Please Wait
11012
Sebagian hukum dan masalah, terkhusus secara eksklusif untuk kaum pria dan sebagian masalah lainnya terkhusus secara eksklusif untuk kaum wanita. Seperti hukum dan masalah warisan, hijab, nafkah, wilayah, dan pengurusan anak-anak.
Untuk menentukan jenis kelamin, banyak kriteria dan standar yang diusulkan oleh para dokter dan psikolog. Sebagian dari kritera dan standar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kondisi kromosom seseorang.
2. Kriteria hormon-hormon pria atau wanita
3. Faktor psikologis dan mental
4. Alat-alat reproduksi
Apa yang mengemuka dalam fikih Islam dan menjadi konsensus para juris Syiah adalah kriteria keempat. Sejatinya jenis kelamin ditentukan dan berdasarkan alat-alat reproduksi yang dimiliki setiap orang.
Terkait dengan orang-orang yang berada dalam kategori transeksual, kriteria jenis kelamin adalah bentuk lahir fisikal dan jasmani seseorang. Bagi orang-orang yang memiliki jenis kelamin tersembunyi, kriteria untuk menentukan jenis kelaminnya adalah realitas dan nafs al-amr.
Bilamana seseorang secara sempurna mengganti jenis kelaminnya, hukum-hukum syariat dan tugas-tugas keagamannya adalah berdasarkan jenis kelamin aktual yang dimilikinya. Terkait dengan orang-orang yang memiliki jenis kelamin ganda (waria) harus diperhatikan jenis kelamin apa yang menonjol padanya. Apabila memiliki jenis kelamin yang menonjol adalah maskulin maka ia adalah pria. Kalau tidak demikian maka ia adalah wanita.
Dua jenis kelamin sempurna (waria yang sulit), jenis kelaminnya kabur dan ia harus beramal mengikut prinsip ihtiyâth dalam hukum-hukum dan masalah-masalah syar’i.
Kebanyakan hukum-hukum fikih dan hukum konvensional disesuaikan selaras dengan jenis kelamin pria atau wanita. Dengan kata lain, sebagian hukum dan masalah terkhusus secara eksklusif untuk pria dan masalah lainnya untuk wanita. Seperti masalah warisan, hijab, nafkah, wilayah, dan pengurusan anak-anak.
Kebanyakan manusia memiliki jenis kelamin sempurna pria atau wanita. Tidak terdapat kekaburan dan keraguan sehubungan dengan jenis kelamin mereka. Terkait dengan jenis kelamin (minimal ada empat kelompok manusia), terdapat beberapa pertanyaan yang mengemuka yang akan dijelaskan secara ringkas sebagaimana berikut:
1. Transeksual
Kelompok ini adalah kelompok orang yang berpenyakit dan terjangkiti gangguan identitas jenis kelamin sedemikian sehingga mereka merasa berada pada terminal antara berjenis kelamin pria atau wanita. Dengan kata lain, sebagian pria, dari sudut pandang mental atau psikologis, memandang dirinya sebagai seorang wanita. Demikian juga, sebagian wanita, dari sudut pandang mental dan psikologis, memandang dirinya sebagai seorang pria.
Sebagian orang ini dari sudut pandang fisiologisnya tidak memiliki keburaman dan keraguan. Mereka hanya memiliki problem identitas dan penyakit dari sudut pandang mental dan psikologis. Terkadang penyakit ini sedemikian serius sehingga orang yang mengidap penyakit ini tidak tahu secara pasti jenis kelamin apa yang ia miliki.
Dalam kondisi seperti ini, pertanyaan ini, mengemuka baik bagi orang itu sendiri dan juga bagi orang lain bahwa standar apa yang digunakan untuk menentukan jenis kelamin dalam penyakit seperti ini? Apakah yang menjadi kriteria adalah bentuk fisik jasmani atau keyakinan mental dan psikologis seseorang?
Dalam menjawab persoalan ini harus dikatakan bahwa dari sudut pandang Fikih, asas yang digunakan untuk menentukan jenis kelamin adalah bentuk fisik jasmani seseorang. Karena itu, apabila ia memiliki alat reproduksi pria maka ia adalah seorang pria. Meski dari sudut pandang psikologis, ia memandang dirinya berstatus jenis kelamin wanita. Sebaliknya, apabila ia memiliki alat reproduksi wanita maka ia tergolong sebagai seorang wanita. Meski dari sudut pandang psikologis, ia memandang dirinya berstatus jenis kelamin pria.
