Please Wait
8298
Imam Shadiq As tidak mengeluarkan nash sehubungan dengan imâmah (kepemimpinan) dua putranya, Ismail dan Abdullah. Namun mengingat kondisi yang berkembang pada masa itu sedemikian peliknya sehingga Imam Shadiq As tidak dapat memperkenalkan Imam Musa Kazhim As di hadapan khalayak sebagai penggantinya. Karena setiap detik terdapat kemungkinan terbunuhnya Imam Kazhim As pada awal-awal pengangkatannya sebagai imam oleh penguasa pada masa itu.
Masalah ini telah membuat sebagian orang-orang Syiah, dengan memperhatikan indikasi-indikasi dan bukti-bukti, pertama-tama menyangka Ismail dan kemudian Abdullah sebagai imam selanjutnya yang seiring dengan perjalanan waktu kekeliruan sangkaan ini terbukti dengan sendirinya.
Dengan demikian, Ismail meninggal sebelum wafatnya Imam Keenam As dan Abdullah juga tidak mampu menjawab pelbagai pertanyaan agama orang-orang Syiah dan dalam pada itu, dalam masa yang sangat singkat, ia juga berpulang ke rahmat Tuhan tidak lama pasca wafatnya ayahnya Imam Ja’far Shadiq As dan dengan demikian imâmah (kepemimpinan) Imam Musa Kazhim As tertetapkan untuk orang-orang Syiah.
Namun setelah beberapa abad berlalu pasca wafatnya Ismail, keyakinan terhadap imâmah-nya, yang nampaknya lebih banyak disebabkan oleh masalah politik, sebuah mazhab dikenal oleh masyarakat.
Sebagian orang berpandangan bahwa silsilah imâmah berada di pundak anak keturunan Ismail dan kemudian dikenal sebagai Syiah Ismailiyah yang hingga kini dapat dijumpai di pelbagai belahan dunia. Adapun sebagian kelompok Syiah yang berpegang teguh pada imâmah Abdullah yang kemudian lebih dikenal sebagai Fathiyyah telah punah semenjak awal-awal kemunculannya dan sekarang tiada seorang pun yang memiliki keyakinan ini.
Untuk menjawab pertanyaan Anda, pertama-tama harus kita ketahui bahwa seluruh orang Syiah berpandangan bahwa imâmah (kepemimpinan) terkhusus secara eksklusif pada Ahlulbait Rasulullah Saw. Dengan memperhatikan beberapa indikasi dan bukti yang pada puncaknya adalah nash imam sebelumnya demikian juga keilmuan imam dan kemampuannya menjawab seluruh persoalan masyarakat, orang-orang Syiah dapat mengenal imam zaman mereka.
Mengingat bahwa para penguasa tiran senantiasa berusaha memberikan tekanan dan himpitan luar biasa kepada para Imam Maksum untuk melenyapkan mereka maka wajarlah para imam tidak dapat menyatakan niat-niat dan anjuran-anjurannya secara terang terkait dengan suksesornya di hadapan masyarakat.
Pada sebagian waktu, bahkan masalah imam setelahnya yang disampaikan secara terang telah membuat munculnya sebagian perbedaan dan ikhtilaf kecil di tengah masyarakat Syiah yang tentu saja seiring dengan perjalanan waktu, hakikat dan fakta, nampak nyata bagi mereka yang mencarinya.
Keburaman yang Anda kemukakan dan singgung dalam pertanyaan juga merupakan salah satu poin penting dalam masalah imâmah mazhab Syiah yang tidak lama setelah runtuhnya dinasti Bani Umayyah dan naiknya dinasti Bani Abbasyiah ke singgasana kekuasaan, telah mengemuka di atas panggung sejarah.
Bani Abbasiyah dari satu sisi, dengan slogan mendukung Ahlulbait Rasulullah Saw, berhasil mengambil alih tampuk kekuasaan dan tidak mampu bertindak keras dan kasar dengan para Imam Maksum As secara terang-terangan.
