Please Wait
10650
Yang pasti bahwa shalat-shalat fardhu disyariatkan pertama-tama dalam bentuk dua rakaat-dua rakaat. Demikian juga tidak diragukan bahwa shalat-shalat tersebut ditambahkan dua rakaat ketika tidak melakukan perjalanan (berada di watan). Sekarang pertanyaannya adalah apakah shalat dalam perjalanan yang ditambahkan atau tidak? Di sinilah duduk persoalannya.
Para juris (fukaha) Syiah, dengan bersandar pada riwayat-riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum As, sepakat bahwa shalat yang disyariatkan pada masa Rasulullah Saw adalah dua rakaat-dua rakaat – yaitu pada shalat di negeri (watan) - namun tidak ada yang ditambahkan pada shalat dalam perjalanan. Namun terdapat perbedaan riwayat-riwayat yang dinukil dari Ahlusunnah dan pandangan para juris mereka berkenaan dengan shalat musafir. Sekelompok orang bersandar pada pandangan Syiah namun sebagian lainnya memilih antara qashar atau itmâm (menyempurnakan) shalat dalam perjalanan.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda terlebih dahulu kami ingin jelaskan ayat terkait kemudian mengurai dan mengkajinya. Allah Swt dalam al-Qur’an berfirman, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidak berdosa kamu meng-qashar salat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (Qs. Al-Nisa [4]:101)
Nampaknya sebab utama perbedaan dalam masalah ini terletak pada pengambilan kesimpulan dari kalimat “junah” yang disebutkan dalam ayat. Karena itu, kiranya perlu kami mengelaborasi arti kalimat tersebut di sini.
Junah secara leksikal bermakna dosa lantara dosa adalah penyimpangan dari kebenaran.[1]
Dengan memperhatikan makna “la junah” (tidak berdosa) sebagian ulama dari Ahlusunnah memandang boleh memilih (rukhsah) mengerjakan shalat qashar ketika seseorang berada dalam perjalanan. Lantaran al-Qur’an menandaskan, “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar salat(mu)” Takhyiir (adanya pilihan) yang ditunjukkan oleh ayat ini adalah lebih kuat daripada ta’yin (penetapan) qashar. Karena kalimat negative (laa junah) tidak sepadan dengan kata wajib, mustahab dan mubah melainkan dengan kata marjuh (lebih dipilih).[2]
Namun dengan memperhatikan ayat yang serupa yang menggunakan redaksi “laa junah” maka hal itu menunjukkan adanya kewajiban (wujub). Demikian juga kalau kita perhatikan terdapat beberapa riwayat dari Ahlusunnah dan Syiah yang menyokong kewajiban shalat qashar dalam perjalanan (safar). Dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut berada pada tataran menjelaskan inti pensyariatan shalat qashar bukan menjelaskan jenis hukum shalat qashar. Oleh itu, ayat di atas tidak menunjukkan sama sekali adanya pilihan antara qashar dan itmam.[3]
Sebagai contoh ayat, “Inna al-Shafa wa al-Marwa min Sya’airiLlah faman Hajja al-bait awi’tamara fala junaha ‘alaihhi an yathawwafa bihima waman tathawwa’ khairan fainallah syakirum ‘alaikum.”[4] Secara lahir redaksi kalimat “la junah” menunjukkan adanya pilihan antara mengerjakan atau meninggalkan sa’i antara Shafa dan Marwah, namun tidak seorang pun dari kaum Muslimin meyakini adanya pilihan terkait dengan sa’i antara Shafa dan Marwah. Karena ayat ini berada pada tataran menjelaskan inti pensyariatan hukum untuk menghilangkan keburaman (ibham) ihwal tidak diwajibkannya masalah sai. Namun jenis hukum (kewajiban) dapat dipahami dari dalil-dalil lainnya.
