Please Wait
Hits
6634
6634
Tanggal Dimuat:
2013/05/25
Kode Site
fa4400
Kode Pernyataan Privasi
38219
- Share
Ringkasan Pertanyaan
Apa yang menjadi tugas anak terhadap salat dan puasa ayah dan ibu yang tidak terlalu menaruh perhatian terhadap tugas-tugas syariatnya?
Pertanyaan
Apa hukumnya membeli salat dan puasa bagi orang yang telah meninggal sementara ia sendiri pada masa hidupnya dalam setahun hanya mengerjakan salat selama sebulan dan kondisinya sehat?
Jawaban Global
Sesuai dengan fatwa kebanyakan fukaha salat dan puasa qadhâ orang tua diwajibkan bagi anak yang lebih tua; artinya anak laki-laki yang lebih tua diwajibkan untuk mengerjakan salat dan puasa yang ditinggalkan ayahnya setelah ia meninggal dunia, terlepas apakah ia mengerjakannya sendiri atau menyewa orang lain.
Namun demikian terdapat sebagian Marja Agung Taklid yang memandang wajib salat dan puasa kedua orang tua, ayah dan ibu.
Harap diperhatikan bahwa sebagian fukaha berkata bahwa taklif ini (kewajiban qadhâ salat dan puasa ayah atau ayah dan ibu) bahkan sekiranya ayah dan ibu tidak mengerjakan salatnya disebabkan oleh karena membangkang, juga tetap menjadi tanggung jawab anak laki-laki yang lebih tua, namun sebagian Marja Agung Taklid berkata dalam kondisi seperti ini tidak diwajibkan atau lebih baik (baca: dianjurkan bagi) anak laki-laki yang lebih tua mengerjakan qadhâ salat dan puasa orang tuanya.
Sebagai contoh kami lampirkan beberapa fatwa Marja Agung Taklid terkait dengan masalah ini:
Imam Khomeini Rah:
Apabila ayah tidak mengerjakan salat dan puasanya, apabila ia meninggalkan salat disebabkan oleh pembangkangan dan dapat meng-qadhânya (pada waktu hidup) maka wajib bagi sang anak laki-laki yang lebih tua untuk meng-qadhâ salat dan puasa (yang ditinggalkannya) setelah wafatnya atau menyewa orang lain untuk mengerjakan salat dan puasa ini. Bahkan apabila sang ayah tidak mengerjakan (salat dan puasa) disebabkan oleh pembangkangan maka anak laki-laki yang lebih tua tetap wajib mengerjakan qadhâ-nya. Demikian juga puasa yang tidak dikerjakan selama perjalanan meski tidak dapat mengerjakan qadhâ-nya maka wajib bagi sang anak laki-laki yang lebih tua untuk meng-qadhhanya atau menyewa orang lain untuk mengerjakan untuknya.
Ayatullah Araki Rah:
Apabila ayah dan ibu tidak mengerjakan salat dan puasanya, apabila keduannya meninggalkan salat bukan karena membangkang (perintah salat dan puasa) dan mampu mengerjakan qadhâ-nya maka anak laki-laki yang lebih tua wajib mengerjakan qadhâ-nya setelah keduanya wafat atau menyewa orang lain untuk keduanya. Bahkan apabila (keduanya) meninggalkan (salat dan puasa) disebabkan oleh pembangkangan maka wajib (bagi anak laki-laki yang lebih tua) untuk mengerjakan qadhâ-nya. Demikian juga puasa yang tidak dikerjakan dalam perjalanan (safar), meski ia tidak mampu mengerjakan qadhâ-nya, maka wajib bagi anak laki-laki yang lebih tua untuk mengerjakan qadhâ-nya atau menyewa orang lain.