Dari sisi lain, dengan memperhatikan, para penguasa Bani Abbasiyah berada pada tataran pengukuhan dan penguatan pilar-pilar kekuasaannya dan kehadiran para Imam Maksum As secara aktif di tengah masyarakat, tidak menjumpai para imam sesuai dengan selera dan tujuannya, maka mereka kemudian memilih bertindak ambigu dan mengambil sikap mendua dalam berhadapan dengan para Imam Maksum As sedemikian sehingga secara lahir, meski mereka tetap memberi penghormatan keapda para Imam Maksum As, namun di balik itu semua, mereka berusaha melenyapkan mereka hingga ke akar-akarnya.[1]
Dalam kondisi seperti ini, apabila pengganti Imam Keenam As, secara resmi diproklamirkan dan diumumkan secara terang-terangan, maka besar kemungkinan, pihak Bani Abbasiyah akan mengancam jiwa pengganti Imam Keenam.
Dengan demikian, sebagaimana Nabi Musa, yang tumbuh besar dan bersembunyi di istana Fir’aun pada masa kehadirannya; imâmah Imam Ketujuh juga semenjak pertama terselimuti kabut dan dengan dalil tindakan sembunyi-sembunyi ini, sekelompok orang Syiah, dengan memperhatikan sebagian indikasi, menyangka salah seorang putra Imam Shadiq As adalah sebagai imam, tanpa mendengar nash khusus dari Imam Shadiq As terkait dengan salah seorang putranya tersebut.
Orang-orang Syiah memberikan kemungkinan bahwa Imam Ketujuh adalah salah seorang dari putra Imam Shadiq As berikut ini:[2]
1. Ismail
2. Abdullah Aftah
3. Imam Musa Kazhim As
Dan perbedaan pendapat ini menjadi sebab munculnya pelbagai peristiwa dan kelompok dalam mazhab Syiah yang akan kita bahas sebagai berikut:
1. Kelompok dan persitiwa pertama dengan figur sentral Ismail, putra sulung Imam Shadiq As. Kebanyakan orang Syiah menyangka bahwa sebagaimana biasanya, putra tertua yang akan menggantikan posisi ayah. Mereka menyimpulkan bahwa Ismaillah yang akan menggantikan ayahnya menjadi imam! Berdasarkan hal ini, mereka mengajukan beberapa pertanyaan kepada Imam Shadiq As dan Imam Shadiq pun sesuai dengan alasan yang telah dijelaskan, tidak dapat menjawab secara tegas, melainkan dengan isyarat dan menggunakan bahasa kiasan yang akan kami singgung di sini sebagai contoh sebagai berikut: “Mufaddhal bin Martsad meriwayatkan, “Tatkala Ismail masih hidup, saya bertanya kepada Imam Shadiq As, “Apakah Allah Swt mewajibkan ketaatan kepada Ismail sebagaimana kewajiban ketaatan kami kepada ayahnya (artinya apakah ia adalah imam kami selanjutnya)? Beliau menjawab bahwa masalah ini tidak akan sampai di situ!” Saya menyangka bahwa Imam Keenam melakukan taqiyyah di hadapan saya karena beliau tidak menyampaikan jawaban yang tegas dan tepat kepada saya. Namun tidak lama berselang, Ismail meninggal dunia dan pada saat itu saya memahami maksud Imam Shadiq As yang sebenarnya.[3]
Setelah Ismail wafat, Imam Shadiq As juga berusaha untuk tidak menyisakan keraguan dan kesangsian seputar wafatnya Ismail,[4] namun demikian sekelompok Syiah yang memiliki ikatan tertentu dengan Ismail dan sebagian lawan yang berkedok kawan; tidak menerima hal itu dan boleh jadi silsilah imâmah, terus bersambung melalui jalur putra imam lainnya selain Ismail. Atas dasar itu, setelah wafatnya Imam Shadiq As, terdapat beberapa pandangan yang berbeda dalam masalah ini yang dinyatakan sebagaimana berikut ini:
A. Sebagian kelompok meyakini bahwa Ismail tidak meninggal, melainkan ayahnya merekayasa kematiannya untuk menjaga keselamatan putranya sehingga ia selamat dari bahaya musuh.
B. Sebagian lainnya meyakini bahwa Ismail benar-benar telah meninggal namun sebelum wafatnya, ia telah memilih putranya yaitu Muhammad bin Ismail sebagai penggantinya! Kelompok ini pada masa itu disebut sebagai Mubarakiyah” dan kemudian populer dengan nama “Qaramatiyah” yang merupakan salah satu kelompok kuat politik pada abad-abad setelahnya. Atas beberapa alasan tertentu, mereka menjadikan nama ini sebagai asas mazhab dan secara praktis mereka adalah orang-orang yang meyakini imâmah Ismail; setelah tidak menemukan pengikut, mereka kembali hidupkan ajaran ini di tengah masyarakat.
C. Sebagian pengikut Ismailiyyah juga memandang Muhammad bin Ismail sebagai Imam Ketujuh. Namun mengingat wasiat Ismail tentang imâmahnya dengan melihat bahwa Imam Keenam masih hidup maka pandangan ini tidak memiliki asas dan makna. Imâmah adalah berdasarkan wasiat ayah Ismail, yaitu Imam Shadiq As bukan anjuran dari ayahnya Ismail (untuk Muhammad bin Ismail).[5]
Setelah mengenal secara ringkas tentang bagaimana munculnya sekte Ismailiyah, harus dijelaskan bahwa setelah Muhammad bin Ismail, hingga satu abad setelahnya, tidak satu pun aktivitas dari mazhab ini yang dapat disaksikan.[6] Dan hanya dengan kemunculan Qaramatah Kufah dan Bahrain, yang tidak lebih dari sebuah komunitas politik ketimbang sebuah mazhab, kembali nama Muhammad bin Ismail dikenal oleh masyarakat dan gelar “Qaim” diperuntukkan baginya dan pada masa-masa setelahnya, kelompok-kelompok seperti Fatimiyyun Mesir dan Druze yang juga memiliki kecondongan terhadap ideologi ini. Kita saksikan bahwa proses terbentuknya mazhab Ismailiyah tidak berpijak pada satu fondasi dan paradigma tertentu serta tidak memiliki solidaritas yang kukuh. Tentang rincian masalah ini, Anda dapat merujuk pada buku-buku detil yang membahas di bidang ini.
2. Kelompok dan peristiwa kedua berporos pada Abdullah Aftah; putra selanjutnya Imam Shadiq As; yang lebih muda dari Ismail dan lebih tua dari Imam Kazhim As. Boleh jadi pikiran yang melintas dalam benak orang-orang Syiah adalah bahwa pasca wafatnya seorang imam maka yang menjadi penggantinya adalah putra yang lebih tua. Hal ini sangat berpengaruh dalam proses pembentukan kelompok kedua ini yang kemudian bernama Fathiyyah. Abdullah sendiri bukannya tidak tertarik untuk dikenal sebagai Imam Ketujuh![7] Namun setelah beberapa pertanyaan diajukan kepadanya, ia tidak mampu menjawab dan juga melihat perilakunya tidak pantas untuk menjabat posisi imâmah serta memiliki cela yang tidak boleh dimiliki oleh seorang imam, sekelompok Syiah yang tadinya berkumpul di sekelilingnya, mundur teratur dari keyakinan bahwa ia adalah seorang imam. Di samping itu, dengan memperhatikan beberapa riwayat yang menjelaskan, imâmah pasca Imam Hasan As dan Imam Husain As, tidak akan sampai pada dua orang saudara, orang-orang Syiah akhirnya tunduk dengan imâmah Imam Musa Kazhim As dan menyadari kesalahan mereka sebelumya. Tidak lama berselang setelah tujuh puluh hari, Abdullah meninggal dunia dan sejumlah kecil pengikutnya yang tetap setia kepada imâmahnya akhirnya bergabung dengan Syiah lainnya dan menerima imâmah Imam Musa Kazhim As. Imam Shadiq As, dengan prediksi atas kejadian-kejadian ini, berkata kepada putranya; menyampaikan nasihat kepada Imam Ketujuh As bahwa saudara-saudaramu setelahku, akan memperkenalkan dirinya sebagai imam dan mengklaim dirinya sebagai imam! Putraku! Janganlah engkau mempersoalkan masalah ini walau dengan sedikit perbincangan; Karena ia adalah orang pertama yang akan wafat dari keluargaku dan segera bergabung denganku.[8]
Sebagaimana yang Anda saksikan, Abdullah, dalam masa tujuh puluh hari, tidak menjabat sebagai imam, melainkan semata-mata mengklaim imâmah yang mentah dengan sendirinya seiring dengan kematiannya. Dan tiada seorang pun yang menjadi pengikut sekte ini dan meyakini imâmah Abdullah. Karena itu, pembahasan dalam masalah ini tidak akan banyak berguna bagi kita secara ilmiah.
3. Peristiwa ketiga atau peristiwa inti Syiah adalah tentang Imam Musa Kazhim As. Dalilnya adalah bahwa meski Imam Shadiq As tidak mengemukakan masalah suksesinya secara terang-terangan bagi seluruh orang Syiah dan bertindak sedemikian sehingga para musuh menjadi ragu dan tidak mampu bertindak apa pun, namun anjuran-anjuran khusus dan rahasia Imam Shadiq As kepada sebagian Syiah, tentang imâmah Imam Musa Kazhim As[9] dan juga bukti-bukti dan indikasi-indikasi yang muncul pasca syahadah Imam Shadiq As, tidak lagi menyisakan keraguan bagi para Syiah bahwa Imam Ketujuh adalah Imam Kazhim As dan poin asasi keraguan yang muncul tentang imâmah Imam Ketujuh adalah situasi dan kondisi yang berkembang pada masa itu.
Nah, untuk mengetahui dan mengenal situasi dan kondisi yang ada dan pelbagai konspirasi khalifah pada masa itu (Mansur Dawaniqi) untuk menghabisi nyawa Imam Ketujuh, kami akan menyinggung dua riwayat yang juga termasuk sebagai dalil imâmah Imam Musa Kazhim As:
Riwayat Pertama: Abu Ayyub Nahwi yang merupakan salah seorang petugas istana Mansur, penguasa Dinasti Abbasyiah menukil bahwa suatu waktu di tengah malam, Mansur memanggil saya untuk menghadap. Saya pun segera memenuhi panggilan itu dan saya melihatnya sedang duduk di atas sebuah kursi membaca sebuah surat dengan menggunakan cahaya lampu minyak (lilin). Tatkala saya memberikan salam kepadanya, sembari menangis, ia melemparkan surat itu kepadaku dan berkata kepadaku bahwa surat ini adalah surat Muhammad bin Sulaiman (Gubernur Madinah) yang memberitakan tentang wafatnya Ja’far bin Muhammad As. Apakah kita dapat menemukan sosok seperti dia? (Namun demikian dan meski dengan ungkapan kesedihan) ia berkata kepadaku untuk menulis jawaban surat Gubernur Madinah seperti ini:
“Apabila ia (Imam Keenam) mengangkat seseorang sebagai washi-nya, panggilah ia menghadap kepadamu dan penggallah lehernya.”Namun jawaban surat itu datang kembali dari Gubernur Madinah yang menyebutkan, “Ia mengangkat lima orang sebagai washi-nya, yang salah satunya adalah Anda sendiri, Khalifah Abbasiyah dan satu lainnya adalah saya! Tiga orang lainnya adalah (istrinya) Hamidah dan (dua putranya) Abdullah dan Musa!”[10]
Terdapat riwayat lain yang juga menegaskan tentang suasana mencekam dan mencekik pada masa itu: Hisyam bin Salim meriwayatkan bahwa pasca wafatnya Imam Keenam As, saya dan Mu’min al-Taq[11] berada di Madinah dan menyaksikan bahwa kebanyakan orang Syiah, karena riwayat yang menjelaskan, “Apabila putra tertua seorang imam tidak bermasalah[12] maka ia yang akan menjadi pengganti ayahnya,” memandang Abdullah sebagai Imam Ketujuh! Saya disertai dengan sahabatku datang menghadap kepadanya dan contoh pertanyaan-pertanyaan yang telah kami terima sebelumnya dari Imam Shadiq As, kami kemukakan di hadapannya, namun jawabannya berbeda dengan jawaban yang diberikan ayahnya! Kami yang sangat risau dan kuatir, pergi keluar meninggalkan rumah dan tidak tahu kepada siapa lagi kami harus merujuk. Bahkan sejenak kami meragukan Syiah itu sendiri dan dengan menimbang, pemikiran-pemikiran beragam mazhab, seperti Murji’ah, Qadariyah, Muktazilah, Zaidiyah, Khawarij dan lain sebagainya, kami tidak tahu yang mana yang harus kami terima sebagai mazhab baru kami?! Dalam kondisi terhenyak dan sedih, kami duduk di salah satu sudut kota Madinah, hingga seorang tua renta, dengan isyarat jarinya, memanggil kami mendekat kepadanya! Mengingat bahwa Khalifah Abbasiyah Mansur Dawaniqi menyebar banyak mata-mata di Madinah untuk mencari tahu orang-orang Syiah mendatangi tokoh sosial siapa pasca wafatnya Imam Keenam As kemudian dengan mengenali imam selanjutnya, mereka membunuhnya! Saya takut, jangan-jangan orang tua yang tidak dikenal ini, adalah salah satu dari mata-mata itu! Karena itu, saya berkata kepada sahabatku bahwa ia hanya menunjukku dan tidak ada urusannya denganmu. Lebih baik engkau menjauh dariku dan jangan biarkan dirimu terbunuh begitu saja! Sahabatku itu pun pergi menjauh dariku dan saya karena tidak lagi jalan untuk selamat, saya pergi menghampiri dan mengikuti orang tua itu. Sepanjang jalan, saya senantiasa menyaksikan kematianku kini berada di hadapan mata hingga ia membiarkanku di samping rumah Imam Musa Kazhim As dan ia pergi ke arah yang lain!
Dalam kondisi tegang seperti ini, seorang pelayan keluar dari rumah Imam Musa dan memanduku masuk ke dalam rumah dan tiba-tiba kini saya berhadapan dengan Imam Musa Kazhim dan beliau tanpa pendahuluan, menyebutkan seluruh pikiran menyimpang yang terlintas dalam benakku dan bersabda, “Datanglah kepadaku dan engkau tidak perlu condong pada akidah-akidah menyimpang!” Saya bertanya, “Benarkah ayah Anda telah meninggal?” Imam Musa Kazhim menjawab, “Benar!” Saya berkata, “Lantas siapa imam setelah beliau?” Imam Musa Kazhim bersabda, “Apabila Tuhan menghendaki, engkau akan dibimibing pada imâmah, dan tentu saja Dia akan melakukan hal itu!” Saya bertanya lagi, “Saudara Anda Abdullah mengklaim bahwa ia adalah pengganti ayah Anda!” Imam Musa Kazhim berkata, “Ia dengan perbuatannya ini memutuskan untuk keluar dari penghambaan Allah Swt!...”
Saya bertanya, “Apakah Anda imam?” Imam Musa Kazhim menjawab, “Saya tidak berkata demikian!”
