Please Wait
8873
Dalam literatur-literatur riwayat disebutkan bahwa “Innahu lamaktubun ‘ala Yamin ArsyiLlah Mishbahun Hâdin wa Safinatun Najah.” Sesungguhnya tertulis di sisi kanan Arsy Tuhan, Husain adalah pelita hidaya dan bahtera keselamatan.”
Para imam lainnya kendati mereka adalah cahaya tunggal dan semuanya adalah pelita hidayah namun seiring dengan tuntutan zaman yang membuat sisi kepribadian mereka mengejewantah dan teraktualisasi dan sebagai hasilnya merupakan cerminan satu dari nama-nama Tuhan.
Namun mengapa pelita hidayah dan bahtera keselamatan ini hanya digunakan untuk Imam Husain As? Terkait dengan hal ini harus dikatakan bahwa: “Situasi dan kondisi yang dihadapi oleh Imam Husain As adalah situasi dan kondisi khusus.” Situasi dan kondisi yang berkembang sedemikian gentingnya sehingga Bani Umayyah mampu menyampaikan anti propaganda terhadap Islam yang berpotensi menghancurkan Islam. Imam Husain As dengan pengorbanannya mampu menyelamatkan di samping Islam dari kebinasaan juga mendemonstrasikan seluruh dimensi Islam sejati pada tataran praktis bagi seluruh penghuni alam semesta. Sejatinya Imam Husain tengah menunjukkan jalan keselamatan dan memberikan petunjuk bagi seluruh umat manusia. Atas dasar itu, tragedi Asyura dan Imam Husain adalah pelita yang menyinari jalan para pencari hakikat dan kebenaran. Dalam pancaran sinar tersebut, manusia dapat memperoleh keselamatan dari kesesatan dan kegelapan, kebodohan dan kedunguan, dan juga keselamatan sampai di dermaga dari amukan gelombang penyimpangan.
Dalam literatur-literatur riwayat disebutkan bahwa “Innahu lamaktubun ‘ala Yamin ArsyiLlah Mishbahun Hadin wa Safinatun Najah.” Sesungguhnya tertulis di sisi kanan Arsy Tuhan, Husain adalah pelita hidaya dan bahtera keselamatan.”[1]
Berdasarkan hal ini maka kiranya pantas mengemuka sebuah pertanyaan, “Mengapa gelar ini tidak disematkan kepada para Imam Maksum As lainnya? Dalam menjawab pertanyaan ini harus dikatakan bahwa kendati para imam berasal dari cahaya yang satu dan kesemuanya adalah pelita petunjuk namun seiring dengan tuntutan zaman yang membuat sisi kepribadian mereka mengejewantah dan teraktualisasi dan sebagai hasilnya merupakan cerminan satu dari nama-nama Tuhan sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
Dengan memperhatikan dua perumpamaan berikut ini maka persoalan yang disebutkan dapat menjadi jelas:
Contoh pertama: Di antara para Imam Maksum As hanya Imam Kelima As yang disebut sebagai Penyingkap Tirai Ilmu (Baqir). Padahal kita tahu bahwa seluruh maksum memililiki ilmu ladunni. Yang membedakannya adalah bahwa pada masa dan kondisi Imam Kelima hidup banyak pemikiran-pemikiran dan aliran-aliran baru bermunculan. Dari sisi lain, pemerintahan Bani Umayya semakin melemah dan di ambang keruntuhan. Dalam kondisi seperti ini, adalah suatu hal yang urgen prinsip-prinsip mazhab Syiah dijelaskan dan diajarkan. Memanfaatkan kesempatan emas inilah, Imam Muhammad Baqir menggelar kelas-kelas pelajaran dan hasil gemilang dari kelas-kelas ini dicapai secara sempurna pada masa Imam Shadiq As. Penjabaran secara tepat ajaran Ahlulbait As dan penggemblengan banyak murid yang menjadikan ajaran-ajaran Ahlulbait tersebar di seluruh titik dunia Islam. Simbol peran ini telah menjadikan Imam Kelima menyabet gelar Baqir (Penyingkap Tirai Ilmu) bagi dirinya dan hal ini tidak bermakna bahwa para Imam Maksum lainnya bukan merupakan seorang alim, melainkan hanya sebagai bukti peran khusus keilmuan Imam Baqir As dalam mensketsa garis-garis dan ajaran-ajaran Ahlulbait As.