Banyak contoh dari kasus seperti ini yang dengan sendirinya kewajiban tidak dapat disimpulkan, melainkan dengan menggunakan ayat-ayat lainnya yang menandaskan bahwa banyak ayat-ayat al-Qur’an yang berada pada tataran pensyariatan (tasyri’). Seperti pada pensyariatan ayat-ayat jihad dimana Allah Swt berfirman, “dzalikum khairun lakum.” (Hal itu baik bagi kalian).[5] Atau dalam pensyariatan puasa, Allah Swt berfirman, “Wa an tashumu khairun lakum.” (Dan berpuasa itu baik bagi kalian).[6] Demikian juga terkait dengan shalat qashar, Allah Swt berfirman, “falaisa ‘alaikum junah an taqshuru min al-shalat.” “Maka tidaklah kamu menyimpang jika kalian meng-qashar salat(kalian)”[7]
Fakhruddin Tharihi dalam hal ini berkata, “Lantaran kaum Muslimin meyakini bahwa hal ini (memendekkan shalat) tidak termasuk perbuatan dosa karena itu ayat menyatakan tidak ada dosa dalam perbuatan tersebut.”[8]
Ayat yang menjadi obyek bahasan juga demikian adanya. Artinya ia berada pada tataran menjelaskan inti pensyariatan bukan menjelaskan jenis hukum.
Zamakhsyari berkata, “Lantaran masyarakat merasa senang dengan mengerjakan shalat secara sempurna (tamâm) maka boleh jadi dalam benak mereka bahwa apabila mereka mengerjakan shalat pendek (qashar) maka hal itu merupakan sebuah kekurangan. Karena itu, ayat menandaskan bahwa tidak ada dosa bagimu sehingga Anda merasa tenang ketika ingin mengerjakan shalat qashar.[9]
Beberapa Riwayat
Termasuk kepastian sejarah fikih Islam bahwa shalat-shalat pertama-tama dikerjakan dalam bentuk pendek (qashar) yaitu dua rakaat-dua rakaat.[10] Demikian juga tidak diragukan bahwa shalat di negeri (watan) telah ditambahkan. Namun apakah shalat dalam perjalanan juga telah ditambahkan dua rakaat atau tidak? Di sini letak duduk persoalannya. Para juris Syiah dengan bersandar pada riwayat-riwayat yang dinukil dari para Imam Maksum As sepakat bahwa shalat dua rakaat telah disyariatkan. Dua rakaat lainnya yang ditambahkan pada shalat di negeri (watan). Namun tidak ada yang ditambahkan pada shalat dalam perjalanan, melainkan tetap dalam bentuknya yang pertama yaitu shalat qashar.
Beberapa Riwayat dan Pandangan Fukaha Ahlusunnah
Riwayat-riwayat yang dinukil melalui jalur Ahlusunnah dan pandangan fukaha mereka dalam masalah shalat musafir tidak satu. Sebagian menyokong pandangan Syiah. Artinya mereka meyakini bahwa shalat-shalat pertama tidak ditambahkan. Karena itu dalam perjalanan yang dikerjakan hanya shalat qashar. Namun sebagian lainnya memandang bahwa seseorang dalam perjalanan (safar) dapat memilih antara mengerjakan qashar atau melengkapkan shalat (itmam). Dalam beberapa literatur dari perawi yang berbeda dinukil bahwa shalat qashar telah disyariatkan dan shalat pada watan (negeri) telah ditambahkan dua rakaat. Adapun riwayat-riwayat terkait dengan shalat dalam perjalanan akan dibagi menjadi tiga bagian.
1. Riwayat-riwayat yang menjelaskan bahwa shalat qashar telah disyariatkan dan shalat ketika di watan telah ditambahkan. Namun tidak ada yang ditambahkan pada shalat dalam perjalanan, melainkan tetap pada kondisinya yang pertama yaitu dua rakaat.
