Please Wait
10984
Manusia hendaknya senantiasa tunduk dan patuh di hadapan kebenaran. Dan apabila kebenaran dan kelurusan ucapan dan penalaran telah terbukti baginya, tanpa memperhatikan siapa yang mengucapkan, maka kebenaran itu harus diterima. Tentu dengan memperhatikan pelbagai kriteria akal dan agama. Namun jelas bahwa mempelajari ilmu akan lebih bermanfaat dari orang yang meyakini ilmunya dan bermanfaat bagi kehidupannya. Dan mempelajari ucapan benar dari seseorang yang tidak meyakininya atau tidak mengindahkannya, kendati perilaku tersebut tidak menciderai kebenaran ucapannya, namun akan menyisakan pengaruh psikologis pada murid apabila ia mendapati ucapan yang kontradiktif dalam tuturan-tuturan guru atau dosennya. Pada tingkatan tertentu, boleh jadi guru-guru seperti ini ingin, dengan mencampur adukkan kebenaran dan kebatilan, menyimpangkan murid-muridnya dalam mengenal kebenaran.
Apa yang dapat dipetik dari ajaran-ajaran agama adalah bahwa manusia harus teliti dan hati-hati dalam memilih guru dan pembimbingnya. Namun dengan demikian, karakter dan kepribadian seseorang, bukanlah sebagai satu-satunya kriteria dan penentu benar atau tidaknya pelabgai ucapan yang dilontarkan. Dan orang-orang beriman, apabila suatu waktu berhadapan dengan sebuah pemikiran yang sarat dengan hikmah dari pemikir lain dan orang-orang kafir, setelah mengurai dan menganalisa serta mengetahui kebenaran ucapan tersebut maka sudah seyogyanya ia menerima dan tidak menampik pemikiran tersebut.
Dalam menjawab pertanyaan ini, pertama-tama, dengan memanfaatkan apa yang dialami dalam keseharian manusia, kami ingin mengemukakan dua pertanyaan penting:
Pertanyaan pertama di antara kerabat keluarga atau kenalan Anda terdapat seseorang yang melakukan tindakan pidana dan dulunya kecanduan narkoba serta mengkonsumsi minuman keras dan kebetulan anak-anak Anda mengemukakan sebuah pertanyaan ilmiah kepadanya dan menerima jawaban yang benar pula. Apakah Anda akan berkata kepada anak-anak Anda bahwa jawaban ini tidak dapat diterima. Lantaran jawaban yang disodorkan kepada Anda bukan berasal dari seseorang yang bertakwa dan beriman? Jelas bahwa Anda tidak akan bersikap seperti ini. Karena jawabannya adalah jawaban benar, siapa pun yang mengemukakannya, akan tetap benar jawabannya.
Pertanyaan kedua, apabila Anda ingin memperkokoh fondasi keilmuan anak-anak Anda memutuskan mengirim anak-anak Anda kepada seorang guru privat. Apakah Anda akan mengirimnya kepada seseorang jahat, pecandu meski ia seorang ilmuan? Atau karena akibat yang tidak diinginkan yang boleh jadi menimpa anak-anak Anda menolak mengirim anak Anda kepadanya? Dari dua pertanyaan ini sudah barang tentu Anda akan memilih opsi kedua.
Pertentangan yang terdapat pada pandangan pertama, yang telah disinggung dalam riwayat, tampaknya, dengan sedikit ketelitian, akan menjadi jelas pada dua pertanyaan di atas. Dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Dari sudut pandang Islam, dalam mengenal kebenaran dan hakikat kita tidak boleh menjadikan kriteria benar atau tidak benarnya satu ucapan berdasarkan kepribadian pengucap, melainkan harus melalui analisa, evaluasi dan pencocokan dengan kriteria-kriteria universal akal dan agama lalu kemudian menyeruput kesimpulan yang seharusnya diambil. Dan apabila telah sampai pada kesimpulan bahwa ucapan ini adalah ucapan benar dan pemikiran yang sarat dengan hikmah, tanpa memperhatikan siapa yang berkata dan berucap, maka ucapan tersebut harus diterima.