Contoh kedua: Di antara para Imam Maksum As hanya Imam Ali As dan Imam Husain As mendapatkan gelar Tsârallâh (Darah Tuhan atau seseorang yang wali darahnya adalah Tuhan), sementara pada kenyataannya mereka seluruhnya tidak mati secara wajar meninggalkan dunia ini atau dengan kata lain mereka seluruhnya mencapai kesayahidan (diracun atau dibunuh) di jalan Allah. Dalilnya adalah bahwa di antara para Imam Maksum As hanya Imam Ali dan Imam Husain As yang darahnya tumpah ke bumi dan dalam kondisi seperti itu, model kesyahidan seperti ini memiliki peran dan pengaruh yang lebih dominan dalam keberlanjutan kehidupan agama Islam sementara tipologi yang disebutkan ini tidak terdapat pada para Imam Maksum lainnya. Dengan kata lain, seluruh Imam Maksum adalah manifestasi sempurna sifat-sifat dan nama-nama Ilahi, karena tuntutan tipikal dan kondisi-kondisi yang berkembang di setiap zaman, telah menyebabkan satu sisi dari kepribadian mereka yang memanifestasi dan mengaktual secara dominan. Mereka adalah cerminan nama dari nama-nama Tuhan dan pada setiap zaman, dimana satu dimensi dari berbagai dimensi eksistensialnya mengejewantah dan memanifestasi sesuai dengan tuntutan zamannya.
Adapun mengapa gelar pelita petunjuk (Misbâh al-Huda) dan bahtera keselamatan (Safinat al-Najah) hanya digunakan untuk Imam Husain As jawabannya adalah bahwa situasi dan kondisi yang dihadapi oleh Imam Husain As adalah situasi dan kondisi khusus. Pada kondisi seperti itu, Bani Umayyah telah mampu mencoreng wajah Islam dan hampir-hampir menghapuskan ajaran hakiki Islam. Jelas bahwa model Islam yang dikembangkan Muawiyah tidak mampu memberikan petunjuk kepada umat manusia. Model Islam yang membolehkan khalifahnya adalah seorang manusia peminum khamar, pemain judi dan sebagainya. Model Islam yang menerima diskriminasi kaum dan strata. Model Islam yang para pemimpinnya menunaikan shalat jamaah dalam keadaan mabuk.
Kemudian Imam menyampaikan tujuan kebangkitan dan perlawanannya. Imam Husain menegaskan, “Inni lam akhruj asyiran wa la bathran wala mufsidan wala zhâliman bal kharajtu lithalâb al-ishlâh fi ummati jaddi.” Aku tidak keluar untuk bersantai-santai dan bersenang-senang, bukan juga bertujuan untuk melakukan kejahatan dan penindasan melainkan aku keluar untuk melakukan perbaikan pada umat datukku.”[2]
Imam Husain As, setelah menggambarkan kondisi sosial pada masanya – bersabda, “Tidakkah kalian lihat kebenaran dan keadilan tidak dijalankan dan kebatilan tidak dilarang? Dalam kondisi rusak dan terkontaminasi seperti ini setiap orang beriman akan berharap kematian dan perjumpaan dengan Tuhan.”[3] Atau tatkala mendengar berita pengangkatan Yazid sebagai pemimpin, Imam Husain As bersabda, “Wa ‘ala al-Islâm al-salâm idzâ qad buliyat al-umma birâ’in mitsli Yazid.” (Dan selamat tinggal atas Islam apabila kepemimpinan umat diserahkan kepada orang seperti Yazid).[4]
Imam dalam kondisi seperti ini di samping mampu menyelamatkan Islam dari kehancuran dan juga telah menggambarkan potret Islam sejati secara praktis kepada seluruh penduduk dunia dan sejatinya mematerialisasikan jalan keselamatan dan petunjuk kepada manusia. Karena itu, pada peristiwa Karbala dan khususnya pada hari Asyura kita menyaksikan terjewantahkannya seluruh keutamaan dan kebaikan dari sosok suci Imam Husain As dan para sahabatnya. Dan kita dapat mengklaim bahwa seluruh dimensi Islam dilukis sendiri oleh Imam Husain dengan darahnya di padang Karbala sehingga kanvas ini senantiasa hidup sepanjang sejarah. Sementara kondisi sedemikian tidak terdapat pada Imam Maksum As lainnya sehingga dapat menampakkan seluruh keutamaan dan tipologinya kepada seluruh pencari hakikat serta menunjukkan seluruh dimensi petunjuk Islam. Hal ini tentu saja sesuai dengan tuntutan tugas yang mereka pikul bahwa pada setiap kondisi, diperlukan juga sikap dan perilaku khusus. Mereka memiliki tugas untuk menjadi teladan perilaku yang sesuai dengan tuntutan masanya; artinya keterbatasan yang ada berpulang pada situasi, kondisi dan tuntutan zaman yang berlaku pada setiap masa.