2. Orang-orang yang Berjenis Kelamin Tersembunyi
Sebagian orang memiliki jenis kelamin tersembunyi dan apa yang disaksikan secara lahir berbeda dengan apa yang sebenarnya ada. Perubahan jenis kelamin terkait dengan sebagian orang ini bermakna menemukan status jenis kelamin. Sejatinya tidak terjadi pergantian jenis kelamin. Penggunaan terminologi pergantian jenis kelamin terkait dengan operasi semacam ini adalah rekaan dan bentuknya saja. Alasan penggunaan terminologi ini oleh masyarakat, karena orang seperti ini sebelumnya dikenal sebagai seorang wanita, dan setelah operasi ia akan dikenal sebagai seorang pria. Atau sebaliknya. Fenomena seperti ini terjadi pada setiap masyarakat. Apa yang disebut oleh masyarakat sebagai penggantian jenis kelamin adalah kurang tepat. Karena yang terjadi adalah tidak lain penemuan jenis kelamin.
Bagaimanapun, sebelum operasi penggantian jenis kelamin, pertanyaan yang mengedepan adalah: kriteria apa yang digunakan untuk menentukan jenis kelamin orang ini? Misalnya alat reproduksi pria tersembunyi dalam liang perutnya. Namun secara lahir ia dikenal sebagai seorang wanita. Bahkan secara lahir ia tampak sebagai wanita. Misalnya memiliki payudara, rambut panjang, tiadanya bulu-bulu pada wajahnya, dan lain-lain.
Dalam pandangan para juris Syiah, kriteria untuk menentukan jenis kelamin adalah realitas dan nafs al-amr. Imam Khomeini Ra menyatakan, “Tanpa ragu (ia) wajib/ harus menjaga jenis kelamin yang sebenarnya dan haram hukumnya beramal berdasarkan jenis kelamin secara lahir.”[1]
Karena itu, apabila jenis kelamin seseorang tersembunyi dan ia mengetahui hal ini, maka ia harus menjalankan taklif-taklif dan tugas-tugas syar’inya berdasarkan jenis kelamin ril (yang tersembunyi). Karena bilamana kita berbicara tentang jenis kelamin maka yang dimaksud adalah jenis kelamin rilnya. Dan pada dasarnya, seruan-seruan Syari’ Muqaddas (instruksi-instruksi hukum Ilahi) itu terkait dengan subyek-subyek ril. Dengan demikian, apabila seseorang yakin dan tahu bahwa ia adalah seorang pria, taklif-taklif syar’i yang tertetapkan khusus baginya adalah taklif bagi pria. Apabila ia mengetahui bahwa ia adalah seorang wanita, taklif-taklif syar’i wanita tertetapkan baginya.
Semata-mata kesalahan lahir, tidak akan merubah kaitan taklif-taklif syar’i seseorang. Dengan kata lain, apabila seseorang secara visual adalah seorang wanita, namun sebenarnya ia adalah seorang pria, taklif-taklifnya terkait pada alam ril dan hakikatnya, dan ia wajib menjalankan taklif-taklifnya sebagai seorang pria. Demikian sebaliknya, apabila seseorang secara lahir dan formal adalah pria, namun sejatinya seorang wanita, hukum-hukum dan taklif-taklif wanita tertetapkan baginya.[2]
3. Pasca Operasi Pergantian Jenis Kelamin
Salah satu pertanyaan penting di sini bahwa jenis kelamin seseorang adalah pasca pergantian jenis kelamin. Apabila seorang pria melakukan operasi penggantian jenis kelamin secara sempurna, ia menjadi seorang wanita. Demikian juga apabila seorang wanita melakukan operasi penggantian jenis kelamin secara sempurna, ia menjadi seorang pria. Karena itu, kriteria jenis kelamin pasca operasi penggantian jenis kelamin adalah jenis kelamin aktual setiap orang. Hukum-hukum syariat dan tugas-tugas keagamaan dijalankan berdasarkan jenis kelamin aktual setiap orang.
4. Jenis Kelamin Ganda (Waria)
Waria (khuntsa) secara leksikal dan teknikal fikih memiliki dua contoh: Contoh pertama, orang-orang yang memiliki dua alat reproduksi pria dan wanita. Contoh kedua, orang-orang yang tidak memiliki dua alat reproduksi (biasanya sebagian orang ini) disebut sebagai mamsuh.[3]
Untuk menentukan jenis kelamin ganda ini, banyak kriteria dan standar yang diusulkan oleh para dokter dan psikolog. Sebagian dari kritera dan standar tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kondisi kromosom seseorang.
2. Kriteria hormon-hormon pria atau wanita
3. Faktor psikologis dan mental
4. Alat-alat reproduksi
Apa yang mengemuka dalam fikih Islam dan menjadi konsensus para juris Syiah adalah kriteria keempat. Sejatinya jenis kelamin ditentukan dan berdasarkan alat-alat reproduksi yang dimiliki setiap orang. Karena itu, tanda-tanda untuk menentukan jenis kelamin ganda (waria) telah dijelaskan, lebih banyak menyangkut alat reproduksi.
Sebagai contoh, apabila seseorang memiliki dua alat reproduksi dan hanya salah satu yang digunakan untuk buang air kecil maka yang dijadikan kriteria adalah yang digunakan untuk buang air kecil. Oleh karena itu, apabila ia buang air kecil dengan menggunakan alat reproduksi pria maka ia dianggap sebagai pria dan hukum-hukum pria dikenakan kepadanya. Apabila ia buang air kecil dengan menggunakan alat reproduksi wanita maka ia dihukumi sebagai wanita.