Muhammad bin Hasyim Ba’labaki sesuai dengan nukilan dari Walid dari Abu Amru Awzai, dari Zuhra, yang bertanya tentang shalat Rasulullah Saw. Zuhra berkata, “Urwah menukil dar Aisyah bahwa ia berkata, “Allah Swt telah mewajibkan shalat bagi Rasulnya bahwa yang pertama dalam bentuk dua rakaat-dua rakaat kemudian shalat orang yang berada di negerinya (watan) ditambahkan dua rakaat. Adapun shalat dalam perjalanan ia tetap dalam kondisinya semula.[11] Waki’ berkata, “Hisyam bin Urwah menukil dari ayahnya dan ia dari Aisyah bahwa Aisyah berkata, “Tatkala shalat diwajibkan dalam bentuk dua rakaat-dua rakaat dan dua rakaat telah ditambahkan kepadanya. Sebagai kesimpulannya shalat bagi orang yang berada di negerinya (watan) adalah empat rakaat.[12]
Ubaid dari Wiqa bin Ayyas dari Ali bin Rab’i menukil bahwa Ali keluar kota untuk melakukan perjalanan dan ia mengerjakan shalat dua rakaat hingga ia kembali.[13]
Utsman dan Shalat Empat Rakaat
Sufyan meriwayatkan dari Zuhra dari Amruh dari Aisyah: Shalat tatkala disyariatkan terdiri dari dua rakaat-dua rakaat yang [kemudian] shalat di negeri (watan) ditambahkan dua rakaat. Shalat dalam perjalanan tetap pada kondisinya semula. Zuhra berkata, “Aku bertanya kepada Amruh lantas mengapa Aisyah mengerjakan shalatnya secara sempurna ketika ia dalam perjalanan (safar)?” Ia berkata, “Ia melakukan takwil sebagaimana takwil yang dilakukan Utsman.” Sebagai kelanjutan hadis disebutkan, “Hadis ini secara lugas adalah hadis Syafi’i dan Muslim dalam Shahihnya meriwayatkan dari Ali bin Khusyram dan Bukhari juga meriwayatkan dari Abdullah bin Muhammad dari Sufyan.
Muhammad bin Abdullah Hafizh berkata, “Abul Fadhl Muhammad bin Ibrahim mengabarkan kepada kami bahwa Ahmad bin Salmah dari Qutaibah bin Sa’id dari Abdul Wahid bin Ziyad dari A’masy dari Ibrahim meriwayatkan bahwa Aku mendengar dari Abdurrahman bin Yazid berkata, “Kami mengerjakan shalat empat rakaat di Mina dan Utsman sebagai imamnya.” Kisah ini saya ceriterakan ke Abdullah bin Mas’ud dan ia menyampaikan kalimat istirja (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) dan kemudian berkata, “Kami mengerjakan shalat-shalat kami dua rakaat di Mina bersama Rasulullah Saw. Setelah Rasulullah Saw, kami shalat bersama Abu Bakar dan setelahnya bersama Umar dua rakaat di Mina.” Diriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, Utsman mengerjakan shalat empat rakaat di Mina dan Abdullah bin Mas’ud berkata, “Kami mengerjakan shalat kami dua rakaat-dua rakaat bersama Rasulullah Saw di Mina. Setelah Rasulullah Saw, kami mengerjakan shalat dua rakaat-dua rakaat di Mina bersama Abu Bakar dan Umar. Diriwayatkan dari Hafsh: Dan kami (shalat) shalat dua rakaat-dua rakaat di Mina bersama Utsman pada masa awal-awal kekhalifaannya kemudian ia menambahkan dua rakaat padanya.[14]
2. Sebuah riwayat menyatakan bahwa shalat telah disyariatkan dalam bentuk dua rakaat kemudian shalat (dalam perjalanan atau berada di negeri [watan], tidak disebutkan) ditambahkan dua rakaat padanya. Seperti riwayat ini, Ubaidah menukil dari Daud bin Abi Hind dari Syu’ba: “Shalat pada mulanya dalam bentuk dua rakaat. Dua rakaat (yang kemudian) diwajibkan. Tatkala Rasulullah Saw datang ke Madinah masing-masing dua rakaat ditambahkan padanya selain shalat Maghrib (yang tidak terdiri dari dua rakaat).[15]
Dua riwayat kendati nampak bertentangan satu dengan yang lain akan tetapi mengingat riwayat pertama tergolong riwayat khusus dan riwayat kedua adalah riwayat umum. Dengan demikian – kaidah pasti ilmu Ushul yang menyatakan bahwa zhuhur khas (khusus) lebih kuat daripada zhuhur am (umum) – riwayat kedua mengalami takhsish (pengkhususan) oleh riwayat pertama dan sebagai hasilnya makna riwayat seperti ini: Bertambahnya dua rakaat pada shalat pada kondisi bermukim (hadhar) bukan pada kondisi safar (dalam perjalanan). Artinya shalat pada saat berada di negerinya (watan) telah ditambahkan dua rakaat (menjadi empat rakaat).