Ayatullah Makarim Syirazi:
Diwajibkan bagi anak laki-laki yang lebih tua (yaitu anak laki-laki yang tertua yang masih hidup setelah wafatnya) untuk mengerjakan salat dan puasa-puasa yang tidak dikerjakan oleh ayah atau ibunya dan bukan karena pembangkangan (mereka tidak mengerjakan salat dan puasa) serta mampu mengerjakan qadhâ-nya, setelah keduanya wafat bahkan apabila disebabkan oleh pembangkangan sekali pun mengikut prinsip ihtiyâth mustahab harus mengerjakan dengan cara yang sama. Demikian juga puasa yang tidak dikerjakan dalam perjalanan meski ia tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakan qadhâ-nya, mengikut prinsip ihtiyâth, anak laki-laki yang lebih tua yang mengerjakan qadhâ-nya.
Ayatullah Siistani:
Apabila ayah tidak mengerjakan salat dan (anak laki-laki yang tertuanya) mampu mengerjakannya, apabila alasan tidak mengerjakan salat bukan karena pembangkangan, maka diwajibkan bagi anak laki-laki yang lebih tua untuk mengerjakannya mengikut prinsip ihtiyâth.
Ayatullah Nuri Hamadani:
Apabila ayah dan ibu tidak mengerjakan salat dan puasa dan apabila ia mampu mengerjakannya, maka wajib bagi anak laki-laki yang lebih tua untuk mengerjakannya setelah keduanya wafat atau menyewa orang lain untuk melakukan hal ini. Demikian juga puasa yang tidak kerjakan dalam perjalanan, meski ia tidak mampu mengerjakannya, mengikut prinsip wajib anak laki-laki yang lebih tua harus mengerjakan qadhâ-nya atau menyewa orang lain. Adapun salat dan puasa yang tidak dikerjakan karena membangkang maka tidak diwajibkan bagi anak laki-laki yang lebih tua. Hukum ini berlaku bagi ayah dan terkait dengan ibu juga, mengikut prinsip ihtiyath wajib, harus dikerjakan.
Ayatullah Khamenei:
Dalam menjawab pertanyaan ini: Seorang ayah secara sengaja tidak mengerjakan amalan-amalan ritual apakah wajib bagi anak yang lebih tua mengerjakan qadhâ seluruh salat dan puasa yang ditinggalkan ayahnya dan kira-kira selama lima puluh tahun? Ayatullah Khamenei menjawab: Apabila salat dan puasa ditinggalkan karena pembangkangan maka qadhânya tidak diwajibkan bagi anak laki-laki yang lebih tua. Namun dalam hal ini juga prinsip ihtiyâth juga tidak boleh ditinggalkan dalam mengerjakan qadhânya. [iQuest]
Namun demikian terdapat sebagian Marja Agung Taklid yang memandang wajib salat dan puasa kedua orang tua, ayah dan ibu.
Harap diperhatikan bahwa sebagian fukaha berkata bahwa taklif ini (kewajiban qadhâ salat dan puasa ayah atau ayah dan ibu) bahkan sekiranya ayah dan ibu tidak mengerjakan salatnya disebabkan oleh karena membangkang, juga tetap menjadi tanggung jawab anak laki-laki yang lebih tua, namun sebagian Marja Agung Taklid berkata dalam kondisi seperti ini tidak diwajibkan atau lebih baik (baca: dianjurkan bagi) anak laki-laki yang lebih tua mengerjakan qadhâ salat dan puasa orang tuanya.
Sebagai contoh kami lampirkan beberapa fatwa Marja Agung Taklid terkait dengan masalah ini:
Imam Khomeini Rah:
Apabila ayah tidak mengerjakan salat dan puasanya, apabila ia meninggalkan salat disebabkan oleh pembangkangan dan dapat meng-qadhânya (pada waktu hidup) maka wajib bagi sang anak laki-laki yang lebih tua untuk meng-qadhâ salat dan puasa (yang ditinggalkannya) setelah wafatnya atau menyewa orang lain untuk mengerjakan salat dan puasa ini. Bahkan apabila sang ayah tidak mengerjakan (salat dan puasa) disebabkan oleh pembangkangan maka anak laki-laki yang lebih tua tetap wajib mengerjakan qadhâ-nya. Demikian juga puasa yang tidak dikerjakan selama perjalanan meski tidak dapat mengerjakan qadhâ-nya maka wajib bagi sang anak laki-laki yang lebih tua untuk meng-qadhhanya atau menyewa orang lain untuk mengerjakan untuknya.