Rasulullah Saw bersabda bahwa, “Tuntutlah ilmu meski sampai ke negeri Cina (yang merupakan negeri yang terjauh pada masa itu).[1] Imam Ali As juga bersabda, "Barang siapa yang berkata-kata sesuatu yang sarat dengan hikmah kepadamu maka terimalah ucapan tersebut dan perhatikanlah ucapannya bukan siapa yang mengucapkannya.”[2] Imam Ali As dalam kesempatan lain berkata, “Ambillah hikmah dari manapun datangnya. Karena pemikiran sarat hikmah boleh jadi terkandung pada dada seorang munafik meski senantiasa dalam pergolakan hingga keluar dari lisannya dan manfaat ucapan ini pada akhirnya akan didapatkan oleh orang beriman.”[3]
Dengan kata lain, hikmah adalah sesuatu yang hilang bagi orang beriman. Dan harus dicari bahkan pada orang yang lemah imannya sekalipun.”[4]
Apa yang dapat disimpulkan dari riwayat-riwayat semacam ini adalah bahwa ucapan benar dan pemikiran yang sarat hikmah harus diperoleh dengan cara apa pun. Namun orang yang melangkah di jalan ini hendaknya seorang yang memiliki pemikiran dan mampu mengkritisi dan menguliti pelbagai pemikiran lainnya. Dalam hal ini, Nabi Isa As menasihatkan kepada para pengikutnya untuk menyimak dengan seksama dan mengkritisi ucapan-ucapan orang lain.[5] Harus diketahui bahwa sabda yang dilontarkan oleh Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib As yang disinggung dalam pertanyaan (unzhûr ila mâ qal) juga dengan memperhatikan redaksi “unzhur” (Perhatikan) yang terdapat pada ayat[6] dan riwayat maka hal itu tidak bermakna menerima setiap ucapan tanpa reserved (tedeng aling-aling), melainkan perintah untuk menyimak dengan seksama ucapan-ucapan orang lain.
2. Namun dari sisi lain, menurut pandangan Islam, apakah kita bebas memilih pemandu dan guru? Apakah setiap orang hanya dapat bersandar pada dalil bahwa orang ini adalah seorang ilmuan kemudian dijadikan sebagai teladan dan panutan? Apakah segala perilaku dan perbuatannya, dijadikan sebagai pelita petunjuk dalam kehidupan kita sehari-hari?
Jawaban atas pertanyaan ini adalah negatif (tidak), bahkan kita harus menetapkan kriteria-kriteria dalam memilih seorang pemandu dan guru yang pantas bagi kemajuan pengetahuan dan amalan kita. Kriteria-kriteria itu seperti bahwa ia harus seorang ilmuan, mampu mengendalikan diri, menjaga agamanya, mengontrol hawa nafsunya dan semata-mata menjalankan seluruh titah Tuhannya.[7] Pembimbing yang tidak memiliki kriteria seperti ini, kendati boleh jadi ia mengajarkan hikmah-hikmah kepada para murid dan mahasiswanya namun senantiasa terdapat kemungkinan bahwa ilmuan seperti ini:
A. Ia tidak mengajarkan sebagian dari pengetahuannya yang tidak mendatangkan keuntungan materialnya baginya kepada para muridnya. Al-Qur’an menyinggung ilmuan seperti ini dan mencela model ilmuan seperti ini.[8]
B. Ia tidak mengamalkan apa yang diketahuinya dan tatkala pencari ilmu menyaksikan bahwa gurunya tidak mengamalkan apa yang dikatakannya maka secara psikologis, perasaan ini akan muncul dalam benak sang murid bahwa apa-apa yang telah disampaikan boleh jadi tidak benar adanya, dan atas dasar itu ia tidak dapat memanfaatkan secara maksimal ilmu yang telah ia pelajari.
Dalam wasiat Dzulqarnain yang menyoroti poin penting ini bahwa janganlah tuntut ilmu dari orang yang tidak mengambil manfaat dari ilmunya; karena orang yang tidak berguna ilmu baginya maka ilmu tersebut juga tidak akan memberi manfaat kepadamu. Isa al-Masih juga terkait dengan hal ini bersabda, “Para pecinta dunia adalah penyakit agama dan ulama adalah dokternya. Atas dasar itu, apabila engkau melihat seorang dokter secara sengaja membuat dirinya sakit maka sesungguhnya ia telah berburuk sangka terhadap dirinya dan ketahuilah ia tidak akan pernah memberikan kebaikan kepada orang lain.”[9]
C. Yang paling berbahaya adalah boleh jadi, hingga tingkatan tertentu, ia mengetahui ilmu dan hikmah namun tidak digunakan untuk mengkonstruksi dirinya (tazkiyat al-nafs) dan atas dasar itu, bahayanya lebih besar terhadap orang lain. Ia dapat memanfaatkan pelbagai yang ia ketahui kemudian meramu resep campuran antara hak dan batil. Dengan demikian, menciptakan pelbagai keraguan yang tampak sepintas logis kemudian menyesatkan masyarakat dari jalan lurus.