Karena itu, universalitas inilah yang dimiliki tragedi Asyura. Peristiwa ini dan Imam Husain As sendiri telah menjadi pelita dan setiap orang yang menggunakan pelita ini tidak akan tersesat dan tidak akan akan karam pada laut yang bergemuruh dengan gelombang taufan. Dengan kata lain, Imam Husain As adalah pelita petunjuk bagi yang terjerembab dalam kegelapan dan bahtera keselamatan bagi mereka yang terombang-ambing dalam gelombang dunia. Karena itu, dalam ziarah Arbain Imam Husain As kita membaca, “Wa badzala mahajjatahu fika liyastanqidza ibâdik min al-jahâlah wa hairat al-dalâlah wa qad tawâzara ‘alaihi man garrathu al-dunya..” Darah sucinya tumpah ke tanah di jalan-Mu sehingga para hamba-Mu mendapatkan keselamatan dari kebodohan dan kesesatan, sementara para pencari dunia (orang-orang yang tertipu gemerlap dunia) berkumpul melawannya.”[5] [IQuest]
Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Negâresy-e Irfâni, Falsafi wa Kalâmi be Syakhshiyat wa Qiyâm-e Imâm Husain As, Qasim Turkhan, Intisyarat-e Cilcerag, 1388 S.
Indeks Terkait:
Imam Husain As dan Makna TsaraLlâh, 7124 (Site: 7258)
[1]. I’lâm al-Wara, Amin al-Islam Fadhl bin Hasan Thabarsi, hal. 400, Cetakan Ketiga, Islamiyah, Teheran, 1390 H.
[2]. Hayât al-Imâm Husain bin Ali As, Baqir Syarif Qarasyi, jil. 2, hal. 264, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Qum, 1396 H. Imam dalam sabda lainnya menyatakan, “Allahummah inni uhibbu al-ma’ruf wa ankiru al-munkar” (Tuhanku! Sesungguhnya Aku mencintai segala yang makruf dan mengingkari segala yang mungkar), Bihâr al-Anwâr, Muhammad Baqir Majlisi, jil. 43, hal. 328, jil. 110, Muassasah al-Wafa, Beirut, Libanon, 1404 H.
[3]. Ala Tarauna ila al-Haq la Yu’mal bih wa ila al-Bathil laa Yutanaha ‘anhu liyarghabu al-Mu’min fi LiqaaiLlah Fainni laa ara al-Maut illa al-Sa’adah wa al-hayat ma’a al-Zhalimin illa Barâma (Tidakkah engkau saksikan kebenaran tidak diamalkan dan kebatilan tidak dilarang sehingga membuat orang beriman bergairah bertemu dengan Allah Swt. Karena sesungguhnya aku tidak melihat kematian kecuali kebahagiaan dan kehidupan bersama orang-orang zalim kecuali kesengsaraan). A’yân al-Syiah, jil. 4, Pembahasan Pertama, hal. 234 & 235, Dar al-Ta’aruf li al-Mathbu’at, Beirut 1406 H. Imam Husain As dalam sabdanya kepada lasykar Kufah, Inna lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un haula qaum kafaru ba’da imanihim fabu’dan li al-qaum al-zhalimin, (Sesungguhnya kita berasal dari Allah dan kepada-Nya kelak kita akan kembali. Mereka adalah sekelompok orang yang telah kafir setelah keimanan mereka dan rahmat Tuhan sangat jauh untuk orang-orang zhalim). Geru Hadits Pazuhesykadeh Baqir al-‘Ulum, Mausuâ’t Kalimât al-Imâm Husain, hal. 416-417, Cetakan Ketiga, Dar al-Ma’ruf lil Thaba’atwa al-Nasyr, 1416 H – 1995 M.
[4]. Al-Luhuf ‘ala Qatli al-Thufuf, hal. 11, Intisyarat-e Jahan, 1348 S.
[5]. Bihâr al-Anwâr, Muhammad Baqir Majlisi, jil. 98, hal. 331.