Advanced Search
Hits
19760
Tanggal Dimuat: 2010/04/05
Ringkasan Pertanyaan
Apakah hikmah dan falsafah tawassul kepada Ahlulbait As? Apakah tawassul sedemikian termasuk jenis “kolusi”?
Pertanyaan
Apakah ber-tawassul kepada para imam maksum As supaya terpenuhi hajat-hajat dan semisalnya, termasuk dalam jenis “kolusi” dalam bahasa keseharian? Pada dasarnya mengapa kita harus ber-tawassul kepada mereka?
Jawaban Global

Tawassul secara leksikal bermakna mendekat kepada sesuatu dengan sebuah media dan perantara praktis. Yang harus diperhatikan dan dipahami terkait dengan tawassul kepada para wali Tuhan adalah bahwa tujuan tawassul adalah untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dan tawassul kepada para wali Tuhan tidak berseberangan sama sekali dengan bercengkerama tanpa perantara dengan Tuhan; artinya manusia dapat merajut hubungan dengan Tuhan dan Sang Pencipta melalui dua jalan: Pertama, dengan menjadikan para wali Allah Swt sebagai perantara. Kedua, tanpa perantara.

Akan tetapi harus diketahui bahwa dalam proses taqarrub kepada Allah Swt melalui perantara para wali yang dicintai-Nya, boleh jadi lebih mudah dan menyebabkan manusia lebih cepat untuk sampai kepada Tuhan.

Kesimpulannya bahwa tawassul merupakan anjuran Tuhan untuk memilih media dan perantara dalam menjalin hubungan dengan-Nya. Menyalahgunakan perantara atau memanfaatkan hubungan dan menginjak-injak aturan atau meminjam istilah Anda, kolusi, bukanlah tawassul. Adapun tawassul, ia merupakan media dan jalan khusus yang diberikan kepada setiap orang dan siapa saja dapat memanfaatkan media tersebut. Atas dasar inilah, karena bersifat umum, tawassul tidak dapat digolongkan dengan “kolusi.”

Jawaban Detil

Tawassul secara leksikal bermakna mendekat kepada sesuatu melalui sebuah perantara dan media praktis.[1]Wasilah” adalah perantara yang dengannya manusia dapat mengantarkan dirinya sampai pada sesuatu yang diinginkan.[2]

Suatu hal yang tidak dapat diragukan lagi bahwa manusia untuk meraup kesempurnaan material dan spiritual,  membutuhkan sesuatu yang berada di luar batasan eksistensialnya. Mengingat alam semesta berpijak di atas mekanisme kausalitas (sebab-akibat) dan bersandar pada sebab-sebab dan media-media untuk sampai kepada pelbagai kesempurnaan material-spiritual merupakan sebuah keniscayaan mekanisme kausalitas ini.

Ber-tawassul (berperantara) kepada para wali Allah dan para imam maksum As yang merupakan para manusia sempurna merupakan sebuah perkara yang pasti sebagaimana hal ini disebutkan pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis.  Al-Qur’an dalam hal ini menyatakan kepada Nabi Saw, “Dan kami tidak mengutus seorang rasul, melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jika ketika mereka menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Nisa [4]:64)[3] Pada ayat lainnya, Allah Swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah di jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.” (Qs. Al-Maidah [5]:35)[4]

Pada riwayat-riwayat lainnya yang dinukil dari para imam maksum As disebutkan bahwa mereka memperkenalkan dirinya sebagai wasilah (media untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt).[5]

Dengan demikian, peran tawassul di dunia ini sebagaimana peran syafaat pada hari Kiamat nanti yang tidak dapat diingkari. Melalui media tawassul manusia dapat mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan memohon segala hajat material dan maknawi kepada-Nya.

Atas dasar itu, Al-Qur’an mendawuhkan manusia untuk ber-tawassul dengan menggunakan pelbagai media dalam rangka meraup segala kesempurnaan maknawi dan kedekatan di sisi Allah Swt. Al-Qur’an menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, carilah perantara untuk mendekatkan diri kepada-Nya.” (Qs. Al-Maidah [5]:35) Dan sebagian riwayat yang dinukil dari Rasulullah Saw dan para imam maksum As yang menegaskan keharusan ber-tawassul kepada para wali Allah tatkala berdoa. Pada sebagian doa, sifat-sifat Tuhan atau zat-Nya yang diperkenalkan sebagai perantara dan media untuk sampai kepada makam qurb (kedekatan) di sisi-Nya.

