Please Wait
15086
Kebebasan memiliki makna dan batasan yang beragam dan berbeda-beda. Diantaranya:
1. Kebebasan bermakna kemandirian eksistensial terkait dengan wujud mutlak dan eksklusif pada Dzat Allah Swt yang sama sekali tidak memiliki batasan dan demarkasi.
2. Kebebasan bermakna ikhtiar yang merupakan salah satu pembahasan filosofis dan teologis; artinya manusia dalam mengerjakan segala perbuatannya memiliki kebebasan dan ikhtiar. Meski boleh jadi dari sudut pandang hukum dan syariat manusia memiliki kebebasan dan larangan tertentu.
3. Kebebasan hukum (kebebasan dalam memilih perumahan, sandang, pekerjaan, istri, kebebasan berekspresi, memilih agama dan sebagainya) dimana dalam pandangan Islam dan Syiah batasan kebebasan terletak pada tiadanya benturan dan gangguan pada kemaslahatan material, spiritual, duniawi dan ukhrawi manusia lainnya.
Kebebasan sipil atau sosial yang dijadikan sebagai fokus pembahasan dalam masalah politik mengandung persoalan dan pertanyaan asasi tentang masalah kebebasan sosial. Bahwa sampai mana batasan suatu negara atau hukum dapat menjadi pembatas dari kebebasan setiap orang?
Jawaban atas pertanyaan ini dapat kita gali dari pemikiran politik Islam. Pemikiran politik Islam tidak menganjurkan kebebasan ekstrem yang dapat menyebabkan kerusakan dan kehancuran, namun juga tidak memandang buruk kepada manusia, tidak memberikan paksaan untuk menerima setiap pemerintahan tiran yang memberangus segala kemuliaan, sehingga alih-alih menjadikan manusia sebagai entitas aktif, bebas dan bertanggung jawab malah menjadikannya sebagai orang yang patut dikasihani dan tak-berkehendak.
Dari sisi tabiat dan fitrah manusia, tidak ada yang lebih bernilai dan berharga dari kebebasan dan kemandirian yang dimilikinya. Meskipun seseorang disuguhi segala bentuk kenikmatan dan kelezatan duniawi namun diberikan padanya batasan-batasan, maka sekali-kali manusia akan lebih memilih kebebasan.
Kebebasan sebagai hak asasi dan fitrawi manusia juga menjadi salah satu dalil penting, abadinya kesucian nama para nabi Allah di tengah umat manusia. Para nabi Allah adalah orang-orang yang pertama kali membela hak agung kemanusiaan ini. Mereka mempropagandakan kebebasan dan berusaha memperkenalkan dan merealisir wujud kebebasan pada umat manusia. Mereka menyampaikan maarif dan sebagai pengawal kebebasan di kalangan umat manusia. Atas alasan ini, para nabi senantiasa hidup dalam kenangan dan ingatan manusia. Adapun para penemu dalam bidang industri, kendati mereka telah berusaha untuk memenuhi kebutuhan manusia, akan tetapi dengan adanya berbagai inovasi baru dan kemajuan dalam sains dan industri, seiring perkembangan zaman, nama mereka terhapus dan terlupakan dari ingatan manusia. Misalnya, dimasa kekinian tidak ada seorangpun yang mengenal penemu kaca yang hidup pada masa Fira'un apatah lagi untuk mengenangnya. Bagaimanapun, kebebasan adalah hak natural manusia dan kehendak yang terjalin berkelindan pada fitrah dan nurani manusia.
Adapun terkait masalah hak kebebasan, salah satu poin yang harus diperhatikan adalah kebebasan memiliki defenisi yang beragam. Boleh jadi seseorang secara sadar ataupun tidak menghukumi suatu hukum berkenaan dengan salah satu defenisi kebebasan dengan menggunakan defenisi yang lain. Untuk menghindar dari mughâlatah lafzi (fuzzy logic dalam pengucapan) terkait dengan pengertian kebebasan ini kiranya kita perlu mengenal beberapa makna kebebasan itu:
A. Kebebasan Bermakna "Kemandirian Eksistensial"
Salah satu defenisi kebebasan adalah bahwa satu entitas dan eksisten memiliki kemandirian dan tidak berada di bawah dominasi dan hegemoni entitas lainnya; misalnya orang-orang yang tidak beriman kepada Allah Swt berkata, "Dunia eksistensi tidak bergantung kepada siapa pun dan ia mandiri”. Atau orang-orang yang beriman kepada Allah Swt, namun meyakini bahwa Dia membiarkan manusia setelah menciptakan alam semesta dan alam semesta tidak lagi membutuhkan peran Tuhan setelah penciptaannya. Sebagian manusia memiliki keyakinan seperti ini, akan tetapi dari sudut pandang Islam kebebasan semacam ini terbatas secara eksklusif pada Tuhan semata yang sama sekali tidak memiliki keterbatasan eksistensi dan hanya Dialah yang mandiri dan tidak membutuhkan. Sementara entitas dan eksisten lainnya seluruhnya bergantung dan berhajat kepada-Nya.
B. Kebebasan Bermakna "Ikhtiar" [1]
Makna lain dari kebebasan yang masih terkait dalam ranah teologi dan filsafat dan juga psikologi filsafat adalah kebebasan sebagai lawan determinasi (jabr). Persoalan ini telah lama dibahas dikalangan para pemikir dan cendekiawan bahwa apakah manusia benar-benar bebas dan merdeka dalam perbuatannya, atau semata-mata sekedar berimajinasi bahwa ia bebas, sementara pada hakikatnya terpaksa dan tidak memiliki kehendak sendiri. [2]
Dalam pembahasan ini terdapat tiga pandangan:
1. Determinasi dan Tiadanya Kehendak:
Para pendukung pandangan ini berkata bahwa seluruh manusia sedikit pun tidak memiliki kehendak dalam tindakan dan perbuatannya. Dan manusia laksana media yang berpikir di tangan seorang guru dan apa pun yang terjadi seluruhnya adalah kehendak Tuhan. [3]
2. Tafwidh atau Delegasi:
Para pengikut pandangan ini berkata bahwa Tuhan menciptakan manusia dan membekalinya dengan software otak dan syaraf-syaraf dan seluruh urusan dan pekerjaan diserahkan sepenuhnya kepada manusia. Karena itu, Tuhan sama sekali tidak memiliki pengaruh dan campur tangan dalam tindakan dan perbuatan manusia demikian juga terkait dengan ketentuan Ilahi seperti qadha dan qadar sama sekali tidak berpengaruh. [4]
3. Ikhtiar (Bebas) atau Amr Bain al-Amrain [5] (Bukan determinasi juga bukan delagasi melainkan perkara di antara dua perkara)
Syiah memilih keyakinan ini mengikut pada penjelasan-penjelasan Imam Ahlulbait As. Artinya suratan nasib manusia berada di tangannya. Manusia dalam tindakan dan perbuatannya adalah makhluk yang bebas dan memiliki ikhtiar. Akan tetapi hal kebebasannya itu mengikut kepada kehendak Tuhan, qada dan qadar Ilahi. Artinya pada satu kejadian dan satu perbuatan manusia terdapat dua kehendak yang berlaku: "Kehendak Tuhan dan kehendak manusia." Dan sepanjang tidak ada dua kehendak ini maka sekali-kali tidak ada perbuatan yang dapat terlaksana.
Akan tetapi dua kehendak ini posisinya tidak berjejeran secara horizontal; artinya bukan berasal dari pembahasan pengaruh dua sebab atau satu akibat. Melainkan berposisi sebarisan secara vertikal; artinya bahwa sebagaimana wujud setiap entitas berada di bawah pancaran Wujud Ilahi dan kekuasaan (qudrah) setiap orang yang berkuasa bergantung pada kekuasaan Tuhan, sebagaimana kehendak dan kebebasan setiap orang bebas dan berkehendak berada di bawah pancaran kehendak dan ikhtiar Allah Swt.
Terdapat penalaran sangat sederhana atas pandangan ini. Dari satu sisi tauhid dalam kepenciptaan (khâliqiyayah) dan rububiyah Tuhan, keumuman kehendak dan kekuasaan Tuhan terhadap segala sesuatu. Dari sisi lain, keadilan Tuhan dan kesaksian nurani dan fitrah secara umum atas kebebasan dan ikhtiar manusia.
Poin penting yang harus diperhatikan adalah bahwa kebebasan dalam pembahasan ini bermakna kebebasan takwini (penciptaan) yang menandaskan sebuah realitas faktual. Dan dari pembahasan ini kita tidak dapat menyimpulkan kebebasan hukum dan nilai sehingga terjerembab pada fuzzy logic pengucapan (mughalatha lafzi).
C. Kebebasan Bermakna Tiadanya Ketergantungan [6]
Makna ketiga kebebasan adalah sebuah pemahaman yang umum digunakan pada pembahasan akhlak dan irfan. Artinya manusia tidak boleh bergantung pada dunia, kelezatan duniawi dan segala sesuatu selain Tuhan. Cinta dan kasih terbatas hanya pada Dzat Suci Ilahi. Apabila manusia mencintai sesuatu atau seseorang maka kecintaan itu harus di bawah lintasan kecintaan Tuhan dan bahwa kecintaan itu merupakan pancaran keindahan (jamal) Ilahi.
Makna kebebasan ini merupakan makna yang sarat dengan nilai namun tidak ideal dalam bentuk mutlak; artinya apabila manusia bebas dari ketergantungan dan kecintaan terhadap segala sesuatu dan siapa pun bahkan dari Tuhan maka kebebasan ini adalah kebebasan yang kontra nilai. Dan di sinilah orang terkadang terjerembab pada kesalahan dan fuzzy logic.
D. Kebebasan sebagai Lawan Perbudakan
Pada masa-masa lampau, [7] jual-beli budak adalah suatu hal yang biasa. Sebagian orang menjadikan sebagian lainnya sebagai budak dan mengeksploitasi mereka dengan tumpukan pekerjaan. Namun ada juga sebagian orang yang bebas dan tidak menjadi budak orang lain.
Islam hadir dan menyuguhkan solusi-solusi fundamental dan alternatif dalam membebaskan budak-budak. Tentu bukan tempatnya menjelaskan secara detil pembahasan ini di sini. Karena itu, kami persilahkan Anda untuk merujuk pada buku-buku yang ditulis terkait pembahasan ini.
E. Kebebasan dalam Terminologi Hukum dan Politik (Hak Berkuasa)
Manusia bebas adalah manusia yang tidak berada di bawah dominasi dan kekuasaan orang lain. Dalam keadaan ini, manusia sendiri yang harus menentukan arah kehidupannya, keyakinan dan metodenya sendiri.
Terdapat dua kecenderungan dalam masalah ini:
Pertama, Kecenderungan yang mengatakan bahwa manusia secara mutlak harus bebas dan tidak boleh berada di bawah kekuasaan siapa pun bahkan termasuk Tuhan.
Kedua, kecenderungan yang merupakan keyakinan Syiah: Manusia tidak boleh berada di bawah kekuasaan dan dominasi manusia lainnya. Bukan sebagaimana kelompok yang mentasbihkan bahwa manusia juga harus bebas dari kekuasaan Tuhan; maksudnya bahwa kekuasaan sejatinya hanya bersumber dari Tuhan dan Tuhan dapat mentransformasi kekuasaan ini kepada manusia.
Penalaran yang paling sederhana dari kecenderungan ini adalah bahwa Allah Swt yang menciptakan wujud fisikal dan material kita kemudian meniupkan ruh-Nya pada diri kita. Di samping itu, setelah menciptakan, Tuhan menganugerahkan segala nikmat yang tak-terbilang kepada kita; seperti udara, air, makanan, anggota tubuh, kekuatan berpikir, dan segala yang bertautan dengan kehidupan manusia. Kepemilikan Tuhan tidak dapat dilepaskan dari segala nikmat material dan spiritual ini. Mengingat Tuhan adalah Pemilik dan kita adalah abdi-Nya maka berdasarkan hal ini akal menghukumi bahwa "Pemilik bisa menggunakan harta milikinya sekehendak hatinya." Dia memiliki hak menggunakan segala yang berkaitan dengan apa yang kita miliki dan kita harus taat dan berserah diri kepada-Nya.
Di samping itu, tidak seorang pun yang melebihi Tuhan Sang Pencipta yang memiliki pengetahuan tentang tipologi, segala kebutuhan, kesempurnaan dan kebaikan kita. Dan tiada seorang pun yang melebihi Dia yang mengetahui jalan dan cara mencapai kesempurnaan. Karena itu hanya Tuhanlah yang menghendaki kesempurnaan dan kebaikan kita. Dan hanya Tuhanlah yang mengetahui jalan untuk sampai kepada kesempurnaan. Dengan demikian apabila kita menghendaki kebaikan-kebaikan kita sendiri maka kita harus mengikuti ajaran dan cara yang diridhai Tuhan dan menerima kekuasaan-Nya bagi kita. [8]
F. Kebebasan Hukum [9]
Yang dimaksud dengan kebebasan dalam hukum adalah bahwa terdapat urusan-urusan dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan yang dapat dilakukan manusia dimana negara dan pemerintah tidak memiliki hak untuk melarang dan menghukumnya. Seperti kebebasan dalam memilih perumahan (papan), pakaian (sandang), pekerjaan, istri, kebebasan beragama dan kebebasan mengeluarkan pendapat. [10]
Yang utama dalam hal ini adalah hukum dan kebebasan-kebebasan ini tidak bersifat mutlak dan harus terbatas bukanlah pembahasan. Tidak satu pun satu sistem hukum dan perundang-undangan di dunia ini semenjak dahulu hingga kini yang memberikan kebebasan mutlak kepada orang-orang. Sejatinya, penetapan aturan dan penataan sistem perundangan sendiri bermakna penempatan batasan dan demarkasi bagi perbuatan setiap orang dalam masyarakat. Pembahasan yang ada dalam hal ini adalah "batasan kebebasan."
Dewasa ini, ghalibnya disebutkan bahwa batasan kebebasan terletak pada kebebasan orang lain. Artinya bahwa manusia bebas melakukan apapun yang diinginkan namun kebebasannya itu terbatas pada kebebasan orang lain dan sepanjang tidak menggangu kebebasan orang lain. Kecenderungan liberalis dalam hukum memiliki pandangan seperti ini. Akan tetapi apabila kita ingin mengkaji masalah ini dari sudut pandang Islam maka jawabannya adalah bahwa untuk menentukan batasan kebebasan maka hal itu harus berdasarkan pada kemaslahatan material, spiritual, duniawi dan ukhrawi setiap orang. Artinya syarat utama kebebasan dalam melakukan sebuah tindakan adalah tersedianya kemaslahatan manusia baik material maupun spiritual. [11]
Masalah ini seperti halnya dengan kebebasan yang diberikan kepada seorang produsen bahan makanan atau obat-obatan dimana makanan atau obat-obat apapun yang ia produksi adalah untuk keselamatan manusia bukan untuk menimbulkan penyakit bagi manusia. Apabila diduga bahwa dalam produksi salah seorang produsen terdapat bahan makanan atau obat-obatan yang beracun dan berbahaya maka produksinya itu akan distop dan dilarang. Di sini yang menjadi persoalan bukanlah kebebasan berdagang, tidak ada seorang pun yang berpendapat bahwa pelarangan produksi ini berseberangan dengan hak asasi manusia. Setiap yang menaruh perhatian pada dunia akan menaruh perhatian pula pada apapun yang menyangkut dengan kerugian-kerugian yang dapat mencelakakan tubuh dan fisik manusia. Akan tetapi Islam tidak hanya menaruh perhatian pada bahaya jasmani namun juga terhadap bahaya spiritual dan maknawi.
Poin terakhir berkenaan dengan kebebasan kewargaan atau sosial yang dikaji sebagai poros dalam pembahasan politik terkait pembahasan ini dengan pertanyaan utama dalam masalah kebebasan sosial dan kemasyarakatan bahwa seberapa jauh pemerintah atau hukum dapat memberikan batasan-batasan terhadap kebebasan setiap warganya?