Saya berkata kepada diri saya sendiri untuk mengajukan pertanyaan dengan cara lain. Saya berkata, “Apakah hingga kini ada seorang imam yang memiliki wilâyah (otoritas) atas Anda?” Imam Musa Kazhim menjawab, “Tidak!” Mendengar ucapan ini dan keyakinan terhapda imâmah beliau, kebesaran dan wibawanya tiba-tiba bertahta dalam hati saya yang bahkan tidak pernah saya rasakan ketika berjumpa dengan Imam Keenam As! Kemudian saya berkata kepada beliau, “Apakah saya dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dulu saya ajukan kepada ayah Anda dan sekarang kepada Anda?” Beliau menjawab, “Silahkan.” Namun segera menimpali, “Tapi janganlah engkau sebarkan hal ini kepada siapa pun; karena berita seperti ini bermakna tamatnya riwayatku.” Kemudian saya mengajukan beberapa pertanyaan dan saya menemukan beliau laksana samudera yang tidak akan pernah kering. Saya berkata, “Kini, orang-orang Syiah tengah mengalami kebingungan dalam masalah imâmah! Namun Anda berkata bahwa berita ini jangan disebarkan! Bagaimana saya dapat membimbing mereka kepada Anda?” Beliau berkata bahwa pertama-tama sampaikanlah kabar ini kepada orang-orang yang dapat dipercaya dan mampu menjaga rahasia. Dan ketahuilah bahwa apabila masalah ini (tanpa didahului oleh beberapa pendahuluan mendasar) tersebar, akan menyebabkan kepalaku terpenggal dan beliau menunjuk kepada lehernya sendiri! Dengan mendengar ucapan ini, saya mengabarkan kepada sahabat saya dan orang-orang terkemuka seperti Fudhail dan Abu Bashir. Dan setelah beberapa waktu, perhatian seluruh Syiah terfokus kepada Imam Musa Kazhim As dan tidak lagi tersisa orang-orang di sekeliling Abdullah. Abdullah yang menuduh saya di balik semua ini, menyewa orang-orang untuk memukul dan menyiksa saya.”[13]
Dengan memperhatikan dua riwayat di atas dan juga bukti-bukti historis, keyakinan kami bahwa Imam Shadiq As telah mengetahui suksesor dan penggantinya semenjak awal. Namun disebabkan oleh situasi dan kondisi yang tidak mendukung, beliau menerapkan satu strategi untuk menjaga Imam Ketujuh dari cengkeraman para musuh. Musuh-musuh yang setiap detik siap menyergap sehingga segera setelah mengenali Imam Ketujuh maka mereka segera menghabisinya. Kita saksikan dengan pengaturan Ilahi yang dilaksanakan oleh Imam Keenam As, konspirasi musuh ini dapat dipatahkan dan para Khalifah Dinasti Abbasiyah kebingungan untuk beberapa waktu tidak tahu siapa gerangan washi Imam Shadiq dan Imam Ketujuh? Setelah beberapa lama mereka menyadari kenyataan ini namun sudah terlambat lantaran Imam Musa Kazhim telah mendapat tempat dan posisi yang kokoh di tengah masyarakat Syiah dan membunuhnya boleh jadi menimbulkan reaksi dan bahaya besar bagi pemerintahan Abbasiyah! Meski mereka tidak pernah surut menggangu dan mengusik Imam Kazhim As. Memenjarakannya dari satu penjara ke penjara lainnya. Namun metode yang digunakan oleh Imam Kazhim As menyebabkan orang-orang Syiah, untuk masa yang lebih lama, mendapatkan keberkahan dan keberuntungan dari keberadaan Imam Musa Kazhim As. [iQuest]
Beberapa Literatur untuk Telaah Lebih Jauh:
1. Syaikh Mufid, al-Fushûl al-Mukhtârah, yang membahas tentang firkah-firkah Syiah dan menggugurkan keyakinan mereka dengan dalil-dalil.[14]
2. Allamah Majlisi juga mengemukakan pembahasan ini pada jilid 37 kitab Bihâr al-Anwâr.
3. Kitâb Buhûts fi al-Milal wa al-Nihal, Ustad Ja’far Subhani[15] juga membahas tentang firkah-firkah yang terdapat dalam Islam.