Seperti doa hari Mubâhalah yang menandaskan, “Tuhanku! Aku bermohon kepada-Mu dengan segala keagungan-Mu (jalâliyah). Tuhanku! Aku bermohon kepada-Mu dengan segala keindahan jamal-Mu (jamâliyah)….”[6]

Dari apa yang telah dijelaskan dapat diambil kesimpulan bahwa menjalin hubungan dengan Tuhan dapat dilalui dengan dua cara: Pertama, hubungan dengan Tuhan tanpa perantara. Kedua, tawassul kepada para imam suci As. Yang perlu dipahami adalah bahwa kedua jalan ini tidak saling berseberangan antara satu dengan yang lain. Manusia dapat menggunakan dua cara ini untuk sampai kepada tujuan (yaitu terkabulkannya doa).

Di samping itu, Tuhan, terkait dengan hubungan dengan para hamba-Nya, menganjurkan manusia untuk memilih perantara dan media untuk menjalin hubungan dengan-Nya. Dan hal ini adalah tawassul. Penyalahgunaan perantara atau memanfaatkan hubungan dan menginjak-injak aturan atau meminjam istilah Anda, kolusi, bukanlah tawassul. Adapun tawassul, merupakan media dan jalan khusus yang diberikan kepada setiap orang dan siapa saja dapat memanfaatkan media tersebut. Atas dasar inilah, karena bersifat umum, tawassul tidak dapat digolongkan dengan “kolusi.” Lantaran “kolusi” merupakan keistimewaan (privilege) khusus tanpa aturan dan hanya digunakan oleh kelompok tertentu yang memiliki hubungan dengan pihak pengambil kebijakan. Adapun kelompok lainnya tidak dapat menggunakan hubungan ini.

Adapun tawassul memiliki ketentuan dan aturan yang dapat diciptakan sendiri oleh siapa saja pada dirinya dan memanfaatkannya. Lalu dengan melalui jalan ini dengan mudah ia dapat menjalin hubungan dengan Tuhan dan dengan kualitas yang lebih ideal ia dapat menuai hasil dari hubungan ini.

Jelas bahwa ber-tawassul kepada para imam tidak bermakna bahwa manusia sekali-kali tidak dapat bercengkerama dengan Tuhan dan tidak menjadikan-Nya sebagai obyek wicara secara langsung, melainkan bertutur kata dengan Tuhan dapat dilakukan tanpa perantara pada setiap masa dan setiap tempat.[7] Tawassul bermakna bahwa untuk terkabulkannya doa dan terpenuhinya segala hajat kita meminta pertolongan kepada orang-orang yang memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Tuhan dan kedekatan kepada-Nya. Karena itu, apabila mereka meminta sesuatu kepada Tuhan untuk kita, maka kemungkinan besar permintaan tersebut akan dikabulkan. Karena itu, sebagaimana inti doa merupakan salah satu media dan perantara untuk mencapai faidh Ilahi (emanasi Ilahi) dan kita dapat secara langsung bermohon kepada Allah Swt, maka tawassul kepada para wali Allah tatkala berdoa, juga merupakan media emanasi Ilahi dan perantara untuk meraup kedekatan di sisi Allah Swt.

Di samping itu, menggunakan metode ini pada beberapa tingkatan tertentu lebih mudah dan dapat menyampaikan manusia kepada tujuannya dengan cepat.[8] Apakah seorang hamba dengan melihat seluruh amal dan perbuatannya di hadapan Tuhan sedemikian malu sehingga ia tidak memberikan izin kepada dirinya untuk memohon langsung kepada Tuhan. Karena ia merasa malu untuk menjelaskan segala hajat dan keperluannya, maka ia berperantara kepada orang-orang (para wali Allah) yang memiliki nilai dan kedekatan kepada Tuhan. Dan dengan metode ini ia mengemukakan seluruh hajat dan keperluannya, ia tidak memilih sebaik-baik jalan?

Atas dasar inilah pada doa tawassul, setelah menyebut nama-nama para imam maksum As dan ber-tawassul kepada mereka, kita menyampaikan hajat-hajat duniawi dan ukhrawi kita. Kita menjadikan pribadi-pribadi suci ini sebagai perantara dan media untuk taqarrub kepada Tuhan dan memenuhi segala hajat kita.[9]

Keyakinan terhadap tawassul merupakan sebuah perkara yang merebak dan berkembang di kalangan umat Islam, bahkan pada seluruh umat sebelumnya. Al-Qur’an, dengan menyajikan kisah Nabi Yusuf, bercerita, Mereka berkata, “Hai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami. Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa).” Ya‘qub berkata, “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Yusuf [13]:97-98)[10]

Ayat di atas dengan jelas menunjukkan bahwa anak-anak Ya’qub ber-tawassul kepada ayah mereka dan menjadikannya sebagai wasilah (perantara). Ya’qub juga tidak banyak memprotes tawassul mereka, bahkan beliau menjanjikan untuk memohonkan ampun bagi mereka.