Ayatullah Araki Rah:
Apabila ayah dan ibu tidak mengerjakan salat dan puasanya, apabila keduannya meninggalkan salat bukan karena membangkang (perintah salat dan puasa) dan mampu mengerjakan qadhâ-nya maka anak laki-laki yang lebih tua wajib mengerjakan qadhâ-nya setelah keduanya wafat atau menyewa orang lain untuk keduanya. Bahkan apabila (keduanya) meninggalkan (salat dan puasa) disebabkan oleh pembangkangan maka wajib (bagi anak laki-laki yang lebih tua) untuk mengerjakan qadhâ-nya. Demikian juga puasa yang tidak dikerjakan dalam perjalanan (safar), meski ia tidak mampu mengerjakan qadhâ-nya, maka wajib bagi anak laki-laki yang lebih tua untuk mengerjakan qadhâ-nya atau menyewa orang lain.
Ayatullah Makarim Syirazi:
Diwajibkan bagi anak laki-laki yang lebih tua (yaitu anak laki-laki yang tertua yang masih hidup setelah wafatnya) untuk mengerjakan salat dan puasa-puasa yang tidak dikerjakan oleh ayah atau ibunya dan bukan karena pembangkangan (mereka tidak mengerjakan salat dan puasa) serta mampu mengerjakan qadhâ-nya, setelah keduanya wafat bahkan apabila disebabkan oleh pembangkangan sekali pun mengikut prinsip ihtiyâth mustahab harus mengerjakan dengan cara yang sama. Demikian juga puasa yang tidak dikerjakan dalam perjalanan meski ia tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakan qadhâ-nya, mengikut prinsip ihtiyâth, anak laki-laki yang lebih tua yang mengerjakan qadhâ-nya.
Ayatullah Siistani:
Apabila ayah tidak mengerjakan salat dan (anak laki-laki yang tertuanya) mampu mengerjakannya, apabila alasan tidak mengerjakan salat bukan karena pembangkangan, maka diwajibkan bagi anak laki-laki yang lebih tua untuk mengerjakannya mengikut prinsip ihtiyâth.
Ayatullah Nuri Hamadani:
Apabila ayah dan ibu tidak mengerjakan salat dan puasa dan apabila ia mampu mengerjakannya, maka wajib bagi anak laki-laki yang lebih tua untuk mengerjakannya setelah keduanya wafat atau menyewa orang lain untuk melakukan hal ini. Demikian juga puasa yang tidak kerjakan dalam perjalanan, meski ia tidak mampu mengerjakannya, mengikut prinsip wajib anak laki-laki yang lebih tua harus mengerjakan qadhâ-nya atau menyewa orang lain. Adapun salat dan puasa yang tidak dikerjakan karena membangkang maka tidak diwajibkan bagi anak laki-laki yang lebih tua. Hukum ini berlaku bagi ayah dan terkait dengan ibu juga, mengikut prinsip ihtiyath wajib, harus dikerjakan.
Ayatullah Khamenei:
Dalam menjawab pertanyaan ini: Seorang ayah secara sengaja tidak mengerjakan amalan-amalan ritual apakah wajib bagi anak yang lebih tua mengerjakan qadhâ seluruh salat dan puasa yang ditinggalkan ayahnya dan kira-kira selama lima puluh tahun? Ayatullah Khamenei menjawab: Apabila salat dan puasa ditinggalkan karena pembangkangan maka qadhânya tidak diwajibkan bagi anak laki-laki yang lebih tua. Namun dalam hal ini juga prinsip ihtiyâth juga tidak boleh ditinggalkan dalam mengerjakan qadhânya. [iQuest]
Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar