Please Wait
12274
Terkait peperangan yang berkecamuk, seperti perang dengan Iran (Persia) dan Roma serta pembebasan Baitul Muqaddas, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As diajak bermusyawarah meski beliau sendiri tidak ikut dalam peperangan tersebut. Dalam kondisi seperti ini, Imam Ali As memandang tak hanya berdasarkan kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin akan tetapi juga berdasarkan kemaslahatan seluruh umat manusia, khususnya kaum tertindas dan kalangan mustadh’afin.
Dalam perang melawan Iran, Imam Ali As sebagai Imam Maksum sekaligus seorang Pemimpin, begitu peduli dan menginginkan kebaikan untuk seluruh dunia (bahkan untuk non-Muslim dan orang-orang kafir) dengan mengungkapkan pandangannya; mengarahkan semua peperangan tersebut agar minim risiko dan tak terlalu banyak korban dan biaya. Demikianlah yang terjadi.
Namun yang patut diperhatikan, seandainya Rasulullah Saw masih hidup atau Imam Ali As yang menjadi khalifah paska Rasul, tentu saja berbagai penaklukan tersebut tidak akan terjadi seperti itu. Artinya, semua penaklukan yang diraiih pada masa para khalifah tidak mendapat dukungan mutlak dari Imam Ali As.
Para khalifah pada masa itu sengaja menyingkirkan dan merumahkan Imam Ali As. Sehingga pada masa khalifah Abu Bakar, Umar dan Usman, beliau lebih banyak berdiam di rumah. Namun ketika para khalifah memerlukan, mereka tetap meminta pendapat dan selalu berkonsultasi dengan Imam Ali As.
Imam Ali As dalam hal-hal seperti ini, tak hanya berpendapat berdasar kemaslahatan Islam dan kaum Muslimin saja, namun juga berasaskan kemaslahatan dan manfaat bagi orang banyak, khususnya kaum mustadh’afin dan orang-orang tertindas.
Pada sebagian peperangan, seperti perang dengan Iran dan Roma, Amirul Mukminin diajak bermusyawarah meski beliau sendiri tidak turut serta dalam peperangan tersebut.
Misalnya terkait peran Imam Ali As dalam penaklukan dan perang melawan Iran disebutkan, ketika Umar bin Khattab memahami bahwa lasykar Iran tengah melakukan persiapan besar-besaran untuk menyerang. Untuk itu, ia datang ke masjid dan mengajak semua yang hadir di tempat itu untuk berkumpul kemudian meminta pendapat dari mereka. Thalha mengusulkan, “Engkau sendiri harus ke medan perang sehingga kaum Muslimin dengan melihatmu akan menjadi lebih kuat dan berperang dengan gagah berani.” Usman berpendapat, “Gerakkan seluruh warga Syam, seluruh warga Yaman, warga Madinah dan warga Mekkah dan pergi ke medan perang sehingga kaum Muslimin dan seluruh lasykar ini dengan melihatmu akan berperang dengan gagah berani.” Usman lalu duduk dan tidak ada orang lagi yang berdiri. Umar bin Khattab kembali angkat suara, “Wahai kaum Muslimin, berilah pendapat!” Imam Ali As berujar, “Tidak benar warga Syam Anda gerakkan untuk ke medan perang karena kalau demikian orang-orang Roma akan menyerang dan membunuh anak-anak mereka. Jangan (juga) gerakkan warga Yaman karena lasykar Habsya (Afrika) akan menyerang dan membunuh serta merampas harta orang-orang Yaman. Apabila engkau membawa keluar orang-orang Madinah dan Mekkah maka orang-orang Arab di sekelilingnya akan menyerang dan akan merebut dua kota ini. Engkau pun jangan pergi tetapi tulislah surat ke Basrah agar mengirim sejumlah pasukan dari sana untuk membantu kaum Muslimin.” Pendapat Imam Ali ini diterima oleh Umar bin Khattab seraya berkata, “Pendapat inilah yang benar dan saya harus bertindak berdasarkan pendapat ini.”[1]
Imam Ali as dengan pendapatnya juga menyinggung poin penting ini: Bahwa pada masa Rasulullah Saw kaum muslimin tidak berperang dengan mengandalkan besarnya jumlah pasukan melainkan berperang dengan bantuan Allah Swt. Karenanya, engkau tak perlu gentar dengan minimnya jumlah pasukan kaum Muslimin.
Dengan pengaturan seperti ini, Imam Ali telah menyelamatkan baik warga Muslimin Syam, Yaman, Mekkah maupun Madinah dari mara bahaya, disamping menyelamatkan warga Iran dari pembunuhan di medan perang. Karena, bila Roma menyerang maka wanita dan anak-anak kaum Muslimin akan terbunuh. Apabila Habasya (Afrika) melakukan agresi maka mereka akan membunuh wanita dan anak-anak Yaman. Dan jika orang-orang Arab sekitar Madinah dan Mekkah menginvasi dua kota ini maka orang-orang yang tinggal di dua kota ini semuanya akan terbunuh.
Dari sisi lain, apabila seluruh lasykar perang ini menyerang Iran maka, hanya Allah yang tahu, petaka dan musibah apa yang akan menimpa masyarakat Iran karena pada masa itu (masa Yazdgerd III, raja terakhir dinasti Sasaniyah) pemerintahan Iran sangat lemah dan berada di ambang keruntuhan[2]. Dengan jumlah lasykar kaum Muslimin yang sedikit saja mereka akan mampu mengalahkan pasukan Iran. Apalagi bila pasukan yang menyerang sepuluh kali lipat jumlahnya dari pasukan yang bersiaga di medan Iran, maka tentu akan lebih banyak jatuh korban harta dan jiwa dari kedua belah pihak.
Karena itu, Imam Ali As sebagai Imam Maksum dan wali atas kaum muslimin, sangat peduli dan menginginkan kebaikan untuk seluruh dunia (bahkan untuk non-Muslim dan orang-orang kafir) dengan mengungkapkan pandangannya yang mengarahkan berbagai perang ini supaya tidak terlalu mengambil resiko dan tidak terlalu menelan banyak korban dan biaya. Dan demikianlah kenyataan yang terjadi.
Dari apa yang disampaikan di atas menjadi jelas bahwa pada masa agresi kaum Muslimin ke Iran, peradaban Iran sejatinya berada di ambang keruntuhan dan kepunahan. Dengan datangnya Islam, peradaban ini mendapatkan jiwa baru dan dapat melanjutkan kehidupannya. Hal ini tak mungkin tercapai tanpa konsultasi elegan dan musyawarah jitu dengan Amirul Mukminin Ali As.
Dalam perang Islam melawan Imperium Roma, karena kaisar Roma termasuk salah satu musuh besar Islam, pada masa Rasulullah saw, beliau senantiasa memikirkan hal ini. Atas dasar itu, pada tahun 7 Hijriah, Rasulullah saw mengirim satu pasukan yang dikomandoi oleh Ja’far bin Abi Thalib untuk berperang melawan pasukan Roma yang berujung pada kesyahidan Ja’far dan sebagian orang lainnya.
Pada tahun 9 Hijriah, Rasulullah saw dengan pasukan lengkap bergerak ke arah Tabuk namun sebelum kontak senjata dengan pasukan Roma, beliau kembali ke Madinah. Pada akhir masa hidupnya, beliau menugaskan pasukan Usamah untuk bertempur melawan pasukan Roma. Namun sebelum keberangkatan pasukan Usamah, Rasulullah saw wafat dan misi ini tak jadi dijalankan.
Setelah berdirinya pemerintahan Abu Bakar di Madinah, Abu Bakar bermusyawarah dengan para sahabat Nabi Saw tentang masalah ini dan masing-masing melontarkan pendapatnya, namun tak diterima oleh khalifah.
Pada akhirnya Abu Bakar bermusyawarah dengan Imam Ali As. Imam Ali As mendorongnya untuk menunaikan instruksi Rasulullah saw dan memberikan berita gembira bahwa kaum Muslimin akan meraih kemenangan dalam perang melawan Roma. Khalifah sangat senang menerima motivasi dari Imam Ali as dan berkata, “Anda telah memberikan pertanda baik dan berita gembira kepada kami.”[3]
Sehubungan dengan penaklukan Bait al-Muqaddas, ketika Khalifah Kedua bermusyawarah dengan Imam Ali, beliau pun memberikan motivasi kepadanya terhadap perang ini.[4]
Demikian juga dalam peperangan dan pengerahan pasukan lainnya, apabila bermusyawarah dengan Imam Ali As, maka beliau melontarkan pendapat dengan penguasaan dan kebijaksanaan sempurna, mengkaji seluruh dimensi perbuatan dengan menimbang kemaslahatan Islam, kaum Muslimin dan khalayak umum, bahkan kemaslahatan generasi mendatang seperti yang terjadi paska eskalasi pasukan Islam ke Irak. Sebagian orang meminta Umar untuk membagi-bagi tanah-tanah rampasan di antara kaum Muslimin sebagai milik pribadi masing-masing orang. Umar pun berkonsultasi dengan Imam Ali As terkait pembagian tanah Irak tersebut. Imam Ali As bersabda, “Pembagian tanah-tanah yang dilakukan untuk generasi kaum Muslimin sekarang ini tidak akan membuahkan manfaat bagi generasi-generasi mendatang..”[5]
Ada baiknya Anda memperhatikan beberapa poin berikut ini:
1. Sesuai dengan tuntutan pakem-pakem dan ideologi Islam; artinya dengan memperhatikan kandungan agama Islam –yang mencakup jihad, pembelaan, amar makruf, nahi mungkar, menuntut keadilan, menolong orang-orang tertindas dan melawan penindasan dan lain sebagainya– dan sirah Rasulullah Saw serta para Imam Maksum As dapat disimpulkan bahwa jihad dan pembelaan diri (defâ’) untuk menyingkirkan berbagai rintangan yang menghadang dalam upaya penyebaran Islam, hingga pada batasan tertentu, itu pun dengan adanya berbagai pakem dan syarat-syarat tertentu dapat diterima. Peperangan yang mendapat dukungan Islam bukanlah peperangan untuk melakukan ekspansi dan penaklukan raja-raja, melainkan perlawanan untuk membebaskan. Slogan Rasulullah Saw adalah slogan kejayaan, kebebasan dan pembebasan manusia (qulu laa ilaha illaLlah tuflihu)[6] dan berusaha dengan melakukan berbagai aktifitas kultural membimbing masyarakat ke jalan kemenangan. Peperangan bagi Rasulullah Saw adalah semata-mata untuk menyingkirkan berbagai rintangan karena para musuh menciptakan berbagai rintangan dan halangan terhadap berbagai aktifitas konstruktif Rasulullah Saw.
Nah, apabila Rasulullah Saw tidak menyingkirkan berbagai rintangan tersebut maka beliau tidak akan dapat mencapai tujuan-tujuan mulianya yaitu memberikan petunjuk dan kebahagiaan manusia; maka mau tak mau beliau menggunakan strategi jihad dan pembelaan diri supaya dapat menghilangkan berbagai rintangan yang menghadang di jalan untuk mencapai kebahagiaan dan kejayaan. Sejatinya, Islam membenarkan penggunaan kekuatan militer hanya pada tiga perkara: Pertama, untuk menghilangkan pengaruh syirik dan penyembahan berhala. Karena dalam pandangan Islam, syirik dan penyembahan berhala, adalah penyimpangan, penyakit dan khurafat (superstisi). Karena itu, Rasulullah saw pertama-tama menyeru para penyembah berhala kepada tauhid, baru kemudian melakukan perlawanan dan menggunakan kekuatan senjata. Kedua, untuk menghilangkan konspirasi dan plot musuh-musuh serta orang-orang yang membuat konspirasi menghancurkan Islam dan menyerang kaum Muslimin, maka Islam mengeluarkan instruksi jihad dan menggunakan kekuatan militer untuk melawan mereka. Ketiga, demi kebebasan dalam penyebaran agama, karena setiap ajaran memiliki hak secara bebas dan dalam bentuk yang logis memperkenalkan dirinya. Apabila ada orang yang mencoba menghalangi maka ia dapat menggunakan cara-cara kekerasan untuk merebut haknya ini. Namun ketiga hal ini dapat ditempatkan pada daur pembelaan terhadap kemajuan, kemuliaan dan kesempurnaan manusia.[7]
2. Apa yang telah dijelaskan tentang pandangan konsultatif Imam Ali As tidak dapat disimpulkan bahwa berbagai penaklukan pada masa khalifah mendapat dukungan mutlak sesuai aturan-aturan Islam dan Imam Ali As setuju dengan segala tindakan yang telah dilakukan para khalifah dalam penaklukan-penaklukan ini. Artinya bahwa sekiranya Rasulullah Saw hidup atau Imam Ali yang menjadi khalifah paska Rasulullah Saw, tentu saja berbagai penaklukan yang terjadi tidak akan seperti itu. Dengan kata lain, ekspansi wilayah Islam tanpa agenda yang jelas dan dengan tiadanya Imam Ali di pucuk pemerintahan, maka apabila terjadi berbagai penyimpangan sudah pasti semua itu tidak sesuai dengan agenda-agenda Imam Ali As. Kami akan menyebutkan beberapa penyimpangan ini di sini sebagai contoh. Adapun pembahasan rinci tentang hal ini akan kami alokasikan pada kesempatan yang lain:
Pertama, sekelompok orang dalam masyarakat Islam secara perlahan muncul. Mereka adalah orang-orang yang cinta kepada Islam, beriman kepada Islam, meyakini namun hanya mengenal Islam dari kulitnya saja tanpa mengenal ruhnya; sebuah kelompok yang hanya mengenal Islam sebatas ritual, misalnya shalat, bukan berdasar pengetahuan dan pengenalannya terhadap tujuan-tujuan Islam.
Kedua, mengambil jarak dari keadilan Islam dan menyebarnya diskriminasi; misalnya warga kota – non Arab – di Irak dikenal sebagai warga kelas dua dan atas dalil ini semenjak pertama, pekerjaan-pekerjaan berat seperti mendirikan pasar dan membuat jalan diserahkan kepada mereka.
Pada masa khalifah kedua, orang-orang Ajam tidak diberi kesempatan masuk ke kota Madinah agar mereka tidak bercampur dengan orang-orang Arab. Demikian juga dengan orang-orang Iran, agar mereka tidak memberikan pengaruhnya di sentral-sentral Islam. Khalifah ketika itu melihat bahwa masyarakat bebas memiliki budak Ajam dan tidak pantas melihat ada orang Arab yang menjadi budak.
Ibnu Jarih menulis, “…Tatkala Khalifah Kedua menyaksikan pada waktu thawaf dua orang yang bercakap-cakap Persia, ia berkata kepada mereka, ‘Bercakaplah dengan bahasa Arab, karena apabila seseorang bercakap-cakap dengan bahasa Persia dan mempelajarinya maka kehormatannya akan hilang.” Sesuai aturan yang dibuat Khalifah Kedua, orang-orang Arab boleh menikahi para wanita Ajam namun tidak membolehkan orang-orang Ajam menikahi para wanita Arab.
Mengikuti tradisi ini, pada masa Muawiyah, anak-anak dari istri-istri Ajam tidak memiliki kelayakan untuk menjadi khalifah. Hajjaj, khalifah masa itu di Irak berkata, “Tidak seorang Ajam pun yang boleh menjadi imam jamaah di Kufah.” Ia bahkan dengan paksa membawa mawali ke medan perang. Atau mawali turut serta dalam peperangan namun ketika pembagian harta rampasan perang maka jatah orang-orang Ajam lebih minim dibandingkan jatah orang-orang Arab. Hal yang lebih menyedihkan lagi, yakni memberikan harta baitul mal kepada masyarakat, namun tidak memberikan saham kepada mawali.[8] Namun hal ini telah menyebabkan kaum Muslimin terjauhkan dari Islam hakiki dan menyangka bahwa Islam adalah apa yang mereka saksikan dan dengarkan. Hal inilah yang telah menyebabkan paska berbagai penaklukan, terjadi banyak pemberontakan di daerah-daerah yang ditaklukan. Itulah yang membuat Imam Ali terpaksa mengirim satu pasukan ke Qazwin dan dua lasykar ke Khurasan, karena kota-kota Khurasan seperti Naisyabur memang harus ditaklukan kembali.[9]
Akhir kata, bahwa tujuan Imam Ali As dalam pemerintahannya yang singkat adalah mengoreksi berbagai penyimpangan yang terjadi pada umat Rasulullah Saw paska kepergian Rasulullah Saw. [IQuest]
[1]. Silahkan lihat, al-Irsyâd, Syaikh Mufid, hal. 207. Nahj al-Balâghah, Khutbah 144. Târikh Thabari, jil. 4, hal. 237-238. Târikh Kamil, jil. 3, hal. 3. Târikh Ibnu Katsir, jil. 7, hal. 107. Bihâr al-Anwâr, jil. 9, hal. 501.