Ahmad bin Hanbal sesuai nukilan dari Utsman bin Hanif menulis, “Seorang buta datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: Pintalah kepada Tuhan kiranya Dia memberikan kesembuhan kepadaku. Rasulullah Saw bersabda: Apabila engkau ingin aku berdoa, dan apabila engkau berkenan, aku mengakhirkannya dan hal ini lebih baik. Orang buta itu berkata, “Berdoalah (untukku). Rasulullah Saw memerintahkan kepadanya untuk berwudhu dan dalam wudhunya dia harus teliti dan menunaikan dua rakaat shalat dan berdoa sedemikian, “Allahumma! Inni as’aluka wa atawajjahu ilaika binabiyyika Muhammad nabiyyir rahmah. Ya Muhammad! Inni tawajjahtu bika ila Rabbi fii hajati hadzihi, fataqdhi lii. Allahummasyfi’hi fii.” Tuhanku! Aku bermohon kepadamu dan dengan perantara Muhammad, Nabi yang penuh kasih, aku menghadap kepada-Mu. Wahai Muhammad! Dengan perantaramu aku menghadap kepada Tuhan, kiranya engkau memenuhi hajatku! Tuhanku! Jadikanlah dia sebagai penyembuhku.” [11]

Sebagaimana yang Anda lihat, Rasulullah Saw, dalam riwayat sahih di atas, tidak hanya melarang orang tersebut untuk ber-tawassul, bahkan beliau mengajarkan cara tawassul yang benar kepadanya. Beliau mengajarkan bagaimana tawassul yang benar sehingga orang yang ber-tawassul menuai hasil yang ideal. Dari riwayat di atas, dapat disimpulkan bahwa tawassul kepada Rasulullah Saw supaya terpenuhinya hajat, merupakan perkara yang dibolehkan (jâiz).

Muhammad bin Ismail al-Bukhari menulis, “Sesungguhnya Umar bin Khattab tatkala tiba musim kemarau, ia ber-tawassul kepada Abbas paman Rasulullah Saw untuk diturunkan hujan. Ia berkata: Tuhanku! Pada masa Rasulullah Saw kami ber-tawassul kepadanya dan Engkau turunkan hujan rahmat-Mu ke atas kami. Sekarang menghadap-Mu dengan bertawassul kepada paman nabi kami sehingga Engkau memenuhi dahaga kami. (Berkat tawassul ini) mereka terlepas dahaganya.[12]

Muhammad bin Idris Syafi’i, imam mazhab Syafi’i keyakinannya terhadap tawassul ia ungkapkan dalam bentuk puisi:

Âli al-Nabi Dzari’ati

Wa humu ilaihi Wasilati

Arju bihim A’tha ghadan

Biyadi al-Yamin Shahifati.[13]

Keluarga Nabi adalah perantaraku kepada Tuhan

Kuberharap demi mereka seluruh catatan amal perbuatanku diberikan pada tanganku

Abu Ali Khalali salah seorang ulama besar Hanafi berkata, “Maa hamani amran faqashadtu Qabra Musa bin Ja’far As fatawassaltu bihi illa SahhalaLlah ta’ala ila ma uhibb.[14]

Kapan saja aku mendapatkan kesulitan, maka aku berziarah ke pusara Musa bin Ja’far As dan ber-tawassul kepadanya. (Dengan tawassul ini) Allah Swt segera menyelesaikan segala kesulitanku dan memenuhi hajatku.”

Para alim Syiah Imamiyah juga memandang boleh (jaiz) bertawassul kepada Rasulullah Saw dan para imam Ahlulbait As setelah kematian mereka, sebagaimana masa hidup mereka, supaya segala hajat terpenuhi dan segela kesulitan tersingkirkan.[15]

Dengan demikian, sirah kaum Musimin pada masa hidup Rasulullah Saw dan setelah wafatnya mereka, adalah bertawassul dan memohon syafaat Rasulullah Saw dan para wali Tuhan. Dan kita banyak menyaksikan banyak contoh kasus dari tawassul ini dalam literatur-literatur standar umat Islam sebagaimana dengan beberapa contoh kasus yang telah disebutkan di atas. [IQuest]

Untuk telaah lebih jauh silahkan lihat, Tuhan dan Perantara, Pertanyaan 286.



[1]. Jauhari, Shihâh al-Lugha, klausul, wa-sa-la.

[2]. Terjemahan Persia tafsir, Al-Mizân, jil. 5, hal. 535.

[3]. “Wa ma arsalna min rasulin illa liyutha’ biidzniLlah walau annahum idz zhalamu anfusahum jaauka fastaghfaruLlah wastaghfara lahum al-rasul lawajuduLlah tawwaban rahima.”

[4].“Ya ayyuhalladzina amanuttaqulLah wab taghu ilaihi al-wasilah wa jahidu fi sabilihi la’allakum tuflihun.”

[5]. Terjemahan Persia tafsir Al-Mizân, jil. 5, hal. 545.

[6]. Mafâtih al-Jinân, doa pada hari Mubâhalah, hal. 467.

[7]. Doa-doa yang dinukil dari para imam As menunjukkan kepada kita jalan terbaik untuk bercakap-cakap dengan Tuhan dan berdoa kepada Tuhan. Tapi hal ini tidak bermakna bahwa inilah satu-satunya jalan manusia dapat bercengkerama dengan Tuhan.

[8]. Hal ini karena Ahlulbait memiliki nilai di hadapan Tuhan dan merupakan para kekasih Allah. Ber-tawassul kepada para imam bermakna ungkapan cinta kepada mereka. Dalam ziarah Asyura disebutkan, “Aku mendekat kepada Allah Swt dengan perantara kecintaan kepadamu” Suatu hal yang wajar jika manusia memiliki kecintaan kepada seseorang yang menjadi kekasih Tuhan ia memilih melalui jalan kecintaan ini ia mendekat kepada Tuhan. Di samping itu, menjadikan orang-orang suci ini sebagai perantara peluang terkabulkannya doa semakin lebar.

[9]. Mafâtih al-Jinân, Doa tawassul yang lain, hal. 184.  Diadapatsi dari Pertanyaan 542 (Site: 590), Indeks: Tawassul dan Hubungan Langsung dengan Tuhan tanpa Perantara.

[10]. “Qâlû yâ Abânâstaghfirlana dzunûbanâ innâ kunnâ khathi’în. qâla saufa astaghfiru lakum Rabbî innahu huwa al-ghafûr al-rahîm.”

[11]. Musnad Ahmad, jil. 4, hal. 138; Mustadrak al-Hakim, jil. 1, hal. 313.

[12]. “Inna ‘Umara bin al-Khattab radhiyaLlahu ‘anhu idzâ qahathû istaqâ bil ‘Abbas bin Abdulmutthalib faqâla: Allahummah innâ kunnâ natawassalu ilaika binabiyyina fasaqaînâ. Wa inna natawassalu ilaika bi’ammi nabiyyinâ fasqanâ, qalâ fayasqûn. Shahih Bukhâri, Kitâb al-Jum’ah, bab al-Istisqâ.

[13]. Diwân Imâm Syafi’î, dikompilasi oleh Muhammad Abdurahim, hal. 162; Shawâiq al-Muhriqah, Ibnu Hajar al-Haitsami al-Makki, hal. 178.

[14]. Târikh Baghdad, Khatib Baghdadi, jil. 1, hal. 120.

[15]. Al-Barâhin al-Jaliyyah fi Daf’i Tasykikâti al-Wahabiyyah, Sayid Muhammad Hasan Qazwini, hal. 30.

Terjemahan dalam Bahasa Lain
Komentar
Jumlah Komentar 0
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
contoh : Yourname@YourDomane.ext
Silahkan Masukkan Redaksi Pertanyaan Dengan Tepat
<< Libatkan Saya.
Silakan masukkan jumlah yang benar dari Kode Keamanan

