalah Dzat Kudus Ilahi, “Tuhan memberikan kepada mereka minuman yang bersih.” (Qs. Al-Insan [76]:21) dan pialanya adalah hakikat berharga makrifat dan kecintaan kepadanya. “Sesungguhnya orang yang berbuat baik (abrar) itu benar-benar berada dalam kenikmatan yang besar (surga). Mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang (keindahan surga). Kamu dapat mengetahui dari wajah mereka kesenangan hidup mereka yang penuh kenikmatan. Mereka diberi minum dari Rahiq Makhtum (khamar murni) yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi.” (Qs. Al-Muthaffifin [83]:25-26)
Dari apa yang disampaikan di atas dapat disimpulkan bahwa sebagaimana di dunia ini seluruh manusia berada pada tingkatan yang berbeda kesempurnaan, di surga juga mereka memiliki tingkatan dan strata yang beragam. Dan nikmat yang mereka peroleh di surga juga sesuai dengan kapabilitas dan kemampuan ruh mereka. Dan atas alasan ini kita jumpai redaksi beragam dari tingkatan mereka. Sebagian digelari “ashâbul yamin”, sebagiannya dijuluki “abrâr,” sebagian dipanggil “muqarrabûn,” di haribaan Ilahi. Dan sesuai dengan kedudukannya masing-masing mereka memperoleh kenikmatan surgawi. Apa yang pasti nikmat-nikmat surgawi penuh melimpah dengan kelezatan dan kegembiraan serta memberikan kehidupan, bukan seperti yang digambarkan di dunia. []
[1]. Qamus Qur’an, jil. 2, hal. 242
[2]. Fakhurrazi, Tafsir al-Kabir, jil. 30, hal. 254
[3]. Nampaknya pembahasan mensucikannya minuman-minuman surga tidak sebagaimana yang mengemuka di dunia. Karena najis dan kekotoran tidak ada jalannya di surga dan apa yang mengemuka di
[4]. “(Apakah) perumpamaan (penghuni) surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar (arak) yang lezat rasanya bagi peminumnya, dan sungai-sungai dari madu yang murni.” (Qs. Muhammad [47]:15)
[5]. Makarim Syirazi, Payâm-e Qur’ân, Tafsir Maudhu’i, Ma’âd dar Qur’ân, jil. 6, hal. 244
[6]. “Mereka diberi minum dari Rahiq Makhtum (khamar murni) yang dilak (tempatnya), laknya adalah kesturi.” (Qs. Al-Muthaffifin [83]:25-26)
[7]. “Dan campuran khamar murni itu adalah dari Tasnîm . (yaitu) mata air yang darinya orang-orang yang didekatkan kepada Allah minum.” (Qs. Muthaffifin (83): 27-28
[8]. “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang telah dicampur dengan air Kafur (yang semerbak mewangi).” (Qs. Al-Insan [76]:6-5)
[9]. “Di dalam surga itu mereka diberi segelas minuman yang telah dicampur dengan Zanjabil (Jahe).” (Qs. Al-Insan [76]:17-18)
[10]. Fakhrurazi, Tafsir al-Kabir, jil. 30, hal 254 dan Tafsir Majma’ al-Bayan, jil. 10, hal. 623
[11]. Dalam hal ini Anda dapat merujuk ke Abdullah bin Sinan yang meriwayatkan dari Imam Shadiq As pada Tafsir Nur al-Tsaqalaîn, jil. 5, hal. 30 & 32, hadis 30.
[12]. Allamah Thaba-thabai, Tafsir al-Mizan, terjemahan Musawi Hamadani, jil. 20, hal. 361.
[13]. Minhaj al-Shadiqin, jil. 10, hal.110. Majma al-Bayan, jil. 10, hal. 623.
[14]. Tayyib Sayid Abdulhusein, Atyab al-Bayan dar Tafsir al-Qur’an, jil. 13, hal. 327.
[15]. Tafsir Syafi az Kafi yang menukil dari tafsir Ahsan al-Hadits, Sayid Ali Akbar Karasyi, jil. 11, hal. 27.
[16]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Maudhui’ Qur’an dar Qur’an, jil. 5, hal. 298 & 302.
[17]. Thabarsi, Majmâ’ al-Bayân, jil. 10, hal. 623.
[18]. Abdullah Jawadi Amuli, Tafsir Tasnim, jil. 1, hal. 27, Intisyarat Isra, cetakan pertama 1378 .
[19]. Allamah Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 44, hal. 3; Ilmu al-Yaqin, jil. 2, hal. 1253 dinukil dari kitab Tafsir Tasnim.