[2]. Târikh Irâniyân wa Arabhâ dar Zamân Sasâniyân (Geschichte der Perser und Araber zur Zeit der Sasaniden), Theodor Nöldeke, hal. 418, terjemahan Dr. Abbas Zaryab.
[3]. Dr. Abdulhusain Zarrin Kub dalam hal ini menulis, “Jatuhnya dinasti Sasaniyah di tangan Arab namun bukan karena kekuatan Arab melainkan lantaran kelemahan dan kerusakan yang mendominasi pemerintahan Sasaniyah. Sejatinya, bersamaan dengan invasi Arab, pemerintahan Iran sudah di ambang keruntuhan. Dinasti Sasaniyah pada masa itu laksana kondisi wafatnya Nabi Sulaiman As yang bersandar pada tongkatnya dan serangga menggerogoti tongkat tersebut kemudian setelah itu Nabi Sulaiman As tersungkur. Kelemahan dan kerusakan di seluruh fondasi negara yang telah menjerumuskan Dinasti Sasaniyah pada lembah kehinaan dan kesengsaraan. Târikh Irân ba’d az Islâm, hal. 57, Cetakan Kedua. Pemikir dan filosof besar Syahid Muthahhari dalam buku Khadamat-e Mutaqâbil Islâm wa Irân menganalisa dengan seksama kekalahan orang-orang Iran. Ia berkata, “Iran pada masa itu, dengan segala chaos dan kerusuhan yang terjadi dari sudut pandang militer, merupakan kekuasaan dan imperium yang sangat kuat. Pada masa itu, dua imperium besar yang memerintah dunia, Iran dan Roma. Masyarakat Iran pada masa itu yang ditaksir berpopulasi seratus empat puluh juta orang lebih didominasi oleh serdadu dan lasykar Muslimin pada perang melawan orang-orang Iran tidak sampai enam ratus ribu orang jumlahnya. Apabila orang-orang Iran mundur, komunitas ini akan hilang di tengah masyarakat Iran, namun dengan semua ini, Dinasti Sasaniyah musnah dan punah di tangan beberapa orang pasukan Muslimin. Syahid Muthahhari mengatakan, “Hakikatnya faktor utama kekalahan dinasti Sasaniyah harus ditelusuri pada ketidakpuasan orang-orang Iran terhadap kondisi pemerintahan, ajaran dan tradisi pemerasan yang menggejala pada masa itu. Hal ini merupakan suatu hal yang pasti yang diterima oleh sejarawan Timur dan Barat bahwa rezim dan kondisi sosial dan agama pada masa itu telah rusak yang telah membuat hampir seluruh masyarakat tidak puas terhadap pemerintah. Agama Zoroaster di Iran telah rusak di tangan para imamnya dan masyarakat Iran yang cerdas tidak dapat menerima keyakinan yang tidak sesuai dengan kata hatinya. Dan apabila Islam pada waktu itu tidak datang ke Iran, maka orang-orang Kristen akan menguasai Iran dan melenyapkan ajaran Zoroaster.” Karena itu, kondisi sosial dan agama yang tidak normal di Iran telah mengundang ketidakpuasan masyarakat dan telah memotivasi orang-orang Iran untuk menyelamatkan diri mereka. Khadamat-e Mutaqâbil Islâm wa Irân, Murtadha Muthahhari, hal. 77 dan seterusnya.
[4]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Ya’qubi, jil. 2, hal. 132. Silahkan lihat, Imâm Ali As wa Zamâmdarân, Ali Muhammad Mir Jalili, hal. 168.
[5]. Furûgh Wilâyat, hal. 285.
[6]. Katakanlah tiada tuhan selain Allah maka kalian akan berjaya.
[7]. Târikh Ya’qubi, Ahmad Ya’qubi, jil. 2, hal. 151. Silahkan lihat, Imâm Ali As wa Zamâmdarân, Ali Muhammad Mir Jalili, hal. 170.
[8]. Târikh Tasyayyu’ dar Iran, Rasul Ja’fariyan, jil. 1, hal. 111 dan seterusnya.
[9]. Târikh Thabari, Peristiwa-peristiwa Tahun 38 Hijriah.