Please Wait
10837
Apabila Anda merasa mantap (ithmi’nan) bahwa masing-masing dari mujtahid (marja') pada sebuah bidang khusus fikih lebih pandai (a'lam) dari yang lainnya, atau minimal dalam masalah fikih tingkat a'lamiyah mereka sederajat, maka tidak ada halangan untuk bertaklid kepada beberapa orang marja'.
Harus ditegaskan di sini bahwa apa yang Anda tanyakan bertitik-tolak dari pandangan terhadap masalah taklid sebagai persoalan yang pasti, kemudian meminta dalil tentangnya. Karena itu, pertama-tama harus dijelaskan bahwa menurut pandangan kebanyakan fukaha agung,; pada satu kondisi tertentu; bukan saja tidak bermasalah, bahkan pada bidang masalah tertentu hal itu harus dilakukan. Karena itu, kami akan menyebutkan sebagian fatwa berkenaan dengan masalah ini, kemudian menyebutkan sandaran-sandaran dalilnya.
Imam Khomeini Ra berfatwa bahwa apabila dua mujtahid (marja') sederajat pengetahuannya, maka orang-orang dapat merujuk kepada salah satu dari keduanya, sebagaimana ia dapat bertaklid dalam sebagian masalah pada salah seorang mujtahid dan sebagian masalah lainnya ia dapat merujuk pada mujtahid (marja') lainnya (tan'idh).[1]
Pemimpin Agung Revolusi ini juga menjelaskan bahwa tab'idh dalam masalah taklid, bukan saja tidak bermasalah bahkan apabila masing-masing marja' menyampaikan subyek-subyek tertentu, maka wajib hukumnya untuk bertaklid kepada masing-masing marja' dalam bidang spesialisasinya.[2]
Pendapat lain menyebutkan bahwa apabila terdapat dua mujtahid dimana pengetahuannya dalam masalah ibadah lebih unggul dan mujtahid lainnya lebih pandai dalam masalah transaksi, maka hukumnya –secara ihtiyath- untuk bertaklid kepada keduanya (masing-masing pada bidang spesialisasinya).[3]
Demikian juga disebutkan bahwa apabila dua mujtahid sederajat dari sudut pandang pengetahuan, maka mukallid dapat bertaklid kepada keduanya, atau apabila ia condong untuk bertaklid kepada salah satu dari keduanya pada satu bidang tertentu dan kepada marja lainnya pada bidang yang lain.[4]
Karena itu, apa yang Anda tanyakan terkait seluruh masalah harus bertaklid pada seorang marja' tidak diterima oleh kebanyakan fukaha dan juris. Namun harus diperhatikan bahwa terdapat perbedaan antara tab'idh dan 'udul dan keduanya tidak sama sehingga harus dibedakan antara satu dengan yang lainnya. Di sini secara sepintas kami akan jelaskan perbedaan keduanya.
Untuk menjelaskan apa yang Anda tanyakan, kami memandang perlu menyebutkan beberapa poin di sini:
1. Dalil bahwa setiap orang dalam setiap masalah fikih harus memilih mujtahid tertentu untuk ditaklidi dijelaskan sebagai berikut:
A. Kita hanya tahu bahwa terkait dengan masalah ini, terdapat hukum dari para imam maksum As meski dalam bentuk global.
B. Kita juga tahu bahwa para ulama dan perawi hadis telah ditetapkan oleh para imam sebagai hujjah dan penjelas masalah-masalah ini.[5]
C. Dari riwayat-riwayat juga jelas bahwa (pada masa gaib kubra) tidak ditentukan seorang ulama tertentu untuk masalah ini, melainkan hanya dijelaskan tipologi dan syarat-syarat ulama ini.
D. Kita tidak dapat menjadi mukallid seluruh ulama karena mereka berselisih pendapat (ikhtilaf) pada sebagian masalah dan juga kita tidak dapat menjadi mukallid ulama yang tidak jelas di antara mereka, karena orang yang tidak jelas pada hakikatnya tidak ada. Dan beramal sesuka hati dan tanpa taklid juga berseberangan dengan akal dan perilaku kaum Muslimin.
Atas dasar ini, dengan memperhatikan beberapa tipologi yang dijelaskan, maka kita harus memilih dan bertaklid kepada salah satu dari mereka dan pilihan ini sangat signifikan dan menentukan.
E. Setelah memilih seorang mujtahid dan pada sebuah masalah kita bertaklid kepadanya, maka kita tidak lagi dapat berpindah taklid dalam masalah yang sama kepada orang lain. Karena dua taklid yang berbeda pada satu masalah tidak mungkin terjadi. Kecuali fatwanya sama dengan fatwa mujtahid pertama atau telah jelas bahwa mujtahid kedua lebih pandai ('alam) dari mujtahid pertama. Dan taklid yang dilakukan selama ini (taklid pertama) pada dasarnya tidak benar.[6]
2. Terkait dengan perbedaan antara tab'idh dalam taklid dan 'udul dalam taklid harus dikatakan bahwa:
A. Tabi'dh artinya adanya kesederajatan para mujtahid atau spesialisasi sebagian dari mereka dalam beberapa masalah dan spesialisasi sebagian yang lain untuk masalah-masalah lain. Semenjak awal -dalam sebagian masalah- kita bertaklid pada seorang mujtahid dan sebagian lainnya pada mujtahid lainnya dengan fatwa yang telah disebutkan, model taklid seperti ini tidak ada masalah.