3. Riwayat-riwayat yang menyebutkan, shalat dua rakaat yang telah disyariatkan dan ditambahkan dua rakaat pada shalat ketika bermukim. Demikian juga terkait dengan shalat dalam perjalanan ditambahkan dua rakaat.
Husain bin Ismail meriwayatkan dari Ahmad bin Muhammad Tab’i dari Qasim bin Hakam dari ‘Ala bin Zuhair dari Abdurrahman bin Aswad dari Aisyah, “Aku bersama Rasulullah Saw menjalankan amalan-amalan umrah. Rasulullah Saw menunaikan shalat qashar. Namun aku mengerjakannya dengan lengkap. Rasulullah Saw berbuka puasa namun aku (tetap) berpuasa. Tatkala sampai di Mekkah aku berkata, “Wahai Rasulullah. Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu. Anda memendekkan shalat namun aku menyempurnakannya. Anda berbuka puasa namun aku berpuasa. Rasulullah Saw bersabda, “Ahsanti Ya Aisyah..” (Anda telah melakukan perbuatan yang baik) dan beliau tidak mengkritikku.”[16]
Namun hadis ini sesuai dengan penegasan sebagian (ulama) Ahlusunnah adalah hadis dusta dan sama sekali tidak memiliki nilai.[17] Lantaran tidak mungkin Aisyah mengerjakan shalatnya dengan sempurna bertentangan dengan Rasulullah dan ia tidak bertanya sesuatu kepada Rasulullah Saw hingga sampai di Mekkah.
Shalat Rasulullah Saw, Khalifah Pertama dan Khalifah Kedua dalam Perjalanan
Ibnu Alaih meriwayatkan dari Ali bin Zaid dari Abi Nadhrah, Imran bin Hushain datang ke majelis kami. Seorang pemuda dari orang-orang yang hadir berdiri dan bertanya tentang shalat Rasulullah Saw pada haji, perang dan umrah. Kemudian Imran mendekat dan berdiri di hadapan kami. Ia berkata, “Pemuda ini bertanya kepadaku dan aku ingin kalian juga mendengarkannya. Aku tidak mengerjakan shalat bersama Rasulullah Saw pada perang kecuali dua rakaat hingga kami kembali ke Madinah. Aku bersama Rasulullah Saw menunaikan haji, beliau menunaikan seluruh shalat-shalatnya dua rakaat hingga kembali ke Madinah. Pada peristiwa Fathu Mekkah Rasulullah Saw bermukim delapan belas malam di Mekkah. Beliau tidak menunaikan shalat kecuali dua rakaat-dua rakaat dan bersabda kepada orang-orang Mekkah: Anda kerjakan shalat empat rakaat dan aku (yang memendekkannya) adalah seorang musafir. Aku mengerjakan tiga umrah bersama Rasulullah Saw namun Rasulullah Saw tidak menunaikan shalat kecuali dua rakaat-dua rakaat hingga kembali ke Madinah. Aku melakukan haji dengan Abu Bakar, berperang di sampingnya, namun ia juga mengerjakan shalat dua rakaat-dua rakaat hingga ia kembali ke Madinah. Aku mengerjakan haji bersama Utsman sebanyak tujuh kali pada masa khilafahnya. Namun ia juga tidak mengerjakan shalat kecuali dua rakaat namun setelahnya di Mina ia mengerjakan shalat-shalatnya empat rakaat.[18]
Alasan Shalat-shalat Empat Rakaat Khalifah Ketiga dalam Perjalanan