Akan tetapi kriteria mental-psikologis boleh jadi dapat dijadikan sebagai faktor sekunder.[4]
Dalam Fikih Islam, terdapat beragam jalan untuk menentukan dan mengidentifikasi jenis kelamin waria. Yang terpenting dari beragam jalan tersebut adalah sebagaimana berikut ini:
1. Kriteria Urin: Apabila jenis kelamin ganda (waria), buang air kecil dengan salah satu dari dua alat reproduksi maka ia tergolong pada alat yang digunakan. Oleh karena itu, apabila ia buang air kecil dengan menggunakan alat reproduksi pria, ia tergolong sebagai pria. Dan apabila ia buang air kecil dengan menggunakan alat reproduksi wanita, ia termasuk sebagai wanita.
2. Urin yang Keluar Lebih Dahulu dari Alat Pria atau Wanita: Terkadang seorang waria buang air kecil dengan menggunakan dua alat reproduksi. Dalam kondisi seperti ini, kriteria jenis kelamin, adalah yang lebih dahulu keluar dari alat reproduksi wanita atau pria. Dengan kata lain, apabila yang lebih dahulu keluar melalui alat reproduksi pria maka ia termasuk pria dan kalau tidak demikian ia tergolong sebagai wanita.
3. Urin yang Keluar Lebih Akhir dari Alat Reproduksi Pria atau Wanita: Apabila seorang waria (kelamin ganda) buang air kecil melalui kedua alat reproduksi pria dan wanita, yang menjadi kriteria dalam kondisi seperti ini adalah yang paling akhir. Dengan kata lain, siapa yang paling akhir terputus aliran air seninya maka itulah yang menjadi ukuran. Karena itu, apabila air seni lebih akhir keluar dari alat reproduksi pria maka ia termasuk sebagai pria. Dan apabila air seni keluar lebih akhir dari alat reproduksi wanita maka ia tergolong sebagai wanita.
4. Solusi Final: Apabila tiga jalan yang telah disebutkan di atas juga tidak membuahkan hasil maka orang yang berkelamin jenis ganda (waria) akan dikenal sebagai waria problematis (khuntsa musykil). Ia harus menjalankan prinsip ihtiyâth (kehati-hatian) dalam masalah-masalah syariat; mengingat sebagian orang ini dengan memperhatikan tanda-tanda dan alamat-alamat yang telah disebutkan, tetap tidak ketahuan jenis kelaminnya, apakah ia pria atau wanita. Menjalankan prinsip kehati-hatian syar’i sepanjang apabila memungkinkan dan tidak memunculkan kepayahan dan kesulitan. Berdasarkan hukum ihtiyath, ia harus mengerjakan dua kewajiban pria dan wanita. Dengan kata lain, di samping ia harus mengerjakan seluruh kewajiban yang berkenaan dengan pria, juga kewajiban yang bertautan dengan wanita. Demikian juga, meninggalkan segala yang diharamkan bagi pria dan wanita.[5]
Harap dicermati bahwa hal-hal yang telah dijelaskan di atas adalah bertalian dengan masa ketika sains empirik tidak menyatakan pendapat dalam hal ini. Namun dengan kemajuan teknologi dan ilmu kedokteran pada masa sekarang ini boleh jadi dapat dimanfaatkan untuk memecahkan persoalan ini. Akan tetapi sepanjang sains juga tidak mampu menyodorkan jawaban maka jalan keluarnya adalah menjalankan prinsip ihtiyâth. [iQuest]
[1]. Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 559, Masalah 2.
[2]. Silahkan lihat, Ahmad Muthahhari, Mustanad Tahrir al-Wasilah (al-Masâil al-Mustahdatsa, hal. 191-192.
[3]. Silahkan lihat, Ali Misykini, Mushthalahât al-Fiqh, hal. 232; Muhammad Husain, Mukhtari, Muradi, Ali Asghar, Farhangg-e Ishthilahât-e Fiqh, hal. 77; Georges, Mu’jam al-Mushthalahât al-Fiqhiyah wa al-Qânuniyah, hal. 154; Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, jil. 2, hal. 399, Kitâb al-Irts; Ali Akbar Dekhada, jil. 7, hal. 9977; Sayid Muhammad Husaini, Farhangge Lughat wa Ishthilahât-e Fiqhi, hal. 208.
[4]. Silahkan lihat, Mahdi Hadawi Tehrani, Majmu’e Maqâlât-e wa Guftâr-e, Duwwumin Seminar Didgâh-ha-ye Islâm dar Pezesyk, jil. 2, hal. 80-81.
[5]. Sayid Muhammad Shadr, Mâwarâ al-Fiqh, jil. 6, hal. 135.