4. Dâirat al-Ma’ârif Tasyayyu’.[16]
Untuk diketahui bahwa karena mazhab Fathiyyah telah punah semenjak awal kemunculannya dan tidak lagi memiliki pengikut, kita tidak dapat menemukan banyak buku yang membahas tentangnya secara terpisah. Adapun terkait dengan Ismailiyyah karena peran politik para pengikutnya sepanjang sejarah dan juga adanya orang-orang yang menganut mazhab ini pada masa sekarang ini, kita banyak menjumpai literatur yang membahas tentang mazhab ini. Di samping literatur yang disebutkan di atas, untuk riset khusus tentang mazhab ini silahkan Anda menelaah kitab Târikh wa ‘Aqâid Ismailiyyah.”[17]
[1]. Riwayat yang bertalian dengan masalah sikap Mansur setelah wafatnya Imam Shadiq As, akan kami jelaskan sebagai bukti yang digunakan untuk menyokong klaim ini.
[2]. Namun sebuah kelompok yang bernama, “Nawusiyah” juga meyakini bahwa Imam Keenam tidak wafat dan kelompok lainnya yang bernama Sibthiyyah meyakini imamah Muhammad bin Ja’far yang di samping punahnya dua kelompok ini dan juga karena bukan menjadi obyek pertanyaan Anda, kami tidak akan jelaskan lebih jauh. Sekiranya tertarik, Anda dapat menelaah masalah ini pada halaman 9 dan 10 jilid 37 Bihâr al-Anwâr.
[3]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 47, hal. 250-251.
[4]. Ibid, hal. 254.
[5]. Ibid, jil. 37, hal. 9-10.
[6]. Pengikut sekte Ismailiyah pada masa ini disebut dengan nama Druzi.
[7]. Masalah ini dapat disimpulkan dari sabda Imam Kazhim As, “Yurid Abdullah an la Ya’buduLlah.” Kâfi, jil. 1, hal. 351.
[8]. Rijâl Kassyi, hal. 254- 255 Intisyarat-e Danesygaha Masyhad, 1348 S.
[9]. Silahkan lihat, Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, Bâb al-Isyârah wa al-Nash ‘ala Abi al-Hasan Musâ As, hal. 308 – 311, dengan 16 riwayat.
[10]. Ibid, jil. 1, hal. 310, Riwayat 13.
[11]. Hisyam bin Salim dan Mu’min al-Taq dua orang sahabat Imam Shadiq As yang memiliki kemahiran dalam ilmu Teologi dan Debat.
[12]. Para Syiah Dua Belas Imam juga menerima riwayat ini bahwa anak tertua imamlah yang akan menjadi pengganti ayahnya. Namun dengan memperhatikan sebuah syarat pada akhir riwayat tersebut yang menjelaskan bahwa “Ma lam Takun bihi ‘Ahahu.” Artinya sepanjang anak tertua tidak memiliki masalah dan atas dasar ini, Abdullah, meski merupakan anak yang lebih tua, namun karena memiliki selaksa problema yang dimilikinya, tidak memiliki kelayakan untuk menjadi pengganti. Dalam masalah ini silahkan lihat, Syaikh Mufid, al-Fushûl al-Mukhtârah, hal. 312.
[13]. Muhammad Ya’qub Kulaini, al-Kâfi, jil. 1, hal. 351-352, Riwayat 7.
[14]. Buku ini dicetak pada tahun 1413 H oleh Kongre Syaikh Mufid dan halaman 308 dan 312 pada buku itu secara runut berhubungan dengan Ismailiyyah dan Fathiyyah.
[15]. Beirut, Al-Dar al-Islamiyah, 1991.
[16]. Di bawah supervisi Ahmad Shadr Haji Sayid Jawadi, Kamran Fani, Bahauddin Khuramsyahi, Teheran, Nasyr Syahid Sa’id Mujtaba.
[17]. Karya Farhad Daftari, Penerjemah Feriidun Badrei, Teheran, Nasyr wa Pazyuhesy Farzan Ruz, 1375 S.