1. Ayyub dan Baihaqi dalam mengemukakakan alasan shalat-shalat empat rakaat Khalifah Ketiga berkata, “Alasan mengapa Utsman menyempurnakan shalatnya di Mina lantaran kaum Muslimin Badui banyak yang hadir karena itu ia ingin mengajarkan kepada mereka shalat empat rakaat. Hasani meriwayatkan dari Abdurrahmna bin Hamid dari ayahnya bahwa tatkala Utsman bin Affan menyempurnakan shalatnya di Mina ia menyampaikan khutbah kepada masyarakat. Utsman berkata, “Ayyuhannas! Sunnah (pada shalat) adalah sunnah Rasulullah, Khalifah Pertama dan Khalifah Ketiga. Namun tahun ini muncul masalah baru dan aku takut orang-orang memandang shalat (dua rakaat-dua rakaat) ini sebagai sunnah.” Namun alangkah baiknya sekiranya Khalifah Ketiga juga seperti Rasulullah Saw kepada penduduk Mekkah dan lainnya yang bersabda, “Anda kerjakan empat rakaat dan saya (yang mengerjakan qashar) adalah musafir.
2. Yunus menukil dari Zuhra: Lantaran Utsman mengambil uang dari Thaif dan bermaksud untuk bermukim maka ia mengerjakan shalat dengan sempurna. Demikian juga Mughira menukil dari Ibrahim: Utsman mengerjakan shalat empat rakaat lantaran ia ingin menjadikan tempat itu sebagai kediamannya (watan).
Riwayat Syiah
Zurarah dan Muhammad bin Muslim berkata aku berkata kepada Imam Baqir As: Bagaimana pendapat Anda terkait dengan shalat dalam perjalanan? Bagaimana dan berapa rakaat jumlahnya? Imam Baqir As bersabda, “Allah Swt berfirman, “Wa idza dharabtum fi al-ardh…” “Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu meng-qashar salat(mu)” Karena itu wajib memendekkan (qashar) shalat dalam perjalanan sebagaimana wajib hukumnya menyempurnakan shalat tatkala berdiam di suatu tempat. Zurarah dan Muhammad bin Muslim berkata: Kami berkata, “Allah Swt berfrirman “Tiada (dosa dan) kesusahan..” (laa junahun) dan tidak berfirman, “Hendaknya kalian..” Artinya Allah Swt tidak menggunakan kata perintah supaya memendekkan shalat yang menunjukkan kewajiban meng-qashar- shalat. Lalu bagaimana ayat ini dapat dijadikan sebagai dalil qashar dan memendekkan shalat sebagaimana menyempurnakan shalat tatkala bermukim di suatu tempat? Imam Baqir As bersabda, “Bukankah Allah Swt terkait dengan sai antara Shafa dan Marwah berfirman, “Faman hajja al-bait awi’ tamara fala junaha ‘alaihi an yathwwafa bihima..”.. Tidakkah kalian perhatikan bahwa sai antara Shafa dan Marwa adalah amalan yang wajib dikerjakan. Karena Allah Swt dalam Kitab-Nya menyebutkan dan Rasulullah-Nya menjelaskan dan mengamalkan ayat sai antara Shafa dan Marwah. Dengan demikian memendekkan shalat dalam perjalanan merupakan sebuah amalan yang dipraktikan Rasulullah Saw dan Allah Swt menggunakan lafaz tersebut dalam Kitab-Nya. Rasulullah Saw melakukan perjalanan ke daerah Dzi Khasyab[19] dan memendekkan shalat serta tidak berpuasa. Dan hal ini setelahnya menjadi sunnah…[20] Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa shalat itu pada mulanya dikerjakan dua rakaat-dua rakaat yang disyariatkan. Namun setelah itu shalat-shalat Dhuhur, Ashar, Isya ditambahkan dua rakaat pada seseorang yang berada di negerinya (watan). Dan tatkala kita sangsi antara banyak atau tidaknya shalat musafir maka yang menjadi pokok adalah tidak banyak. [IQuest]
[1]. Fakhruddin Tharihi, Majma’ al-Bahrain, Sayid Ahmad Husaini, jil. 2, hal. 346, Kitab Purusyi Murtadhawi, Teheran, 1375 S, Cetakan Ketiga.