Klasifikasi Topik

Pertanyaan-pertanyaan Acak

Populer Hits

  • Ayat-ayat mana saja dalam al-Quran yang menyeru manusia untuk berpikir dan menggunakan akalnya?
    261167 Tafsir 2013/02/03
    Untuk mengkaji makna berpikir dan berasionisasi dalam al-Quran, pertama-tama, kita harus melihat secara global makna “akal” yang disebutkan dalam beberapa literatur Islam dan dengan pendekatan ini kemudian kita dapat meninjau secara lebih akurat pada ayat-ayat al-Quran terkait dengan berpikir dan menggunakan akal dalam al-Quran. Akal dan pikiran ...
  • Apakah Nabi Adam merupakan orang kedelapan yang hidup di muka bumi?
    246285 Teologi Lama 2012/09/10
    Berdasarkan ajaran-ajaran agama, baik al-Quran dan riwayat-riwayat, tidak terdapat keraguan bahwa pertama, seluruh manusia yang ada pada masa sekarang ini adalah berasal dari Nabi Adam dan dialah manusia pertama dari generasi ini. Kedua: Sebelum Nabi Adam, terdapat generasi atau beberapa generasi yang serupa dengan manusia ...
  • Apa hukumnya berzina dengan wanita bersuami? Apakah ada jalan untuk bertaubat baginya?
    230071 Hukum dan Yurisprudensi 2011/01/04
    Berzina khususnya dengan wanita yang telah bersuami (muhshana) merupakan salah satu perbuatan dosa besar dan sangat keji. Namun dengan kebesaran Tuhan dan keluasan rahmat-Nya sedemikian luas sehingga apabila seorang pendosa yang melakukan perbuatan keji dan tercela kemudian menyesali atas apa yang telah ia lakukan dan memutuskan untuk meninggalkan dosa dan ...
  • Ruh manusia setelah kematian akan berbentuk hewan atau berada pada alam barzakh?
    214943 Teologi Lama 2012/07/16
    Perpindahan ruh manusia pasca kematian yang berada dalam kondisi manusia lainnya atau hewan dan lain sebagainya adalah kepercayaan terhadap reinkarnasi. Reinkarnasi adalah sebuah kepercayaan yang batil dan tertolak dalam Islam. Ruh manusia setelah terpisah dari badan di dunia, akan mendiami badan mitsali di alam barzakh dan hingga ...
  • Dalam kondisi bagaimana doa itu pasti dikabulkan dan diijabah?
    176264 Akhlak Teoritis 2009/09/22
    Kata doa bermakna membaca dan meminta hajat serta pertolongan.Dan terkadang yang dimaksud adalah ‘membaca’ secara mutlak. Doa menurut istilah adalah: “memohon hajat atau keperluan kepada Allah Swt”. Kata doa dan kata-kata jadiannya ...
  • Apa hukum melihat gambar-gambar porno non-Muslim di internet?
    171577 Hukum dan Yurisprudensi 2010/01/03
    Pertanyaan ini tidak memiliki jawaban global. Silahkan Anda pilih jawaban detil ...
  • Apakah praktik onani merupakan dosa besar? Bagaimana jalan keluar darinya?
    168066 Hukum dan Yurisprudensi 2009/11/15
    Memuaskan hawa nafsu dengan cara yang umum disebut sebagai onani (istimna) adalah termasuk sebagai dosa besar, haram[1] dan diancam dengan hukuman berat.Jalan terbaik agar selamat dari pemuasan hawa nafsu dengan cara onani ini adalah menikah secara syar'i, baik ...
  • Siapakah Salahudin al-Ayyubi itu? Bagaimana kisahnya ia menjadi seorang pahlawan? Silsilah nasabnya merunut kemana? Mengapa dia menghancurkan pemerintahan Bani Fatimiyah?
    158102 Sejarah Para Pembesar 2012/03/14
    Salahuddin Yusuf bin Ayyub (Saladin) yang kemudian terkenal sebagai Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang panglima perang dan penguasa Islam selama beberapa abad di tengah kaum Muslimin. Ia banyak melakukan penaklukan untuk kaum Muslimin dan menjaga tapal batas wilayah-wilayah Islam dalam menghadapi agresi orang-orang Kristen Eropa.
  • Kenapa Nabi Saw pertama kali berdakwah secara sembunyi-sembunyi?
    140903 Sejarah 2014/09/07
    Rasulullah melakukan dakwah diam-diam dan sembunyi-sembunyi hanya kepada kerabat, keluarga dan beberapa orang-orang pilihan dari kalangan sahabat. Adapun terkait dengan alasan mengapa melakukan dakwah secara sembunyi-sembunyi pada tiga tahun pertama dakwahnya, tidak disebutkan analisa tajam dan terang pada literatur-literatur standar sejarah dan riwayat. Namun apa yang segera ...
  • Kira-kira berapa usia Nabi Khidir hingga saat ini?
    134012 Sejarah Para Pembesar 2011/09/21
    Perlu ditandaskan di sini bahwa dalam al-Qur’an tidak disebutkan secara tegas nama Nabi Khidir melainkan dengan redaksi, “Seorang hamba diantara hamba-hamba Kami yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.” (Qs. Al-Kahfi [18]:65) Ayat ini menjelaskan ...