Advanced Search
Hits
12938
Tanggal Dimuat: 2009/07/12
Ringkasan Pertanyaan
Apa yang dimaksud dengan fatwa untuk mengikuti prinsip ihtiyâth? Apakah fatwa tersebut memberikan kebolehan bagi mukallid untuk merujuk kepada mujtahid berikutnya?
Pertanyaan
Apa yang dimaksud dengan fatwa untuk mengikuti prinsip ihtiyâth? Apakah fatwa tersebut memberikan kebolehan bagi mukallid untuk merujuk kepada mujtahid berikutnya? Atau lebih dari dua jenis ihtiyâth yaitu mustahab dan wajib?
Jawaban Global

Ihtiyâth adalah sebuah status atau titel yang diperoleh dari teks-teks riwayat. Frase ihtiyâth digunakan terkait dengan amal perbuatan mukallid  dan juga tertaut dengan fatwa mujtahid. Setiap mukallaf apakah ia sendiri harus menjadi mujtahid atau mukallid mujtahid atau muhtath (memiliki sikap untuk berhati-hati, sekiranya ia memiliki ilmu dan penguasaan yang mencukupi atas fatwa-fatwa seluruh mujtahid). Frase ini sehubungan dengan mujtahid digunakan pada tiga hal berikut:

  1. Ihtiyâth wajib.
  2. Ihtiyâth mustahab.
  3. Fatwa untuk ber-ihtiyâth.

Apabila marja taklid disebabkan oleh hal-hal tertentu, tidak mengeluarkan fatwa pada sebuah masalah tertentu, seorang mukallid tidak dapat meninggalkan begitu saja marja taklid tersebut, melainkan ia dapat beramal mengikut prinsip ihtiyâth wajib atau dalam sebuah masalah, ia merujuk pada marja taklid lainnya – dengan menjaga prinsip al-‘alam fal a’lam.[1]

Ihtiyâth ini dijelaskan dengan ungkapan-ungkapan seperti “ahwath”, “bemasalah (fihi isykalun), mahall isykal, mahal ta’ammul dan lain sebagainya. Namun apabila marja taklid pertama-tama menjelaskan fatwanya kemudian memilih sikap ihtiyâth dalam sebuah masalah maka hal tersebut dinamakan sebagai ihtiyâth mustahab. Dalam ihtiyâth seperti ini, dibolehkan bagi mukallid untuk meninggalkan amalan tersebut; meski mukallid akan memperoleh pahala dan ganjaran apabila melakukan amalan tersebut.

Karena itu, dalam ihtiyâth wajib, mukallid memiliki kebebasan untuk memilih apakah ia mengikut prinsip ihtiyâth beramal berdasarkan fatwa marjanya atau ia merujuk kepada marja lainnya; namun dalam ihtiyâth mustahab, mukallid dapat memilih melakukan ihtiyâth mustahab dan fatwa yang menyertainya; misalnya seorang mujtahid (marja taklid) berkata, “Wajib hukumnya pada rakaat ketiga dan keempat salat dalam kondisi berdiri membaca sekali tasbih al-arba’ah yaitu, “SubhanaLlah walhamdulillah wa lailaha illaLlah wallahu akbar” dan mengikut prinsip ihtiyâth tiga kali membaca tasbih tersebut. Di sini mukallid boleh memilih antara mengamalkan ihtiyâth mustahab (membaca tasbih arba’ah sebanyak tiga kali) dan fatwa yang menyertainya (membaca sekali tasbih arba’ah).

Terkadang mujtahid mengeluarkan fatwa ihtiyâth dalam beberapa hal yang diharuskan bagi setiap mukallid untuk ber-ihtiyâth; sebagai contoh dalam masalah wudhu dimana tangan harus dibasuh dari siku hingga ke bawah; namun supaya yakin bahwa siku sendiri telah dibasuh secara sempurna, mujtahid, mengikut prinsip ihtiyâth, berkata bahwa bagian atas siku juga harus dibasuh. Ihtiyâth seperti ini dipandang harus dilakukan dan mujtahid mengeluarkan fatwa atas amalan tersebut. Mukallid dalam ihtiyâth ini tidak memiliki hak untuk merujuk pada mutjahid lainnya; berbeda dengan ihtiyâth wajib; karena dalam amalan ini fatwa yang dikeluarkan oleh marja taklid adalah fatwa untuk ber-ihtiyâth; bukan ihtiyâth dalam fatwa sehingga dapat dijadikan dasar untuk merujuk kepada marja taklid lainnya.

Ihtiyâth mujtahid dalam sebuah masalah bukan menjadi dalil atas ketidaktahuan dan ketidakmampuannya dalam melakukan inferensi hukum; melainkan menunjukkan ketakwaan, kewaraan dan kedalaman pengetahuannya. Mujtahid, sesuai dengan perhitungan lahir dan dari sudut pandang keilmuan dan penguasaan dalam pembahasan-pembahasan fikih dan agama, merumuskan hukum Allah, namun dikarenakan beberapa sebab, ia menghindar untuk mengeluarkan fatwa yang telah dijelaskan dalam buku-buku penelaran (istidlâl) hukum-hukum fikih. Salah satu sebabnya ketika seluruh juris atau masyhur menjelaskan satu pendapat tunggal dalam sebuah masalah yang dalam istilah disebut sebagai ijma (konsensus) atau kebanyakan dari para juris memiliki pendapat yang sama yang disebut sebagai pendapat masyhur dan dia sampai pada sebuah penalaran dan pemahaman yang berbeda dengan pendapat masyhur; namun disebabkan oleh ketakwaaan dan prinsip hati-hati ia memilih tidak mengeluarkan fatwa demi menghormati pendapat masyhur. Karena boleh jadi pendapat mereka benar adanya. Sikap menghindar tidak mengeluarkan fatwa ini dijelaskan dalam format “ihtiyâth wajib” dan jelas bahwa tidak wajib bagi seorang mujtahid untuk mengeluarkan fatwa.[2] [iQuest]

Beberapa indeks terkait:

Mengganti Marja Taklid, Pertanyaan 7897 (Site: 8002)

Kebolehan Berpindah dari Marja Taklid Hidup kepada Marja Taklid Lainnya, Pertanyaan 2282 (Site: 2390)

Mujtahid A’lam dan Bagaimana Berpindah dari Selain A’lam, Pertanyaan 2077 (Site: 2542)

Memilih Marja Taklid, Pertanyaan 2820 (Site: 3024)

Tab’idh dalam Masalah Taklid, Pertanyaan 7798 (Site: 7916)

 


[1]. Dua terma ini merupakan kalimat superlatif yang derivatnya berasal dari kata ‘ilm. Terma ini  banyak digunakan tatkala marja taklid memilih ihtiyâth wajib dalam sebuah masalah. Maksud dari kalimat ini dalah bahwa mukallid dapat beramal sesuai dengan fatwa mujtahid lainnya – yang level keilmuanya setingkat di bawah dari marjanya dan lebih tinggi dari marja lainnya. Apabila marja kedua juga menyatakan ihtiyath wajib, maka mukallid kembali dapat merujuk pada marja taklid yang ketiga – yang level keilmuannya setingkat di bawah marja kedua dan lebih tinggi dari marja lainnya.

[2]. Diadaptasi dari Site www.hauzah.net  

 

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Klasifikasi Topik

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    261167 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    246285 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    230071 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214943 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    176264 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    171577 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    168066 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    158102 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140903 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    134012 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...