B. 'Udul bermakna bahwa sebelulmnya kita bertaklid dalam sebuah masalah kepada seorang mujtahid, akan tetapi kita memutuskan terkait dengan masalah tersebut untuk bertaklid kepada mujtahid yang lain dimana masalah ini tidak sama dengan model yang sebelumnya. Dan menurut mayoritas fukaha kecuali dalam masalah tertentu tidak dibenarkan. Imam Khomeini Ra dalam hal ini berkata, "Untuk berpindah taklid dari seorang mujtahid hidup kepada mujtahid hidup lainnya dapat diilustrasikan dengan dua asumsi: Ataukah mujtahid yang kedua sederajat dengan mujtahid yang pertama dimana berpindah taklid dalam hal ini dibolehkan (mujâz). Atau yang kedua lebih pandai daripada yang pertama, maka dalam hal ini wajib bagi mukallid untuk berpindah dan mengganti mujtahid yang diikutinya."[7]
Jelas, bahwa apabila kita tidak memiliki kemantapan hati (i’thminân) bahwa mujtahid yang kedua lebih pandai atau minimal sederajat dengan mujtahid yang pertama, maka kita tidak boleh, tanpa dalil dan alasan jelas, mengganti mujtahid yang kita ikuti dalam masalah taklid. Sebagian fukaha menjelaskan masalah ini bahwa mengganti marja' sebelum beramal terhadap masalah, tidak bermasalah dan setelah beramal tidak dibolehkan. Oleh itu, untuk telaah lebih jauh, Anda dapat merujuk pada pertanyaaan 1355 pada site yang sama.
- Menjelaskan poin ini juga penting bahwa dalam sebuah masalah kita bertaklid pada seorang mujtahid 'alam (lebih pandai), akan tetapi mujtahid tersebut tidak mengeluarkan fatwa yang lugas terkait dengan sebuah masalah, melainkan memilih untuk ber-ihtiyâth, maka kita -sesuai dengan syarat-syarat- dapat merujuk kepada mujtahid-mujtahid yang derajat a'lamiyahnya setingkat di bawah mujtahid yang kita ikuti, yang mengeluarkan fatwa lugas dan tegas dalam masalah tersebut dan beramal berdasarkan fatwa mereka.[8] Dimana model seperti ini dapat disebut, dengan sedikit toleransi, sebagai jenis tab'idh dalam masalah taklid.
- Poin terakhir yang harus mendapat perhatian ekstra adalah bahwa orang-orang beriman tidak boleh menjadikan “masalah bolehnya taklid kepada beberapa mujtahid” sebagai dalih bagi mereka, sehingga pada masalah apa pun yang ia senangi terhadap fatwa tertentu, merujuk kepada mujtahid yang mengeluarkan fatwa sesuai dengan apa yang disenanginya. Sebagai contoh apabila kita adalah mukallid seorang marja' yang memberikan fatwa bolehnya merokok bagi orang yang berpuasa dan kita juga beramal berdasarkan fatwa tersebut. Dimana tidak ada masalah dalam hal ini. Akan tetapi apabila mukallid seorang mujtahid yang memfatwakan bahwa merokok itu membatalkan puasa, namun karena kita condong untuk merokok, kita beranjak pada mujtahid yang lain yang membolehkan dan dalam masalah ini kita bertaklid kepadanya. Sejatinya hal seperti ini tidak dapat disebut sebagai taklid, melainkan sebagai pembenar dan justifikasi saja atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan.[9] [IQuest]
[1]. Sayid Ruhullah Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 1, hal. 6, Masalah 8, Muassasah Dar al-Ilm, Qum, cetakan kedua.
[2]. Sayid ‘Ali Khamene'i, Ajwiba al-Istiftâ’ât, jil. 1, hal. 10, Pertanyaan 17, Dar al-Naba li al-Nasyr wa al-Tauzi’, cetakan pertama, 1420 H.
[3]. Sayid Kazhim Yazdi, al-‘Urwat al-Wutsqâ, hal. 38, Masalah 48, Muassasah al-Nasyr al-Islami, cetakan pertama, 1420 H.
[4]. Sayid Muhsin Hakim, Mustamsak al-‘Urwat al-Wutsqâ, jil. 1, hal. 31, Maktabatu al-Sayyid al-Mar’asyi, 1404 H.
[5]. Muhammad bin al-Hasan Hurr al-‘Amili, Wasâil al-Syi’ah, jil. 27, hal. 140, Riwayat 33424, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1409 H.
[6]. Argumentasi (istidlal) ini merupakan ringkasan dari penjelasan Sayid Muhsin Hakim pada hal 13 dan 14 jilid pertama kitab Mustamsik al-‘Urwat al-Wustqâ.
[7]. Tahrir al-Wasilah, jil. 1, hal. 6, Masalah 4.
[8]. Ibid, jil. 1, hal. 11, Masalah 34.
[9]. Masalah merokok hanya dijelaskan sebagai contoh dan banyak contoh yang lain alam masalah ini.