Please Wait
12001
Kaum Muslimin berbedap pendapat terkait dengan ada dan tiadanya frase hayya ‘ala khair al-‘amal (marilah menuju amalan terbaik) dalam adzan. Sebagian memasukkan frase ini setelah frase “hayya ‘ala al-falâh” ((marilah menuju kemenangan))dan sebagian lainnya tidak menyertakannya dalam adzan mereka. Kedua pendapat ini masing-masing bersandar pada perbuatan Rasulullah Saw! Mengingat banyak riwayat yang disebutkan dari jalur Ahlulbait As tentang masalah ini dan di kalangan juris Syiah telah tercapai konsensus (ijma) bahwa frase hayya ‘ala khair al-‘amal (marilah menuju amalan terbaik) merupakan bagian dari adzan.
Di samping itu, terdapat banyak riwayat dalam literatur-literatur Sunni yang menandaskan bahwa frase hayya ‘ala khair al-‘amal merupakan bagian dari adzan. Riwayat-riwayat ini dinukil dari sebagian sahabat dan riwayat-riwayat mereka pada umumnya diterima di kalangan Sunni.
Kaum Muslimin berbedap pendapat terkait dengan ada dan tiadanya frase hayya ‘ala khair al-‘amal (marilah menuju amalan terbaik) dalam adzan. Sebagian memasukkan frase ini setelah frase “hayya ‘ala al-falâh” (marilah menuju kemenangan) dan sebagian lainnya tidak menyertakannya dalam adzan mereka. Kedua pendapat ini masing-masing bersandar pada perbuatan Rasulullah Saw!
Riwayat-riwayat Ahlulbait As berada pada tataran menetapkan bahwa frase hayya ‘ala khair al-‘amal merupakan bagian dari adzan dan harus disampaikan dalam adzan. Di antara riwayat-riwayat ini yang dapat disebutkan di sini adalah riwayat Kulaib Asadi[1] dan riwayat Abdullah bin Sanan dari Imam Shadiq As.[2]
Karena itu, dengan memperhatikan banyak riwayat yang disebutkan melalui jalur Ahlulbait As, para juris Syiah Imamiyah mencapai konsenus (ijma)[3] bahwa frase hayya ‘ala khair al-‘amal merupakan bagian dari adzan.
Dengan demikian sehubungan dengan riwayat-riwayat Ahlulbait As dan pandangan para karena jelasnya riwayat tentang masalah ini, kita tidak akan membahasnya terlalu jauh dan akan menyebutkan masalah frase hayya ‘ala khair al-‘amal dalam adzan Sunni.
Hayya ‘ala khair al-‘amal adalah Bagian Adzan dalam Sunni
Banyak riwayat dalam literatur Sunni yang menegaskan bahwa frase hayya ‘ala khair al-‘amal merupakan bagian dari adzan. Riwayat-riwayat ini dinukil dari sebagian sahabat dan riwayat-riwayat mereka ini pada umumnya diterima di kalangan Sunni.
- Abdullah bin Umar: Dari Nafi dinukil demikian bahwa Abdullah bin Umar boleh jadi menambahkan frase hayya ‘ala khair al-‘amal dalam adzanya setelah frase hayya ‘ala al-falâh.”[4]
- Sahl bin Hanif: Baihaqi menukil bahwa membaca “hayya ‘ala khair al-‘amal” juga diriwayatkan dari Abu Umamah, Sahl bin Hanif.[5]
- Bilal Habasyi: Dalam sebuah riwayat dari Bilal disebutkan bahwa ia dalam adzannya menyertakan frase “hayya ‘ala khair al-‘amal” namun kelanjutan hadis ini dinyatakan bahwa Rasulullah Saw setela beberapa lama bersabda kepadanya sertakanlah frase “al-shalat khair min al-naum” (salat lebih baik daripada tidur) sebagai ganti frase hayya ‘ala khair al-‘amal.”[6]
Bagian ketiga riwayat ini (dari Bilal Habasyi) sarat dengan persoalan dan kritikan; karena mengikut penegasan sebagian ulama Sunni, al-shalat khair min al-naum, ditambahkan menjadi bagian adzan setelah wafatnya Rasulullah Saw. Malik bin Anas salah seorang pembesar Sunni dan Imam Mazhab Maliki dalam kitabnya berkata, “Demikian sampai kepada kami bahwa muaddzin Khalifah Kedua, suatu hari datang (ke masjid) untuk mengumandangkan adzan Subuh namun (saat itu) ia melihat Khalifah Kedua masih tidur. Karena itu, di antara adzan ia mengucapkan “al-shalat khair min al-naum” (salat lebih baik daripada tidur), Khalifah Kedua bangung dari tidurnya dan memerintahkan kepadanya untuk menambahkan frase ini pada adzan Subuh.[7]
Dalam sebuah naskah dari Kitab Malik bin Anas terdapat seseorang bernama Muhammad bin Hasan yang menukil riwayat ini setelah menjelaskan sebuah riwayat dalam bab adzan menyebutkan sebuah catatan seperti ini, “Frase al-shalat khair min al-naum” harus disebutkan setelah selesainya adzan dan tidak pantas sesuatu yang tidak ada dalam adzan ditambahkan menjadi bagian dari adzan.”[8]
Meski pada sebagian riwayat Ahlusunnah yang menyebutkan tata cara adzan, tidak disebutkan frase “hayya ‘ala khair al-‘amal” namun tentu saja dalam beberapa riwayat lainnya ungkapan ini juga disebutkan. Sementara dalam riwayat-riwayat Syiah berada pada tataran menjelaskan tata cara adzan, frase “hayya ‘ala khair al-‘amal” senantiasa dijelaskan.