Allah Swt berfirman kepada ilmuan-ilmuan seperti ini, “Wala talbisu al-haq bi al-bathil wa taktumu al-haq wa antum ta’lamun.” (Qs. Al-Baqarah [2]:42); (Qs. Ali Imran [3]:71)
Amirul Mukminin As menjelaskan secara lirih bahwa terdapat dua kelompok yang mematahkan punggungnya. Kelompok orang-orang fasik yang mengenal masalah-masalah agama dan kelompok jahil yang hanya memperhatikan yang lahir saja… Aku mendengar dari Rasulullah Saw bahwa umatku akan binasa di tangan orang-orang munafik yang mengetahui masalah-masalah agama.”[10]
Model orang-orang seperti ini dapat kita jumpai di kalangan kita sendiri dengan bercermin kepada ayat-ayat al-Qur’an[11] yang berada pada tataran berhadap-hadapan dengan Imam Ali As dan tanpa mempertanyakan kebenaran ayat tersebut, beliau menjelaskan bahwa ucapan ini adalah ucapan benar (hak) dan digunakan untuk mencapai tujuan yang tidak benar (batil).[12]
Dengan menyimak beberapa kemungkinan ini, para pemimpin kita menasihatkan bahwa dalam memilih pembimbing, guru dan ustadz, kita harus lebih teliti sehingga tidak terjerembab dalam kubangan kesulitan yang bisa saja digali oleh para ilmuan yang lemah imannya.
Namun demikian kita tidak boleh keluar dari rel keadilan. Kita seharusnya tidak menentang ucapan-ucapan benar yang terkadang disampaikan oleh orang-orang seperti ini. Dengan kata lain, dua riwayat di atas tidak bertentangan dan berseberangan, melainkan saling melengkapi antara satu dengan yang lain. [IQuest]
[1]. Muhammad bin al-Hasan Hurr Amili, Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 27, Hadis 33119, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1409 H.
[2]. Abdulwahid bin Muhammad Tamimi Amadi, Ghurar al-Hikam wa Durar al-Kalam, hal. 85, Hadis 612, Intisyarat-e Daftar-e Tablihgat Islami, Qum, 1366 H.
[3]. Nahj al-Balâgha, hal. 481, Hikmah 79, Intisyarat-e Dar al-Hijrah, Qum, Tanpa Tahun.
[4]. Ibid, Hikmah 80.
[5]. Muhammad Baqir Majlisi, Bihâr al-Anwâr, jil. 2, hal. 96, Hadis 39, Muasssah al-Wafa, Beirut, 1404.
[6]. “Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan kepada mereka (ahli kitab) tanda-tanda kekuasaan (Kami), kemudian perhatikanlah bagaimana mereka berpaling (dari ayat-ayat Kami itu).” (Qs. Al-Maidah [5]:75) “Perhatikanlah, betapa Kami mendatangkan tanda-tanda kebesaran Kami silih berganti agar mereka memahami(nya).” (Qs. Al-An’am [8]:65)..
[7]. Wasâil al-Syiah, jil. 27, hal. 131, Hadis 3340.
[8]. Bihâr al-Anwâr, jil. 2, hal. 99, Hadis 53.
[9]. Wasâil al-Syiah, jil. 20, hal. 25, Hadis 24938.
[10]. Syaikh Shaduq, al-Khisâl, jil. 1, hal. 69, Hadis 103, Intisyarat-e Jame’e Mudarrisin, Qum, 1403 H.
[11]. “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah.” (Qs. Al-An’am [8]:57). “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah.” Qs. Yusuf [12]:40 dan 47, “In al-Hukm illahLlah.”
[12]. Nahj al-Balâgha, hal. 82, Khutbah 40, “Kalimatun Haqq Yurâdu bihâ Bâthil.”