Please Wait
12519
Definisi dan makna jelas dan ringkas kaidah ini adalah bahwa penguasa kaum Muslimin dapat memaksa seseorang yang menolak memenuhi hak-hak (dalam artian umum) seseorang untuk memenuhi hak-hak tersebut.
Tanpa harus merujuk terlalu panjung dan jeluk pada turats fikih (litetarur fikih), kaidah ini akan meyakinkan manusia pada kesimpulan bahwa otoritas (wilayah) hakim atas mumtani’ merupakan sebuah aksioma (prinsip yang telah diterima) di kalangan seluruh juris (fakih) dan tidak terdapat perdebatan di sini. Meski dalam sebagian obyek partikular tetap saja terlihat perbedaan.
Penjelasan dan Penjabaran Kaidah
Pembahasan otoritas penguasa (wilâyah hakim) merupakan sebuah pembahasan yang telah ada dan mengemuka semenjak dahulu yang dapat dijumpai pada literatur-literatur (turats) fikih. Corak aturan-aturan Islam dan risalah besarnya, di samping selaksa dalil lainnya telah menjadikan pembahasan ini sebagai sebuah pilar dan sandaran dalam fikih.
Tanpa harus menelusuri terlalu panjang dan jeluk pada turats fikih (litetarur fikih) kaidah ini meyakinkan manusia pada kesimpulan bahwa otoritas (wilayah) hakim atas mumtani’ (orang-orang yang menolak untuk memenuhi hak seseorang) merupakan sebuah aksioma (prinsip yang telah diterima) di kalangan seluruh juris (fakih) dan tidak terdapat perdebatan di sini. Meski dalam sebagian obyek partikular tetap saja terlihat perbedaan.
Definisi dan makna jelas dan ringkas kaidah ini adalah bahwa penguasa kaum Muslimin dapat memaksa seseorang yang menolak memenuhi hak-hak seseorang (dalam artian umum) untuk memenuhi hak-hak tersebut.[1]
Siapa Penguasa itu?
Apakah setiap penguasa dan hakim memiliki wewenang seperti ini? Dan semata-mata karena ia seorang Muslim dan memerintah atas kaum Muslimin dapat memiliki wewenang seperti ini? Atau yang dimaksud sebagai penguasa dan hakim adalah orang-orang yang menguasai seluruh hukum dan masalah-masalah ibadah dan muamalah dalam Islam juga dan memahami dengan baik prinsip-prinsipnya?
Setelah mengkaji secara luas makna hakim dan penguasa dalam riwayat-riwayat dan tuturan-tuturan para fakih, Muhaqiq Damad, dalam Qawâid Fiqh, menulis, “Singkatnya, dengan memperhatikan hal-hal lain terkait dengan penggunaan kata hakim dalam Fikih, nampaknya yang dimaksud dengan hakim oleh para fakih adalah fakih yang memenuhi selaksa persyaratan di samping memangku jabatan peradilan dan pengadilan juga jabatan penguasa dalam artian umum dan juga memiliki kelayakan mengatur secara luas.”[2]
Dalil-dalil Riwayat
A. Dalil Umum (Dalil Rasional dan Akal Sehat):
Menjaga sistem sosial masyarakat dan penegakan keadilan merupakan cita-cita dan dambaan seluruh umat manusia. Karena itu, secara rasional, akal menghukumi adanya penegakan keadilan seperti ini. Dari satu sisi, dalam masyarakat yang menerima pengamalan aturan dan tugas-tugas legal sebagai infrastruktur seluruh hubungan sosial kemasyarakatan, mau tak mau harus berhadapan dengan keharusan-keharusan untuk berkonfrontasi dengan orang-orang yang melanggar hukum dan peraturan; sehingga pelanggaran mereka tidak melebihi batas yang telah ditetapkan dari lembaga-lembaga pembuat hukum dan peraturan sehingga tidak menimbulkan kekacuaan dan anarki dalam masyarakat. Demikian juga supaya tidak memotivasi orang lain untuk melakukan pelanggaran.
Berdasarkan penalaran sederhana hukum seperti ini menjadi cikal-bakal munculnya kaidah fikih yang menjadi obyek bahasan.