Jawaban atas pertanyaan ini kalau ingin ditinjau dari sudut pandang Islam kendati manusia memiliki fitrah Ilahi yang menyerunya kepada kebaikan dan spirtualitas [12] akan tetapi manusia memiliki watak-watak material yang merupakan sumber segala kecenderungan hewani pada dirinya. Kebahagiaan manusia terletak pada dominasi fitrah atas watak-watak materialnya. Akan tetapi dalam hal ini watak-watak materialnya juga harus diperhatikan secara proporsional.
Dari sisi lain, penetapan aturan dan penentuan arah kehidupan duniawi manusia harus bergerak dengan petunjuk Ilahi dan berada di bawah pancaran wahyu Rabbani. Karena hanya Tuhanlah yang tahu tentang kebaikan dan keburukan manusia. Dengan demikian, dalam pemikiran politik Islam, Islam tidak menganjurkan kebebasan ekstrem yang bermuara kepada kerusakan dan kehancuran manusia. Juga tidak memandang secara negatif kepada manusia dan memaksanya untuk menerima setiap pemerintahan yang tidak adil yang mengeleminir segala kemuliaannya, yang bukannya menjadikannya manusia sebagai entitas aktif, bebas dan bertanggung jawab namun malah mencetaknya sebagai makhluk-makhluk yang lunglai dan tidak berkehendak. [13] []
Referensi-referensi yang digunakan dalam menulis makalah ini:
- Nazhariyye Huqûqi Islâm , Muhammad Taqi Misbah Yazdi, hal. 303-400.
- Râh-e Sa'âdat , Abul Hasan Sya'rani, hal. 97-98.
- Ushûl-e I'tiqâdât , Asghar Qaimi, hal. 78-84.
- Wilâyat wa Diyânat , Mahdi Hadawi Tehrani, hal. 131-134.
[1] . Terkait dengan masalah ini silahkan lihat indeks: Manusia dan Ikhtiar, pertanyaan 4303, (Site: 4570)
[2] . Terkait dengan masalah ini silahkan lihat indeks: Islam, Determinisme dan Ikhtiar, pertanyaan 5127 (Site: 5406)
[3] . Mayoritas bahkan hampir seluruh komunitas Ahlusunnah dewasa ini berpendapat demikian.
[4] . Penyokong pendapat ini sekelompok orang dari Ahlusunnah bernama Muktazilah yang telah punah dan dewasa ini tidak lagi memiliki pengikut.
[5] . Terkait dengan masalah ini silahkan lihat indeks: Perkara di antara Dua Perkara, pertanyaan 4345 (Site: 4620)
[6] . Terkait dengan masalah ini silahkan lihat indeks: Agama dan Kebebasan, pertanyaan 74 (Site: 317)
[7] . Masalah perbudakan hingga dewasa ini pada dunia modern masih dapat dijumpai dalam bentuk yang beragam.
[8] . Keberkuasaan ini termanifestasi dalam sistem pemerintahan Islam (Wilayah Fakih). Terkait dengan masalah ini silahkan lihat indeks: Wilayah Fakih dan Kebebasan.
[9] . Pembahasan kebebasan dalam hukum tidak berkaitan dengan pelbagai perilaku personal dan private manusia sehingga hukum ingin membatasinya. Melainkan berkaitan dengan urusan-urusan dalam kehidupan sosial manusia.
[10] . Terkait dengan masalah ini silahkan lihat indeks: Kebebasan dan hukuman mati bagi orang murtad dalam Islam, pertanyaan 53; demikian juga Kriteria dan Batasan kebebasan Menyatakan Pendapat, pertanyaan 4505 (Site: 4795)
[11] . Terkait dengan masalah ini silahkan lihat indeks: Agama dan Kebebasan, pertanyaan 74 (Site: 317)
[12] . " Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), sebagai fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. " (Qs. Rum [30]:30)
[13] . Mahdi Hadawi Tehrani, Wilayat wa Diyanat, hal. 133-134.