[2]. Muhammad bin Ali Astarabadi, Âyât al-Ahkâm, jil. 1, hal. 266, Maktabat al-Mi’raji, Teheran, Cetakan Pertama.
[3]. Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasâil, jil. 9, hal. 437, Muassasah Ali al-Bait, Qum, 1408 H. Namun hal ini disebutkan terkait dengan sai antara Shafa dan Marwah kemudian dicocokkan di sini.
[4]. (Qs. Al-Baqarah [2]:158)
[5]. (Qs. Al-Baqarah [2]:54)
[6]. (Qs. Al-Baqarah [2]:184)
[7]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizan (terjemahan Persia), jil. 1, hal. 580, Daftar Intisyarat-e Islami Jame’e Mudarrisin Hauzah Ilmiah Qum, Qum, 1374 S, Cetakan Kelima.
[8]. Muhaddits Nuri, Mustadrak al-Wasail, jil. 9, hal. 437.
[9]. Abul Qasim Mahmud bin Amru bin Ahmad Zamakhsyari Jarallah, Al-Kasysyâf ‘an Haqâiq Gawâmidh al-Tanzîl, jil. 1, hal. 454, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Cetakan Ketiga, Beirut, 1407 H. Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad Baidhawi, Anwâr al-Tanzil wa Asrâr al-Ta’wil, jil. 1, hal. 492, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Cetakan Pertama, Beirut, 1418 H. Sayid Ali bin Thawus Hilli, Tafsir Abi al-Su’ud, Sa’d al-Su’ud li al-Nufus Mandhud, jil. 2, hal. 147, Muhammad Kazhim al-Katbi, Qum.
[10]. Abu Abdurrahman, Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Nasai Naisyaburi, Sunan Nasâ’i, jil. 2, hal. 232, Hadis 490, Site al-Islam, http://www.al-islam.com (Al-Maktabatu al-Syamilah). Ibnu Abi Syaibah, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, jil. 2, hal. 337. Site Ya’sub (Maktabatu al-Syamilah). Abu Ya’la Mushili, Musnad Abi Ya’la Mushili, jil. 6, hal. 188. Thahawi, Musykil al-Âtsâr, jil. 9, hal. 272, Site al-Islam, http://www.al-islam.com (Maktabatu al-Syamilah).
[11]. Abu Abdurrahman, Ahmad bin Ali bin Syu’aib bin Nasai Naisyaburi, Sunan Nasai, jil. 2, hal. 232, Hadis 490.
[12]. Ibnu Abi Syaibah Kufi, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, jil. 2, hal. 337.
[13]. Ibid.
[14] . Baihaqi, Sunan Kubra, jil. 3, hal. 143, Site http://www.al-islam.com (Maktabatu al-Syamilah).
[15]. Ibnu Abi Syaibah Kufi, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, jil. 8, hal. 335. Baihaqi, Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar, jil. 2, hal. 352. http://www.alsunnah.com (Maktabatu al-Syamilah), Thahawi, Musykil al-Âtsâr, jil. 9, hal. 272.
[16]. Daruquthni, Sunan Daruquthni, jil. 6, hal. 59, Site Kementrian Wakaf Mesir, http://www.islamic-council.com (Maktabatu al-Syamilah).
[17]. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur’an al-Hakim (Tafsir al-Manar), jil. 5, hal. 368 dan 370, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Libanon, Cetakan Kedua.
[18]. Ibnu Abi Syaibah Kufi, Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, jil. 2, hal. 337.