Sebab Penghapusan Frase Hayya ‘ala Khair al-‘Amal dalam Adzan
Qausyaji Hanafi dalam Syarh Tajrid berkata, “Umar bin Khattab dalam sebuah khutbahnya berkata kepada masyarakat, “Ayyuhannas! Tiga hal yang dulunya ada pada masa Rasulullah Saw namun kini saya melarang dan mengharamkannya. Siapa saja yang mengerjakannya maka aku akan menghukumnya. (Tiga hal tersebut) Pertama: Mut’ah wanita. Kedua, Haji tamattu dan ketiga mengucapkan hayya ‘ala khair al-‘amal dalam adzan.”[9]
Terdapat dua pendapat terkait dengan alasan penghapusan hayya ‘ala khair al-‘amal. Pendapat pertama disebutkan oleh Sunni dan berada pada tataran mencari sisi benar tindakakan Khalifah Kedua. Pendapat kedua adalah riwayat-riwayat yang bersumber dari Ahlulbait As.
Fadhl bin Syadzan dari Ibnu Abi Umair meriwayatkan bahwa Imam Shadiq As bertanya, “Atas dasar apa hayya ‘ala khair al-‘amal dihapus dari adzan?” Imam Shadiq As bersabda, “Apakah engkau ingin mengetahui sebab lahirnya atau sebab asli dan batinnya?” Ibnu Abi Umair berkata, “Kedua-duanya.” Imam Shadiq As bersabda, “Sebab lahirnya supaya orang-orang bersandar padanya orang-orang tidak lagi ingin pergi berjihad dan berkata bahwa sebaik-baik amalan adalah salat sehingga mereka tidak pergi jihad. Adapun sebab batinnya karena sebaik-baik amal adalah wilayah, orang yang menghapus frase ini dari adzan, ingin supaya orang-orang tidak diseru dan diajak kepada wilayah.”[10]
Karena itu, dengan memperhatikan riwayat-riwayat Ahlulbait As dan amalan sebagian sahabat yang riwayatnya sampai kepada kita, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa frase “hayya ‘ala khair al-‘amal” tadinya merupakan bagian dari adzan namun kemudian dihapus oleh Khalifah Kedua. [iQuest]
[1]. Muhammad bin Ali Shaduq, Man Lâ Yahdhuruhu al-Faqih, jil. 1, hal. 290, Daftar Intisyarat-e Islami, Qum, 1413 H.
[2]. Muhammad bin Hasan Thusi, Tahdzib al-Ahkâm (Riset oleh Khurasan), jil. 2, hal. 59, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, 1407 H.
[3]. Ali bin Husain Syarif Murtadha , al-Intishâr fi Infirâdât al-Imâmiyah, hal. 137, Daftar Intisyarat Islami, Qum, 1415 H.
[4]. Sunan Baihaqi, jil. 1, hal. 424, al-Maktabat al-Syâmilah, pada halaman ini terdapat beberapa riwayat yang dinukil dari Abdullah bin Umar yang menyebutkan kalimat “hayya ‘ala khair al-‘amal.” Demikian juga silahkan lihat al-Muwatthâ, jil. 1, hal. 163, Hadis 92, al-Maktabat al-Syamilah.
[5]. Sunan Baihaqi, jil. 1, hal. 424.
[6]. Ibid, hal. 425.
[7]. Al-Muwatthâ, jil. 1, hal. 161, Hadis 91.
[8]. Ibid, hal. 163, Hadis 92.
[9]. Untuk telaah lebih jauh pandangan Qausyaji dalam masalah ini silahkan lihat Muhammad Husaini Syirazi, al-Qaul al-Sadid fi Syarh al-Tajrid, hal. 360, Dar al-Aiman, Qum, 1410 H.
[10]. Muhammad bin Ali Shaduq, ‘Ilal al-Syarai’, jil. 2, hal. 368, Intisyarat Dawari, 1385 S. Dalam menjelaskan riwayat ini dapat dikatakan bahwa boleh jadi masalah wilayah yang merupakan sebaik-baik amalan terkenal di kalangan umat karena itu dihapus atau pada masa-masa setelahnya umat akan bertanya terkait dengan apakah sebaik-baik amalan itu? Apabila salat merupakan sebaik-baik amalan lantas mengapa kita harus pergi berjihad? Atau mengapa kita melakukan kewajiban-kewajiban dan amalan-amalan mustahab lainnya seperti infak dan sedekah? Pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan menggiring umat untuk bertanya tentang Ahlulbait As dan tentu saja jawaban atas pertanyaan-pertanyaan seperti ini tidak sesuai dengan keinginan aparat pemerintahan.