Karena itu, kebanyakan fakih (juris), untuk dapat bersandar pada kaidah ini, tidak memandang perlu beragumentasi panjang lebar dan mengujukkan dalil. Dan mereka menyusun sebuah kaidah otoritas hakim atas mumtani’ yang merupakan sebuah aksioma yang diterima oleh seluruh anggota masyarakat dan tidak dapat digerusi. Rahasia kesimpulan seperti ini adalah adanya kejelasan hukum dan pijakan rasional atas kaidah ini atau mereka berpandangan bahwa dalil-dalil wilayah fakih sudah mencukupi atas persoalan ini.[3]
B. Dalil Khusus:
Meski redaksi kalimat “al-hâkim wali al-mumtani’” tidak disebutkan dalam satu riwayat pun, namun kandungannya dapat ditemukan pada sebagian riwayat:
1. Riwayat Salma bin Kuhail: Salma bin Kuhail meriwyatkan bahwa Ali As berkata kepada Syarih: “Perhatikanlah orang-orang yang memandang enteng menyerahkan hutang-hutang masyarakat meski ia memiliki kemampuan finansial. Serahkanlah hak-hak masyarakat dengan menjual harta dan benda orang tersebut; karena aku mendengar dari Rasulullah Saw yang bersabda, “Sikap memandang enteng orang yang mampu adalah kejahatan terhadap seorang Muslim yang menagih.”[4]
Meski sebagian sikap memandang enteng dipandang lemah namun dengan memperhatikan terhadap teks riwayat, riwayat ini adalah riwayat yang diterima oleh fukaha.[5]
2. Riwayat Hudzaifah: Diriwayatkan dari Imam Shadiq As yang bersabda bahwa pada masa Rasulullah Saw gandum langka ditemukan di pasar. Kaum Muslimin datang menghadap beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah Saw!” Gandum kini langka ditemukan di pasar. Gandum hanya dapat ditemukan pada seseorang dan tidak pada yang lain. Instruksikanlah orang itu untuk menjual gandumnya. Rasulullah Saw berkata kepada orang itu, “Kaum Muslimin melaporkan bahwa gandum langka ditemukan di pasar dan hanya engkau yang memilikinya. Gelarlah untuk dijual dan juallah berapapun yang engkau mau. Janganlah engkau simpan gandum itu.”[6]
Namun pada teks riwayat di atas tidak disebutkan adanya penjelasan tentang adanya penolakan untuk menjual gandum sehingga keluar penerapan wilayah yaitu penjualan secara langsung oleh Rasulullah Saw. Namun dalam kondisi yang serupa apa yang dideskripsikan dalam riwayat, penolakan pemilik gandum untuk menjual gandumnya merupakan hal yang wajar. Hal ini teratasi setelah kaum Muslimin merujuk kepada Rasulullah Saw dan meminta beliau untuk menginstruksikan penjual gandum itu untuk menjual gandumnya.[7]
3. Riwayat Abu Bashir: Imam Baqir As bersabda, “Barang siapa yang menolak untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan istrinya maka imam memiliki hak untuk memisahkan keduanya. Riwayat ini, terlepas apakah kita memandangnya terkait dengan ketidakmampuan memberikan nafkah atau adanya penolakan, menunjukkan secara lahir suami menolak untuk memberikan talak kepada istrinya.”[8] Dalam kondisi seperti ini, imam dapat memisahkan keduanya sekiranya suami menolak memberikan nafkah kepada istrinya.
4. Konsensus (ijmâ’): Dalam tuturan-tuturan para fukaha kaidah ini diklaim telah tercapai konsensus (ijmâ).[9] Konsensus ini, meski tidak diungkapkan dengan menggunakan nama kaidah ini sendiri, namun paling tidak obyek-obyeknya telah banyak diklaim oleh para fukaha.[10]
Dengan memperhatikan hal-hal yang telah dijelaskan makna kaidah dan dalil-dalinya telah menjadi jelas. Namun sebagaimana yang telah disampaikan kaidah ini memiliki penyelarasan yang banyak dalam fikih yang disebutkan secara terpisah dalam pembahasan-pembahasan yang detil. [iQuest]
[1]. Fattah Syahid Tabrizi, Hidâyat al-Thâlib ila Asrâr al-Makâsib, jil. 3, hal. 605, Itthila’at, Tabriz, 1375 H.
[2]. Sayid Mustafa Muhaqqiq Damad, Qawâid Fiqh, jil. 3, hal. 213, Markaz Nasyr ‘Ulum Islami, Teheran, 1406 H.
[3]. Silahkan lihat, Muhammad Husain Isfahani, Hâsyiyah Kitâb al-Makâsib, jil. 2, hal. 399, Anwar al-Huda, Qum, Cetakan Baru, 1418 H.
[4]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Al-Kâfi, jil. 7, hal. 412, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1407 H.
[5]. Qawâid Fiqh, jil. 3, hal. 205.
[6]. Al-Kâfi, jil. 5, hal. 164.
[7]. Qawâid Fiqh, jil. 3, hal. 206.
[8]. Muhammad bin Ali Shaduq, Man La Yahdhur al-Faqih, jil. 3, hal. 441, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, 1413 H.
[9]. Muhammad Hasan Najafi, Jawahir al-Kalam, jil. 22, hal. 485, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Tanpa Tahun.
[10]. Syaikh Muhammad Husain Gharawi Isfahani dalam hal ini berkata, “Otoritas penguasa dalam kebanyankan hal ini (dan obyek-obyek ini) adalah merupakan sebuah consensus dan dalam tuturan-tuturan ulama mengemuka sebagai hal yang telah diterima secara umum sedemikian sehingga tidak perlu ditetapkan dan dapat dijadikan sandaran. Silahkan lihat Hâsyiyyah Kitâb al-Makâsib, jil. 2, hal. 399.